Jangan cemburu dengan keberhasilan orang lain!
Sebuah kalimat dari Galang yang mengganggu pikiran Vanila. Kalau dipikir-pikir, Vanila sering merasa tak puas dengan dirinya. Kecewa pada diri sendiri yang tertinggal dalam soal apa pun dengan teman-temannya. Timbul dengki dalam hatinya menyaksikan pencapaian orang lain.
Menyaksikan teman dekat seperti Chiya sedang dekat dengan teman lainnya saja membuat hatinya panas. Kecemburuannya menguasai, membabi buta, itu pula yang menahan dirinya untuk memiliki pacar. Banyak yang suka, menyatakan perasaan ... tapi Vanila jujur tidak bisa mengontrol rasa cemburu. Lebih baik tidak berpacaran daripada tambah bikin masalah. Teman-temannya mendukung dalam hal ini.
Berkenalan dengan Mas Defa di tempat magang membuat cerita baru di lembaran kisah cinta Vanila. Tak bisa menampik rasa suka, berawal dari kekaguman dan sefrekuensi karena sama-sama Kpopers. Vanila merasa diperhatikan. Diutamakan oleh Mas Defa. Ketika anak-anak magang mengecewakan Mas Defa, ketika Mas Defa ingin merundingkan sesuatu, selalu melalui Vanila. Merasa bangga dan berharga karena dibutuhkan. Demikian juga dengan Bu Neena yang memilih berkomunikasi intens dengan Vanila alih-alih Ren sebagai ketua kelompok. Vanila bisa juga disebut mata-mata untuk Bu Neena tentang segala hal yang terjadi di studio animasi. Namun, kendati di luar rumah Vanila terus menerus mendapatkan validasi dari rasa haus perhatiannya, ia tetap merasakan kekosongan saat kembali pulang ke rumah. Tak ada yang mengerti dia, tak ada yang mengusap lembut pucuk kepalanya saat lelah melanda. Anehnya, seberapa pun besarnya perhatian orang-orang di luar sana yang berhasil ditariknya, tidak dapat membayar perhatian yang ia butuhkan dari keluarga.
Vanila menyalahkan keadaan keluarganya yang rumit. Terlalu repot, berisik dan melelahkan. Benar, kata member Kainga lainnya. Vanila tidak merawat luka batinnya untuk sembuh, melainkan ia membesarkan lukanya dengan penuh kebencian. Benci pada situasi, benci keterbatasan, benci selalu dikalahkan dalam mendapat perhatian orang tua. Wajah masam dan penolakannya ketika diminta membantu merawat adik-adiknya membuat ia dibentak orang tua. Tindakan orang tuanya dalam hal ini tidak dapat dibenarkan. Tetapi, tindakan Vanila meneruskan bentakan pada adik-adiknya juga keliru.
“Apa perasaanmu pada orang tuamu?” Pernah Petra menanyakan itu.
“Sebentar benci, sebentar kasihan,” jawab Vanila.
“Mengapa kasihan bukan sayang?” tanya Petra lagi.
“Kecewa meleburnya!” ujar Vanila lesu.
“Apa mereka juga membencimu?”
“Tidak, hanya membentak, mengabaikan ... dan mereka lebih memilih memperhatikan adik-adik,” jawab Vanila ketus.
“Rasa cemburumu terlalu besar, Pan ... padahal mereka menyayangimu, buktinya terpenuhi semua kenginanmu membeli komik, poster, uang sakumu cukup memenuhi gizimu di luar rumah. Jika kelelahan dan kelalaian mereka membuatmu tersisih pastinya tanpa sengaja, mereka pun tak mau begitu.”
“Mama sering membentak setelah lelah luar biasa, dan Papa selalu pulang larut untuk menghindari kerepotan merawat anak.”
“Lantas kamu, apa pernah berinisiatif membantu Mama tanpa diminta? Apa pernah menanyakan kondisi Papamu setelah seharian bekerja?” tanya Petra.
