πππ
Kita tidak bisa terus berada dalam situasi tertekan. Oleh karena itu, kita harus memberanikan melawan hal yang tidak membuat nyaman maupun stres. Meskipun demikian, tidak mudah melakukannya. Namun, tidak ada salahnya mencoba lebih tenang serta berani menghadapi situasi sulit itu.
πππ
Razel menyunggingkan senyum selesai membaca pesan dari teman rahasianya. Entah kenapa, dia selalu senang sekaligus termotivasi dengan apa yang dikatakan Manito-nya.
"Ngapain lo senyum-senyum? Kesambet ya lo, hati-hati katanya di sekolah ini banyak penghuninya." Helga memberikan informasi yang pernah didengar. Meskipun, belum tentu beritanya. Akan tetapi, tidak ada salahnya tetap waspada.
Razel menoleh, sedikit tak habis pikir dengan memikirkan Helga. Meskipun demikian, mungkin tidak salah. Namun, zaman sudah banyak berubah.
"Emang banyak penghuninya, termasuk lo, sih, Ga. Zaman sekarang masih aja percaya kayak gitu. Mending, berpikir logis sekaligus nggak usah aneh-aneh di sekolah ini. Itu lebih baik serta masuk akal. Kita bakalan aman di sini buat belajar." Januar sedikit terkekeh, sedikit tak percaya dengan mitos. Sebab, zaman sudah mengalami banyak perubahan. Sehingga, hanya perlu waspada sekaligus menjaga diri dengan baik.
"Maksud gue bukan begitu, Janu. Capek banget ngomong sama lo." Helga sedikit kesal dengan kata yang keluar dari mulut Januari.
"Gue nggak apa-apa, kok. Kan, senyum baik buat kesehatan. Jadi, emang lagi pengin senyum aja sih." Razel sedikit penjelasan pembahasannya. Tak mungkin, ia mengatakan bila sedang bertukar sekaligus mendapat pesan dengan teman rahasianya. Karena itu privasi untuk dirinya sendiri.
Helga mengangguk, paham bila apa yang disampaikan Razel. Sepertinya, dia juga harus melakukan hal yang sama. Sering tersenyum, agar hidupnya lebih sehat.
"Pulang sekolah jadi keranjang utama nggak? Soalnya, kita udah lama nggak main." Januar kembali berbicara dengan topik yang berbeda dari sebelumnya.
"Boleh, sih. Gue aman kapanpun siap buat main basket. Dekat kompleks rumah Razel aja gimana?" Helga cukup antusias mendengar bila mereka akan kembali bermain keranjang setelah sekian lama.
Semenjak Razel mengalami kecelakaan, pria itu memang cukup mengurangi kegiatan berat yang dapat membahayakan dirinya. Itu sudah diberitahu sekaligus mengingatkan dokter. Sehingga, Razel memang benar-benar beristirahat beberapa waktu. Selain itu, orang tua Razel juga ikut mengawasi perkembangan kesembuhan Razel.
Razel diam, berpikir akan ikut bersama Helga serta Januar atau tidak. "Hm... Nanti gue izin ke orang tua gue dulu, ya. Sebenarnya sih, gue pengin ikutan tapi tergantung dapat izin apa nggak."
Helga maupun Januar mengangguk, Razel memang butuh izin dari orang tuanya. Akan tetapi, seharusnya cowok itu sudah bisa ikut bermain basket bersama mereka berdua.
Perlahan, Razel mulai mengetik pesan pada orang tuanya. Kemudian, ia mengirimnya berharap diizinkan untuk bisa mulai bermain bersama kedua sahabatnya. Karena, ia merasa kondisinya sudah cukup baik saat ini.
Tidak butuh waktu lama, Razel mendapatkan balasan pesan. Ia tersenyum, karena diizinkan untuk bermain basket bersama Helga serta Januar. "Oke. Gue bakalan ikut, nanti udah dapat izin dari nyokap sama bokap gue."
"Bagus kalo gitu. Nanti gue sama Janu pulang dulu ganti baju. Baru deh, kita ke lapangan kompleks rumah lo, Zel." Helga merasa senang, sahabatnya sudah mulai bisa beraktivitas normal. Karena, sebelumnya cukup banyak larangan dari dokter.
