Seperti biasa, pagi-pagi sekali aku sudah harus bangun dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Lelah rasanya setiap hari seperti ini, tapi aku tidak bisa melawan atau cambukan akan aku dapatkan lagi.
Bukan, bukan ibuku yang tidak berperasaan. Tetapi kakak tiriku, mereka semua menyiksaku. Tidak ada yang menyayangiku disini, bahkan ibuku pun lebih memilih membela kakak tiriku.
“Al, lo kemana aja sih. Bisa gak cepet, ini gue udah mau telat,” ucap Kak Bela, orang yang sangat membenciku.
Padahal setahuku aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun, aku juga tidak pernah merebut apa yang menjadi miliknya. Tapi entah kenapa, kebencian itu tiba-tiba muncul sehari setelah pernikahan ibuku dengan Ayah Kak Bela.
“Iya kak ini, maaf ya lama. Tadi aku harus bersihin kamar mandi,” ucapku berusaha bersikap baik di depan Kak Bela.
“Bukan urusan gue, lagian gue gak butuh penjelasan lo,” jawab Kak Bela sinis lalu menyuruhku pergi.
Aku menghela nafas, lalu berjalan ke dapur. Aku lelah, mau sampai kapan seperti ini?
“Kenapa kamu?” tanya Mama membuatku menghapus air mata yang sempat keluar.
“Gak papa Ma, tadi kelilipan debu,” ucapku uang di angguki oleh Mama.
“Kamu kenapa sih Al, pagi-pagi udah gangguin Bela. Kamu tahu kan Ayah bekerja keras demi kita, kamu harus bersikap baik sama Bela. Jangan mencari masalah,” ucapan Mama yang hanya ku angguki.
Aku sudah muak mendengar ucapan itu setiap harinya, Mama yang dulu menyayangiku dan tidak mau membuatku terluka kini sudah tidak ada lagi.
“Jangan lupa, nanti sepulang sekolah mampir ke pasar. Mama capek,” ucap Mama sambil memberikan uang padaku, lalu berjalan ke meja makan.
Aku iri melihat Kak Bela mendapatkan perhatian dari Mama seperti itu, dulu aku yang ada di posisi Kak Bela sebelum Papa dan Mama bercerai.
Saat kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.45, aku segera mandi dan bersiap-siap. Pukul 7.15 aku harus sudah sampai di sekolah atau aku akan dihukum.
Setelah semuanya selesai, aku segera mengambil tasku dan keluar rumah untuk mengambil sepedah.
Hanya sepeda ini yang bisa aku gunakan untuk sampai di sekolah, karena untuk berjalan kaki aku tidak kuat. Sekolahku terlalu jauh dari rumah dan pasti akan terlambat.
Untung saja gerbang masih di buka, aku segera menambah kecepatan sepedaku. Sepersekian detik-detik kemudian, Pak satpam datang dan menutup gerbangnya.
Aku menghela nafas lega, sepertinya hari ini akan berjalan baik.
Setelah memarkirkan sepedah, aku segera ke kelas dan duduk di bangku ku. Sial, entah bagaimana ceritanya kakiku tersandung dan terjatuh tepat di depan meja guru. Semua menertawakanku, tidak ada yang mau menolongku.
Rasanya sangat sakit, malu dan ingin menangis. Namun jika aku menangis mereka akan semakin menjahiliku, jadi bagaimanapun aku harus bangkit dan berjalan ke tempat dudukku.
Tepat setelah aku duduk, guru jam pertama datang membuatku was-was.
Sial, kenapa tugasku harus ketinggalan. Bagaimana ini, apakah aku akan terkena hukuman lagi. Aku hanya diam saat semua teman sekelasku mengumpulkan buku tugas, dengan penuh keberanian aku menatap ke depan dan melihat Bu Siska menatapku tajam.
“Alisa, kamu tidak mengumpulkan tugas lagi? Mau jadi apa kamu,” ucap Bu Siska membuatku semakin diam.
“Ini sudah kesekian kalinya, ibu tidak bisa berkata apa-apa. Sekarang cepat kamu berdiri di depan kelas, jangan masuk sampai mata pelajaran ini selesai,” ucap Bu Siska membuatku ingin menangis.
“Cepat Alisa, atau ibu akan tambah hukumanmu,” ucap Bu Siska membuatku mengangguk dan segera keluar kelas.
Aku diam, berdiri di dekat pintu masuk. Aku tidak memperdulikan jika anak-anak dari kelas lain menertawakanku, biarkan saja. Sudah sejak lama aku jadi bahan tertawaan seperti ini, rasanya aku ingin pindah tapi Mama tidak akan menyetujuinya. Katanya buang-buang uang saja, kamu kan sudah kelas 12 jadi sabar sedikit lagi.
Aku menatap halaman depan sekolah yang luas, menyedihkan sekali hidupku saat ini. Sampai kapan aku bisa bebas? Apakah setelah selesai dari sekolah ini. Sepertinya tidak, Mama tidak akan melepaskanku begitu saja. Pasti Mama akan mengungkit semua yang sudah keluarga barunya keluarkan untukku dan aku harus membalas budi.
Andai Papa masih ada disisiku, mungkinkah hidupku jadi lebih baik? Apakah Papa masih tetap membelaku walaupun sudah bersama keluarga barunya.
Aku terlalu berandai-andai, bisa saja kan Papa seperti Mama. Lebih membela keluarga barunya daripada aku, buktinya sampai saat ini Papa tidak pernah mengunjungiku.
Disaat aku sedang asik dengan imajinasiku, tiba-tiba ada yang menyenggol kakiku dan “Brakkk”
Aku terjatuh seketika, rasanya sakit sekali. Apalagi beberapa anak yang ada di lapangan menertawaiku.
Aku hanya diam, lalu menundukkan kepala sambil memegangi kakiku yang sakit. Bahkan disaat keadaanku seperti ini tidak ada yang mau menolongku, apakah mereka jijik padaku. Alisa si bodoh dan biang masalah. Citraku di sekolah ini sudah buruk, mana mungkin ada orang yang mau membantuku.
Setelah mengumpulkan keberanian, aku berusaha bangkit dan menuju ke uks. Mungkin disana aku bisa sedikit beristirahat, walaupun tetap saja akan ada yang mencemoohku.
Sesampainya di uks aku berusaha mencari kotak P3K dan mengobati lukaku sendiri. Mana mungkin ada yang mau peduli padaku, mereka lebih memilih meninggalkanku sendirian di sini.
Setelah selesai mengobati lukaku aku merebahkan diri di ranjang. Aku lelah sekali hari ini, gak papa kan aku tidur sebentar? Gak akan jadi masalah, semoga saja tidak.
Aku terbangun ketika semburat sinar menyilaukan mataku, saat kulihat jam dinding ternyata sudah pukul 5 sore.
Tunggu, jadi aku tertidur berapa lama? Apa iya selama itu tidak ada yang datang ke sini, aku segera beranjak dan mengecek ke pintu uks. Sial, pintu ini dikunci. Pantas saja tidak ada yang membangunkanku, lalu aku harus bagaimana?
Segera aku memukul pintu uks keras-keras, aku berharap masih ada orang di sini. Tidak mungkin aku harus bermalam di uks ini, apa kata Mama kalau aku tidak pulang.
Sekuat tenaga aku berusaha menghancurkan pintu uks, namun berakhir badanku yang sakit.
Aku terduduk lemas, aku harus bagaimana? Tas sekolahku masih di kelas, aku juga tidak membawa ponselku.
“Apa ada orang di dalam?” sebuah suara mengagetkanku, membuatku segera berdiri.
“Tolong, aku ke kunci di dalam. Tolong keluarkan aku,” teriakku panik, dan berusaha menggedor-gedor pintu uks.
“Tenang, gue bakal dobrak pintunya. Lo menjauh dari pintu,” ucap suara itu membuatku segera menjauhi pintu.
“Brak,” akhirnya pintu itu terbuka, dan disana terlihat seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam sepertiku menatapku intens.
“Kenapa lo bisa ke kunci disini?” tanya laki-laki itu membuatku menggeleng.
Tiba-tiba saja laki-laki itu menarik tanganku untuk segera menjauh dari uks ini. Aku kaget, namun aku tetap diam saat laki-laki itu menarikku ke tengah lapangan.
“Lo sekarang aman,” ucap laki-laki itu sambil melepaskan tanganku.
“Kenapa kamu masih disini, dan seragam itu?” tanyaku sambil memperhatikan laki-laki itu yang sedang merebahkan diri di lapangan.
“Kenapa? Ada yang salah sama gue?” tanya laki-laki itu membuatku menggeleng.
Kami sama-sama diam, lalu aku teringat dengan Mama yang akan memarahiku jika tidak segera pulang.
“Makasih, tapi aku harus pulang,” ucapku lalu berlari menjauhi lapangan.
Aku segera kembali kelas untuk mengambil tasku, untunglah semuanya masoh aman. Saat aku melihat ponselku ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mama, aku panik karena aku harus ke pasar untuk berbelanja.
Tapi jam segini dimana ada pasar yang masih buka? Aku bingung aku harus pulang tanpa membawa apapun, dengan resiko Mama akan memarahiku.
Atau aku pulang dengan membawa belanjaan yang entah harus mencari dimana, dan tetap Mama akan memarahiku. Semua pilihan terlihat sama saja, gak ada yang lebih baik.
Akhirnya aku memilih untuk pulang tanpa membawa apapun, mungkin Mama sudah berbelanja. Karena ini sudah hampir malam, jadi semoga saja pilihanku gak berefek buruk.