Vanila mendengus, apa yang dikatakan Petra memang benar ... rasa cemburunya terlalu besar. Terkadang Vanila juga menyadari perjuangan orang tuanya dalam membesarkan anak-anak mereka tidaklah mudah. Petra memberitahu, bagaimana bila Vanila mengubah sikap dan berusaha mandiri, alih-alih terus meminta perhatian dengan segala macam cara ekstrem, seperti pulang malam, membangkang ... bukankah lebih baik Vanila coba membantu mamanya merawat rumah, merawat adik-adiknya, perhatian pada papanya yang lelah bekerja. Sekadar menanyakan makan pada Papa yang baru pulang bekerja bisa mengubah suasana hati papanya menjadi lebih baik.
Jika kamu ingin diperhatikan, cobalah untuk memperhatikan orang lain lebih dulu. Jika mau dipedulikan, juga harus peduli pada keadaan orang lain.
Sekarang ini Vanila mulai memberi perhatian pada kedua orang tuanya. Belajar peka ketika melihat kelelahan Mama mencapai tingkat tertingginya.
Selain itu diam-diam bergerak mencari penghasilan sendiri. Sedikit demi sedikit, dibantu teman-teman di Kainga. Membuat produk dan menjualnya di marketplace. Obrolan dengan Mas Defa mengenai konser idol K-pop yang pasti penjualan tiketnya sangat mahal dijadikan acuan semangat untuk berusaha lebih keras lagi mencari uang tambahan.
Tak jarang, sampai tengah malam Vanila masih berkutat menggambar tokoh anime favoritnya atau menggambar idol yang dijadikan gambar ilustrasi. Galang membimbingnya menjadikan gambar-gambar ilustrasi tersebut sebagai ganci, standee akrilik dll. Vanila yang menyukai pernak-pernik lucu mempunyai selera bagus. Memudahkan Galang membimbingnya membuat produk. Semua sesi curhat sampai bimbingan mencari uang tambahan dilakukan lewat Kainga. Baik telepon, chat, VN maupun panggilan Video Watshap. Saat bertemu, mulut mereka terkunci rapat, tak ada satu pun berbicara mengenai Kainga.
***
Sebulan berlalu semenjak Vanila bergabung. Ren senang, ide yang terlintas di kepalanya—Kainga—dapat mengubah Vanila menjadi pribadi yang lebih baik. Tujuan Ren tercapai, ketika orang-orang di dalam Kainga saling bahu membahu memecahkan masalah. Saling support dan tergerak untuk saling melindungi. Persis yang diharapkan Ren, bahwa Kainga sebagai rumah bagi pribadi yang kehilangan “rumah”. Memberikan harapan kembali menata masa depan, yang terpenting adalah agar remaja seperti dirinya tidak merasa sendirian. Memiliki kawan senasib sepenanggungan. Diharapkan nantinya orang-orang itu akan menemukan rumahnya sendiri.
***
“Ren, gawat!”
Lamunan Ren buyar. Petra menunjukkan muka khawatir. Secara ringkas menjelaskan kalau Vanila tengah terdesak. Kama dan lainnya menaruh curiga soal grup rahasia dan menuduh Vanila terlibat.
“Vanila keceplosan, Ren ...! Dia ceroboh sekali menyebutkan grup Kainga,” jelas Petra dengan napas memburu.
Tanpa pikir panjang Ren segera berhambur pergi menemui teman-temannya. Benar saja, Kama dan lainnya mengelilingi Vanila di pantry.
Melihat Ren dan Petra, seketika Vanila melonjak senang. Semakin menunjukkan kalau ada sesuatu.
***
Kama dan Jaya berwajah sinis. Chiya mengomel tiada henti. Merasa tersakiti, merasa dikhianati. Sudah tidak ada yang bisa ditutupi. Ren pasrah, teman-temannya marah pada gerakan tersembunyi dengan beberapa kawan saja.
Sepatutnya teman yang marah mempertanyakan tujuan Ren membentuk Kainga. Tidak, mereka tidak bertanya. Perasaan mereka lebih kepada perasaan dikhianati. Sebal karena tidak diajak. Kesal seolah tak penting. Chiya berulang kali menanyakan “mengapa bukan aku?” padahal ia pun merasa butuh tempat berlindung dari carut marut kehidupan.
