Selama beberapa detik mereka tercengang, saling memandang dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Mereka hanya menemukan sedikit perbedaan. Rei memiliki kulit yang lebih gelap sedangkan gadis yang mirip dengannya itu terlihat langsat, mulus, dan bersih seperti terawat. Model rambut mereka juga sama, hanya saja gadis itu beberapa senti lebih panjang.
"Lo siapa?" tanya Rei dengan dagu terangkat.
"Elo yang siapa?" balas gadis itu berkacak pinggang.
"Heh! Lo nyontek muka gue ya? Emangnya nggak ada muka lain yang bisa lo contek selain muka gue?"
"Wah, sarap nih orang. Lo kira muka gue nih PR apa?!"
Mereka terdiam. Bertanya-tanya dalam hati.
Tak lama kemudian tercipta seuntas senyum di bibir mereka masing-masing, lalu ada ledakan tawa terbahak-bahak. Rei menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya dengan apa yang mereka temukan. Ini tentu sangat mengejutkan sekaligus membuat penasaran.
"Kok bisa persis begini, ya? Atau jangan-jangan gue cuma mimpi. Ya ampun ini pasti beneran mimpi, deh. Sumpah! Ini nggak mungkin." Rei mencubit-cubit pipinya memastikan.
"Kita nggak lagi mimpi, ini beneran. Gue juga hampir nggak percaya."
"Kenapa ketawa? Emangnya lucu apa?" Rei masih menunjukkan wajah juteknya ketika melihat gadis itu tertawa amat lebar. "Lo kenapa bisa ada di sini?"
"Good question," jawabnya singkat.
"Maksud lo?"
"Kebetulan gue lagi butuh bantuan. Lo orang sini, kan?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Gue lagi tersesat. Gue kabur dari rumah dan rencananya mau nginap di rumah temen gue. Tapi sial gue malah kesasar sampai sini. Jadi gue butuh tempat untuk tidur malam ini."
Rei mengerutkan keningnya.
"Nggak salah denger? Nih orang tiba-tiba nongol trus minta tolong. Lo pikir gue mau bantuin lo? Lagian bisa kacau nanti kalau orang kampung sini tau ada orang yang mukanya mirip sama gue. Padahal kan selama ini gue nggak pernah merasa punya saudara kembar."
"Yang kebetulan gue temui itu ya elo. Jadi gue harus minta tolong sama siapa lagi? Lagian serius, deh, emangnya lo nggak penasaran sama kita?"
Dengan cepat Rei menatap gadis itu. Benar apa yang dikatakannya, setidaknya dia agak penasaran dengan hari yang serba kebetulan ini. Pasti mereka sengaja untuk dipertemukan.
"Kenalin, gue Ema. Bantuin gue? Please ...."
Rei menatap wajah Ema memelas. "Sorry, gue nggak bisa bawa orang asing ke rumah gue sembarangan. Gue juga nggak tau asal-usul lo gimana." Ia tetap menolak. Setidaknya ia harus mencari kesempatan dalam kesempitan untuk hal ini. Sesekali memanfaatkan orang asing kan bukan masalah.
"Plisss.. gue bayar deh berapa aja yang lo minta. Untuk satu malem aja. Tolong, dong ...." Lagi-lagi Ema menunjukkan wajah memelasnya pada gadis yang belum ia kenal itu. Namun, ia bisa melihat, Rei cukup tertarik dengan tawarannya.
"Serius? Berani bayar berapa lo?"
"Berapa aja yang lo mau."
"Wah nih cewek kayaknya tajir. Artinya gue bisa minta berapa aja yang gue mau," ujar Rei dalam hati. "Oke, gue minta satu juta untuk satu malam. Sanggup?"
"Busyet! Hotel apa rumah, tuh? Diskon dikit, dong."
"Mm ...." Rei memutar bola matanya berpikir sejenak. "Sembilan ratus ribu, deh. Net! Nggak ada tawar-tawar lagi."
Ema tersenyum kemudian mengulurkan tangannya bermaksud untuk berjabat tangan. "Oke, Deal." Rei puas. Banyaknya jumlah uang yang akan ia terima sudah terbayang-bayang di dalam kepala. Dengan segera ia pun mengajak Ema untuk naik ke motor.
"Oke, naik ke motor gue. Jangan lupa tutupin muka lo pakai jaket, jangan sampai ada orang yang tau tentang lo. Bisa heboh nanti satu kampung. Kebetulan orang rumah gue lagi pada pergi semua. Jadi lo bisa bebas mau ngapain aja."
