Atha duduk bersandar di pojok ranjang, lututnya ditarik ke dada, sementara layar ponsel di tangannya terus menyala dan mati, menyala dan mati—seirama dengan jari-jarinya yang ragu. Ia sudah membuka email itu berkali-kali. Setiap kalinya, ia membaca ulang baris-baris yang sama, dengan rasa yang semakin tumpul dan perih yang makin sulit dijelaskan. Meskipun tak ada satu pun kalimat baru, hatinya terus memberontak, berharap ada satu makna tersembunyi yang terlewat. Sesuatu yang bisa menjawab, atau setidaknya memandu. Tapi nihil. Semuanya tetap seperti semula—kabur, gelap, menyesakkan.
Ia akhirnya menaruh ponsel di atas lutut dan mengusap wajahnya kasar. Email itu terlalu absurd untuk dibiarkan, tapi juga terlalu rumit untuk dipercaya mentah-mentah. Siapa yang mau mengaku sebagai dalang dari kegagalannya? Dan kenapa sekarang? Kenapa setelah semuanya hancur, setelah harga dirinya dikoyak dan hidupnya terperosok lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan?
Atha meraih pulpen dari meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah kertas catatan kosong ia tarik dari bawah bantal. Dengan tangan gemetar, ia mulai mencoret-coret. Daftar. Ia menulis: ‘Kemungkinan pengirim.’ Di bawahnya, satu per satu nama muncul—teman sekelas dari sekolah lama, kakak kelas yang pernah sinis padanya, dan kemudian... Dero. Ia berhenti menulis. Menatap nama itu lama. Tak ada alasan konkret, tapi entah mengapa, nama itu muncul begitu saja.
Dero memang membencinya sejak awal. Tidak pernah berusaha menyembunyikannya. Kata-katanya tajam, pandangannya sinis, dan seluruh sikapnya seperti menyalahkan Atha atas sesuatu yang bahkan Atha sendiri tidak tahu apa. Tapi, apakah Dero tipe orang yang akan mengirim email penuh pengakuan seperti itu? Bukannya malah akan menertawakannya, atau menyebarkan ke seluruh kelas jika memang ingin menghancurkannya?
Pikiran Atha mulai berputar-putar seperti benang kusut yang semakin ditarik justru semakin mengikat. Ia menatap dinding kamar kosong yang dingin, dan tiba-tiba terselip pikiran baru: “Apa orang ini cuma mau mainin gue lagi?”
Mungkin itu hanya lelucon kejam. Mungkin ini orang baru yang ikut-ikutan membenamkannya ke dalam lumpur, sekarang pura-pura bersalah hanya untuk melihat reaksinya. Paranoia mulai menyelinap diam-diam, seperti kabut tipis yang masuk dari celah jendela. Atha menoleh ke jendela kamarnya yang tertutup rapat, seolah ingin memastikan tidak ada siapa pun di luar sana yang mengawasinya, meskipun tahu itu hanya ketakutan dari pikirannya sendiri.
Ia memejamkan mata. Nafasnya berat. Semakin ia mencoba memahami semuanya, semakin jauh ia merasa dari jawaban. Tapi bukan hanya itu—semakin jauh pula ia merasa dari dirinya sendiri. Seperti terlepas dari pusat gravitasi, melayang dalam ruang kosong tempat tidak ada suara, tidak ada kepastian, dan tidak ada siapa pun yang bisa ia percayai.
Dan di sanalah ia, sendiri lagi, dengan satu email yang mengguncang semua fondasi yang tersisa dalam dirinya.
Cukup lama sampai akhirnya Atha membuka kembali matanya perlahan. Masih di tempat yang sama. Masih di hari yang sama. Masih dengan tubuh berat seperti disumpal oleh semua keraguan yang tak selesai.
Tangannya bergerak pelan ke arah samping, meraih ponsel yang tadi baru jatuh dari lututnya. Layar ponsel itu belum menyala—wajahnya sendiri terpampang di pantulan hitam itu, mata sembab, bibir kering. Dengan satu tarikan napas, ia buka aplikasi chat.