“Setidaknya kamu pintar, Pan ... bisa menemukan solusi bagi masalahmu sendiri!” ujar Vanila membela diri.
“Ya, tetapi bukan berarti kalian berhak menipuku!” ucap Chiya kesal.
"Bukan menipu, tidak ada yang berniay begitu!" seru Ren marah.
"Tapi kami merasa dikhianati, Ren!" Chiya tak kalah ngotot.
Kama dan Jaya ikut mendukung perkataan Chiya barusan. Ren memggaruk kepalanya. Semua anggota tim tujuh ada di sini kecuali Dimas yang tak mengerti sama sekali. Beberapa kali perdebatan mereka membuat pegawai dan anak magang lainnya menghampiri. Penasaran mendebatkan apa. Beberapa bahkan salah paham, mereka pikir perebutan cinta. “Biasa anak muda,” selentingan suara yang mampir ke telinga Ren.
“Sudah kubilang, soal rekrut itu urusan Ren! Aku pun tak tahu menahu bila akhirnya anggota ke empat Kainga dari tim tujuh juga!!” bentak Petra galak.
“Empat?? Jadi siapa yang satunya lagi?!” Kama berteriak.
“Galang, memang kenapa?! Semua itu tergantung hatiku yang terketuk!” jawab Ren menantang.
“Oh, jadi kami bertiga tidak mengetuk hatimu???” Jaya berseloroh.
“Bu-bukan begitu,” ucap Vanila terbata. Tak pernah terbayang semua terbongkar hanya karena dirinya keceplosan menyebut pesan Ren dalam grup Kainga. Menyesalinya, mengapa begitu ceroboh. Tak bisa menjaga amanah, sekaligus menyakiti perasaan teman lainnya. Sering menanyakan pada Ren, mengapa tidak semua anggota tim tujuh menjadi member Kainga.
Ren hanya menjawab dengan berseloroh, jika begitu tak payah membuat grup baru, ganti saja nama grup tim tujuh. Kini anggota grup tim tujuh bahkan berjumlah delapan. Sebab Galang tak pernah benar-benar keluar dari grup. Dan kini, Kama Jaya dan Chiya kecewa ... kenapa justru Galang dan bukan mereka. Galang pun mereka anggap sebagai pengkhianat karena lebih dulu meninggalkan tim demi membela ego pribadinya—itulah anggapan mereka soal keluarnya Galang dari tempat magang ini.
Perdebatan terus berlangsung sengit, tak ada yang mau mengalah. Petra menunjukkan sikap tegasnya ketika si kembar mulai menyudutkan Ren. Petra tahu Ren akan merasa tak nyaman saat dua orang bertubuh jangkung itu mengeroyoknya. Maka Petra beralih posisi menantang si kembar. Ren berada di belakangnya. Seketika Ren merasa menjadi sumber masalah. Tidak berguna dan tak berdaya dikeroyok begitu. Bosan dengan situasi yang memojokkannya, lama-lama Ren tak melawan lagi. Tim tujuh yang aslinya memang kumpulan anak-anak keras kepala adalah sekumpulan anak yang pantang menyerah. Itu yang dikatakan Bu Neena sembari bercanda dulu. Terpilihnya mereka menjadi suatu tim bersama bukan karena tanpa alasan.
"Lagian ngapain sih ada Kainga begitu, mecah belah persahabatan aja!!!" teriak Kama nyolot.
Raut muka Ren merah padam. Kata-kata Kama menyakiti hatinya.
“Sudah hentikan! Kamu mau aku bubarkan Kainga, Kama??? Okay, aku bubarkan, puas?!” Mata Ren melotot, mata Kama juga. Petra dan Vanila kaget. Begitu pun si kembar dan Chiya. Bukan ini yang mereka mau. Hanya ingin Ren mengajak serta mereka. Melibatkan semua anggota tim tujuh tanpa ada projek-projek rahasia. Sayangnya keputusan telah terlontar dari bibir Ren. Bertepatan dengan teguran Mas Defa pada keberisikan yang mereka ciptakan. Jam makan siang telah usai. Dimas kembali dengan perut kenyang, sementara anggota timnya ... bermuka merengut juga bunyi berisik di perut.
