Embun menurunkan kesejukannya ke atas bumi, meninggalkan aroma rerumputan basah yang dingin tersentuh oleh lembabnya udara di subuh hari. Matahari enggan untuk menampakkan diri, selama bintang-bintang di langit masih bertebaran di atas langit gelap. Beberapa suara kokokan ayam terdengar nyaring di telinga. Mereka saling bersahutan seolah menyombongkan diri.
Rei bangkit dari tidurnya. Ia melihat jarum jam di dinding kamar masih menunjukan angka empat. Masih terlalu malam sebenarnya untuk pergi keluar, tapi mau bagaimana lagi, dia harus pergi sekarang juga untuk mengantarkan motor yang dari semalam membuat pikirannya tidak tenang.
Pelan-pelan Rei turun dari kasurnya. Berusaha untuk tidak berisik agar tamunya tidak terbangun. Ia melihat keluar jendela. Udara begitu dingin, sedangkan ia harus pergi sekarang juga. Rei butuh sesuatu untuk dapat membuatnya hangat, apa pun itu. Pandangannya mengarah ke sebuah dinding di mana jaket hitam tebal milik Ema tergantung. Rei mengenakan jaket itu. Cukup hangat. Dia pasti akan merasa nyaman jika mengenakannya.
"Lo mau ke mana, Rei?" Suara serak Ema terdengar agak mengejutkan.
"Gue mau pergi sebentar, mau nganterin motor ke majikannya."
"Ini masih subuh, Rei. Di luar sana pasti masih sunyi banget. Emangnya lo nggak takut?" Ema memeluk guling kuat-kuat, matanya antara bangun dan tidak.
"Gue udah janji. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal sendiri. Sebentar aja kok, palingan jam setengah enam udah balik."
"Ya udah, deh... gue juga masih ngantuk. Lo hati-hati, ya?"
"Lo juga hati-hati di rumah. Oh, ya! Gue pinjem jaket lo, ya?"
"Huum ...," jawabnya sembari memejamkan mata kembali.
Benar apa yang dikatakan Ema. Jalanan masih sangat sunyi. Hanya ada beberapa orang melintasi jalan raya yang masih diterangi lampu-lampu pinggir jalan. Namun, Rei tidak merasa takut sama sekali, ia malah mengkhawatirkan Ema yang ia tinggalkan sendiri di rumah.
Sopan menepati janjinya. Ia berdiri di depan gang yang sudah mereka janjikan semalam. Tubuhnya dikemuli kain sarung. Sesekali tubuhnya bergetar karena kedinginan. Lalu tersenyum ketika melihat Rei datang di hadapannya membawa motor miliknya.
Sesuai janji yang ia katakan kemarin. Sopan memberikan imbalan tiga kali lipat dari harga seharusnya. Dengan senyum semringah Rei menerima uang tersebut dan menyimpannya ke dalam saku jaket.
Namun ketika tangannya tenggelam dalam saku jaket, Rei malah mendapati sebuah dompet dan ponsel milik Ema. Ia bingung. Kenapa Ema meletakkan barang berharganya di jaket yang diizinkan orang lain mengenakannya. Ia pun memasukan kembali barang-barang yang bukan miliknya itu. Kemudian beranjak melangkahkan kakinya dari hadapan Bang Sopan sembari mengucapkan terima kasih.
"Makasih ya, Bang! Sering-sering benerin motor di bengkel gue," teriak Rei.
Sopan mengangguk kemudian sibuk merogoh saku celana ketika ponselnya berdering nyaring. "Halo? Gimana?" ucapnya serius. "Apa? Nggak mungkin. Gue baru aja ketemu sama dia mana mungkin dia ada di rumah." Sopan melirik ke arah Rei yang baru saja pergi dari hadapannya. "Kalian pasti bohong!" Terdengar suara kepanikan di balik telepon itu. Sopan semakin bingung ia harus memberikan keputusan dengan segera sebelum semuanya berantakan, pikirnya. "Habisi dia." Masih terdengar nada kecemasan dari kejauhan sana. "Habisi aja!"
Rei menoleh ke arah teriakan Sopan yang terdengar jelas di telinganya. Pandangannya membuat Sopan membuang muka kemudian mengakhiri telepon. Tanpa memedulikan itu, ia menyetop sebuah ojek dan pergi menjauh dari tempat semula.
***
Bulan bersembunyi malu-malu dibalik awan berwarna biru dongker. Secuil cahaya masih belum terlihat pagi ini. Rei turun dari ojek, memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah kepada pengemudi. Senyumnya semringah indah. Namun, senyum itu seketika hilang, tatkala melihat pintu bengkelnya terbuka lebar-lebar. Tubuhnya mengaku takut. Segala macam pikiran buruk mengelilingi tubuh dinginnya.
Pikirannya kacau. Air yang sangat deras seolah mengguyur tubuhnyasecara tiba-tiba. Ia berharap apa yang ada di pikirannya saat ini tidaklah terjadi. Kepalanya serasa panas, kakinya gemetar, tetapi ia memaksanya untuk berlari masuk ke dalam bengkel.
"ASTAGA!"
Rei tidak percaya apa yang sedang dilihatnya.Semua motor yang tadi malam masih ada hilang semuanya.
"Ya, Allah!" teriaknya histeris, "apa ini?" Wajahnya pucat seketika. Otaknya terasa mau meledak. Kakinya membeku. "Gi-gimana bisa kayak gini?"
Beberapa orang pasti sudah berhasil menjarah bengkelnya sampai habis tak tersisa.
Bagaimana dia akan mempertanggung jawabkan semua ini? Dan apa lagi yang mereka ambil? Uangkah? Hartakah? Atau ... atau bahkan, "Astaga! Ema!"
