Tidak ada suara langkah kembali. Tidak juga suara pintu yang terbuka lagi.
Atha masih duduk di lantai kamar itu, bersandar pada sisi kasur yang dingin. Udara dari AC menyebar pelan, tapi yang membuatnya menggigil bukan angin mesin—melainkan hening yang membeku. Entah berapa menit sudah berlalu sejak Niko pergi keluar, tanpa satu kata pun.
Di hadapannya, layar laptop kini hitam. Mati sendiri, seperti menyesuaikan diri dengan suasana. Atha menatapnya, terpaku. Satu folder musik sempat terbuka, menampilkan judul lagu yang tak bisa hilang dari kepala: Maaf, Aku Gagal Menyelamatkan Dia.
Judul itu menggantung, seperti pintu setengah terbuka yang tak kunjung dijelaskan. Terlalu jujur untuk dianggap fiksi, terlalu spesifik untuk dilupakan.
Tangannya sempat bergerak, ragu menyentuh touchpad, tapi dia urungkan. Bukan haknya. Bahkan dia sendiri bingung kenapa dirinya masih duduk di sini—di kamar yang bukan miliknya, di rumah yang tak dia kenal, dikelilingi tanda-tanda kehidupan seseorang yang jauh lebih rumit dari yang tampak.
Kakinya perlahan bangkit. Atha membuka pintu kamar, mengintip lorong rumah yang panjang dan sepi. Tak ada suara. Hanya dinding berwarna putih bersih dan beberapa foto tergantung. Salah satunya menunjukkan Niko kecil memeluk gitar dengan senyum lebar. Di sampingnya, dua orang dewasa tersenyum ke arah kamera. Senyum yang terasa jauh dari kenyataan sekarang.
Atha melangkah pelan kembali ke kamar, kali ini duduk di tepi ranjang. Remaja itu merasa seperti tersesat di tempat yang terlalu rapi. Rapi dalam cara yang tidak nyaman—seolah segala sesuatu disusun sedemikian rupa untuk menyembunyikan sesuatu di baliknya. Tidak ada jejak debu, tidak ada barang berantakan. Hanya kesempurnaan yang terasa kosong.
Dia menarik napas panjang, lalu berdiri lagi dan membuka tirai jendela. Cahaya jingga kemerahan menyusup masuk, menyayat lantai kamar dengan bayang-bayang panjang dari jeruji jendela. Matahari sudah hampir tenggelam di balik deretan atap rumah, menyisakan cahaya sisa yang lembut tapi suram. Langit bergradasi, antara biru tua dan oranye padam, seperti lukisan yang ditarik mundur perlahan.
Di luar, lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, membentuk jalur cahaya redup di sepanjang jalan. Dunia terus berjalan, seperti biasa. Tapi di dalam kamar ini, waktu seolah tertahan.
Baru ketika dia mulai berpikir untuk pamit, suara pintu depan terdengar dibuka lalu ditutup agak keras. Langkah kaki cepat menapaki tangga. Dan, pintu kamar terbuka tak lama setelah itu.
Niko masuk dengan jaket setengah terlepas dari bahu. Wajahnya tampak sedikit pucat, tapi matanya tetap menyiratkan semangat yang dibuat-buat. Lelaki itu melempar senyum kecil yang tidak sampai ke matanya.
“Sorry, tadi ada yang harus urus dikit. Lama, ya?”
Atha tidak langsung menjawab. Matanya memperhatikan raut Niko, menimbang-nimbang ekspresi yang sulit dibaca.
“Emm, tadi gue sempat buka jendela,” ucap Atha pelan, sekadar memberi tahu, bukan menyalahkan. “Kayaknya udara di sini pengap banget.”
Niko tertawa kecil, seperti lega ada hal ringan yang bisa dikomentari. Dia mengambil sebotol minuman soda dari kulkas kecil di pojok ruangan, lalu duduk di kursi putar, memutar tubuhnya setengah menghadap jendela.
“Lu betah, enggak, di kamar kayak gini?” Pertanyaannya ringan, tapi seperti jebakan.
Atha mengangkat bahu. “Kayak museum musik. Tapi nyaman.”
Niko mengangguk pelan. “Gue udah biasa sendiri di sini.”
