Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

Langkah kaki Niko belum benar-benar menghilang dari koridor ketika suara berderit pelan terdengar dari arah belakang kelas. Atha masih duduk di kursinya, membeku dalam posisi yang sama sejak tadi—punggung merosot sedikit, tangan menumpu di paha, dan pandangan kosong menatap papan tulis kotor yang bahkan belum sempat digunakan hari itu.

“Keren juga, ya.” Suara berat dan dalam itu menyusup masuk, memecah kesunyian yang menggantung di udara seperti tirai tebal.

Atha menoleh pelan. Sosok itu berdiri hanya beberapa meter darinya. Dero.

Duduknya sudah tidak di barisan belakang lagi. Entah sejak kapan dia pindah mendekat, tapi kini dia berada santai di hadapan Atha, dengan tangan yang menyilang di dada, dagunya sedikit terangkat seperti sedang menilai sesuatu yang tidak disukainya.

“Keren kenapa?” Atha bertanya, suaranya pelan dan datar. Bukan takut, hanya lelah.

Dero tertawa pendek, sumbang. “Gue Dero. Lu tahu gak, sejak gue di sini, nama lu tuh udah kayak ... apa ya, hantu.” Dia mencondongkan tubuhnya. “Athariel Pradana si anak OSIS jagoan, ranking dua paralel, anak emas guru-guru. Tiap gue ke kantin, ke parkiran, pasti ada anak yang ngomongin kehebatan lu. Ngalah-ngalahin presiden gue pikir-pikir.”

Atha mengatupkan bibir. Seketika udara jadi lebih berat.

“Dan sekarang,” lanjut Dero dengan nada mengejek, “tuh bocah emas akhirnya jatuh juga. Anjlok. Welcome to the real world, bro.”

Atha mengalihkan pandangannya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Lu senang?”

“Gue? Bahagia banget,” jawab Dero tanpa basa-basi. “Tapi juga muak. Karena bahkan sekarang pun, begitu lu masuk kelas ini, orang-orang langsung ngebahas lagi. ‘Eh, itu beneran Athariel Pradana?’ Nye nye nye nye. Kayak lu tuh seleb gitu. Gak ada matinya.”

Atha menatap Dero untuk pertama kali dengan tatapan langsung. “Gue gak minta dikenal.”

“Lu gak perlu,” balas Dero cepat. “Lu tinggal muncul aja. Nama lu yang kerja. Sementara gue? Gue di sini dua tahun dan gak satu pun guru inget nama gue.”

“Apa itu salah gue?”

Pertanyaan Atha terdengar tulus, bahkan lembut. Tapi itulah yang membuat remaja dengan rambut cepak itu mendengus. “Nggak, itu bukan salah lu. Tapi kadang... gue pengin banget itu salah lu.”

Dero sesekali menggeleng. Ada amarah yang ditahan-tahan dalam geraknya, dan Atha bisa merasakannya.

“Lu pikir cuma lu yang nyesek gak bisa lulus?” Dero lanjut. “Bedanya, lu jatuh dari puncak. Gue? Gak pernah naik dari dasar. Tapi tetap aja, gue harus denger nama lu terus kayak semacam ... benchmark yang mustahil.”

Diam panjang menyusul. Kipas angin tua di langit-langit berdengung pelan, seperti menyaksikan pertarungan sunyi yang meletup tanpa bentakan. Hanya dengan tatap dan kata yang ditimbang cermat.

Atha membuka suara akhirnya. “Gue di sini karena gue gagal. Sama kayak lu. Jadi kalau mau benci, ya benci sama sistem yang bikin kita berdua ada di sini.”

Mata Dero menyipit. “Sistem? Lu pikir ini soal sistem?” Dia nyaris tertawa. “Ini soal kenyataan, Pradana. Di dunia ini, lu bisa pinter, bisa rajin, bisa nurut. Tapi begitu lu goyah, semua itu gak ada artinya.”

Dia mundur selangkah, lalu melontarkan satu kalimat lagi sebelum kembali ke tempat duduknya. “Selamat datang di Kelas 13. Di sini, yang jatuh gak selalu diangkat. Kadang malah diinjak sampai hancur.”