Januar mengangguk. "Mungkin, gue nanti agak telat dikit. Tapi, tenang aja bakalan tetap datang, kok."
Jarak rumah Januar ke lapangan kompleks rumah Razel memang cukup jauh. Oleh karena itu, menurutnya mungkin akan sedikit terlambat. Meskipun demikian, dua sahabatnya pasti paham dengan hal itu.
"Santai aja, Janu. Gue bakalan pemanasan dulu kalo kalian belum datang. Kayaknya, gue datang paling awal. Rumah gue juga nggak terlalu jauh lapangan itu." Helga memang berniat untuk datang lebih awal. Karena, mungkin akan lebih baik bila dirinya sampai lebih dulu.
Seusai merencanakan untuk merencanakan bermain basket mereka kembali fokus pada pelajaran sampai jam sekolah selesai.
Razel seperti biasa pulang bersama Sera. Adiknya. Karena itu sudah kegiatan rutin berangkat serta pulang sekolah bersama. Juga, Razel merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan adiknya aman sampai tujuan. Terlebih lagi, ia masih selalu menganggap Sera seperti anak kecil. Meskipun kini gadis itu sudah remaja. Bahkan, sebenarnya baru terpaut satu tahun dengan Razel.
"Nanti lo jangan kemana-mana ya. Soalnya, gue mau pergi ke lapangan kompleks mungkin sampai sore. Mau main basket bareng Januar dan Helga." Razel mulai berbicara pada Sera, saat dalam perjalanan pulang ke rumah.
Sera mengangguk paham, sepertinya kakaknya sudah mulai bisa beraktivitas normal. "Oke. Gue gak akan kemana-mana, kok. Paling nonton drama aja di rumah. Kakak hati-hati mainnya ya. Jangan sampai cidera, nanti dimarahi Papa. Tau sendiri, Papa protektif banget ke kita."
"Oke siap, Dek. Kebetulan kakak udah dapat izin buat main basket dari Papa sama Mama. Jadi, pengin manfaatin waktu yang ada. Mumpung, belum sibuk buat persiapan ujian." Razel memang sudah lama tidak mendapatkan kebebasan bermain atau keluar rumah melakukan banyak kegiatan. Oleh karena itu, kini ia harus menikmati waktu yang ada.
"Jangan terlalu diforsir juga main basketnya. Ingat ke depannya masih bisa kok. Dan, semoga nanti juga diizinin buat ikut Anggar lagi. Kan, udah lama nggak dibolehin sama Papa." Sera tahu, sedari awal Papanya tidak terlalu menyukai Razel mengikuti kegiatan Anggar. Meskipun sebenarnya kakaknya cukup baik dalam bidang olahraga Anggar. Namun, Papanya sangat terlihat tidak setuju Razel ikut kegiatan itu.
Razel ingat, ingat yang dikatakan Sera memang benar. Namun, ia tidak ingin memaksakan diri untuk bisa melakukan banyak kegiatan terlebih dahulu demi kesehatannya. "Aamiin. Semoga aja, yang penting sekarang kakak udah mulai membaik kondisinya. Meski begitu, belum bisa mengingat sebagian hal yang pernah terjadi."
"Nggak apa-apa Kak. Seiring berjalannya waktu, pasti kakak bisa mengingat semua. Jadi, tidak perlu khawatir." Sera tak mau bila Razel terlalu memaksakan untuk mengingatkan hal yang hilang dari ingatannya.
"Oke." Razel rasa memang tidak perlu berpikir berlebihan. Agar, dirinya bisa cepat memulihkan kesehatan.
Beberapa menit kemudian.
Razel serta Sera sudah sampai di rumah. Razel mengganti pakaian untuk pergi ke lapangan dekat rumahnya. Sebelumnya, saya sudah menyempatkan makan roti terlebih dahulu. Agar, tidak merasa lemas saat mulai berolahraga. Kemudian, ia mengambil udara putih dingin di lemari pendingin rumahnya untuk dibawa ke lapangan.
"Gue pergi main basket dulu ya. Jaga rumah baik-baik, jangan pergi tanpa izin dari gue." Razel berpamitan sekaligus kembali menenangkan adiknya. Agar, gadis itu tidak melakukan hal yang aneh-aneh.