Lalu hening lagi. Ada sesuatu di balik kalimat itu. Tapi Atha tidak mengejarnya. Bukan saatnya. Belum. Dan mungkin—untuk saat ini—diam adalah bahasa terbaik yang bisa mereka bagi.
Hening yang cukup lama, sampai akhirnya Atha merogoh kantong celana seragam abu-abunya, kemudian mengeluarkan ponsel. Benda tersebut baru Atha sentuh lagi sejak beberapa jam terakhir. Dengungan lembut dari unit AC di dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar, menggantikan obrolan dan tawa yang tadi sempat mengisi ruang. Niko duduk bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang tidak lagi menampilkan apa-apa. Sorot matanya masih sulit dibaca, seperti menyimpan sesuatu yang enggan dibagi.
Saat Atha berpikir apakah Niko sedang melamun? Dia secepat kilat teralihkan pandangannya, mata remaja itu langsung membelalak. Dua puluh tujuh panggilan tak terjawab. Dua belas dari Ibu, sisanya dari Ayah. Beberapa pesan pun masuk, bernada panik dan penuh tanya. “Nak, kamu di mana?” “Kenapa enggak dijawab?” “Pulang sekarang juga, Nak.”
Baru saat itu Atha tersadar—ponselnya sejak pagi memang dalam mode diam. Tak ada suara, tak ada getar. Semua pesan itu tidak pernah sampai padanya tepat waktu.
Dia menarik napas dalam-dalam, merasa ada beban asing yang baru saja ditimpakan ke pundaknya.
“Eh, Nik. Gue pulang dulu, ya,” katanya pelan, nyaris tanpa nada.
Niko menoleh dari kursi putarnya. Tatapan matanya datar, tidak penuh emosi seperti biasanya. Tapi bukan berarti kosong. Di balik sikap cuek yang dia bangun saat ini, Atha tahu, ada sesuatu yang tetap disimpan.
“Oh. Iya,” balas Niko sambil mengangguk kecil. “Enggak apa-apa.”
Atha berdiri perlahan, menyimpan ponsel kembali ke saku celananya. Tangannya langsung menyambar tas yang semua tersandar di sisi ranjang. “Kayaknya nyokap bokap gue udah panik,” tambahnya, mencoba menjelaskan. “Gue lupa HP gue mode diam.”
Niko tidak merespons panjang. Dia hanya menatap lantai sejenak, lalu berdiri juga dan berjalan setengah langkah ke arah pintu.
Atha sudah sampai di ambang pintu kamar saat suara Niko menghentikannya.
“Tha.”
Dia menoleh. Niko berdiri beberapa meter di belakangnya, tangan masuk ke saku celana, masih dengan ekspresi tenangnya yang sulit ditebak.
“Datang sini lagi nanti, ya. Main.”
Sekilas saja, Atha ingin bertanya balik—kenapa? Tapi dia hanya mengangguk tipis, dan membalas dengan senyum tipis pula. Tak ada kata lain yang Atha tambahkan. Tangannya mendorong pintu dengan pelan, lalu melangkah keluar.
Lorong rumah itu senyap. Langit di luar jendela sudah gelap sempurna, dan hanya lampu gantung di ruang tengah yang menerangi jalan keluar. Tak ada suara dari lantai bawah. Tidak juga dari arah dapur atau ruang tamu. Rumah itu sunyi, besar, dan kosong—seolah-olah seperti tempat yang ditinggali satu orang saja.
Atha menuruni tangga perlahan. Langkahnya tak bersuara di anak tangga kayu yang licin. Aroma rumah Niko tercium samar—perpaduan parfum kayu manis, debu perabot tua, dan wangi sintetis dari alat pengharum ruangan otomatis yang terpasang di sudut dinding.
Begitu tiba di garasi yang luas itu, Atha langsung menuju motornya yang terparkir di samping motor matic putih milik Niko. Helmnya masih terselip di depan jok motor, seperti yang dia tinggalkan tadi. Lelaki itu mengambilnya, menepuk sedikit debu dari permukaan, lalu mengenakannya.
Angin malam mulai turun, tipis dan menusuk. Lampu-lampu rumah sekitar tidak terlalu terang, dan jalanan kompleks ini memang cenderung sepi setelah magrib.