Rei kemudian berlari menuju ruang tengah rumahnya.
"ASTAGHFIRULLOH! Ema?"
Rei mendapati tubuh Ema tertelungkup bersimbah darah. Tubuh Rei bergetar, wajahnya semakin pucat tak keruan. Baru beberapa menit yang lalu ia melihat Ema baik-baik saja tapi kenapa ia menemukannya sekarat seperti ini. Disentuhnya punggung Ema berusaha membangunkan. Rei masih bisa merasakan gerakan naik turun dari tubuh Ema. Itu artinya Ema masih hidup. Dia masih bernapas.
Rei menelentangkan tubuh Ema dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Bagian depan perutnya dibanjiri cairan berwarna merah pekat dengan luka tikaman. Darahnya mengalir seperti air limbah sungai. Wajah yang menahan rasa sakit itu pucat pasi. Dingin. Dan napasnya hampir hilang.
"Ya, Allah, lo kenapa, Ma?"
Ema tidak bisa menjawab. Matanya terpejam dan napasnya sesak tak teratur. Luka yang dialaminya teramat parah hinga membuatnya tak sanggup bicara.
"Bertahanlah, Ma. Gue pasti nyelametin lo. Please, lo harus bertahan."
Rei bisa melihat air mata di wajah Ema yang berlumuran darah juga bibirnya yang bergetar. Ema pasti sangat tersiksa menahan rasa sakit itu. Seketika itu juga air mata Rei meledak melihat keadaan Ema yang mengenaskan. Walau bagaimanapun juga gue harus bisa nyelametin Ema, pikirnya meneguhkan.
"HEI ...!"
Rei menengadahkan wajahnya dan mendapati dua orang pria bertopeng hitam berdiri sambil membawa golok, sedangkan yang satunya menggenggam pisau bermata tajam berlumuran merah darah. Pasti pisau itu yang telah menikam Ema sampai seperti ini.
Rei begitu ketakutan. Tubuhnya gemetaran tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak berani menatap wajah kedua pria itu. Kalau ia tetap berada di situ nyawanya juga pasti terancam dan bernasib sama seperti Ema. Namun, jika ia meninggalkan Ema, pasti nyawa Ema tidak akan tertolong.
Jantungnya berdetak sangat hebat. Rei menatap wajah Ema sekali lagi. Air mata Rei menderas. Yang satu berharap untuk bisa selamat dan yang satu berjuang mendera nyawa. Salah satu perampok itu mengangkat goloknya bersiap untuk menyerang.
Dengan terpaksa, Rei mengambil keputusan terakhir yaitu, meninggalkan Ema yang sedang sekarat.
"Maafin gue," pintanya dengan suara terisak. Dengan cepat Rei pergi mengambil langkah keluar dari rumah. Salah satu perampok yang memegang pisau menyusul dan mengejar Rei, mencoba untuk melenyapkan saksi utama atas perbuatan mereka.
Rei terus berlari. Berlari sekuat tenaga tanpa melihat ke belakang sambil melepaskan air mata yang tak henti-hentinya membanjiri pipi. Ketakutannya menghantui setiap langkah cepat yang ia ambil ke mana pun arah yang ia tuju.
Ia tak peduli seberapa lelah kakinya berlari. Tak peduli seberapa jauh ia harus kabur, yang ia pikirkan saat ini hanyalah bisa selamat dari ancaman terburuk yang belum pernah dialaminya.Tanpa sadar Rei berlari terlalu jauh dari rumahnya. Dan ketika menyadari hal itu, kakinya yang lelah akhirnya berhenti di sebuah kedai kosong.
Ia mencoba untuk bersembunyi dari kejaran perampok sadis yang sebenarnya tidak lagi sanggup menandingi kecepatannya berlari. Napasnya terengah–engah dan jantungnya memompa darah terlalu kuat seolah tak ada ruang baginya untuk meredakan kelelahan ini.
"Gue selamat. Terima kasih, ya Allah!" Rei mengintip keluar melalui celah sempit. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.
Perlahan jantungnya kembali normal.Paru-parunya berusaha mengambil oksigen dengan lancar. Namun, air matanya tidak kunjung habis. Kakinya lemas dan lelah, hingga tubuhnya jatuh terduduk. Isak tangisnya kembali muncul, kali ini semakin kuat.
"Emaa ...!" Rei berteriak menyesali apa yang terjadi. Sungguh ia tak punya pilihan lain selain meninggalkan Ema. Sesungguhnya ia tidak menginginkan hal itu sama sekali. Ia ingin Ema tetap hidup, tapi dia tidak punya cara untuk menyelamatkannya. Ia terlalu takut untuk itu.
Berulang kali ia meminta maaf kepada Ema, meskipun gadis itu tidak akan bisa mendengar setiap ujaran kata maaf yang dikeluarkan dari bibir gemetar Rei.
Namun yang ia pikirkan saat ini adalah berusaha untuk menenangkan diri dan kembali untuk melihat keadaan Ema. Dan mengungkapkan apa yang ia ketahui mengenai peristiwa itu. Sedikitnya ia bisa mengira kalau Bang Sopan lah yang sudah merencanakan semua ini dengan sangat matang. Laki-laki bajingan itu telah berhasil mengambil semua motor yang ada di bengkelnya. Pantas saja ia rela memberikan Ema imbalan yang begitu banyak tanpa perlu menyesal. Dan obrolan telepon yang tak sengaja ia dengar, pasti perampok itu telah ada di rumah di saat bersamaan.
Sayangnya, mereka menyisakan satu orang yang berperan penting di kejadian itu, yaitu Rei.
BERSAMBUNG
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?