Sebenarnya, tanpa Jihan bertanya pun sudah pasti Natha akan mengikutinya. Karena mengikuti ke mana Jihan pergi adalah kebahagian tersendiri bagi Natha. Berhubung lelaki bertubuh jangkung pemiliki lesung pipi itu setuju masih ingin ikut ke mana Jihan pergi, maka Jihan akan membawanya ke suatu tempat yang sering perempuan itu kunjungi.
Waktu itu Natha mengajak Jihan ke makam adik bungsunya, maka saat ini giliran Jihan yang mengajak Natha ke makam kedua orang tuanya. Dan ini adalah tujuan terakhir mereka sebelum pulang. Omong-omong sebelum Jihan dan Natha sampai di makam kedua orang tua Jihan. Mereka mampir sebentar ke toko bunga yang tempatnya tidak terlalu jauh dari makam. Seperti pada kunjungan sebelum-sebelumnya, Jihan membeli bunga mawar merah lantaran bunga itu amat penting dalam hubungan orang tuanya.
"Ayah, Bunda. Jihan datang. Jihan kangen." Suaranya terdengar lirih hampir berbisik namun Natha masih bisa mendengarnya karena di tempat ini sangat sepi, tidak banyak orang yang berkunjung ke pemakaman.
Perempuan itu menghela napas cukup panjang saat memandangi makam orang tuanya dan setelahnya Jihan menaruh masing-masing bunga mawar di makam ayah dan bunda. Perempuan itu menunduk sekadar memanjatkan doa, sementara Natha melakukan hal sama.
Saat doanya telah selesai diucapkan di dalam hati, Jihan masih menatap lekat pada kedua batu nisan orang tuanya secara bergantian.
"Saya berkali-kali berpikir. Kenapa bisa mereka dipanggil begitu cepat sama Tuhan. Padahal saya belum memberikan yang terbaik buat mereka."
Jika diingat masa lalunya saat ditinggal oleh ayah dan bunda untuk selamanya memang amat menyedihkan, terlebih dirinya tidak punya siapa-siapa lagi.
"Kadang saya suka menyesal karena dulu saya sering ngambek sama mereka."
Natha yang merasakan suasana hati Jihan sedang sedih membuat tangan lelaki itu bergerak sekadar menepuk pelan pundak Jihan, memberi kekuatan serta ketenangan.
"Enggak ada yang perlu kamu sesali, wajar kalau dulu kamu ngambek. Mungkin karena kamu ingin lebih diperhatikan sama orang tua kamu."
Sesaat Jihan tersenyum tipis, karena apa yang Natha ucapkan ada benarnya. Alasan Jihan sering ngambek karena orang tuanya selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal kan yang lebih penting untuk mereka perhatikan adalah Jihan yang jelas-jelas adalah anaknya, bukan pada hal lain.
Jihan yang terdiam membuat Natha berdeham pelan. "Oiya, kalau boleh tahu. Kenapa mawar merah yang kamu pilih?"
Perempuan itu mengerjap beberapa kali, mendapatkan pertanyaan dari Natha membuat Jihan menoleh padanya. "Itu karena mawar merah yang mempersatukan orang tua saya. Dan mawar itu bunga kesukaan bunda."
Lagi-lagi, Jihan mengingat kenangan di masa lalunya. Kali ini tentang bunda yang begitu senang saat ayah memberikannya sepuluh tangkai mawar merah di hari pernikahan mereka. Hanya sepuluh karena ayah pernah berkata sepuluh tangkai mawar mengungkapkan cinta yang abadi, tentang cinta sejati yang tidak akan hilang.
Dan benar saja, mereka meninggal karena kecelakaan mobil dan keduanya meninggal di tempat. Cinta mereka tidak akan hilang, selalu abadi untuk dikenang.
"Oiya, saya mau cerita sedikit." Sebelum kembali berbicara lelaki itu menyempatkan diri untuk berdeham pelan.
"Sebenarnya saya pernah ketemu kamu di tempat ini atau mungkin lebih tepatnya ngeliat kamu lagi nangis di samping makam orang tua kamu." Di saat Natha tersenyum samar lain hal dengan Jihan yang melebarkan matanya, terkejut atas apa yang didengar.