***
“Ren, Ren ... jangan dulu cepat mengambil keputusan Ren!” kejar Petra.
Ren bergegas mengambil motor—setelah jam kerja usai.
***
Beberapa jam lalu, ruang dingin benar-benar jadi zona dingin antara Ren dan tim tujuh, terutama Kama. Petra menghubungi Galang di grup Kainga. secara singkat menjelaskan pada Galang. Sama halnya Petra, Galang pun berpendapat keputusan Ren terlalu terburu-buru.
“Apa merekrut Vanila waktu itu merupakan kesalahan, Lang?” tanya Petra kesal. Memang Petra menjadi kesal dengan kecerobohan Vanila yang tak bisa menjaga lisan. Apalagi setelah Kama bersitegang dengan Ren, Vanila bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Bisa tertawa bersama Mas Defa membahas sesuatu di layar gawai. Hampir saja, Petra menendang meja Vanila sebal. Emosi memuncak tatkala Vanila tak lagi risau dengan wajah berkerut, kening berkedut milik Ren dan Kama yang belum mencair. Vanila asyik sendiri, menggubris omelan Chiya saja tidak, apalagi lirikan tajam Petra.
Bergumam sendiri, Petra mulai menyesali membantu Vanila dari masalah pribadinya. Apakah ini yang dinamakan nulung menthung! ... sudah ditolong malah menyengsarakan orang yang menolong.
Seharusnya sih Vanila sadar pada sorot mata laser Kak Henny yang ingin menguliti dirinya. Chiya saja sampai malu dengan tingkah Vanila—yang tak tahu malu. Cekikikan dan bernada manja saat mengobrol bersama Mas Defa. Padahal baru membuat geger tim tujuh. Kalau memang rahasia, seharusnya Vanila tidak berkali-kali menyebut Kainga yang membuat Chiya dan si kembar terus bertanya-tanya. Berulang kali Kak Henny mengingatkan tentang pekerjaan, tapi Vanila tak mau dengar. Sampai akhirnya Kak Henny menggebrak meja dan pergi meninggalkan ruang dingin. Suasana mendadak senyap. Mas Defa salah tingkah dan buru-buru merapikan meja. Berpamitan menyusul Kak Henny yang diikuti tatapan bingung Vanila.
“Mas Defa!” panggil Vanila hedak mengejar Mas Defa. Namun, sebuah tangan mencegatnya.
“Jangan kejar, Pan!” cegah Kama.
Vanila menatap gamang, tetapi kemudian dientakkan tangan Kama agar melepaskannya.
Berlari kecil keluar ruang dingin dan celingak-celinguk mencari sosok Mas Defa. Sebuah suara menarik perhatiannya. Vanila melangkah pasti menuju pantry ia yakin Mas Defa tengah berada di sana.
“Soalnya kamu genit!” Itu suara Kak Henny.
“Aku hanya bersikap layaknya kakak, Hen. Bagaimanapun dia masih kecil ‘kan?” Mas Defa balik bertanya.
“Tapi dia bisa salah sangka loh, Mas Def ... kamu memberinya harapan,” balas Kak Henny.
“Tidak mungkinlah, orang lama di sini juga tahu siapa orang yang kusukai,” ujar Mas Defa dengan nada selembut mungkin. Nada seperti merajuk pada Kak Henny. Yang diajak bicara hanya tertawa. Namun, yang bersembunyi di balik dinding menutup mulut terkejut.
Air mata menggenang bebas. Hatinya perih tersayat, remuk.
Kama menemukan Vanila masih bersandar di dinding yang sama. Masih menguping pembicaraan dua orang di pantry yang entah saling menyukai atau tidak.
Kama menarik tangan Vanila menjauhi tempat tersebut. Sebelum kedua orang itu menyadari kehadiran Vanila.
