Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

Subuh belum lama lewat saat cahaya pucat mulai merayap masuk melalui celah gorden kamar Atha. Cahaya itu bukan semburat keemasan seperti yang biasa digambarkan dalam puisi atau iklan kopi, tapi lebih seperti kabut yang lupa pulang—dingin, malas, dan samar.

Atha membukanya perlahan, seolah takut sinar itu akan menyakitinya, padahal yang lebih menyakitkan adalah segala hal yang datang setelah jendela terbuka: dunia yang menunggu, sekolah yang menunggu, dan kenyataan bahwa waktu tak pernah benar-benar berhenti meskipun seseorang memilih untuk tidak ikut bergerak.

Ia tidak langsung berdiri. Hanya duduk di pinggir tempat tidur dengan tubuh membungkuk, menatap lantai yang sudah terlalu sering melihat langkah-langkah kosongnya. Seragam SMA-nya tergantung rapi di sisi lemari, bagian bawahnya sedikit menyentuh lantai. Ia menatapnya seperti menatap jasad lama yang sempat ingin ia kubur, atau buang, atau bakar—apa pun asal hilang dari pandangan. Tapi seragam itu tetap di sana, menunggu ia kembali untuk memakainya.

Tangannya bergerak pelan, mengusap wajah tanpa niat untuk benar-benar menyegarkan diri. Tidak ada rasa semangat yang tiba-tiba muncul pagi ini. Yang ada hanya dorongan tipis, nyaris rapuh, yang entah datang dari mana—mungkin dari suara Bu Indri semalam yang masih terngiang, atau mungkin dari rasa bersalah yang tak pernah benar-benar tidur. Entahlah. Tapi pagi ini, Atha bangun.

Di dapur, aroma nasi goreng sisa semalam bercampur dengan suara denting sendok. Ibunya sudah duduk di meja makan, memindahkan nasi ke piring-piring kecil. Satu untuk dirinya, satu untuk Atha. Tidak ada pertanyaan “mau sarapan apa?” seperti dulu-dulu. Sekarang, ibunya hanya menyiapkan, seolah tahu Atha mungkin tak akan menjawab. Tapi pagi ini, Atha melangkah ke meja makan. Itu saja sudah cukup untuk membuat ibunya melirik cepat sebelum pura-pura sibuk dengan saus sambal.

“Motor kamu kemarin kempes bannya, Mama udah bawa ke tambal ban,” kata ibunya pelan sambil menyodorkan piring. “Sekarang udah bisa dipakai.”

Hmmm,” gumam Atha, menerima piring itu tanpa benar-benar melihat isi makanan.

“Mau pakai jaket yang mana hari ini? Cuacanya kayaknya agak dingin, tadi pagi sempat gerimis.”

Atha menggeleng pelan. “Enggak usah jaket.”

Ibunya mengangguk saja, lalu menyuap nasi ke mulutnya sendiri. Obrolan itu tidak penting, tapi terasa penting. Seperti upaya dua orang yang berdiri di sisi berseberangan dari jurang besar, lalu melempar batu ke tengah hanya untuk tahu seberapa dalam jurang itu sebenarnya.

Sesekali ibunya melirik, matanya penuh kehati-hatian yang khas milik orang-orang yang ingin tahu tapi tidak ingin melukai. Ia ingin bertanya—tentang email yang sempat Atha terima, tentang hari-hari kosong yang dilewati anaknya di dalam kamar, tentang tatapan kosong dan nafas berat yang beberapa kali ia dengar dari balik pintu. Tapi ia juga tahu, Atha bukan anak yang bisa dibongkar dengan pertanyaan. Ia hanya bisa menunggu sampai Atha sendiri membuka pintu itu, jika pintunya memang masih ada.

Dan Atha tahu. Ia bisa merasakannya di setiap helaan napas ibunya. Ia tahu ibunya ingin bicara, ingin tahu, ingin masuk ke dalam kekacauan yang sedang ia sembunyikan, tapi Atha belum sanggup. Belum hari ini. Belum sekarang. Rasanya seperti membawa luka menganga di dada lalu disuruh cerita—tidak bisa. Bukan karena tidak mau, tapi karena setiap kata yang keluar mungkin akan jadi pisau baru yang melukai lebih dalam.

Setelah sarapan selesai, Atha membawa piring ke wastafel, mencucinya pelan, lalu kembali ke kamar tanpa banyak suara. Ia mengenakan seragamnya perlahan, seperti orang yang bersiap ke medan perang. Di kaca, ia menatap dirinya sendiri cukup lama—tak ada yang berubah, tapi juga tak ada yang sama.