Senyum samar itu menghilang sebab tergantikan oleh helaan napas. "Waktu pertama kali saya ngeliat kamu, saya punya niat samperin kamu buat kasih sapu tangan. Tapi setelah saya pikir-pikir waktu itu kita nggak saling kenal, kamu lagi nangis dan menurut saya seseorang yang lagi nangis itu butuh waktu sendiri, nggak mau diganggu."
Natha terdiam kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain, sementara Jihan masih terkejut atas cerita Natha tentang dirinya. Benarkah selama ini Natha telah memperhatikannya saat dirinya menangis di samping makam orang tuanya? Tapi kenapa bisa dirinya tidak menyadarinya ya? Ah, Jihan tahu. Pasti penyebabnya karena air mata yang terus menetes itu membuat indra penglihatannya jadi buram.
Lelaki itu menatap mawar merah yang Jihan letakkan di dekat batu nisan. "Saya pikir itu kejadian pertama dan terakhir saya lihat kamu nangis, tapi ternyata salah. Tiga kali saya lihat kamu nangis di tempat yang sama."
Dan dari ketiga kalinya Natha melihat Jihan menangis, dirinya berjanji membantu perempuan itu untuk tidak menangis lagi.
"Sejak kapan?" Dua kata itu adalah pernyataan pertama yang Jihan lontarkan.
Saat menoleh menatap Jihan. Dari sorot matanya, Natha dapat merasakan adanya kesedihan di mata perempuan yang kini menatapnya teduh.
"Sekitar satu tahun yang lalu."
Jihan bergeming, tentunya semakin terkejut atas apa yang dia dengar. Satu tahun? Sudah selama itu? Tapi kenapa bisa, Natha baru hadir sekarang? Kenapa tidak sejak satu tahun yang lalu di saat Jihan kesepian dan tenggelam dalam keterpurukannya.
"Kenapa kamu baru datang sekarang?"
Jika seandainya Natha datang lebih awal, mungkin Jihan tidak akan merasakan kesepian serta terpuruk cukup lama, pertama ditinggal selama-lamanya oleh orang tuanya dan kedua Albin yang mencampakkannya demi perempuan lain.
Kalau boleh jujur, Jihan mengakui kehadiran Natha yang sempat Jihan ragukan perlahan-lahan membantu dirinya untuk bangkit kemudian bersahabat lagi dengan dunia beserta isinya.
Sebelum menjawab pertanyaannya Natha menghela napas untuk kedua kalinya. "Itu karena, saya berusaha buat cari kamu. Saya pikir kita bakal ketemu lagi di makam. Tapi ternyata saya salah."
Benar, selama setahun itu, Natha berusaha untuk mencari keberadaan Jihan. Sempat ingin menyerah, tapi tekadnya lebih kuat dan waktu itu, di hari Kamis yang sangat cerah adalah hari keberuntungannya.
Seminggu sebelum Natha menemui Jihan di toko bunga secara langsung, secara tidak sengaja atau memang sudah takdirnya. Natha yang tengah beristirahat di tepi jalan sembari meminum kopi kemasan kaleng melihat-lihat keadaan di sekelilingnya, lelaki itu menyipitkan mata saat melihat Jihan memasuki toko bunga tempat perempuan itu bekerja.
Awalnya, Natha tidak begitu yakin jika perempuan yang memasuki toko bunga adalah seseorang yang dirinya cari. Dan sekadar meyakinkan hatinya, Natha menyeberangi jalan meninggalkan motornya sebentar untuk menghampiri toko tersebut. Natha tidak masuk ke toko sebab dia memilih untuk melihat melalui dinding toko yang terbuat dari kaca.
Namun, sayangnya. Seseorang yang dirinya cari tidak dapat dia temukan. Sepertinya keberadaan orang itu terhalang oleh rak-rak tinggi yang berisikan berbagai macam bunga atau mungkin orang itu sedang berada di ruangan lain dari toko bunga ini? Entahlah, mungkin saja benar.