Nama Dero masih ada di daftar obrolan teratas, tapi ketika ia buka, hanya layar kosong yang menyambut. Tak ada foto. Tak ada status. Hanya tanda senyap dari seseorang yang pernah bicara dengan marah, lalu menghilang tanpa penjelasan. Sudah beberapa hari, tapi masih diblokir. Seolah keberadaannya tidak pernah penting.
Atha menatap lama layar itu, seperti menunggu keajaiban. Seperti menunggu suara. Tapi tidak ada. Ia bahkan tidak berani mengirim apa pun—bukan hanya karena tidak bisa, tapi karena takut kalau pun bisa, balasannya akan tetap diam.
Lalu ia pindah ke Instagram. Harapan kecil yang hampir seperti menyakiti diri sendiri. Ia buka akun Dero dulu. Masih dikunci. Follow-nya masih pending. Tidak digubris. Lalu ia cek Niko. Sama. Tak ada perubahan. Dua-duanya sunyi. Dua-duanya seperti dunia yang mengunci pintunya rapat-rapat di depan wajah Atha.
Ia ingin mengetuk salah satu dari mereka. Ingin bicara. Ingin minta maaf, atau mungkin hanya ingin didengar. Tapi yang ia temui hanya pagar tinggi dan jendela gelap. Ia bukan siapa-siapa lagi bagi mereka, dan ia pun tak tahu bagaimana bisa sampai sejauh ini.
Jari-jarinya berhenti di nama Niko. Sebuah pikiran melintas: “Apa gue harus ke rumahnya?” Tapi cepat-cepat ia menepisnya. Gambar malam itu kembali hadir—Dero yang bilang ia tidur di rumah Niko, lalu pulang keesokan harinya tanpa bicara. Wajahnya datar, senyumnya hilang. Bahkan saat Atha mencoba bercanda, tidak ada reaksi. Malam itu ada sesuatu. Dan Atha tahu ia belum siap mengetahuinya.
“Gue gak tahu apa yang terjadi malam itu,” bisik Atha, pelan sekali, hampir seperti doa. Tapi tak ada yang menjawab. Hanya dinding kamar yang dingin, dan suara kipas yang terus berputar tanpa peduli apa pun.
Ia meletakkan ponsel. Tidak ada tempat lagi untuk mengetuk. Tidak ada pintu yang terbuka. Tidak ada satu pun tangan yang terulur ke arahnya.
Dengan tubuh lesu, Atha kembali membenamkan diri ke kasur. Ia menarik selimut sampai ke dagu, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang makin pekat. Dunia terasa terlalu luas dan terlalu sunyi sekaligus. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu siapa yang masih bisa ia percaya, dan yang paling menakutkan—ia bahkan mulai ragu apakah dirinya sendiri masih ada di tempat yang benar.
Langit malam menggantung di luar jendela, kelam dan tanpa bintang. Di dalam kamar, hanya ada Atha yang belum juga bergerak dari tempatnya sejak sore, tubuhnya kaku dalam posisi yang sama, seolah kalau ia bergerak sedikit saja, dunia akan runtuh.
Lalu, ponselnya bergetar pelan.
Nama yang muncul di layar membuat napasnya tercekat.
Bu Indri.
Ia menatap nama itu cukup lama. Jantungnya berdetak pelan tapi keras, seperti suara sepatu di lorong kosong. Sudah lama tidak ada guru yang menghubunginya secara pribadi, apalagi guru yang satu ini.
Bu Indri—guru matematika yang dulu sering memuji ketelitian Atha, yang pernah bilang nilainya ‘nyaris sempurna’, yang waktu awal-awal Kelas 13 tampak kecewa dan menjauh. Sekarang menelepon. Kenapa?
Tangannya sempat ragu untuk menekan tombol hijau. Tapi ada sesuatu dalam dirinya, mungkin rasa haus akan pengakuan, atau hanya sekadar suara manusia lain, yang membuatnya akhirnya menjawab.
“...Halo?” Suaranya terdengar serak, lelah, dan asing bahkan bagi dirinya sendiri.