Saat menyalakan mesin motornya, Atha sempat menoleh ke lantai dua. Jendela kamar Niko tertutup rapat, tak ada gerakan apa pun dari sana.
Dia menatap ke depan lagi, menarik napas perlahan, lalu menarik gas dan meninggalkan rumah itu—membawa kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran, dan dada yang masih terasa sempit entah karena apa.
Remaja itu melajukan motor dengan kecepatan sedang. Meski pikirannya sedang kalut, dia tetap memikirkan keselamatan nyawanya di jalan. Atha sesekali melihat ke sekitar dengan sekilas, warung-warung terlihat ramai di jam-jam tanggung seperti ini, ada karyawan pabrik yang baru bubaran lembur sehingga perjalanan cukup terhambat karena macet.
Sampai akhirnya, hampir satu jam berlalu, Atha sampai juga di rumah. Motor Atha berhenti perlahan di depan rumahnya, tepat saat langit mulai berubah warna—gelap kebiruan di atas, namun masih ada sisa jingga yang menggantung rendah di ujung cakrawala.
Lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala, dan suara azan Isya sayup terdengar dari kejauhan, mengiringi langkah Atha menuntun motornya masuk ke pekarangan. Ia parkir di sisi kanan, dekat besi merahnya yang karatan.
Langkah remaja itu terasa ringan tapi juga penuh beban. Setelah melepas helm dan menentengnya begitu saja, Atha berjalan ke arah pintu depan. Dia sempat berdiri sejenak, menatap gagang pintu yang dingin karena angin malam, sebelum akhirnya mengetuk dua kali.
Pintu dibuka dari dalam. Wajah ibunya muncul lebih dulu, cemas dan lelah.
“Kamu dari mana saja, Nak?” suara ibunya pelan, tapi mengandung nada khawatir yang tertahan-tahan.
“Maaf, Bu. Tadi… tadi habis dari rumah temen, rumahnya Niko,” jawab Atha tanpa menatap langsung, nada suaranya pelan. “Ponsel Atha enggak ada suaranya, jadi enggak tahu kalau ada panggilan masuk.”
Dari dalam, suara langkah kaki ayahnya menyusul. “Tadi Ayah sama Ibu sudah hampir mau ke sekolah nyusul kamu,” ucapnya sambil berdiri di ambang ruang tamu. Tidak ada kemarahan di suaranya, hanya kekhawatiran yang terdengar lebih menyesakkan daripada marah.
Atha menunduk. “Maaf, Yah. Beneran enggak ada niat bikin panik.”
Ibunya menepuk bahu Atha pelan. “Udah, masuk dulu. Mau makan?”
Atha menggeleng, sambil melepas sepatunya. “Enggak usah dulu, Bu. Atha masuk kamar aja, capek.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Atha melangkah masuk ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, suasana berubah total. Tidak ada lagi suara kecemasan orang tua, tidak ada lampu terang atau aroma masakan dari dapur. Hanya cahaya temaram dari lampu belajar di pojok ruangan, dan tumpukan buku di atas meja yang belum tersentuh sejak pertama masuk sekolah.
Dia meletakkan helm dan ranselnya di lantai, melempar tubuh ke kasur, dan menghembuskan napas panjang.
Kamar ini terasa sempit. Dindingnya polos, hanya ada kalender bekas dan secarik kertas jadwal ujian tempel di dekat pintu. Tidak ada rak musik. Tidak ada poster apa pun. Tidak seperti kamar Niko yang penuh kehidupan dan suara. Kamar ini sunyi, dan entah kenapa, Atha merasa kamar ini mencerminkan isi kepalanya sendiri—kosong, gelap, tanpa warna.
Dia meraih ponselnya, membuka layar. Masih di menu puluhan panggilan tidak terjawab. Namun, sedetik kemudian matanya justru terpaku pada satu notifikasi dari aplikasi pesan singkat. Kiriman dari Niko, baru saja masuk saat dia masih dalam perjalanan pulang.
Audio: ‘Garis Akhir – Versi Demo 3’
Tanpa berpikir panjang, Atha menyambungkan ponselnya ke speaker kecil di meja. Suara Niko langsung mengalun, pelan, sendu, tapi juga terasa nyata. Musiknya tidak sempurna, masih kasar di sana-sini, namun ada kejujuran di dalamnya. Lagu itu tidak hanya menyentuh telinga, tapi juga mengguncang sesuatu di dada Atha.
Dia duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Tangannya menggenggam ponsel erat, sementara suara Niko terus berputar di udara.
“Aneh banget sih, gue bisa tenang cuma karena denger suara orang lain,” gumamnya.
Beberapa saat kemudian, dia membuka aplikasi catatan di ponsel. Jemarinya mengetik pelan, tidak memikirkan siapa yang akan membaca tulisan itu kelak.
Hari ini gue gagal lagi. Tapi rasanya… nggak segelap kemarin.
Dia diam sejenak, lalu menambahkan satu baris:
Kayaknya gue nggak sendirian.
Lalu, tanpa sadar, Atha tersenyum. Tipis. Singkat. Tapi tulus.
Atha masih menyandarkan punggung ke kepala ranjang, duduk setengah rebah, sementara suara musik masih mengalun pelan dari speaker kecil di atas meja belajar. Lagu ciptaan Niko yang dikirimkan lewat ponsel tadi sore terus terulang dari awal, tak henti-henti. Sudah entah berapa kali diputarnya, tapi tetap saja ada bagian dari lagu itu yang seperti belum habis dikunyah oleh pikirannya.
Dia melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Kipas angin kecil di dinding mengeluarkan suara lirih, berputar lambat seperti malas-malasan mengusir udara malam yang gerah. Atha mendengus pelan, lalu bangkit dari tempat tidur, menghampiri meja dan mematikan speaker. Dia memutar lagu itu kembali, kali ini langsung dari speaker ponsel yang nyaris tak sekeras speaker kecil tadi.
Lebih dekat, lebih pelan, dan lebih... pribadi.
Atha kembali ke tempat tidur, menatap langit-langit sambil membiarkan ponsel bersandar di dadanya. Suara Niko mengalun lembut, seperti bisikan. Bukan lagu yang rumit, tapi justru di kesederhanaannya, ada sesuatu yang terasa jujur. Suara Niko pun terdengar beda saat menyanyi—lebih tenang, tapi juga mengandung sesuatu yang berat, seperti ada beban yang belum selesai di dada.
“...gue gagal selamatin dia...”
Atha menggenggam ujung selimutnya, matanya menatap kosong ke langit-langit. Dia tidak tahu siapa yang dimaksud dalam lagu itu, dan dia tidak berani menebak. Tapi lagu itu terasa familiar, bukan karena melodi atau suaranya, melainkan karena emosi yang disampaikan di dalamnya.
Emosi kehilangan. Emosi penyesalan.
Dan anehnya, Atha merasa seperti mendengar isi kepalanya sendiri dinyanyikan oleh orang lain. Setelah bait terakhir selesai untuk yang kesekian kalinya, dia bergegas membuka layar ponsel, membuka chat pribadi dengan Niko. Beberapa kali ragu, sebelum akhirnya mengetik:
“Lagu lu bagus, Nik. Tapi kayaknya lu belum berdamai juga ya sama yang udah pergi.”
Jempolnya menekan tombol kirim. Pesan itu langsung terkirim, tapi belum dibaca. Hanya dua centang abu-abu.
Atha menatap layar beberapa saat. Tidak berharap balasan cepat. Tidak juga berharap jawaban. Tapi entah kenapa, dadanya sedikit terasa lega. Mungkin karena akhirnya, ada yang bisa dimengerti, meski tanpa perlu bertanya secara langsung.
Ponselnya kemudian letakkan di sisi bantal. Atha menarik napas panjang, menatap ke langit-langit lagi. Kipas angin masih berputar malas, dan suara dari luar kamar nyaris tak terdengar. Malam mulai sunyi. Tapi tidak sepi.
Atha memejamkan mata. Malam ini, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia bisa merasa sedikit... lebih ringan. Dan sebelum matanya benar-benar terlelap, suara Niko dari ponsel—rekaman yang sama—masih sempat terdengar samar:
“Dan, maaf, aku gagal menyelamatkan dia...”
Atha menggumam pelan, seolah menjawab suara itu, “Lu enggak sendirian, Nik.”
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN