πππ
Lebih baik menghindari hal yang bisa memicu gangguan kecemasan. Karenanya, tidak akan mudah untuk menyembuhkannya. Sehingga, lebih baik mencegah daripada mengobati.
πππ
Libby menolak secara halus ajakan untuk belajar bersama di rumah Sera. Meskipun begitu, dia sebenarnya ingin ikut ke sana. Hanya saja, ingat bila Mawat pasti tidak akan mengizinkannya.
Akan lebih baik, bila ia berdiam diri di kamar sepulang sekolah. Daripada harus ribut dengan Mawar. Sehingga, kini ia terpaksa menolak ajakan dari Sera.
Sera, Razel, Januar, serta Helga paham bila mungkin Libby benar-benar tidak bisa ikut belajar bersama di rumah Razel.
Jam istirahat selesai, mereka kembali ke kelas masing-masing. Kemudian, berkonsentrasi untuk menerima materi yang diberikan guru. Sera masih sedikit sedih karena Libby tidak bisa belajar di rumahnya. Padahal, dia butuh teman untuk belajar. Agar, bisa lebih semangat menerima materi pelajaran.
Sejujurnya, Libby sedikit merasa bersalah dan tidak enak hati pada Sera. Namun, ia tak mau bila harus berdebat dengan Mawar. Itu bisa memicu gangguan kecemasan pada kambuhan.
Akan tetapi, ia berjanji pada dirinya sendiri bila akan berusaha secepatnya sembuh dari gangguan kecemasan yang dialami. Meskipun demikian, penyakit itu tidak mudah dibudidayakan. Karena itu, itu tergantung pada diri masing-masing. Jika bisa mengendalikan diri pada saat ada masalah. Bisa sedikit demi sedikit membuat gangguan kecemasan menghilang. Berbeda, jika kita ikut larut dalam konflik atau terjadi. Maka, gangguan kecemasan akan semakin parah.
Seusai jam sekolah selesai. Libby kembali meminta maaf pada Sera. Karena, memang tidak bisa ikut ke rumah sahabatnya itu. Tak mau membuat Sera sedih dengan keputusannya.
"Aku duluan ya, Sera. Sekali lagi, aku minta maaf tidak bisa tawaran tadi. Soalnya, takut nanti pulang kesorean." Libby menyuguhkan senyuman, sambil menggantikan tangan pada Sera. Berharap, Sera tidak membenci dirinya sendiri karena tidak mau ikut gadis itu.
Sera menghela nafas, lalu tersenyum sambil membuka posisi tangan Libby. "Nggak apa-apa kok. Lain kali, usahain lo bisa ikut main ke rumah gue ya, Bby."
Libby mengangguk, seraya tersenyum. Berharap, lain kali bisa bermain ke rumah Sera. Menghabiskan banyak waktu dengan sahabatnya itu. Karena, Sera mungkin satu-satunya sahabat Libby. Sehingga, ia ingin memiliki waktu bermain dengan Sera.
Libby pulang menggunakan angkutan umum. Itu sudah rutinitas sehari-harinya. Oleh karena itu, masalahnya harus diselesaikan dengan orang lain. Masih banyak siswa maupun siswi seperti Libby.
Andai saja, Libby tidak kehilangan sosok Mamanya. Pasti, hidupnya sudah sangat bahagia. Bahkan, mungkin ia tidak pernah mengalami gangguan kecemasan. Akan tetapi, takdir berkata lain. Kini, Papanya sangat membenci dirinya. Karena, menuduh Libby sebagai pemicu Mamanya meninggal. Padahal, sebelum kecelakaan terjadi pada Mamanya. Papa serta Mamanya sudah beberapa kali bertengkar. Membuat, Mamanya muak dengan segala hal itu. Sehingga, memutuskan meninggalkan rumah untuk sementara guna menenangkan diri.
Hanya saja, nasib buruk menghampiri Arini serta Libby. Kecelakaan dialami Arini, mengakibat kelumpuhan pada kaki wanita paruh baya itu. Sehingga, mungkin sedikit membuat wanita itu mulai putus asa dengan keadaan. Lalu, memutuskan mengakhiri hidup meninggalkan Libby yang masih kecil.