Ibunya tidak banyak bicara, hanya menyodorkan uang saku dan berkata hati-hati, dengan nada yang menyembunyikan terlalu banyak hal dalam tiga suku kata. Atha mengangguk singkat, lalu keluar rumah, menuruni teras yang basah oleh embun semalam. Pagi masih murung, matahari belum benar-benar muncul, dan udara terasa seperti sisa tangis dari hari-hari yang lalu.

Motor tuanya sudah menunggu di bawah pohon jambu yang dulu sering jadi tempatnya duduk waktu kecil. Ia memutar kunci kontak, menyalakan mesin yang sempat mogok-mogok seminggu lalu, lalu memasang helm. Jaketnya tetap tergantung di belakang pintu rumah. Ia memang tak berniat memakainya. Entah kenapa, dada yang terbuka pada angin pagi terasa lebih jujur daripada menutupinya.

Ketika motor mulai melaju perlahan keluar gang, Atha merasakan sesuatu yang ia kira sudah hilang—bunyi roda di atas aspal yang dingin, aroma pagi yang bercampur antara bau gorengan, debu, dan daun basah, serta suara dari warung-warung kecil yang memutar lagu-lagu lama dari radio. Jalan itu bukan jalan baru. Ia sudah melewatinya ratusan kali sejak SMP. Tapi pagi ini, setiap meter aspalnya terasa asing, seolah ia sedang berjalan di atas ingatannya sendiri.

Ia tahu tikungan pertama akan membawa pemandangan lapangan voli yang kini kosong, lalu setelah itu warung Bu Yanti yang selalu buka pagi-pagi sekali. Dan benar saja, di sana beberapa anak SMA lain sudah berkumpul sambil sarapan dan bercanda, seragam mereka berantakan, tertawa tanpa beban. Suara mereka tajam, memantul di dinding-dinding warung dan menyentuh dada Atha seperti pantulan kenangan yang tak bisa disentuh.

Beberapa anak dari sekolah lain melintas juga, mengayuh sepeda atau menunggu ojek. Mereka ramai. Mereka hidup. Dan itu semua terasa seperti dunia yang tak lagi Atha miliki. Sunyi di dadanya semakin keras, semakin pekat, semakin membuatnya ingin berhenti dan kembali pulang. Tapi ia terus melaju, karena satu-satunya jalan untuk tidak hancur adalah dengan terus maju, meski tubuh dan hati belum sepakat.

Ia ingat hari pertama ia mulai bolos. Waktu itu, alasan awalnya sederhana: “Mau istirahat sehari.” Tapi kemudian sehari berubah jadi dua, lalu seminggu, lalu dua minggu. Ia mengingat betul detik-detik ketika notifikasi dari grup kelas terus muncul dan ia diamkan.

Ketika panggilan tak terjawab dari sekolah hanya ia lihat sekilas lalu ia hapus. Ia mengira dengan mematikan suara dari dunia luar, luka di dalam dirinya akan reda. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—sunyi itu tumbuh seperti hutan liar, merambat ke pikirannya, menutup matahari yang dulu ia kira selalu ada.

Sekarang ia kembali menelusuri jalan itu—jalan yang terlalu dikenalnya, tapi tidak lagi sama. Ia tidak tahu siapa yang akan ia temui hari ini, atau apa yang akan terjadi. Tapi untuk pertama kalinya setelah dua minggu ia memilih diam, pagi ini ia memilih untuk bergerak, meski langkah itu masih terseok.

Gerbang sekolah tampak dari kejauhan. Pelan-pelan, Atha mengerem motornya, menarik napas panjang, dan menyiapkan dirinya untuk dunia yang mungkin belum siap menerimanya kembali.

Begitu melewati gerbang sekolah, Atha merasa udara di dadanya berubah. Udara di dalam halaman sekolah tak lagi terasa seperti rumah. Trotoar kecil yang dulu ia lewati sambil bercanda dengan teman-temannya kini terasa seperti koridor museum yang dipenuhi artefak masa lalu.

Beberapa siswa berdiri di sisi kanan kiri, beberapa tengah duduk di bangku taman dekat kantin, yang lain sekadar berdiri sambil mengecek ponsel. Namun begitu langkah Atha terdengar—langkah sepatu yang asing setelah dua minggu menghilang—mata mereka terangkat. Satu-dua hanya melirik cepat. Tapi sisanya menatap lebih lama, tidak bicara, tapi diam mereka lebih gaduh daripada teriakan.