Sepuluh menit kemudian Vanila masih mematung. Duduk menatap meja kosong di hadapannya. Kama mengajaknya ke warmindo dekat studio supaya patah hati Vanila tidak terendus jejaknya. Saat es teh pesanan Kama untuk Vanila datang, hanya ditatap saja tanpa menyentuh.
Kama tidak bicara. Dibiarkan saja waktu bergulir. Hari ini ada banyak hal yang membuat hatinya tak nyaman. Semua itu berhubungan dengan Vanila. Perselisihan dengan Ren tadi karena Vanila membuka soal Kainga—yang seharusnya rahasia. Lalu kini memergoki Vanila menangisi Mas Defa dan Kak Henny yang sepertinya adalah pasangan yang sembunyikan hubungan di kantor.
“Alangkah bodohnya aku tidak mendengarkan kecurigaanmu, Kama ...” ucap Vanila lirih. Jika begini, lenyap sudah sisi menyebalkan Vanila yang tadi cekikikan di ruang dingin dengan Mas Defa.
Kama tidak menanggapi. Sudah mendengar selentingan kabar, jika Mas Defa memang sudah lama mengejar Kak Henny dari zaman kuliah. Mereka satu kampus beda angkatan. Mas Defa setahun di atas Kak Henny.
Kama sudah lama curiga Vanila beneran naksir Mas Defa. Walau tak sedikit pun khawatir Mas Defa akan membalas perasaan Vanila. Palingan juga Mas Defa hanya ingat adik perempuannya yang sebaya Vanila.
“Huft, aku malu ... harus gimana menghadapi Kak Henny, selama ini aku manja-manja sama pacarnya,” isak Vanila sembari menutup muka.
“Tak perlu khawatir, Kak Henny bukan orang pendendam ... buktinya ia masih sabar menjadikanmu asistennya di tempat magang. Lagian kamu sih dulu nggak percaya mereka pacaran!” ujar Kama.
“Soalnya, Kak Henny yang berpakaian sangat tertutup dan memiliki sifat kalem, sungguh berbeda dengan Mas Defa yang gaul dan menyukai K-pop idol.”
Penjelasan Vanila lebih kepada asumsi pribadinya. Sebab tak ada relevansinya, antara sikap, sifat ,hobi dan pakaian tertutup dalam menyukai seseorang. Justru lebih banyak tipe orang yang menyukai orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Beberapa kali Vanila mendesah lirih. Masih berpikir ketidakpekaan dirinya membuat kacau suasana hari ini.
Kenapa aku menutup mata dan mengabaikan kedekatan itu?
***
Sementara di tempat lain. Petra masih menemani Ren yang hanya terdiam. Sudah menghubungi Galang untuk segera datang, tetapi membutuhkan waktu dari tempat Galang bekerja. Petra membiarkan saja Ren merenung. Terlihat masih emosi dan menahan tangis. Biarpun lelaki, Ren ini tipe yang cengeng bila amat tersinggung hatinya.
Setelah menunggu satu jam akhirnya Galang muncul. Di sini ... di sebuah pinggiran alun-alun kota. Tiga remaja duduk melingkar beralas rumput. Hari sudah malam, beberapa penjual mainan bintang terbang berlalu-lalang. Banyak anak-anak kecil bersama orang tua mereka berlarian kecil memainkan gelembung sabun. Kendaraan sewa dengan lampu warna-warni mencolok mengelilingi alun-alun bersama musik ingar bingarnya.
“Kama juga menghubungiku, menelepon tapi tidak sempat kuangkat, mengetik pesan panjang yang isinya mempertanyakan persahabatan kita, ketikan pertamanya sungguh berkalimat pedas ... tapi, selanjutnya justru mengkhawatirkan Ren,” ucap Galang menunjukkan bukti chatnya.
“Mana sini kulihat ...?” ujar Ren.
“Tidak perlu!” Petra merebut kembali HP Galang dan mengembalikan ke tangan Galang. Diikuti tatapan tidak mengerti dari Ren dan Galang.