Sera mengangguk, tidak masalah ditinggal sendiri di rumah. Sebenarnya, ada asisten rumah tangga. Namun, ia memilih berada di kamar menonton drama. "Oke. Hati-hati di jalan kak. Jangan pulang kesorean, takut dimarahin Mama sama Papa."
Razel tersenyum sambil menunjukkan jari jempolnya kepada Sera. Tanda, bila menyetujui kata adiknya itu. Lalu, ia mulai melangkah keluar rumah lapangan menuju keranjang.
Hanya butuh sekitar lima menit perjalanan. Sehingga, kini Razel sudah sampai di lapangan kompleks rumahnya. Ia melihat, Helga sudah lebih dahulu berada di sana seperti kata pria itu.
"Gue pikir, tadi lo nggak beneran mau datang lebih dulu. Gue kira cuma bercanda, Ga. Ternyata benar, lo udah di sini duluan." Razel tersenyum, seraya sedikit tak percaya dengan Helga datang seperti kata-katanya.
Helga menghela napas, ia memang sering datang paling akhir sekaligus pulang lebih dulu daripada yang lain. Akan tetapi, sekali kali boleh datang lebih dulu. "Gue serius lah, lo pikir bercanda. Padahal, biasanya emang paling telat, sih."
Razel kembali tersenyum. "Malah bagus, sekarang lo lebih rajin. Perkembangannya baik, patut dipertahankan, Ga."
"Oke. Oke. Gue bakalan datang lebih awal terus, biar keliatan kalo memang anak baik dan rajin." Helga senang mendapatkan pujian dari Razel.
Razel memperhatikan sekitarnya, Januar memang belum datang seperti yang sudah dikatakan cowok itu. Lagi pula, Januar memang jarak paling jauh dari tempat itu.
"Kita pemanasan sama main berdua dulu ya? Soalnya, Janu beneran belum sampai." Helga seperti sudah tidak sabar, untuk memulai permainan basket di sana.
Razel mengangguk, lalu mulai melakukan pemanasan bersama Helga. Sebelumnya, ia bermain basket. Agar, terhindar dari cidera saat bermain nanti.
Sekitar lima belas menit kemudian. Januar sudah terlihat sampai di lapangan itu. Kemudian, ia langsung mulai bermain basket.
"Lapangan ini nggak berubah ya. Masih sama kayak kemarin-kemarin nyaman buat main basket atau olahraga lain." Januar memperhatikan situasi lapangan itu.
Helga tersenyum, dia memang tidak salah memilih tempat untuk bermain basket. Ia merasa cukup bangga dengan hal itu. "Kan, di sini memang nyaman. Cocok banget buat main basket. Nggak cuma itu, lebih dekat dari rumah gue. Meskipun, Razel tetap lebih dekat, sih. Tapi, setidaknya bisa hemat biaya buat gue."
Januar tenang, tak habis pikir dengan segala pemikiran Helga. Meski begitu, memang tidak salah maupun benar. "Terserah lo aja, deh, Ga. Biar lo senang kan nggak pusing liat tingkah aneh lo."
Helga tersenyum mendengar perkataan Januar. Begitupula Razel, tak kaget dengan tingkah laku kedua sahabatnya.
πππ
Di sisi lain, Libby sedang menikmati waktu luang sedang berbaring di dalam ruangan. Karena, memang sedang tidak memiliki kegiatan setelah sekolah. Sehingga, ia memutuskan menonton drama di laptopnya.
Ia pikir, itu akan membuatnya lebih tenang. Meskipun demikian, dalam rumah itu harus hidup bersama keluarga baru Papanya. Akan tetapi, dia tidak boleh terlalu memikirkan hal itu. Tugasnya berada di sana, untuk mempertahankan haknya serta menjaga Papanya. Meskipun demikian, Papanya tidak pernah mau peduli lagi dengannya. Namun, ia akan tetap berada di samping lelaki itu. Lantaran, ia merupakan anak kandung Papanya.
"Enak banget jam segini santai-santai! Buruan beresin rumah, bantuin asisten rumah tangga kesayangan kamu. Biar, pekerjaan di rumah ini cepet selesai." Tanpa diduga, Mawar sudah masuk ke dalam kamar Libby. Seraya, langsung memberikan perintah yang tidak seharusnya dilakukan Libby.