Ada bisik-bisik pelan, terlalu jelas meski tidak diucapkan untuknya. Tidak ada yang menyapa, tidak juga tersenyum. Seolah Atha bukan seseorang yang pernah mereka kenal. Seolah dua minggu cukup untuk menjadikan seseorang asing sepenuhnya. Ia terus berjalan melewati mereka tanpa memperlambat langkah.

Beberapa daun dari tanaman liar yang tumbuh dari dinding luar terselip di sudut tembok. Atha melewatinya satu per satu, dan ketika akhirnya tiba di depan pintu kelas 13, ia diam sebentar. Dari celah jendela, ia bisa melihat sebagian dari isi kelas: beberapa anak sudah duduk, sebagian masih menyandarkan kepala di meja, beberapa membuka buku, beberapa lainnya sibuk dengan ponsel. Tidak ada yang memperhatikan pintu. Tidak ada yang menoleh.

Ketika ia masuk, suara engsel pintu sedikit berderit. Beberapa kepala menoleh singkat, lalu kembali ke posisi semula. Atha melangkah pelan ke bangkunya, yang tetap kosong, seperti dua minggu lalu. Tidak ada tas asing yang mengambil tempatnya, tidak ada perubahan posisi bangku. Tapi yang terasa ganjil adalah kehampaan yang mengelilinginya.

Bangku Dero di belakang dan bangku Niko di samping bangkunya—dua tempat yang biasanya paling berisik dan paling hidup—kini kosong. Sunyi mereka berlipat ganda karena semua tahu, dua nama itu bukan sekadar absen. Mereka seperti ikut lenyap bersama Atha, hanya saja tak kembali.

Belum lama ia duduk, Pak Narya masuk ke kelas dengan langkah yang tenang seperti biasa. Wali kelas mereka itu tidak banyak basa-basi. Ia hanya membuka buku catatan, lalu menatap kelas dengan sorot mata yang sedikit letih, seperti sudah terlalu sering menghadapi anak-anak yang bersembunyi di balik diam.

“Pagi, semua,” katanya sambil menatap ke sekeliling. “Dero masih belum masuk. Jadi untuk sementara, Atha akan menggantikan posisi ketua kelas dulu.”

Suasana kelas tetap tenang. Tak ada tepuk tangan, tak ada tawa, tak ada reaksi besar. Tapi yang paling mengejutkan justru karena tidak ada penolakan. Tidak ada komentar sarkas, tidak ada lirikan tajam.

Semua murid hanya diam, lalu perlahan kembali ke aktivitas masing-masing seolah pengumuman itu adalah rutinitas belaka. Rizal, yang biasanya jadi pemicu kegaduhan, hanya mengangguk pendek ke arah Atha sebelum kembali memutar-mutar bolpennya di antara jari. Reaksi datar itu terasa janggal, tapi di saat yang sama, Atha juga merasa sedikit lega. Setidaknya, tidak ada perlawanan.

Ia mengangguk kecil pada Pak Narya, lalu kembali mengatur posisi duduknya. Di dalam hati, ia tidak tahu apakah ia benar-benar cocok mengisi posisi itu—menggantikan Dero, bahkan hanya sementara. Tapi kalau ini bagian dari tanggung jawabnya untuk kembali berdiri, maka ia akan melakukannya, satu langkah dalam satu waktu.

Kelas terus berjalan seperti biasa, tapi Atha tahu—apa pun yang biasa itu, hari ini semuanya terasa sedikit lebih berat, dan sedikit lebih hening.

Bel istirahat kedua baru saja selesai, dan kelas mulai kembali dipenuhi suara kursi yang digeser, buku yang dibuka, dan beberapa keluhan malas dari murid yang merasa jam-jam terakhir hari Jumat terlalu menyiksa. Namun ketika Pak Surya masuk ke dalam ruangan, suasana perlahan meredam. Tidak sampai benar-benar hening, tapi cukup untuk memberi ruang pada suara beliau yang tak pernah terburu-buru.

Guru BK mereka itu dikenal dengan pembawaannya yang santai tapi tajam. Ia tidak banyak bicara di kelas kecuali perlu. Dulu, Atha ingat betul tatapan Pak Surya padanya saat awal-awal semester. Tatapan penuh ragu, atau mungkin kecurigaan—seperti banyak guru lain yang termakan rumor-rumor murahan soal dirinya.

Namun, siang itu, sesuatu di wajah Pak Surya tampak berbeda. Bukan hanya karena garis kerut di dahinya tampak lebih lelah, tapi karena pandangan matanya mengarah tepat pada Atha—dan kali ini, yang terlihat di sana bukan penilaian, tapi pemahaman.