Tidak berselang lama setelah kematian Arini. Bimo memutuskan untuk menikah dengan Mawar. Tanpa mau mempedulikan kehidupan Libby. Perpisahan Mama serta Papanya sebenarnya terjadi karena Arini mengetahui Bimo dekat dengan wanita lain. Itu membuat Arini kecewa sekaligus tidak terima diduakan. Tidak hanya itu, Bimo justru memutar balikan fakta.
Libby rasa kecelakaan yang dialami Mamanya memang ada unsur kesengajaan. Karena, ia hampir menjadi korban bila Mamanya tidak menghalangi mobil itu ke arah Libby. Dan, pada akhirnya Arini lah yang tertabrak mobil itu.
Seperti ada sengaja ingin mencelakai Libby serta Mamanya. Padahal, mereka berdua sudah mengalah untuk pergi dari rumah menenangkan diri. Akan tetapi, ternyata masih ada orang yang menginginkan Libby maupun Arini untuk pergi dari dunia ini.
Sekitar lima belas menit perjalanan. Libby sampai di rumahnya. Seperti biasa, ia melihat Mawar sedang duduk bersantai di ruang tamu sembari menonton televisi.
Libby berjalan tanpa mempedulikan wanita paruh baya itu. Karena, ia tak mau bila akan ada perdebatan diantara mereka. Hubungannya dengan Mawar tidaklah baik. Bahkan, sangat terlihat jelas dari tatapan sinis keduanya.
Namun, harapan Libby sirna saat Mawar menoleh ke arahnya menatapnya sinis. Awalnya, Libby tidak ingin mempedulikan Mawar.
"Pasti capek banget kalo harus bolak balik naik angkutan umum. Belum lagi, banyak mengeluarkan banyak biaya." Mawar menyindir Libby, itu sudah biasa didapatkan oleh Libby. "Harusnya, kamu bisa nurut sama kemauan Papa kamu. Padahal,--"
Libby menghela napas, menatap tajam ke arah Mawar. Kemudian, menyunggingkan senyum sinis. "Jangan harap, saya mau nurut dengan hal yang hanya menguntungkan pihak anda. Saya bukan anak kecil yang bodoh lagi. Jadi, mulai sekarang akan terus melawan ketidakadilan."
Mawar sedikit terkekeh, melihat tingkah Libby. "Kalo gitu, terusin aja nggak apa-apa. Lagipula, Papamu akan selalu ada di pihak saya. Dan, lihat saja sampai mana kemampuanmu bisa melawan saya."
Miris. Itulah yang dirasakan Libby. Karena, apa yang dikatakan Mawar benar. Bimo memang selalu membela Mawar. Bahkan, sangat tidak peduli pada Libby. Mungkin, tak pernah menganggapnya ada.
Akan tetapi, Libby tak akan membiarkan Mawar bisa menguasai semuanya. Ia berusaha untuk bisa menyadarkan Papanya. Meskipun, itu tidak akan mudah dilakukan.
"Saya nggak akan nyerah buat bikin Papa lepas dari wanita seperti anda." Libby cukup berani mengatakan itu, karena tujuannya adalah menjauhkan Bimo dari Mawar.
Mawar tersenyum sinis, tidak menyangka Libby sekarang cukup berani akan melawannya. Padahal, dulu gadis itu terlihat sangat lemah. "Anak kecil, mau mencoba melawan saya. Kamu tidak akan pernah menang dari saya. Papa kamu sudah terlalu mencintai saya. Nggak akan percaya sama perkataanmu anak pembawa sial. Jadi, bermimpi lah untuk bisa membuat Papamu sadar."
"Saya akan terus berusaha. Karena, kebaikan akan selalu menemukan jalan. Sebaliknya, kejahatan akan mendapatkan karmanya." Libby masih punya keyakinan, bisa membalikan keadaan. Karena, hati manusia bisa berubah. Sehingga, ia harap Papanya bisa mempercayai dirinya. Sekaligus, bisa berada pada pihaknya.