Libby menoleh ke arah Mawar, merasa tak nyaman karena wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Terlebih lagi, itu area privasinya. Akan tetapi, tanpa sadar diri Mawar masuk ke dalam kamarnya.
Pun, Libby mulai bangkit dari kasurnya. Kemudian, memberanikan menatap tajam ke arah Mawar.
"Berani-beraninya anda suruh saya buat membersihkanin rumah ini? Perlu anda tahu, rumah ini milik saya. Anda tidak dapat mengatur saya seperti itu! Jangan harap, saya akan menuruti kata maupun perintah wanita ular seperti anda!" Kalimat pedas sekaligus cukup tegas keluar dari mulut Libby. Gadis itu bukanlah anak kecil yang mudah ditindas lagi. Karena sekarang semuanya sudah berubah.
Raut wajah Mawar terlihat berubah, semakin ingin meluapkan emosi kepada Libby. Terbukti, kini wanita itu mulai mendekat ke arah Libby yang masih berdiri di sebelah kasurnya. "Berani melawan perintahku, hah! Harusnya kamu sadar diri, kalau Papamu aku tidak pernah peduli! Jadi--"
"Saya yakin, suatu hari nanti pasti Papa bakalan sadar kalo anda itu bukan wanita baik. Apalagi, anda hanya mengincar harta milik keluarga saya. Rumah ini, sekaligus harta lain tidak akan bisa anda dapatkan itu. Terlebih lagi, bila saya masih bisa bernapas. Jadi, anda jangan bermimpi untuk bisa mendapatkan semua harta saya!" Sejujurnya, tidak mudah untuk mengatakan hal seperti itu bagi Libby. Namun, dia harus melakukannya. Agar, Mawar tidak semakin menekan maupun meremehkan dirinya sendiri.
Mawar sini tersenyums kepada Libby. Tidak menyangka, anak tirinya bisa lantang berbicara dengannya. Bahkan terkesan menantang dirinya sendiri. Karena, dia tahu selama ini Libby cukup lemah. Akan tetapi, beberapa waktu belakangan memang sedikit berubah. "Aku tidak akan menyerah untuk bisa mendapatkan semua harta yang dimiliki Papamu."
"Jangan harap! Karena, saya akan mempertahankan keahlian tenaga. Saya tidak akan kalah dari wanita licik serta murahan seperti anda!" Libby tak mau kalah saat berbicara dengan Mawar.
"Dasar anak tidak tahu diuntung. Harusnya, kamu ikut mati aja bersama dengan Mamamu itu!" Mawar mulai terbawa emosi, tanpa diduga tangannya sudah siap melayang ingin menampar Libby. Akan tetapi, Libby berhasil menahannya.
"Saya bukan anak kecil lemah seperti dulu. Jadi, tidak akan mengalah demi wanita licik seperti Anda!" Libby kembali menekankan bila dirinya tidak mau mengalah atau kalah dari Mawar. Meskipun demikian, ia tahu wanita itu akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.
Mawar melepaskan tangannya dari Libby. Kemudian, pergi meninggalkan kamar milik anak tirinya itu.
Saya akan mendapatkan semuanya, dengan cara apa pun nanti. Tunggu saja tanggal mainnya, dasar anak sialan !
Libby merasa lega, sudah bisa mengatasi hal yang baru saja terjadi. Meski begitu, kini perasaannya tidak tenang. Apalagi tangannya sudah mulai bergetar sedari tadi. Hanya saja, ia memang menahan tenaga. Agar, Mawar tidak menyadari hal itu. Karena, bila tahu pasti akan memanfaatkan kelemahan Libby itu.
Kemudian, Libby menutup pintu kamarnya. Sembari, mulai menenangkan dirinya agar tidak semakin parah. Sebenarnya, kondisinya bisa cepat kembali normal dengan cara meminum obat penenang. Hanya saja, ia tidak mau terlalu bergantung pada obat-obat. Meski begitu, ia tetap meminumnya pada saat-saat tertentu.
Tidak tidak tahu pasti, sebenarnya Mawar mengetahui kondisi traumanya atau tidak. Akan tetapi, Libby akan berusaha selalu menutupinya saat berhadapan dengan Mama tirinya itu.
- Akan Dilanjutkan -