“Baik,” ucap Pak Surya setelah menaruh map cokelat dan botol air di mejanya. “Hari ini kita mulai bahas proyek akhir kelas 13. Ini hasil keputusan rapat dewan guru dan juga bagian dari syarat kelulusan.”

Ia menarik napas, lalu menuliskan di papan tulis dengan spidol hitam:

PROYEK PENCARIAN JATI DIRI

di bawahnya ia tambahkan:

Bentuk: Bebas. Tulisan, Buku, Dokumenter, Karya Seni, dll.

Beberapa murid langsung berseru pelan. Ada yang bersenang hati mendengar kata ‘bebas’, tapi ada pula yang sudah mengeluh soal ide. Pak Surya menoleh sebentar, senyum tipis di bibirnya.

“Bebas bukan berarti asal-asalan,” katanya. “Yang saya dan guru lain cari bukan karya paling indah, tapi proses kalian. Proses memahami diri sendiri. Apa pun bentuknya, yang penting jujur. Tentang siapa kalian, apa yang kalian pikirkan, apa yang kalian pelajari dari semua ini.”

Suara sunyi memenuhi kelas beberapa detik setelah kalimat itu selesai. Atha mencatat di buku catatannya, tapi kemudian mengangkat tangan. “Pak,” panggilnya pelan. “Saya satu kelompok sama Niko dan Dero dari awal, tapi… mereka udah dua minggu enggak masuk.”

Pak Surya mengangguk perlahan, seperti sudah memprediksi pertanyaan itu. Tatapannya kembali jatuh pada Atha. Lama, tapi tidak menekan.

“Kalau begitu, kamu kerjakan sendiri,” jawabnya, masih dengan nada yang tenang. “Tidak ada rolling kelompok untuk proyek ini. Tapi saya percaya kamu bisa, Atha.”

Atha membeku sejenak. Kalimat itu, meski sederhana, terasa menancap lebih dalam dari yang ia kira. Ia mengangguk pelan. Ada bagian dari dirinya yang merasa ingin menyangkal—bahwa ia tak yakin bisa. Tapi bagian lainnya, yang perlahan tumbuh kembali sejak pagi itu, justru menerima tantangan itu dengan kepala tegak.

Dan ia tahu, ia tidak ingin mengerjakan proyek biasa. Tidak ingin membuat karya yang ringan. Justru karena ini tentang pencarian jati diri, dan karena dirinya sendiri kini terasa seperti puing-puing yang baru saja ia punguti kembali, maka ia ingin membangun ulang dirinya dari awal—dari sesuatu yang nyata, dari sesuatu yang butuh usaha.

Ia akan membuat buku. Buku motivasi, atau mungkin semacam catatan self-improvement. Bukan sekadar tugas, tapi sejenis surat panjang untuk dirinya yang dulu, dan juga untuk Niko dan Dero. Ia tak tahu apakah mereka akan sempat membaca.

Namun, Atha akan menuliskan nama mereka di sampul depan, berdampingan dengan namanya sendiri. Karena walaupun mereka kini jauh, terlalu jauh, mereka bertiga pernah berdiri di tempat yang sama: terbuang, tersisih, dan dipaksa mencari arti dari keberadaan mereka sendiri.

Pelajaran terus berjalan, tapi pikiran Atha sudah mengembara. Di dalam kepala, ia sudah mulai menulis kalimat pertama. Satu bab, satu luka. Satu halaman, satu keberanian. Dan di akhir nanti, ia harap ada cahaya yang cukup untuk membawa mereka keluar dari ruang gelap ini.

Kelas sudah lama kosong, tapi Atha masih duduk di tempatnya. Cahaya sore menyelinap lewat jendela, membentuk pola aneh di permukaan meja yang dingin. Tangannya membuka buku kecil yang selalu ia bawa, pena sudah siap di antara jari.

Tak ada musik, tak ada suara. Hanya bunyi lembut ujung pena menyentuh kertas.

Di halaman pertama, ia menulis pelan sebagai pemantik ide.

Untuk: Atha, Niko, dan Dero.

Ia menatap tulisan itu lama. Ada sesuatu yang bergeser di dadanya—bukan lega, bukan luka. Mungkin keduanya sekaligus.

“Kalau dulu gue cuma nulis buat lulus, sekarang gue nulis buat hidup.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendirian saat menulis.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
Dearest Friend Nirluka
1413      753     1     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...
Potongan kertas
912      473     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
dr. romance
943      557     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
812      477     1     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Maju Terus Pantang Kurus
865      571     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Pasha
1281      575     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Solita Residen
1453      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Let me be cruel
4710      2628     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.