“Anggap saja, ketikan itu luapan emosi. Untuk apa lagi dibahas rasa marah itu? Wajar saja Kama kecewa karena dia merasa dekat dengan kita, tapi kemudian kita melakukan hal diam-diam di belakangnya.” Petra menjelaskan, mengurai kemungkinan yang dirasakan Kama.
“Jadi ... Kainga kita harus berakhir,” ucap Ren menimpali.
“Kurasa tidak Ren, ini baru awal dari perjalanan Kainga Ren. Tidak ada orang yang merintis sesuatu yang hebat nyaris tanpa hambatan. Semua pasti akan mengalaminya!” ujar Galang menasihati.
“Jangan membuat keputusan dengan hati membara, Ren!” tambah Petra.
Ren mendesah, menjambak-jambak sendiri poni rambutnya.
“Tak kusangka seribet ini,” ucap Ren menatap Petra dan Galang bergantian.
Mimpi Ren untuk Kainga begitu besar. Berharap di tahun-tahun mendatang Kainga bisa berwujud rumah huni menampung remaja bingung seperti dirinya.
“Ingat Ren, tidak ada yang sia-sia bila kita mau berusaha,” kata Petra lagi. Mengingatkan Ren pada kalimat buatannya sendiri. Ren mendecih, “Iya, tapi bagaimana dengan Kama dan lainnnya?” tanya Ren.
“Bagaimana kalau kita cara kerja Kainga, tak perlu bergerak rahasia, tak perlu merekrut sesuai pada siapa hatimu terketuk, Ren. Kita bebas terbuka saja, siapa saja boleh bergabung. Makin banyak orang makin bagus untuk mencari solusi bersama.” Galang berusaha membujuk Ren.
Petra mengangguk-anggukan kepala. Ren masih berpikir keras. Ada alasan mengapa dirinya ingin Kainga secara eksklusif merekrut member. Sebab Ren ingin ada chemistry antara anggotanya. Membentuk keluarga baru bagi mereka, memberikan perasaan hangat keluarga bagi remaja yang tidak merasakan kehangatan keluarga.
“Jika semua orang dapat bergabung, itu hanya sekumpulan remaja biasa. Tidak merasakan spesial dan berharga,” kata Ren akhirnya.
“Justru kita tumbuhkan rasa berharga itu Ren, kita bisa membuka pintu untuk siapa pun yang sefrekuensi dengan kita. Misalnya sama-sama menyukai anime, sama seperti kita yang mau mandiri dengan kreatifitas,”
“Yeah, aku ingin mematahkan asumsi orang-orang seperti ayahku yang merendahkan pilihanku bersekolah seni!” ujar Ren berapi-api.
Pilihan remaja untuk menjadi apa dan bagaimana di masa depan, sepenuhnya hak dari remaja tersebut. Sayangnya banyak orang tua merasa memiliki hak penuh atas hidup anaknya, beranggapan kalau anak adalah kepanjangan tangan cita-cita orang tua yang tertunda. Alhasil banyak pilihan study, pekerjaan yang dilakukan setengah hati. Terkadang terbentur pula dengan kondisi finansial orang tua. Asal bekerja, asal dapat uang, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
Ren setuju mengubah cara perekrutan Kainga. Konsentrasinya kini bukan pada anak-anak bermasalah dengan orang tua, melainkan mewujudkan Kainga sebagai rumah ternyaman bagi siapa pun yang mau bertumbuh bersama.
“Jadi keluarga cemara juga bisa masuk, Ren?” tanya Petra antusias.
“Yeah, sekarang ini tidak semua yang terlihat baik-baik saja, benar-benar cemara!”ujar Ren sinis.
“Iiih, Ren kok gitu. Kalau masih belum baik-baik saja ya itu artinya belum cemara. Aku belum ketemu sih, teman kita yang keluarganya benar-benar saling dukung. Kecuali Kama dan Jaya, tapi ... yeah masalah terberat mereka katanya orang tuanya pelit, ha-ha-ha!” Petra tertawa, langsung dapat tabokan dari Ren.
“Nggak boleh gitu, Petra!”