Natha yang tidak ada niat mengintip lebih lama karena takut dituduh sebagai pencuri memilih untuk kembali menghampiri motor kesayangannya yang telah menunggu. Lalu di hari berikutnya Natha akan datang lagi pada tempat serta jam yang sama, dan semoga saja dia segera mendapat jawabannya.
"Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi. Saat saya lagi istirahat di tepi jalan abis cari kamu. Secara nggak sengaja saya lihat kamu masuk toko bunga dan kebetulan saya ada di seberang toko bunga tempat kamu kerja.
"Awalnya saya nggak yakin itu kamu, tapi pas saya datang lagi untuk kesekian kalinya. Saya benar-benar yakin kalau itu kamu. Dan beberapa hari saya merhatiin kamu, saya sedikit tahu gimana caranya kamu kerja."
Natha tertawa atas beberapa adegan di masa lalu yang masih teringat di kepalanya. Karena tawa yang Natha keluarkan, efeknya membuat Jihan mengerutkan keningnya. Jihan terlihat sedikit kurang mengerti dan tentunya penasaran.
Setelah tawanya mereda, lelaki itu melanjutkan ceritanya. "Yang salah lihat kamu kurang ramah sama pembeli."
Jihan meringis, merasa bersalah atas apa yang dia lakukan saat bekerja danNatha adalah salah satu pembeli yang tidak mendapat keramahan dari Jihan. Memang separah itu, ya? Sepertinya memang parah. Dan untungnya saja, pemilik toko tempat Jihan bekerja adalah orang yang sangat baik.
Diam-diam Natha berusaha untuk tidak tertawa, raut wajah yang Jihan tampilkan saat ini benar-benar lucu. Dirinya sengaja untuk tidak tertawa karena takut menyinggung perasaan Jihan.
Setelah gairah tawanya berhasil dilenyapkan, Natha berdeham pelan. Menatap Jihan kemudian berkata, "Oiya, Han. Di blok sebelah ada makam nenek saya. Kamu mau ke sana?"
Kedua mata mereka saling bertemu, sempat bergeming sebentar untuk berpikir sampai akhirnya Jihan menganggukkan kepala tanpa ragu.
***
Usai mengunjungi makam orang-orang tercinta, Jihan dan Natha berjalan berdampingan dengan tujuan ingin pergi ke tempat makan terdekat sebelum pulang ke rumah. Berhubung kedai yang mereka kunjungi berada di seberang jalan, mereka harus menunggu jalan raya cukup sepi dari kendaraan.
Fokus mereka tentu saja lurus ke depan menatap jalanan lalu di seberang jalan sana ada beberapa orang yang berdiam di tepi jalan dengan tujuan sama.
Di seberang jalan itu cukup ramai, Jihan melihatnya sendiri dan di seberang jalan itu pula fokusnya tertuju pada satu titik. Antara percaya dan tidak, dia melihat Albin yang membalas menatapnya. Ekspresi mereka memang sama, tapi perasaan mereka sudah pasti berbeda.
Ketika jalan raya cukup sepi dari kendaraan yang melintas, itu adalah kesempatan para pejalan kaki dari berbagai arah untuk menyeberang. Beberapa orang mulai bergerak menyeberangi jalan.
"Ayo, Han."
Suara Natha yang terdengar di telinganya membuat Jihan sedikit tersentak, dia yang telah tersadar dari lamunan singkatnya mulai melangkahkan kakinya dengan agak gemetar.
Saat menyeberang, langkah Natha terlihat santai berbeda dengan Jihan yang terlihat kaku serta kedua tangan yang terkepal kuat, mendadak emosinya terasa saat jaraknya dengan sang mantan semakin mendekat. Ketika keduanya saling berpapasan, mereka seperti dua sosok asing yang sama-sama tidak saling mengenal. Albin tidak menyapa, apalagi Jihan.
Berpapasan dengan Albin berhasil membuat suasana hatinya berantakan.
***
Seseorang yang mati-matian untuk dilupakan, tiba-tiba muncul kembali di depan mata untuk kedua kalinya. Apakah ini mimpi buruk? Atau apakah ini sebagai tanda jika Tuhan masih ingin mengujinya lagi? Sungguh? Padahal luka di hatinya belum sepenuhnya pulih.