Mawar masih terkekeh sembari menatap sinis Libby. Sangat tahu, betapa bencinya Bimo kepada Libby. Karena, menganggap Libby sebagai penyebab kematian Arini. "Silakan. Teruskan kepercayaan dirimu itu. Karena, itu akan berakhir sia-sia."
Diam-diam, Libby menghela napas. Kemudian, melanjutkan melangkah menuju kamarnya. Tak mau, meladeni perkataan Mawar lagi. Itu bisa membuat amarahnya terpancing. Tidak baik untuk kesehatannya. Gangguan kecemasannya bisa kambuh bila terus melakukan perdebatan dengan Mawar.
Mawar memang seperti sengaja ingin membuat Libby terpancing amarahnya. Karena, sedari dulu tidak menyukai keberadaan Libby. Mungkin, wanita itu berpikir Libby akan menjadi penghalang paling kuat untuk mendapatkan semua harta Bimo. Ditambah, dulu tahu bila sejak kecil Bimo sangat menyayangi Libby. Hanya saja, semua berubah sejak kecelakaan yang dialami Arini.
Akan tetapi, kini Mawar beruntung Bimo sangat membenci Libby. Kemudian, lebih menyayangi Yumika. Anak Mawar. Karena, tujuannya membuat hidupnya serta Yumika lebih baik dari sebelumnya.
Sesampai di kamar, Libby langsung berganti pakaian. Lalu, membaringkan tubuh pada ranjang. Mulai menonton drama di laptop miliknya. Karena, itu bisa membuatnya lebih tenang.
πππ
Januar serta Helga sudah sampai di rumah Razel sesuai perjanjian. Karena, akan melakukan belajar bersama. Untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Agar, bisa mendapatkan nilai memuaskan.
Mata Helga berbinar melihat makanan serta minuman sudah tersaji di meja ruang tamu. Karena, seperti sudah dipersiapkan dengan baik untuk menyambutnya.
"Wah... Mantap banget. Udah ada cemilan sama minuman di meja." Helga merasa senang, melihat pemandangan di depan matanya.
Januar menggelengkan kepalanya, tahu bila Helga memang terlihat sangat senang ada banyak makanan ringan di sana. Namun, ia merasa tak enak pada Razel. Karena, sedikit merepotkan tuan rumah itu.
"Sori... Malah jadi ngerepotin lo, Zel. Harus siapin banyak cemilan kayak gitu." Januar merasa tak enak hati pada Razel. Takut, itu membuat sahabatnya repot.
Razel menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah Januar serta Helga. Merasa tak masalah sudah menyajikan apa yang ada di meja. Karena itu, menurutnya wajib dilakukan untuk menjamu tamu. "Nggak apa-apa, santai aja. Pokoknya cuma dikit kok. Biar lebih semangat belajarnya."
Helga tersenyum mendengar perkataan Razel. Yang terlihat tidak masalah harus menyajikan beberapa cemilan saat belajar bersama di rumah itu. "Makasih banget lho, Zel. Lo emang sahabat baik sekaligus perhatian."
"Makasih ya, Zel." Januar tersenyum pada Razel.
Sera menuruni anak tangga ketika Razel masih memegang kendali dengan Helga serta Januar. Kemudian, gadis itu menghampiri pria ketiga itu.
"Kak, nanti bisa bantuin gue kerjain ini, nggak? Soalnya, biasanya minta bantuan Libby. Tapi, dia kan nggak bisa datang ke sini. Padahal, bakalan seru banget kalo dia ada di sini." Sera seperti mengharapkan sahabatnya datang. Meskipun demikian, sudah dipastikan Libby tidak datang.
Helga mengangguk setuju, karena Libby bisa membuat suasana lebih ramai.
"Makin banyak orang makin semangat. Tapi, sayang banget Libby nggak bisa datang. Atau, mending lo jemput aja, Zel." Helga berbicara seperti itu, seraya menggoda Razel. Ingin tahu reaksi apa yang akan ditunjukan Razel.
Kini Sera, Januar, serta Helga beralih menatap ke arah Razel. Menunggu, respon apa yang akan dilakukan Razel.
- Akan Dilanjutkan -