"Makasih, ya, mmm ... Nama lo siapa?" tanya Ema sembari sedikit membuka jaket untuk menutupi wajahnya.
"Gue Renata. Panggil aja Rei."
***
Ema bisa merasakan segarnya air setelah ia membasuh tubuhnya. Semua kepenatan dan lelah yang ia sandang seolah hilang begitu saja.
Ia mengambil pakaian yang sedang disediakan Rei dari lemari. Rei mengambil kaos oblong warna kuning miliknya dan sebuah celana pendek yang pas ukurannya. Setidaknya, itu pakaian yang lumayan bagus yang bisa ia sediakan untuk tamunya. Lagipula ukuran tubuh mereka tidak jauh beda, hanya saja Ema memiliki pinggang yang agak besar dibandingkan Rei.
Ema mengambil kaos itu kemudian mengenakannya.
"Sebenernya lo itu kabur atau diusir dari rumah, sih? Masa nggak bawa apa-apa? Cuma modal jaket sama dompet doang," celetuk Rei sambil bercanda.
Ema meringis sedikit tawa. "Gue kabur dari rumah cuma semalam aja. Jadi gue pikir buat apa bawa pakaian macem-macem." Ema telah selesai mengenakan pakaiannya dengan lengkap. Kemudian menyisir rambutnya dengan hati-hati. Sedangkan Rei pergi ke dapur untuk menyediakan makan malam yang sudah ia siapkan sedari tadi, walaupun hanya sekedar mie instan. Setidaknya cukup untuk memulihkan tenaga sejenak sebelum kembali bekerja di bengkel.
Makanan sudah tersedia di meja makan. Rei mempersilakan tamunya untuk duduk dan menyantap hidangan ala kadar. "Cuma ini yang bisa gue sediain."
Ema mengaduk-aduk semangkuk mie instan dihadapannya dengan wajah kurang senang. Rei bisa melihat kalau Ema sedikitpun tak punya selera dengan masakannya. Tangan kanannya sedari tadi cuma ia pakai untuk menarik ulur mie. Cincin emas di jari manis kanannya terlihat berkilau akibat pantulan sinar lampu.
"Gue bayar lo mahal tapi lo cuma kasih gue makanan ayam kayak begini? Apa nggak ada makanan yang lebih pantes yang bisa gue makan?"
"Nggak usah cerewet. Cuma ini yang bisa gue sediain. Kalau lo nggak mau makan, sini buat gue aja." Rei menarik mangkuk Ema, tapi Ema menahannya.
"Eh ... eh, enak aja. Jangan dong! Gue kan juga butuh makan."
"Makanya jangan cerewet!" Omelan Rei berhasil membuat Ema melahap makananya meskipun terpaksa.
"Tampilan lo kayaknya nggak melarat-melarat amat. Gue lihat lo punya bengkel di depan." Ema melahap mie instan itu dengan perlahan sembari mendinginkannya.
"Enggak juga. Kita cuma kerja dan numpang di sini." Rei tersenyum kemudian melahap mie instan di hadapannya.
"Oh ... sorry. Kirain itu usaha kalian."
"Udah biasa orang bilang kayak gitu. Yah... seenggaknya meskipun muka kita sama, tapi sayang, nasib jauh beda."
Ema melirik dengan ujung matanya. Kunyahan di mulutnya masih penuh. "Siapa bilang? Kita belum tahu kan gimana nasib kita ke depan. Siapa tau lo lebih beruntung daripada gue."
"Oh, ya?" Rei bangkit dari duduknya setelah menyaksikan Ema menganggukan kepala. "Keberuntungan? Gue bahkan nggak pernah mikirin hal itu."
Ema menelan kunyahannya dengan cepat. "Kakak gue pernah bilang, setiap orang pasti bakal ngerasain yang namanya keberuntungan ataupun kesialan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya."
"Gue pikir keberuntungan itu cuma ada sama orang-orang kayak kalian." Rei duduk kembali setelah mengambilkan gelas dan menuangkan air putih dari teko untuk Ema. "Nih, minum."
"Makasih!" Ema meneguknya. "Anggapan lo itu salah besar, Rei. Jangan lihat orang cuma dari sisi depan aja, tapi belakangnya juga. Artinya, setiap orang pasti punya sesuatu yang sama sekali bukan keberuntungan seperti yang selama ini orang lain lihat."
"Lo punya masalah?" Rei memperhatikan mata Ema.
Mereka terdiam sejenak. Lantas, tiba- tiba Ema tertawa.
"Emangnya gue kelihatan kayak cewek yang bermasalah?" Ia meletakkan sendoknya lalu mengelap mulutnya dengan sapu tangan. "Memangnya masalah apa yang harus ditanggung sama cewek seumuran kita? Tuhan juga tau, Dia nggak bakal kasih kesialan sama anak ingusan kayak kita yang belum ngerti apa-apa."
"Syukurlah kalau lo nggak punya masalah, karena gue nggak mau nampung orang yang bermasalah, bisa-bisa gue juga kena getahnya."
Ema menatap wajah Rei lekat-lekat. Gadis ini begitu tegar, dia masih bisa tersenyum lepas dalam kehidupannya melarat. Dan dia adalah seorang ramaja yang punya kemampuan berbeda, menjadi seorang montir itu bukan pekerjaan yang gampang untuk anak seusianya. Ema tak mungkin bisa membayangkan ketidaksanggupannya bila menjadi Rei. Ia sudah sangat senang dengan kehidupannya bersama kedua kakaknya yang serba cukup.
Kedekatan mereka yang instan menciptakan obrolan yang saling bertukar tentang kehidupan, cinta, kesedihan, hingga cita-cita. Begitu besar perbedaan, begitu mudah mencari kesenjangan.
Nasib yang sama menjadi seorang yatim piatu sejak kecil telah menciptakan air mata menggenang saat keduanya saling merindukan sosok seorang ibu yang sangat diinginkan. Juga seorang ayah yang harusnya bisa menjaga setiap langkah kedewasaan mereka. Ibu adalah makhluk yang dengan kasih sayangnya pernah dirasakan oleh Rei tapi tidak dengan Ema. Setidaknya Rei masih lebih beruntung mengenai itu.
Akan tetapi, Rei lebih terpuruk mengenai kehidupannya yang melarat. Yang menuntut dia untuk terus bekerja keras demi mengharapkan sesuatu yang ingin ia capai. Ia terbiasa mengeluarkan tetesan keringat yang mengucur hanya demi meraih asa yang tinggi. Sesuatu yang terkadang tidak mungkin bisa bisa ia wujudkan.
Sedangkan Ema bisa meraih apa saja dengan mudah. Apa saja yang ia minta ke kedua saudaranya, pasti mereka berikan. Ema bercerita betapa kedua kakaknya sangat menyayanginya sejak kecil, menjaga dan merawatnya dengan sepenuh hati. Baginya mereka adalah kakak sekaligus orang tua. Yang selalu mengerti keadaannya, keinginan juga impian yang dengan mudahnya bisa terwujud dengan sekali pinta. Ema memiliki level kebebasan yang lebih dari cukup. Membiarkannya tidur sampai siang, makan di tempat-tempat istimewa, mengizinkannya membeli baju bermerk terkenal, juga bergaul dengan anak-anak kelas atas, anak para pejabat atau pengusaha kaya. Ema punya cara bergaul yang hebat dan tak mungkin bisa ditiru oleh gadis doppelgänger yang masih mendengarnya bercerita di seberang mejanya.
“Terus, alasan lo kabur apa?” tanya Rei.
"Gue kangen sama Mama".
Bagi Rei, jawaban yang dituturkan Ema tidak ada hubungannya dengan masalah yang barangkali sedang gadis itu alami. Lalu jika ia merindukan mamanya, kenapa tidak kabur saja ke kuburan?
Rei yang saat itu sedang sibuk mengencangkan mur mesin mendadak berhenti. Sebuah perasaan aneh tak mampu ia utarakan begitu mendengar jawaban Ema.
"Lo kenapa, Rei?" tanya Ema khawatir.
Rei menggelengkan kepalanya. "Eng...enggak. Enggak apa-apa." Rei mencoba menormalkan kembali tubuhnya. Ia menarik napas panjang kemudian melanjutkan pekerjaanya yang hampir selesai. "Mendingan lo tidur, Ma. Ini udah tengah malam. Gue nggak mau dibilang sebagai tuan rumah yang nggak menghormati tamu."
"Sikap lo barusan bener-bener aneh. Apa gue salah ngomong?" tanya Ema meyakinkan.
Rei tidak menjawab. Ia lebih memilih untuk meneruskan pekerjaanya.
“Sebenernya gue kabur bukan tanpa alasan,” aku Ema dengan tatapan serius yang lagi-lagi membuat Rei merasa aneh. “Ada sesuatu yang lagi gue cari tahu, tapi gue belum bisa cerita ke siapa pun sebelum ketemu sama orang yang tepat.”
BERSAMBUNG
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?