Karena pertemuan singkat serta tatapan mata yang saling bertemu, ingatan di kepalanya bersama Albin yang telah susah payah dilupakan terbuka kembali. Rasanya Jihan ingin menangis, tapi sebisa mungkin dia menahannya.
"Han?"
Untuk kedua kalinya suara Natha menyadarkan dirinya dari lamunan tidak pentingnya itu, dia mengerjapkan mata. Karena lamunannya sudah berakhir fokusnya tidak lagi menatap meja makan yang ada di antara mereka, melainkan pada Natha yang ada di hadapannya.
"Kamu kenapa?"
Pertanyaan dari Natha, buru-buru direspons dengan gelengan kepala. "Enggak apa-apa."
"Beneran?"
Untuk lebih meyakinkan, kali ini Jihan menganggukkan kepalanya sembari tersenyum sebentar. Perempuan itu melarikan tatapannya menunduk ke bawah.
Tahu Jihan sedang berbohong, Natha menghela napas. "Maaf, Han. Tapi saya nggak percaya. Soalnya dari tadi kamu bengong terus."
Ucapan Natha yang terdengar jelas membuat Jihan lagi-lagi mengepalkan kedua tangannya.
"Kamu lagi nggak enak badan, ya? Kita pulang aja kalau kamu lagi nggak enak badan."
Masih dengan kepala yang menunduk, indra pendengarannya menangkap suara kursi yang bergerak, menurut dugaannya Natha telah beranjak dari duduknya.
"Ayo, Han. Saya antar kamu pulang."
Jihan menggeleng pelan, sama sekali enggan beranjak dari duduknya. Jihan yang masih menunduk itu bergumam. "Saya cuma kepikiran sesuatu."
Kening Natha mengerut, tidak bisa mendengar jelas saat perempuan itu bicara. "Kenapa, Han?" Agar suara Jihan bisa didengar jelas Natha kembali duduk di sebelah perempuan itu.
"Saya cuma kepikiran sesuatu."
"Sesuatu?"
Jihan mendesah pelan dan dia tidak lagi menundukkan kepalanya sebab fokusnya kini tertuju pada Natha. "Tadi saya nggak sengaja ketemu Albin," ucapnya di akhiri oleh senyum kecut.
Yang Jihan lihat, Albin terlihat baik-baik saja. Tentu, karena Albin lah yang meninggalkannya.
Mendengar nama yang terdengar tidak asing membuat Natha terdiam dengan mengerutkan kening. "Albin. Mantan kamu yang brengsek itu?"
Jihan diam sementara Natha terlihat kesal. Natha tahu bahkan bisa merasakannya, sekarang perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Dan di waktu yang sama pun Natha malah bingung harus melakukan apa.
Tatapan matanya kosong tapi pikirannya berantakan, lebih tepatnya diberantaki oleh ingatan di masa lalunya bersama Albin. Mulai dari saat mereka pertama kali bertemu, saat Albin menyatakan cinta padanya, saat Albin menenangkannya ketika kehilangan orang tuanya, dan terakhir saatAlbin mencampakkannya. Karena ingatan sialan serta wajah Albin muncul di kepalanya. Tembok besar untuk menahan air mata tidak bisa menahannya lagi. Jihan menangis, mulai terisak-isak.
Natha jadi teringat perkataan neneknya jika melihat seseorang sedang menangis, ada cara untuk menenangkannya, dan caranya itu akan dia lakukan.
"Maaf kalau saya lancang." Tangan Natha bergerak meraih pundak Jihan yang rapuh, kemudian membawanya pada dekapan yang hangat dan Jihan sama sekali tidak menolak.
"Enggak apa-apa, Han. Kamu harus kuat, kamu harus bisa lupain mantan kamu itu, dia nggak pantas buat kamu tangisin," ucapnya menenangkan seraya menepuk pundak Jihan berkali-kali.
"Tenang, ya. Ada saya di sini."
Meski Natha telah mencoba menenangkannya perempuan itu masih menangis, tapi tidak apa, Natha tahu kesedihan mendalam yang Jihan rasakan.