Atha terbangun bukan karena cahaya pagi yang masuk dari celah jendela, atau suara ayam tetangga yang menembus dinding tipis rumahnya. Cowok itu terbangun karena sebuah mimpi yang tak sempat ia ingat sepenuhnya—sebuah mimpi yang entah bagaimana meninggalkan perasaan seperti tenggelam di danau yang terlalu tenang, terlalu dalam, dan terlalu dingin.
Napasnya masih berat saat ia terduduk, keringat dingin membasahi leher dan punggung meski kipas angin belum sempat mati sejak malam tadi.
Ia mengusap wajah dengan dua tangan, menekannya kuat-kuat seolah berharap waktu bisa berhenti dulu sebentar. Di ruangan yang sempit dan berantakan itu, suara detik jam dinding terdengar sangat keras, terlalu keras. Lalu kesunyian itu disela bunyi notifikasi pendek dari ponsel yang ia tinggalkan di meja kecil dekat kasur.
Atha menoleh, mengulurkan tangan dengan malas, membuka layar. Notifikasi itu bukan balasan—hanya promo dari aplikasi belanja. Tapi layar itu mengingatkannya akan sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang.
Dero.
Dengan kecepatan yang mendadak tegas, Atha membuka aplikasi chat. Ia scroll ke atas, melihat pesan terakhir dari semalam—singkat, tapi cukup menenangkan saat itu.
“Gue di sini dulu ya, jagain.”
Itu dikirim tengah malam, setelah Niko akhirnya tidur. Tapi sejak pagi ini… tidak ada balasan. Pesan Atha yang dikirim pukul enam—“Lo udah bangun? Gimana Niko?”—masih centang dua. Tidak dibaca. Belum dibalas.
Ia menatap layar ponsel itu lama sekali. Mata yang masih lelah tidak bisa menipu kegelisahan dalam dirinya. Perasaannya mulai dilanda sebuah ketakutan yang samar: bukan yang meledak-ledak, tapi yang dingin, seperti udara yang menyusup dari bawah pintu dan diam-diam mengubah suhu satu ruangan tanpa disadari.
Tapi Atha tetap bangkit. Tubuhnya berat, kakinya nyaris kram karena tidur dalam posisi tak nyaman. Ia merapikan rambut seadanya, mengganti baju dengan kaus polos dan celana panjang, lalu menyambar tas sekolahnya—ritual yang terasa sangat konyol pagi ini. Tapi mungkin itulah cara otaknya bertahan. Menjalankan rutinitas agar tidak meledak.
Di luar, langit sedikit mendung. Motor dinyalakan, helm dipasang, dan Atha melaju. Ia bahkan tidak sempat sarapan.
Di perjalanan menuju sekolah, Atha melaju tanpa benar-benar melihat jalan. Matanya fokus ke depan, tapi pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya tertinggal di kamar lantai dua rumah itu, tempat di mana Niko duduk diam di dekat jendela, tak bereaksi. Pikirannya juga tertinggal di tangga rumah Niko semalam, saat Dero akhirnya memilih tidur menginap untuk menjaga Niko yang sendirian ditinggal kedua orang tuanya perjalanan bisnis.
Atha mengetatkan pegangan di setang motor.
Kenapa belum ada balasan?
Apa yang terjadi?
Kenapa Dero nggak ngabarin sama sekali?
Bahkan sekarang, ia mulai merasa harusnya tadi mampir ke rumah Niko—tapi rumah itu beda arah, dan... dia terlalu takut. Terlalu takut kalau jawabannya akan lebih buruk dari sekadar ‘tidak dibalas’.
Tiba di sekolah, Atha masuk gerbang tanpa semangat. Pandangannya lurus, tidak menyapa siapa pun, karena memang tidak ada yang menyukainya lagi semenjak kejadian fitnah semester lalu, yang menyebabkan Atha tidak lulus. Beberapa siswa lain berjalan tergesa, sebagian duduk-duduk di taman sekolah sambil memainkan ponsel.
Kelas 13 sunyi.
Saat ia membuka pintu, hanya ada lima siswa. Mereka duduk terpencar, beberapa menunduk di atas meja, lainnya menatap ke luar jendela. Tidak ada suara. Tidak ada musik dari speaker kelas seperti biasanya. Tidak ada gumaman lelucon atau obrolan acak. Tidak ada Dero. Tumben.
Atha masuk, duduk di tempatnya. Ponsel dikeluarkan lagi. Cek ulang. Masih centang dua. Ia coba kirim satu pesan lagi.
“Lu gapapa?”
Lalu ia refresh—dan detik itu juga, semua berubah.
Centang dua tadi pagi … jadi centang satu.
Atha menatap layar itu lebih lama dari yang perlu. Coba kirim satu lagi. Masih centang satu. Ia coba hubungi lewat telepon. Satu kali. Dua kali. Tiga.
Namun, tidak ada jawaban dari seberang sana.
Ia buka profil Dero. Terakhir online: ‘terakhir dilihat hari ini pukul 06.12’. Setelah itu—tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Bahkan foto profil Dero sudah hilang. Jantung Atha berdegup tak karuan. Ia merasa perutnya mual, seperti baru saja jatuh dari tempat tinggi.
Dia mencoba meyakinkan diri: mungkin HP-nya mati… mungkin dia capek, lagi tidur... mungkin sinyalnya jelek...
Tapi suara-suara di dalam kepala Atha tak membiarkan itu.
Atau mungkin sesuatu udah terjadi.
Telapak tangannya mulai berkeringat. Ia coba lagi menelepon. Suara sambungan terdengar—lama, lambat, lalu mati sendiri. Tidak dijawab. Dero masih belum online. Masih tak ada tanda bahwa dia hidup, atau sekadar membaca pesan.
Seseorang dari kursi depan bersin kecil, lalu mengelap hidung dengan tisu. Sisanya tetap diam. Jam dinding menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Guru belum datang. Dan seperti biasa, tidak ada yang peduli.
Atha menyandarkan tubuhnya, menatap ke depan. Tapi tatapannya kosong. Pikirannya seperti tersangkut di tempat lain. Jantungnya berdetak cepat, tapi ekspresi wajahnya datar—cara tubuhnya menyimpan rasa panik yang sudah mulai naik ke ubun-ubun.
Telinganya menangkap suara gerit pelan dari jendela yang ditiup angin. Itu saja. Tak ada suara dari koridor. Tak ada tanda kehidupan di luar ruang ini.
Seolah seluruh sekolah ikut menahan napas.
Ponsel digenggam lebih erat. Ia mengetik satu pesan lagi.
“Lu di mana?”
Tapi bahkan mengetik itu saja seperti menyayat sesuatu di dalam dirinya. Ia tahu tidak akan ada jawaban.
Atha menggertakkan giginya pelan. Ia merasa seperti ditinggal hidup-hidup, satu demi satu. Pertama Niko, sekarang Dero. Dan ia, seorang diri di kelas remedial lanjutan ini—kelas yang bahkan tidak diakui keberadaannya oleh sistem sekolah, kelas paling belakang, paling jauh, paling sepi.
Tempat bagi yang tersisa.
Yang gagal.
Yang tak punya rute alternatif.
Dan bahkan di antara orang-orang yang sama-sama gagal, Atha masih merasa seperti yang paling sendiri.
Detik berikutnya, ia bangkit.
Tak ada keputusan resmi. Tak ada dialog batin panjang. Hanya rasa cemas yang menumpuk, mengendap, lalu meledak sebagai satu tindakan impulsif: ia keluar dari kelas.
Atha tidak pamit pada siapa pun. Bahkan dia tidak menoleh. Langkahnya cepat, matanya mencari jalan keluar, seperti orang yang baru sadar tempatnya terbakar. Guru belum datang, dan tak ada yang bertanya ke mana ia pergi.
Tas tetap di punggungnya. Ponsel masih digenggam erat. Jari-jarinya sudah mulai gemetar.
Atha pergi menyelinap seolah tanpa dosa dari gedung belakang itu dengan langkah besar. Gedung satu, gedung dua. Suara sepatunya menggema karena lorong-lorong belum ramai. Ketika akhirnya sampai di parkiran dan menaiki motornya, ia tidak sempat berpikir lagi.
Ia tahu harus ke mana.
Rumah Dero.
Motor melaju melewati tikungan-tikungan sempit perumahan kota. Atha tak benar-benar mengingat rutenya secara detail, hanya mengikuti ingatan samar dari malam itu—malam ketika ia pertama kali mengantar Dero pulang kerja part time dari minimarket, dengan suasana canggung dan percakapan yang terlalu hati-hati. Bukan malam yang hangat, bukan malam yang ringan, tapi justru malam yang jadi awal sesuatu.
Tapi kali ini, tidak ada percakapan sama sekali. Tidak ada canggung, tidak ada ragu—hanya sunyi yang menghantam dari segala arah. Deru mesin motornya terdengar seperti gema kosong, dan hujan tipis yang akhirnya turun tak juga menyegarkan. Jaket hujan yang Atha lupakan membuat dingin langsung menusuk, tapi itu bukan yang paling mengganggu.
Dada Atha terasa sesak, seperti dililit tangan tak kasat mata. Langit mendung menggantung rendah, awan menggumpal tanpa ampun. Bahkan angin terasa berat, seperti enggan bergerak. Setiap lampu jalan yang ia lewati terasa seperti saksi bisu bagi kecemasan yang tak bisa ia redam.
Setiap detik di atas motor terasa seperti jarum jam yang diputar paksa. Terlalu cepat untuk bernapas, tapi terlalu lambat untuk sampai.
Kenapa Dero belum balas?
Kenapa tiba-tiba centang satu?
Apa dia baik-baik saja? Atau—
Atha menggeleng cepat, menepis pikiran itu, lalu memacu motornya sedikit lebih kencang.
Akhirnya, ia tiba.
Rumah itu masih sama. Sederhana, dengan pagar besi kecil dan tembok bercat krem yang mulai kusam. Tak ada kendaraan di depan, tak ada suara dari dalam. Hujan mulai menebal, menciptakan pola basah di bahu dan punggung Atha.
Ia turun dari motor. Langkahnya pelan mendekat ke pintu gerbang yang tidak dikunci. Didorong pelan, berderit. Lalu ia berdiri di depan pintu rumah, mengangkat tangan dengan sedikit ragu, dan mengetuk dua kali.
Ketukan pertama—hanya suara kosong.
Ketukan kedua—suara langkah dari dalam.
Pintu terbuka. Dan dunia Atha runtuh dalam satu kedipan mata. Dero berdiri di sana. Tapi wajahnya bukan wajah yang Atha kenal.
Matanya sembab, merah. Rambutnya berantakan, seperti habis bergulat dengan malam panjang tanpa tidur. Napasnya cepat, tapi tidak gemetar. Tubuhnya tegap, tapi bukan karena percaya diri—karena amarah yang disimpan terlalu lama.
Dan sebelum Atha bisa berkata satu kata pun, suara itu meledak. “Udahlah, Atha!”
Bentakan itu bukan cuma kata—ia seperti cambuk. Mengerikan bukan karena kerasnya, tapi karena kosongnya. Datar, tajam, dingin. Seperti seseorang yang telah berhenti peduli.
“Gue udah muak! Gue benci lu!”
Atha tertegun, mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar. Jantungnya terasa seperti disiram es. Bukan karena Dero membentak. Tapi karena kalimat itu... terlalu familiar. Terlalu nyata.
Dero lanjut, dengan suara yang pecah tapi tetap menusuk. “Gue udah blokir juga nomor lu! Gue enggak mau tau lagi urusan lu sama si Niko!”
Ia hampir tercekik oleh emosinya sendiri. Tapi tidak menangis. Tidak goyah.
Dan tanpa memberi ruang untuk penjelasan, atau pertanyaan, atau apapun, pintu itu dibanting. Suara ‘BRUK!’ terdengar terlalu keras untuk rumah sekecil itu.
Atha berdiri diam beberapa detik. Terlalu beku untuk bergerak, terlalu panas di dada untuk memikirkan apapun. Ia menatap pintu yang sudah tertutup rapat, seperti berharap akan terbuka lagi.
Tapi tidak.
Pintu kayu itu tertutup. Dan kali ini benar-benar terkunci.
Langit akhirnya pecah juga. Hujan turun lebih deras, membasahi rambutnya, bajunya, pipinya—dan entah yang mana di antaranya yang adalah air mata.
Ia perlahan mundur, satu langkah, dua langkah. Lalu membalikkan badan.
Langkahnya seperti robot saat berjalan menuju motornya. Motor itu masih terparkir di depan rumah Dero, basah kuyup oleh hujan yang kini mulai jatuh lebih deras. Atha berdiri mematung beberapa detik, masih di depan pintu yang baru saja dibanting di hadapan wajahnya. Jemarinya gemetar saat menyentuh helm, seperti tubuhnya enggan melanjutkan, tapi otaknya tak memberi pilihan lain.
Atha memasang helm dengan asal. Tak memeriksa tali pengait. Hanya ingin pergi. Lari. Hancur.
Saat mesin motor dinyalakan, suara raungannya menggema di antara rumah-rumah sepi. Tapi bagi Atha, suara itu bukan apa-apa dibanding dengung amarah dan pilu yang memenuhi dadanya. Ia memutar gas terlalu dalam, seperti ingin menyakiti aspal yang ia lewati.
Tangisnya meledak bahkan sebelum roda berputar jauh. Tidak ada yang bisa ia tahan lagi.
Langit gelap. Jalanan licin. Dunia jadi ruang kosong tanpa pegangan. Dan Atha melaju begitu saja ke tengah kehampaan itu, dengan satu kalimat yang terus menggema dalam kepalanya.
“Gue benci lu.”
Wajahnya basah, bukan hanya oleh hujan yang menyambar tanpa ampun, tapi juga oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Napasnya putus-putus. Helm membuat ruang sempit itu seperti ruang gas, penuh tekanan, penuh pengap. Tapi ia terus melaju.
Jalanan kota jadi kabur, seperti dicoret-coret oleh air. Lampu-lampu kendaraan jadi silau yang menusuk. Tapi Atha tidak menghindar. Tidak memperlambat.
Ia hanya menatap lurus ke depan, walau yang ia lihat cuma kabur dan kosong.
Beberapa kali klakson mobil membelah udara. Satu kendaraan bahkan menyalakan lampu jauh sambil memberi tanda agar ia minggir.
Tapi Atha tidak berhenti.
Ia tidak tahu sedang menuju ke mana. Tidak tahu apakah ia ingin sampai. Jalan di depannya seperti lorong panjang tak berujung, dan gas di bawah telapak tangannya adalah satu-satunya kendali yang masih tersisa dalam hidup yang berantakan.
Hatinya retak, matanya bengkak, tubuhnya basah kuyup, tapi tetap saja ia melaju.
Dan saat dunia seolah mengecil jadi hanya hujan dan laju yang tak bisa dihentikan, pikirannya menelurkan satu kalimat, seperti suara dari dasar jurang.
“Saat lu ditinggal semua orang yang lu percayain, lu mulai nanya—apa salahnya ada di dunia ini?”
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN