Di jam kerjanya Jihan melamun, memikirkan tentang Natha yang tiba-tiba bersikap ketus padanya. Dia memang sedih, tapi Jihan tidak bisa marah pada lelaki itu karena pasti ada penyebab Natha bersikap kurang baik padanya. Dan sebentar Jihan menghela napas karena tidak mengetahui penyebabnya.
Mungkin saja Jihan sudah melakukan kesalahan tanpa sengaja yang akibatnya membuat lelaki itu marah. Kira-kira apa ya? Mungkin tidak jika reaksi Jihan yang biasa saja ketika Natha memberinya hadiah saat ulang tahunnya? Lalu kepalanya menggeleng pelan sebab alasan itu sama sekali tidak mungkin.
Jihan cemberut, bahkan sejak kemarin tidak memiliki semangat untuk menjalani hari-hari membosankan tanpa Natha.
Benar, jika ada dia pasti Jihan sudah tertawa, bahkan tersenyum karena hatinya sedang gembira.
"Jihan?"
Suara Beno membuat Jihan mengerjapkan mata dan tersadar dari lamunan, dia menoleh menatap rekan kerjanya yang tampak khawatir.
"Kamu nggak apa-apa?" Beno bertanya merasa khawatir lantaran caranya Jihan saat memotong tangkai serta memetik daun agar bunga lebih rapi terbilang tidak cekatan alias tampak lesu, wajahnya cemberut, bahkan sering kali menghela napas.
"Iya, saya nggak apa-apa." Di akhir kata Jihan tersenyum sekadar meyakinkan.
Meski mulutnya berkata seperti itu, Beno tidak sepenuhnya memercayainya. "Kalau nggak enak badan, istirahat aja dulu. Nanti dilanjut lagi."
Jihan memilih merapatkan bibirnya. Toh, alasannya tidak semangat bekerja karena memikirkan kesalahannya pada Natha, jadi Jihan tidak akan istirahat meski suasana hatinya berantakan.
"Oiya, teman kamu yang namanya Natha itu tumben nggak ke sini?"
Senyum kecut diperlihatkan, Beno yang menyadari senyum itu meringis pelan karena sepertinya dia telah salah berbicara. Sementara itu di dalam hatinya Jihan tidak kesal saat Beno menanyakan lelaki itu. Wajar jika Beno bertanya sebab Natha memang sering datang ke toko sekadar membeli bunga atau hanya menemui Jihan sambil membawa kue.
"Natha lagi sibuk," sahut Jihan.
Tidak ada lagi percakapan, mendadak suasana menjadi canggung dan untung ada pengunjung yang datang, jadi Beno memiliki alasan untuk melarikan diri dari situasi yang kurang mengenakkan tadi.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?"
Saat Beno pergi menghampiri satu pembeli yang datang, Jihan kembali melanjutkan perkerjaannya lalu tangkai-tangkai serta daun bunga yang tidak digunakan dimasukkan ke kantung plastik hitam. Sebelum membuang kantung plastik hitam itu, Jihan terlebih dahulu merapikan bunga-bunga yang sudah dipangkas dan setelahnya dia melangkah pergi membawa kantung plastik untuk dibuang ke tempat sampah yang ada di depan toko.
"Jihan."
Perempuan yang sudah menaruh sampah di tempatnya menoleh pada seseorang yang memanggil namanya. Tidak ada senyum di wajah cantiknya karena seseorang yang datang sama sekali tidak diharapkan.
"Aku mau ngomong sama kamu," ucap Albin masih membawa harapan tentang Jihan memberi kesempatan lagi untuknya.
Padahal suasana hatinya sedang berantakan dan keberadaan Albin di sini justru bertambah parah, kalau saja Jihan berada di tempat kerjanya mungkin satu tamparan akan dia layangkan di pipi Albin.
Jihan membencinya, terlebih pada raut wajahnya yang memelas seakan minta dikasihi, Albin pikir dengan tampangnya itu Jihan akan memberinya kesempatan? Tentu tidak, karena rasa sakit hati yang lelaki itu berikan tidak akan pernah Jihan lupakan.
"Menurut saya, udah nggak ada yang perlu di omongin lagi karena jawaban saya waktu itu udah jelas, kan?"
"Aku mohon, Han. Tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku janji nggak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya," pinta Albin yang malah membuat Jihan berdecak sebal.
Sorot mata yang tajam menatap Albin. "Bagi saya, kesempatan kamu udah habis. Saya pernah nunggu kamu kembali, tapi sayangnya kamu memilih kembali di saat saya berhasil lupain kamu."
Benar, mungkin jika Albin datang di saat Jihan masih membutuhkannya kesalahan lelaki itu akan dimaafkan. Tapi waktu yang terus berjalan ini membuatnya sadar jika perlahan keberadaan Albin sudah tidak lagi dibutuhkan bahkan untuk selamanya.
Perempuan itu melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Seharusnya kamu malu atau merasa bersalah saat datang lagi ke sini, seharusnya kamu mikir pakai otak kamu itu kalau saya menolak kamu secara tegas!"
Perkataannya yang terdengar dingin menusuk hati membuat Albin terdiam. Entah merenungi kesalahan di masa lalu atau menahan emosi karena perkataan Jihan.
Terdengar helaan napas dari Albin. "Oke, aku pergi. Tapi lain kali aku akan datang lagi karena aku nggak akan nyerah buat dapetin kamu lagi."
Perginya Albin membuat kepalanya pening lalu di sisi lain Jihan menyesal telah menaruh nama lelaki kurang ajar itu di dalam hatinya.