“Ini Atha?” Suara perempuan dari seberang sana terdengar jelas. Tenang, hangat. Suara yang dulu mengajarinya logaritma dan integral, sekarang terdengar seperti seorang ibu yang ingin memastikan anaknya masih bernapas.
“Iya, Bu,” jawab Atha pelan.
Sesaat hening. Lalu Bu Indri bicara lagi, kali ini dengan nada yang hati-hati, seperti sedang menapaki tanah yang rapuh.
“Maaf ya, Ibu ganggu malam-malam. Tapi... Ibu perhatiin kamu udah gak masuk sekolah hampir dua minggu. Gak ada kabar. Ibu... khawatir.”
Atha menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kepalanya dipenuhi perasaan campur aduk: malu, terharu, dan entah kenapa—takut.
“Ibu tahu... waktu awal kamu masuk Kelas 13, saya sempat salah paham,” lanjut Bu Indri. “Saya pikir kamu nyerah. Saya pikir kamu gak peduli lagi. Tapi ternyata saya salah, Atha.”
Atha menggenggam ponsel lebih erat.
“Beberapa waktu lalu, ada seseorang yang datang ke saya. Ngaku. Tentang semuanya. Tentang kenapa kamu bisa sampai gak lulus waktu itu.”
Jantung Atha langsung memukul dadanya. Ia menahan napas.
“Ibu gak bisa bilang siapa orangnya, karena dia minta identitasnya dijaga. Tapi yang pasti, semua guru sekarang tahu. Dan sekolah juga sudah bertindak. Anak itu... sekarang udah gak lagi di sekolah. Drop out. Permanen.”
Atha tak berkata apa-apa. Hanya suara kipas dan detak jarum jam yang mengisi sela-sela percakapan mereka.
“Ibu cuma mau kamu tahu... kamu gak sendiri, Atha. Saya tahu kamu anak yang serius. Anak yang selalu ngerjain soal sampai tengah malam, yang suka tanya rumus di luar jam pelajaran. Saya sempat lupa itu. Tapi sekarang saya ingat lagi.”
Atha merasa ada sesuatu yang pecah pelan-pelan dalam dirinya. Bukan seperti kaca yang jatuh, tapi seperti es yang mulai mencair. Pelan. Rapi. Tak bersuara, tapi terasa.
“Ibu gak akan tanya kamu udah siap apa belum. Tapi... mulai besok, coba datang ke sekolah ya. UTS udah deket. Kalau kamu terus absen, kamu bisa makin ketinggalan. Sayang kalau kamu harus mulai dari awal lagi. Ibu yakin kamu masih bisa ngejar semuanya.”
Suara Bu Indri terdengar sangat tulus. Tidak menuntut. Tidak menyalahkan. Hanya mengulurkan tangan, di saat semua pintu lain tertutup rapat.
Atha menarik napas panjang. Baru kali ini, sejak berminggu-minggu, ia merasa ada yang benar-benar melihatnya. Bukan untuk menghakimi. Tapi untuk memahami.
“…Makasih, Bu,” bisiknya akhirnya, hampir tak terdengar.
“Ibu tunggu kamu di kelas, Atha. Pelan-pelan aja... tapi jangan berhenti, ya.”
Dan telepon pun berakhir. Layar ponsel kembali gelap. Tapi untuk pertama kalinya, gelap itu tak terlalu menakutkan.
Atha meletakkan ponsel di dada, menatap langit-langit kamar yang diam. Hatinya masih kacau, pikirannya masih berantakan. Tapi ada satu titik kecil yang mulai menyala di dalamnya—kecil, rapuh, tapi cukup untuk membuatnya berpikir: mungkin belum semuanya hilang.
Jam dinding di kamar Atha terus berdetak, pelan dan malas, seolah tak yakin apakah waktu memang masih layak berjalan di ruang itu. Di luar jendela, malam sudah lama runtuh. Tak ada suara dari jalanan, tak ada langkah, tak ada kendaraan—hanya dengung samar dari kipas angin dan bunyi detik yang menggantung di udara seperti tetes air yang tak jadi jatuh.
Atha menggeser duduknya ke tepi kasur, tubuh membungkuk, siku bertumpu di lutut. Ponsel diletakkan di sampingnya, mati layar. Tak ada notifikasi baru. Tapi ia tetap menoleh ke arahnya setiap beberapa menit, seperti berharap sesuatu yang ia sendiri tak tahu: permintaan maaf, pengakuan, penjelasan atau barangkali cuma suara lain agar ia tahu bahwa ia belum benar-benar hilang dari peta dunia.
Di meja belajar, seragam sekolah tergantung di gantungan rotan yang mulai miring karena lama tak disentuh. Masih rapi, masih bersih. Tapi rasanya seperti milik orang lain. Orang yang sempat percaya bahwa nilai bisa menyelamatkan segalanya, bahwa disiplin dan usaha akan membawa keadilan. Orang yang tidak lagi ia kenali.
Langit-langit kamar seolah semakin rendah malam ini. Seakan ingin menekannya, membenamkan dia lebih dalam ke dalam tanah yang sudah setengah menelannya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Bukan terang. Bukan kelegaan. Lebih seperti suara samar yang ia dengar tadi sore, dari telepon seorang guru yang pernah ia hormati dan kecewakan sekaligus.
“Kamu nggak sendiri, Atha. Saya tahu kamu anak yang serius. Saya sempat salah menilai, tapi sekarang saya tahu kamu bukan penyebab semua itu.”
Kata-kata itu menempel seperti sisa debu yang belum sempat dihapus. Tidak langsung mengubah apa pun. Tapi cukup untuk membuatnya mengangkat wajah, sekali saja, dan mengamati bayangan dirinya sendiri di kaca jendela yang menghitam.
Ia tahu, tidak ada yang benar-benar selesai malam ini. Email itu belum terjawab. Nama-nama itu masih berputar dalam pikirannya. Dero masih tidak bisa dihubungi. Niko masih sakin dan menjadi teka-teki. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya sejak ia jatuh, seseorang di luar dirinya sendiri—dan di luar kehancuran ini—telah membuka sedikit ruang.
Ia berdiri perlahan, langkahnya pelan, tidak yakin mau ke mana. Hanya bergerak. Ke arah meja. Menyentuh ujung lengan seragamnya dengan satu jari. Kainnya terasa dingin, asing. Tapi bukan tak mungkin dikenakan lagi.
Ia duduk di kursi belajar, membiarkan tubuhnya diam di sana. Bukan untuk belajar, bukan untuk menyusun strategi, hanya untuk... hadir. Untuk sekali ini saja, tidak lari.
Tatapannya mengarah pada kalender kecil yang masih menampilkan tanggal-tanggal kosong. Besok adalah hari sekolah. Ujian tengah semester sudah dekat. Dunia luar terus berjalan, bahkan saat ia membeku. Dan malam ini, entah kenapa, itu tidak terasa seperti ancaman lagi—melainkan undangan yang samar.
Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya lambat. Menyentuh ponselnya.
Layar menyala. Tidak ada pesan.
Hening.
Dan kemudian, getar kecil.
Ia menoleh cepat, jantungnya memukul tulang rusuknya.
Satu notifikasi. Tapi bukan pesan. Hanya alarm pengingat belajar yang ia pasang sejak lama dan tak pernah ia matikan.
Atha tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena tubuhnya perlu mengeluarkan sesuatu yang bukan tangis.
Ia menatap layar itu lama. Pikirannya masih penuh kabut. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa kabut itu bukan tak bisa dilewati.
“Kalau semua orang mulai bicara jujur, katanya dalam hati, tinggal gue yang harus mutusin—mau tetap sembunyi, atau bangun dari bangkai yang gue bikin sendiri.”
Lampu kamar masih menyala. Tapi malam ini, Atha tidak langsung tidur. Ia hanya duduk di sana. Diam. Dengan sesuatu yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya—bukan keberanian, bukan tekad, tapi sesuatu yang lebih kecil dan lebih penting: niat.
Dan kadang, niat saja sudah cukup untuk memulai.
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN