Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

Langkah-langkah mereka menggema pelan di lantai marmer putih yang terlalu mengkilap untuk rumah yang seharusnya ditinggali oleh manusia. Rumah itu besar, modern, dan dibangun dengan ketelitian estetik yang sempurna, tetapi terasa kosong. Terlalu sunyi, terlalu bersih. Tak ada suara televisi, tak ada percakapan, bahkan jam dinding pun tidak berdetak.

Atha mengedarkan pandangan pelan. Hidungnya menangkap aroma antiseptik samar yang tak biasa untuk rumah hunian. Ruang tamu dipenuhi furnitur mahal: kursi kulit hitam mengilap, meja kaca dengan vas bunga palsu yang warnanya mencolok, masih sama seperti saat terakhir dia main ke rumah Niko. Hiasan dan pajangan bernuansa musik tetap kental di sana.

Dero duduk di ujung sofa, satu kaki ditekuk, tangannya terkepal di atas lutut. Dia tampak tidak nyaman. Tatapannya tak fokus, mengamati sudut-sudut ruangan seperti mengantisipasi sesuatu yang tak kasatmata.

Wanita paruh baya yang mengantar mereka tadi—ibunda Niko—belum kembali. Tadi, setelah membawa mereka ke ruang tamu, dirinya hanya berkata, “Tunggu di sini sebentar,” dan berjalan pergi dengan langkah tenang namun tegas, meninggalkan aroma parfum mahal yang menggantung di udara.

Atha menoleh ke lorong sempit yang mengarah ke dalam rumah. Ada empat pintu di sepanjang lorong itu, satu di ujung terlihat tertutup rapat. Gagang pintunya berwarna emas, sedikit lebih mewah dari pintu-pintu lainnya. Entah kenapa, remaja itu merasa yakin: di balik sanalah Niko berada. Tapi, itu bukan kamar Niko. Kamarnya ada di lantai dua.

Tak ada suara dari dalam. Hanya keheningan mutlak.

“Aneh banget suasananya,” gumam Dero, pelan tapi tidak mencoba menyembunyikan kekesalannya.

Atha tak menjawab. Dia bersandar, tapi tubuhnya tetap tegang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya—antara cemas, takut, dan berharap.

Beberapa menit berlalu. Detik-detiknya terasa terlalu panjang.

Akhirnya, sang ibu kembali. Posturnya tegak, wajahnya sangat simetris, riasannya tipis tapi presisi. Aura kewibawaan menyelimuti dirinya seperti kabut dingin.

Atha baru benar-benar mengenalinya sekarang. Dulu sempat melihat wanita ini di televisi, dalam tayangan musik era lama. Ia adalah penyanyi legendaris, yang sekarang sudah jarang tampil di publik. Tapi tetap, wajah itu—tegas, tenang, elegan—masih dikenali banyak orang.

“Maaf membuat kalian menunggu,” ucapnya singkat, duduk di kursi berhadapan dengan mereka. “Saya tidak mengizinkan orang luar masuk begitu saja. Termasuk teman sekolahnya.”

“Enggak apa-apa, Bu,” jawab Atha, sopan. Suaranya sedikit bergetar.

Wanita itu menatap mereka lama. Ada kesan evaluatif dalam sorot matanya. Datar, nyaris mengintimidasi. “Niko sedang tidak dalam kondisi baik. Dia tidak bisa bicara dengan siapa pun. Bahkan dengan ayahnya sekalipun.”

“Tapi kami enggak lama, Bu. Saya cuma... pengin tahu dia baik-baik aja.” Atha mencoba terdengar tenang.

Ibunya menautkan jemari di pangkuan. “Anak saya... memiliki kondisi khusus. Kami sedang menangani itu. Di rumah. Dengan pengawasan dan terapi mandiri. Dia sudah tidak ke sekolah atas saran dokter keluarga.”

Dero akhirnya angkat suara. “Kalau boleh tahu, Bu... kondisinya apa?”

Wanita itu menatapnya. Ada jeda. Seolah memilih kata-kata.

“Gangguan psikotik ringan,” jawabnya singkat. “Episode awal. Muncul sejak beberapa bulan lalu. Kami sudah tahu. Kami hanya... mencoba melindunginya.”

Sunyi sejenak. Tak ada yang berani menanggapi.

Lalu, terdengar bunyi. Kecil. Seperti kursi yang tergeser—jauh dari dalam rumah. Atha langsung menoleh ke lorong.

Dero juga mendengarnya.

Sang ibu bergeming, tapi matanya melirik ke arah lorong itu, cepat sekali. Sekilas. “Jangan ke sana,” katanya, tenang tapi tegas. “Dia sedang istirahat. Kami menjaga agar pikirannya tetap tenang.”

Atha ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahnya kaku. Ada sesuatu di dalam dirinya yang remuk pelan-pelan. Bukan hanya karena fakta bahwa Niko sakit, tapi karena cara semua ini terasa... dingin. Terlalu rapi. Terlalu terkunci.

“Dia sering bicara sendiri, kehilangan fokus. Kadang mendengar suara-suara. Kami pikir itu fase, tapi... lama-kelamaan makin berat,” ujar sang ibu, seolah menjawab pertanyaan yang belum diajukan. “Kami konsultasi, tentu saja. Tapi kami tidak ingin ini tersebar. Anda tahu siapa kami.”

Dero menggertakkan gigi, menatap lantai. “Jadi kalian ngurung dia?”

“Kami merawatnya,” tegas sang ibu, sedikit menajamkan intonasi.

Atha menunduk. Ia tak tahu harus percaya atau khawatir.

Wanita itu berdiri. “Saya sudah bicara terlalu banyak. Terima kasih sudah datang. Tapi untuk sekarang... lebih baik kalian tidak kembali dulu.”

Mereka pun berpamitan. Saat langkah kaki mereka menyusuri lorong menuju pintu keluar, Atha menoleh sekali lagi. Pintu kamar itu masih tertutup. Tak ada tanda-tanda kehidupan, tapi juga tak terasa seperti kosong.

Di depan rumah, sebelum mereka naik ke motor, ibunda Niko menyusul mereka ke ambang pintu.

Ia hanya berkata satu kalimat, lirih tapi jelas. “Kalau nanti Niko lupa siapa kalian... tolong jangan salahkan dia.”

Setelah keluar dari rumah Niko, Atha tidak langsung bicara. Motor yang dikendarai Dero melaju di jalanan kota yang pelan-pelan mulai padat oleh kendaraan pulang kerja. Langit sore telah berubah menjadi jingga, menyisakan semburat keemasan yang tersangkut di kaca-kaca gedung.

Tapi bagi Atha, tidak ada yang benar-benar terlihat. Pandangannya kosong, terarah ke punggung Dero yang kokoh di hadapannya. Seluruh perasaan seperti tercekat di tenggorokan, tak bisa dikeluarkan, tapi terlalu besar untuk ditelan. Angin sore menerpa wajahnya, membawa hawa lembab yang seharusnya menyegarkan—namun justru membuat dadanya semakin sesak.

Di jok belakang, tubuhnya limbung, seakan hanya menempel karena terpaksa. Kedua tangannya menggenggam erat besi di bawah jok motor, bukan demi keamanan, tapi sebagai upaya untuk menjaga kesadarannya agar tidak jatuh. Kelopak matanya terasa berat, bukan karena kantuk biasa, tetapi akibat kelelahan akut yang telah menumpuk selama beberapa hari terakhir.

Remaja itu tidak tidur semalaman, pikirannya terus berputar dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang Niko. Sekarang, rasa kantuk itu datang menghantam seperti badai, namun ketegangan emosional membuatnya tetap terjaga—tegap, meski retak di dalam.

Motor akhirnya menepi di sebuah jalan sempit dekat danau kecil. Dero tidak memberi isyarat atau berkata apa pun. Ia hanya mematikan mesin, membiarkan keheningan mengambil alih. Atha turun perlahan, lututnya sedikit goyah saat kakinya menyentuh tanah.

Ia berjalan beberapa langkah, lalu duduk di pelataran semen yang menghadap ke danau. Permukaan air memantulkan cahaya sore yang mulai meredup, menciptakan ilusi tenang yang bertolak belakang dengan gelombang kecil yang bergetar pelan di bawahnya—seperti pikirannya sendiri, yang di luar tampak diam, tapi di dalam terus bergetar tak menentu.

Angin sore datang dalam hembusan malas. Daun-daun bergoyang pelan di atas kepala, mengeluarkan bunyi gemerisik yang terdengar lirih namun menusuk. Atha menunduk, menatap sepatu kanvasnya yang berdebu.

Ia menarik napas dalam, seakan berharap udara itu bisa sedikit menjernihkan benaknya. Tapi justru semakin dalam ia bernapas, semakin terasa sempit dadanya. Di sampingnya, Dero masih diam di atas motor. Diamnya bukan sekadar cuek; ada ketegangan yang terasa dari caranya menggenggam stang motor—erat, seolah sedang menahan sesuatu.

Atha akhirnya membuka suara, pelan namun pecah di ujung, “Dero... tadi di rumah Niko... lo ngerasa sesuatu enggak?” Suaranya nyaris tenggelam oleh lalu lintas di kejauhan, tapi cukup untuk didengar Dero.

“Kayak apa?” tanyanya datar.

“Kayak... rumah itu terlalu sepi. Terlalu bersih. Kayak... kayak semua udah disetel rapi biar gak kelihatan ada yang salah.” Ia berhenti sejenak. “Tapi malah jadi makin gak wajar, Der. Gue gak tahu... lu ngerasain gak?” Kalimatnya tidak teratur, tapi jujur.

Dero tidak menoleh. Ia hanya turun dari motor dan duduk, menekuk satu lutut ke atas pelataran semen. Tangan kirinya bertumpu di atas lutut, matanya menatap jalan kosong di hadapan. “Mungkin emang gak ada yang salah,” ucapnya datar, tapi tidak meyakinkan.

Atha menoleh, matanya menelisik wajah Dero yang tetap kaku. “Lo yakin?” tanyanya lirih, hampir seperti tuduhan.

Alih-alih menjawab, Dero menghela napas panjang, lalu bergumam, “Gue gak bilang yakin.”

Atha menunduk, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ada jeda, lalu suara pelan itu kembali terdengar, “Kalau... kalau ternyata ada yang disembunyiin. Kalau Niko... lagi kenapa-kenapa, dan kita gak tahu...” Kalimatnya terputus. Ia tidak sanggup melanjutkan. Ada rasa takut di balik kata-katanya.

Suara Dero memotong tiba-tiba, “Bukan urusan kita.” Pendek, dingin, dan tajam.

Atha tidak menanggapi. Ia hanya duduk diam, matanya menatap ke tanah, bahunya turun perlahan. “Gue cuma gak pengen... terlambat tahu,” bisiknya kemudian, nyaris tak terdengar.

Dero tampak tegang. Rahangnya mengeras, jari-jarinya mengepal perlahan di atas lutut. Ia bergumam pelan, “Kalau lo nyari jawaban buat ngeredain rasa bersalah, lo gak akan nemu.” Ucapannya terdengar kejam, tapi juga benar. Ia tahu apa yang Atha rasakan, tapi tak mau ikut tenggelam di dalamnya.

“Kita bukan siapa-siapanya,” lanjut Dero. “Temen? Mungkin. Tapi bahkan itu kayaknya... udah lewat,” lanjutnya kemudian.

Hening kembali merayap di antara mereka. Danau di depan tetap bergeming, cahaya sore makin meredup. Tapi Dero tidak beranjak. Ia hanya duduk di situ, diam. Tidak menenangkan, tidak menghibur, tapi juga tidak pergi.

Sepulang dari danau, Atha merasa lengannya pegal karena terlalu lama menahan sesuatu yang tak pernah benar-benar dilepaskan. Tas sekolah pun terasa dua kali lebih berat dari biasanya.

Rumah Atha terasa hening. Tidak ada aroma tumisan atau suara televisi yang biasanya menemani waktu-waktu pulang. Sepatu Atha menyentuh lantai keramik dengan suara yang terlalu jelas. Ia menaruh helm di atas rak sepatu, lalu menyandarkannya di belakang kursi ruang tamu. Tidak ada suara dari dapur, tidak ada langkah kaki. Hanya ada bayangan lampu yang menyala dari ruang tengah.

Saat ia menoleh, ayahnya tengah duduk di sofa, mengenakan kaus lengan panjang dan celana rumah. Di pangkuannya terbuka sebuah buku tua, tapi tatapannya kosong—mengarah ke jendela yang tirainya hanya tersingkap separuh. Atha sempat berpikir untuk langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti.

“Ayah,” ucapnya pelan.

Lelaki itu menoleh, tidak terkejut, tidak juga tergesa. “Baru pulang?”

“Iya.”

Satu jeda menggantung seperti pakaian basah yang belum sempat diperas. Atha tidak duduk, hanya berdiri di sisi ruangan, menggenggam ponselnya yang sudah lelah bergetar hari ini.

“Ibu ke mana?” tanyanya, mencoba memberi celah bagi percakapan yang jarang terjadi.

“Ke rumah Tante Sari. Ada urusan katanya, nginep dulu.” Ayah menutup bukunya, menaruhnya ke meja, lalu menatap Atha lebih saksama. “Kenapa?”

Atha diam sejenak. Ada sesuatu yang menggumpal di dalam dada, bukan beban, tapi semacam rasa yang belum tahu bagaimana caranya keluar.

“Oh, iya, Yah. Kalau, misalnya... kita punya teman yang—mungkin punya masalah kejiwaan,” katanya perlahan, “harusnya kita gimana, ya?”

Sang ayah tidak langsung menjawab. Wajahnya tidak berubah, tapi tatapannya menjadi lebih dalam, seperti baru saja dilemparkan ke dalam ruangan yang penuh kenangan. Ia bersandar sedikit ke belakang, lalu menghela napas, bukan berat, hanya panjang.

“Itu pertanyaan yang besar,” ujarnya, tenang. “Tapi paling dasar... dengarkan dia. Jangan buru-buru menilai. Jangan buru-buru menyelamatkan juga.”

Atha mengernyit sedikit, tidak sepenuhnya paham.

“Maksud Ayah?”

“Kadang kita merasa harus menolong, padahal orang itu belum tentu siap. Atau kita belum tahu harus mulai dari mana.” Ayah menyilangkan tangan, lalu melanjutkan, “Yang penting, hadir dulu. Tunjukkan bahwa dia nggak sendirian. Sisanya pelan-pelan.”

Atha hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa. Rasanya perbincangan ini seperti mendengarkan instrumen yang tenang tapi menampar.

“Kenapa?” tanya sang ayah kemudian, suaranya lebih rendah.

“Teman sekolah,” jawab Atha singkat. Ia tidak ingin bohong, tapi juga belum siap membuka semuanya. “Kayaknya dia lagi enggak baik-baik aja.”

Ayah mengangguk pelan, seakan memahami. Lalu, tanpa mendesak, ia berkata, “Kalau suatu hari kamu juga enggak baik-baik aja, Ayah di sini, ya.”

Atha menunduk. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dirinya, tapi juga membuatnya ingin segera bersembunyi. Ia mengucap terima kasih tanpa suara, lalu berpamitan masuk ke kamar.

Kamar itu tidak gelap, tapi juga tidak terang. Lampu meja menyala samar. Atha melempar tubuhnya ke kasur tanpa semangat, menatap langit-langit kamar seperti sedang mencari sesuatu yang tidak pernah ada di sana. Ponsel masih digenggam, dan setelah ragu beberapa detik, ia membuka mesin pencari.

Gangguan psikotik ringan.

Beberapa artikel bermunculan. Ada yang berisi penjelasan medis, ada pula testimoni pengalaman pribadi. Atha mulai membaca satu per satu, pelan-pelan, meski matanya mulai terasa berat. Beberapa istilah asing muncul: delusi ringan, gangguan persepsi, disorganisasi pikir.

Semakin remaja itu membaca, semakin dadanya terasa sesak. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang terasa akrab. Ia menelan ludah. Ada beberapa ciri yang dirasa mirip dengan apa yang pernah ia lihat di diri Niko. Dan lebih menakutkan lagi, beberapa juga terasa tidak asing bagi dirinya sendiri.

Layar ponsel menyorot wajahnya yang diam. Tidak ada yang bergerak, tidak ada suara dari luar. Hanya ketukan jari yang lemah dan mata yang menahan kantuk dengan sia-sia.

Saat akhirnya ia memejamkan mata, pikiran Atha tidak benar-benar berhenti. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, seperti roda kecil yang tak mau berhenti berputar bahkan setelah perjalanan berakhir.

Dan di antara semua ketakutan itu, muncul satu kalimat yang tak mau pergi.

Gimana kalau gue gak cukup kuat buat memahami semuanya?

 Tidak lama, satu notifikasi muncul secara mendadak. Itu adalah pesan singkat dari Dero, ya, Dero yang nomornya baru saja Atha simpan tadi ketika di danau.

“Jangan mikirin yang enggak-enggak, tidur.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
Took A Step Back
1512      866     2     
Short Story
Turning sadness to happiness with a step.
Kembali ke diri kakak yang dulu
1039      725     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
10 Reasons Why
2531      1102     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
Ich Liebe Dich
11846      1823     4     
Romance
Kevin adalah pengembara yang tersesat di gurun. Sedangkan Sofi adalah bidadari yang menghamburkan percikan air padanya. Tak ada yang membuat Kevin merasa lebih hidup daripada pertemuannya dengan Sofi. Getaran yang dia rasakan ketika menatap iris mata Sofi berbeda dengan getaran yang dulu dia rasakan dengan cinta pertamanya. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Kegersangan melanda Kevin lag...
Anderpati Tresna
2664      1041     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Let me be cruel
5543      2797     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Kembang Sukmo
1883      725     4     
Horror
P.S: Buku 1 dari serial horror Kembang Sukmo. Edisi hardcover bisa Pre-Order di One Peach Bookstore via Shopee dan Tokopedia. Atau dm Instagram penulis @keefe_rd (++dapet gift pouch batik dan surat penulis). Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Teka-teki kelam dari masa lalu mulai menghantui Samara Nad...
Aku Istri Rahasia Suamiku
13215      2540     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Mawar Putih
1438      763     4     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...