***
Sore ini seorang lelaki bertubuh jangkung sedang duduk di bangku halaman rumahnya yang luas, tidak banyak yang berubah alias tanaman yang ada di halaman rumahnya masih sama. Hanya saja kemarin ada beberapa bunga yang layu dan mungkin jika nenek masih ada, beliau akan sedih karena tanaman yang dirawat dengan sepenuh hati telah pergi meninggalkannya terlebih dahulu.
Berbicara tentang bunga, Natha pasti teringat Jihan. Kira-kira perempuan itu sedang apa ya?
Karena memikirkannya Natha merasa sedih, sebenarnya tindakannya kemarin sempat dia sesali karena pasti Jihan sedih.
Sebenarnya dia tidak mau mengabaikan perempuan itu, tapi menurutnya hanya ini satu-satunya cara agar Jihan tidak lagi dekat dengannya.
Benar, saat melihat perempuan itu memeluk seorang lelaki sambil menangis. Natha bisa menebak apa yang terjadi, pasti Jihan memilih Albin dibanding dirinya.
Albin memang brengsek, tapi lelaki itu pernah mengukir kebahagiaan di hidup Jihan, berbeda dengan dirinya yang baru datang dan membawa sedikit kebahagiaan. Jadi jika dibandingkan sudah jelas orang lama adalah pemenangnya.
Tidak ingin memikirkan hal itu lebih lama yang ujungnya membuat Natha semakin sakit hati, dia beranjak dari duduknya untuk berjalan menghampiri tanaman di taman. Mungkin dengen mencari kesibukan bisa melupakan rasa sakit hatinya walau hanya sebentar.
Di halaman rumahnya yang luas terdapat tanaman hias bernama monstera yang memiliki daun besar dan berlubang, letak monstera ada di sudut halaman, kemudian ada palem kuning yang tumbuh tinggi hingga memberi kesan tropis, sansevieria atau lidah mertua salah satu tanaman hias yang tahan panas, minim perawatan, serta menyerap polusi adalah tanaman yang wajib di miliki di setiap rumah.
Sebenarnya masih ada tanaman hias lain di halaman rumahnya ini, hanya saja Natha tidak begitu tahu namanya. Jadi fokusnya tertuju pada bunga-bunga cantik yang seakan ingin diperhatikan juga. Bunga-bunga di halaman rumah hanya ada anggrek, kembang sepatu, tapak dara, zinnia, kenikir, gerniaum, kemuning, camelia, hortensia adalah bunga hias yang tertanam di halaman rumah Natha yang luas dan bunga-bunga itu menyebar di berbagai sudut halama.
Akan tetapi yang menjadi fokusnya kini adalah camelia si cantik berwarna merah muda berbentuk bulat yang terlihat agak mirip mangkuk, kelopak bunganya tersusun rapat dan simetris, dan penampilannya kerap kali disamakan dengan mawar hanya saja camelia tidak memiliki aroma kuat.
Kelopaknya berjumlah lebih dari sepuluh, ujung kelopak biasanya membulat atau kadang sedikit bergelombang, kemudian kelopaknya terasa tebal bukan tipis seperti kelopak mawar.
Umumnya camelia berwarna merah, putih, dan merah muda hanya saja di halaman rumahnya Natha hanya ada merah muda. Sementara itu daunnya tebal, berwarna hijau tua, mengkilap, dengan pinggiran agak bergerigi. Daunnya membuat bunga camelia terlihat kontras sekaligus menonjolkan keindahannya.
Camelia memiliki arti tentang kerinduan serta kesabaran khususnya dalam cinta, katanya camelia merah muda cocok untuk menggambarkan seseorang yang setia menunggu dalam diam.
Natha yang teringat akan arti bunganya hanya mampu tersenyum kecut, mungkin seperti itulah dirinya sekarang. Natha menyukai Jihan, tapi Jihan tidak menyukainya. Dan untungnya perasaannya belum terungkap, jadi Natha tidak perlu mendengar penolakan secara langsung dari mulut Jihan.
Kemudian Jihan kembali pada mantannya sementara Natha yang masih menyukainya hanya bisa pasrah dengan hatinya yang masih setia menunggu. Entah, selama apa dirinya menunggu yang pasti ketulusannya pernah diberikan pada Jihan.
Sebenarnya saat malam itu, Natha memiliki keinginan untuk memukul wajah Albin karena orang sepertinya tidak pantas bersama Jihan untuk kedua kalinya. Tapi Natha tidak memiliki hak untuk itu karena Jihan yang lebih berhak melakukannya.
Sambil menatap camelia dengan sendu, Natha menghela napasnya sebab rasa sesak di dada kembali terasa. Apakah dirinya harus tidur saja agar rasa sesaknya ini tidak lagi terasa?
Dia memejamkan mata merasakan embusan angin menyentuh wajah yang berhasil membuat perasaannya sedikit lebih tenang. Lalu di saat bersamaan ponsel yang ada di saku celananya bergetar dan nama Jihan terpampang jelas di layar ponselnya.
Ada satu panggilan masuk dari Jihan yang sayangnya Natha hanya membiarkannya saja hingga panggilan itu berputus dengan sendirinya. Sebenarnya Natha tidak mau seperti ini, Natha ingin seperti sebelumnya ingin bersama Jihan, membuat perempuan itu tertawa, bahagia, dan ingin melihat senyum manisnya. Tapi lagi-lagi tentang ingatannya di malam itu Natha tidak bisa melakukan apa-apa selain membuat keputusan yang cukup sulit untuk dilakukan.
Sambil menatap langit sore yang cerah, lelaki itu tersenyum penuh arti tentang senyum yang mengartikan perasaan untuk mengikhlaskan.
"Kayaknya saya memang harus lupain kamu, Han."