Dero berjalan kembali ke kursinya di belakang, meninggalkan Atha dengan kepala yang menunduk dan napas yang lebih berat dari sebelumnya. Tidak ada bentakan, tidak ada kontak fisik. Tapi luka yang ditinggalkan justru lebih dalam dari sekadar adu pukul.

Dan untuk pertama kalinya, Atha benar-benar mempertanyakan. Kalau semua orang di sini sudah patah, apa gue harus ikut patah juga?

Tenggelamnya remaja itu dalam kalut pikiran, seolah waktu berjalan sangat cepat hinggal bel masuk pun berbunyi nyaring. Suaranya memantul di dinding kelas yang retak dan langit-langit bernoda dengan sedikit sarang laba-laba di pojokan atap. Pikiran Atha sudah tidak bisa diajak kompromi, dia mulai merasa muak di kelas ini.

Suasana di dalam kelas tak banyak berubah sejak pagi. Beberapa siswa sudah kembali dari kantin, ada yang duduk santai sambil memainkan korek api, ada pula yang bercanda tanpa peduli besar kecilnya volume suara.

Atha melirik sedikit ke arah Dero yang duduk di jajaran dia paling belakang—kursi nomor lima. Seperti biasa, kepala remaja itu menunduk di atas meja, entah benar-benar tidur atau hanya pura-pura menghindari dunia.

Tak sampai sepuluh menit setelah bel berbunyi, pintu kelas terbuka. Bukan Niko, melainkan seorang wanita bertubuh ramping dengan kaca mata tipis dan tas tangan kecil melangkah masuk tanpa menatap ke arah siswa-siswanya. Langkahnya cepat, suara heels-nya beradu dengan lantai berdebu, lalu berhenti di depan papan tulis. Tanpa sapa. Tanpa salam. Tanpa pandang mata.

“Buku LKS Matematika, buka halaman lima puluh sembilan. Kita langsung ke materi remidial fungsi kuadrat,” ucapnya datar.

Atha menahan napas. Sosok itu tidak salah lagi, Bu Indri. Guru Matematika yang dulu sangat dihormatinya. Sosok yang bahkan pernah mengundangnya ikut olimpiade, yang memujinya habis-habisan di Kelas 11 dulu. Tapi sekarang…

Tatapan mereka sempat bertemu. Sebentar. Tapi Bu Indri langsung mengalihkan pandangan seolah-olah Atha adalah siswa yang tak layak diperhatikan.

Atha membuka tasnya pelan, mencari buku Matematika yang lusuh, peninggalan tahun lalu. Suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk kelas yang tetap ramai meski guru sudah hadir di depan. Rizal sedang menggambar sesuatu di papan belakang. Dua siswa di pojok kiri main lempar kertas. Tidak ada yang benar-benar membuka buku.

Atha mencoba mencatat. Namun, penjelasan Bu Indri hanya terdengar setengah hati. Sangat cepat, seolah-olah beliau ingin segera menyelesaikan kewajibannya lalu pergi. Bahkan ketika Atha mencoba mengangkat tangan, bertanya soal langkah rumus yang tidak dia mengerti, Bu Indri hanya melirik, lalu memilih siswa lain.

“Kalau kamu nggak paham, baca ulang. Di sini bukan tempat belajar dari nol. Saya sudah capek ngajarin kalian tahun kemarin.”

Kalimat itu menghantam lebih dari sekadar telinga. Atha menunduk, perlahan-lahan meletakkan kembali bolpennya. Tangannya berkeringat, dan ada denyutan halus di pelipisnya. Matanya mengarah ke buku, tapi pikirannya terombang-ambing. Ingin rasanya berdiri dan pergi.

Ini kelas apa sih? gumamnya lirih.

Dua jam pelajaran berlalu tanpa makna. Kelas masih berisik, catatan tidak selesai, dan materi hanya setengah tersampaikan. Bu Indri pun akhirnya menutup bukunya dan berdiri.

“Latihan di halaman enam puluh empat dikerjakan dan dikumpulkan minggu depan. Kalau nggak dikumpul, saya nggak mau repot lagi urus nilai kalian.” Lalu beliau keluar begitu saja.

Setelah Bu Indri keluar dari kelas, suara pintu yang tertutup nyaris seperti lonceng pemakaman bagi semangat Atha.

Beberapa teman sekelasnya langsung sibuk sendiri, ada yang mengeluh, ada yang tertawa mengejek, ada juga yang sudah bersiap tidur kembali di atas meja. Tapi Atha tak peduli. Kelas terasa seperti ruangan kosong yang menggema—semua suara jadi jauh, bergaung, tidak nyata.

Atha berdiri, tubuhnya seolah bergerak sendiri melangkah pelan ke arah jendela di sisi kiri kelas, pandangannya kosong menembus kaca yang buram, memandangi langit yang mendung tanpa benar-benar melihat apapun.

Di luar, matahari seperti malas menembus awan. Cahayanya redup, sekadar menerangi permukaan kaca dengan pantulan kusam. Atha menyentuh kaca itu dengan ujung jarinya. Berdebu dan dingin. Hampir sebanding dengan dinginnya hati Bu Indri yang tadi berdiri hanya beberapa meter darinya.

Bu Indri, guru matematika yang dulu begitu membanggakan Atha di depan kelas, kini bahkan tidak meliriknya barang sejenak. Tidak menyapanya, tidak mengakui kehadirannya. Seolah Atha bukan siapa-siapa. Seolah Atha bukan anak yang sama yang pernah berdiri di depan kelas, menjelaskan materi integral dengan percaya diri sementara teman-temannya mengangguk kagum. Seolah semua itu tidak pernah terjadi. Seolah Atha hanya mimpi buruk yang harus dilupakan.

Ia menunduk, malu hanya untuk sekadar menatap bayangannya sendiri yang samar terpantul di kaca. Wajahnya terlihat pucat, mata sembab, rambut sedikit berantakan. Atha hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Ia terlihat seperti anak laki-laki lain yang kalah oleh keadaan, yang tidak punya harapan lagi. Padahal dulu, semua orang mengenalnya sebagai Athariel Pradana yang terpandang, rajin, dan disegani. Sekarang, tidak ada yang tersisa dari semua itu, kecuali nama yang terdengar seperti beban.

Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya lagi. Layarnya menyala dengan sinar putih yang menyilaukan mata. Ia membuka pesan baru, jempolnya bergerak tanpa banyak berpikir, seolah tubuhnya sudah hafal langkah-langkah itu: ketik nama Ibu, lalu mulai menulis. Tapi tak ada kata yang terasa cukup. Ia hanya menatap layar itu lama, sebelum akhirnya menulis pelan, seperti meraba-raba kebenaran di balik kalimat-kalimat itu.

Bu… aku enggak sanggup…

Ia terdiam. Kata-kata itu menggantung di layar. Tangannya turun perlahan, menggenggam ponsel erat-erat di samping tubuhnya. Lalu, seperti kehilangan keseimbangan batin, Atha mundur dari jendela dan berjalan ke bagian belakang kelas.

Ia tidak memilih bangkunya sendiri, tidak memilih duduk di kursi mana pun. Ia justru mengambil tempat di lantai, bersandar pada tembok dingin yang meski kotor asalkan jauh dari perhatian siapa pun. Tempat paling tidak penting di kelas itu. Dan mungkin, itulah satu-satunya tempat yang terasa cocok untuk dirinya saat ini.

Ia menatap layar ponsel sekali lagi. Mengetik ulang pesan:

Aku enggak betah.

Aku gagal, Bu…

Maaf ya kalau Atha ternyata enggak sekuat yang Ibu kira.

Tapi sebelum ia sempat menekan tombol kirim, pikirannya melayang ke rumah. Rumah kecil di gang sempit yang selalu ramai anak kecil bermain di sore hari. Rumah dengan dinding cat pudar dan suara televisi menyala dari pagi sampai malam.

Di situlah ibunya menunggu, perempuan lembut yang selalu percaya bahwa anaknya akan berhasil, bahwa Atha akan menjadi kebanggaan keluarga mereka. Atha teringat betul saat ia menjuarai olimpiade kimia tingkat provinsi di kelas sepuluh. Ibunya menyambutnya dengan pelukan hangat dan mata yang berkaca-kaca, berkata bahwa Atha adalah satu-satunya harapan dalam hidup mereka. Satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan.

Ia juga teringat pada ayahnya—seorang buruh pabrik yang jarang berbicara, wajahnya selalu tampak lelah saat pulang, tapi tangan kasarnya selalu menyentuh kepala Atha dengan bangga tiap kali nilai rapornya bagus. Atha tahu, mereka tidak pernah punya banyak uang. Kadang untuk membeli buku tambahan saja harus menunggu akhir bulan. Tapi mereka tidak pernah menuntut lebih. Mereka hanya berharap Atha lulus, kuliah, dan memiliki kehidupan yang lebih baik.

Dan sekarang, semua harapan itu terasa seperti serpihan kaca di tangan. Menyakitkan untuk digenggam, tapi terlalu berharga untuk dibuang.

Atha menahan napas, matanya mulai memanas. Tapi tidak ada air mata yang jatuh. Ia terlalu takut untuk menangis lagi. Ia takut menjadi bahan lelucon seperti tadi pagi. Ia takut dianggap cengeng. Ia takut jika orang-orang tahu betapa hancurnya dia saat ini, mereka akan makin menikmati kehancurannya. Jadi ia hanya duduk di sana, diam, dengan mata yang menatap kosong ke lantai, sementara layar ponselnya tetap menyala. Pesan itu belum dikirim.

Pelan-pelan, ia hapus satu demi satu kata yang tadi sudah ia tulis. Bukan karena rasa sakitnya hilang, tapi karena ia terlalu takut menghadapi kenyataan setelah pesan itu dikirim. Ia tahu ibunya akan khawatir. Ia tahu keluarganya akan kecewa. Dan ia belum siap menghadapi itu semua.

Di dalam kelas, waktu seperti melambat. Sudah tidak seramai tadi, beberapa murid menguap keras-keras, beberapa lainnya sudah tertidur tanpa rasa malu, dan sisanya sibuk dengan ponsel, melawan kebosanan yang menggigit.

Atha mematikan ponsel dan menaruhnya di samping. Ia memeluk lututnya, kepala disandarkan ke dinding, dan memejamkan mata. Bukan untuk tidur, bukan juga karena lelah, tapi karena sudah tidak tahu lagi harus menatap ke mana. Dunia rasanya terlalu terang jika ia buka mata, dan terlalu gelap kalau ia pejamkan terlalu lama.

Hingga terdengar langkah kaki ringan memasuki kelas. Langkah tersebut mendekat, pelan, tidak tergesa, tapi cukup untuk membuat Atha membuka matanya sedikit. Ia tidak perlu menoleh, dari cara langkahnya, dari energi yang dibawanya, Atha tahu siapa itu.

Niko. Tanpa bicara apa-apa, anak itu turun ke lantai dan duduk tepat di sampingnya, bersandar ke dinding yang sama. Suasana hening kembali menyelimuti Kelas 13, hanya disisakan gumaman suara angin dari ventilasi yang terbuka.

Keduanya hanya duduk bersebelahan, seperti dua batu karang yang sama-sama diam meski dihantam ombak emosi dari arah berbeda. Atha melirik ke arah Niko, ingin bicara, tapi tak ada yang keluar dari bibirnya. Sementara itu, Niko menatap ke depan, kedua lengannya disilangkan di dada, dia memejamkan matanya juga.

Hening itu bertahan cukup lama. Sampai bel pelajaran selanjutnya berbunyi nyaring—sebuah suara yang biasanya menandakan kembalinya guru dan kesibukan kelas, tapi hari ini hanya menyisakan ketidakjelasan. Dari tiga mata pelajaran, hanya Bu Indri saja yang datang. Di jam pelajaran terakhir ini pun tidak ada tanda-tanda seorang guru akan masuk ke Kelas 13.

Dan kemudian, suara Niko muncul, pelan, nyaris tak terdengar jika suasana tidak sesepi itu.

“Udah lebih tenang?”

Atha tidak langsung menjawab. Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti pengakuan bahwa Niko menyadari kekacauan Atha sejak pagi, dan mungkin… peduli. Atha menoleh sedikit, mencoba menangkap ekspresi di wajah Niko. Tapi cowok itu tetap menatap ke depan, seperti tidak benar-benar menunggu jawaban.

“Iya,” jawab Atha akhirnya, pendek.

Setelah itu, hening lagi. Tapi hening yang berbeda. Bukan dingin seperti sebelumnya, tapi lebih seperti jeda. Seperti dua orang yang berdiri di ujung percakapan panjang yang belum mereka mulai.

Atha tidak bertanya kenapa Niko meninggalkannya saat istirahat tadi. Ia juga tidak menuntut penjelasan. Mungkin karena di dalam dirinya, ada bagian yang paham: kadang orang pergi bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka tidak tahu bagaimana harus tetap tinggal. Dan mungkin, Niko juga begitu.

Niko pun tidak menjelaskan. Tidak minta maaf. Tapi ia kembali. Dan itu cukup untuk hari ini.

Sampai akhirnya bel pulang berbunyi. Suaranya seperti gempa kecil yang mengguncang seluruh tubuh Atha, seakan menandakan bahwa ia berhasil melewati hari pertama—meski tidak utuh, tidak mulus, dan penuh luka. Tapi ia bertahan. Dan sekarang saatnya pulang.

Atha berdiri, memasukkan barang-barangnya ke tas dengan gerakan perlahan. Ia tidak bicara apa-apa pada Niko saat berjalan keluar kelas. Tidak ada janjian. Tidak ada perpisahan. Tapi ia merasa beban di dadanya sedikit lebih ringan dibandingkan pagi tadi.

Langit di luar mulai gerimis ketika Atha melangkah ke parkiran motor di belakang gedung sekolah. Asap tipis keluar dari parit kecil, dan suara ban motor berlumpur jadi latar suasana yang muram.

Ia sudah hampir mencapai motornya saat mendengar suara berisik di belakangnya.

“Heh! Itu bukan si anak emas tuh?”

Tiga anak kelas dua belas berdiri di bawah pohon besar dekat parkiran, bersandar santai, wajah mereka penuh senyum mengejek. Atha berhenti melangkah. Matanya menatap mereka dari jauh, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. Tidak menjawab, tidak bergerak.

“Dulu sih ranking dua paralel, sekarang? Masuk kelas ampas!” kata yang lain sambil tertawa.

Tawa itu terdengar nyaring dalam udara basah sore itu, menggema bersama rintik hujan yang mulai deras. Atha berhenti di samping motornya. Dia tidak menatap mereka, tidak menjawab. Tapi tubuhnya diam, membeku. Kata-kata itu seperti debu halus yang menempel di luka yang belum kering. Pedih. Tapi tidak dia tunjukkan.

Tangannya gemetar kecil saat menarik helm dari gantungan. Jantungnya berdegup lebih cepat.

“Lain kali jangan terlalu tinggi lah bawa nama baik, jatuhnya tuh sakit,” seru satu suara lain, kali ini lebih keras.

Atha menoleh, perlahan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
Kuliah atau Kerja
505      291     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?
Batas Sunyi
1961      894     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Premium
Dunia Leonor
116      101     3     
Short Story
P.S: Edisi buku cetak bisa Pre-Order via Instagram penulis @keefe_rd. Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Kisah cinta yang tragis. Dua jiwa yang saling terhubung sepanjang masa. Memori aneh kerap menghantui Leonor. Seakan ia bukan dirinya. Seakan ia memiliki kekasih bayangan. Ataukah itu semua seke...
Monokrom
113      93     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Resonantia
402      340     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Mapel di Musim Gugur
462      331     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
BigHope Company
68      61     1     
Short Story
Seharusnya, aku tahu bahwa aku dan dia tidak bisa bersama. Semesta membuatku terlalu jatuh dalam pesonanya yang bersinar layaknya cahaya di tengah-tengah kegelapan. Lantas, apakah perasaanku ini hanyalah sebuah kesalahan belaka? Apapun itu ... aku bahagia pernah menaruh rasa untukmu. Idolaku sekaligus Bosku.
Can You Hear My Heart?
539      323     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
5218      1759     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Pasha
1291      579     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?