Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

"Ternyata lo kerja di sini?" Ersa bingung bagaimana harus bereaksi. Yang jelas ia tidak bisa menutupi raut marahnya.

"Ya, seperti yang lo lihat," jawab Binar pasrah. "Gue nggak bisa jelasin sekarang. Besok aja. Ini berat!"

Binar hendak lanjut melangkah. Berusaha sekuat tenaga tetap berdiri stabil dengan 2 sak semen di punggungnya.

"Nggak bisa!" cegah Ersa. Ia memegangi lengan Binar. Sehingga pemuda itu tak bisa melanjutkan langkah.

"Gue harus kerja, Sa. Gue nggak mau kehilangan pekerjaan lagi." Binar frustrasi.

Jujur ia tidak siap ketahuan Ersa dalam situasi seperti ini. Ia belum mau menjelaskan apa-apa. Ia juga belum siap berhenti bekerja di sini. Sementara obat Pijar tidak bisa ditunda penebusannya.

"Nggak! Taruh semennya, buruan!" Ersa bersi keras. "Gila lo! Nggak inget sama hasil pemeriksaan lo 2 minggu lalu? Katanya mau selalu ada buat Pijar? Tapi apa? Yang lo lakukan, sama sekali nggak selaras!"

***

Dua minggu yang lalu ....

Pasca usaha pemaksaan yang dilakukan oleh Ersa dan dokter Rayn ... Binar bersedia melakukannya.

Selama prosesnya Ersa tidak pernah pergi. Sebenarnya Binar mau terkesan dengan perubahan sikap Ersa yang semakin positive vibes.

Tapi Binar juga tidak mau membebani. Sungguh!

Tak perlu waktu lama hingga hasil pemeriksaan awal keluar. Seolah Binar sudah tidak kaget. Namun tetap saja seluruh tubuhnya mendadak tremor mendengar dokter Rayn membacakan vonis.

***

"Gue harus gimana, Sa? Gue tetap harus kerja. Nanti obatnya Pijar gimana?" Binar semakin frustrasi.

"Bukan cuma Pijar yang butuh obat! Pikirin diri lo sendiri juga! Kerja ya kerja! Tapi nggak gini caranya. Kalau lo sehat, terserah mau kerja apa. Jangankan angkat-angkat semen ... jadi atlet MMA juga gue nggak akan larang. Malah seneng lihat lo bonyok setiap hari. Tapi inget soal hasil pemeriksaan itu!"

"Cari kerjaan nggak semudah bayangan lo, Sa. Gue udah berusaha cari sejak dipecat."

"Heh, gue udah berusaha tanya berkali-kali soal kerjaan baru lo. Soalnya gue mau tanggung jawab atas dipecatnya lo. Tapi lo selalu ggak mau terus terang! Gue pikir kerjaan baru lo udah enak. Makanya lo betah. Harusnya lo jujur. Jadi gue nggak ragu nawarin lo kerjaan. Seenggaknya lo nggak perlu buang-buang tenaga. Gaji juga gede! Pantesan aja lo makin jompo banget akhir-akhir ini. Ternyata lagi proses bunuh diri pelan-pelan!"

Binar hanya bisa diam. Jantungnya berdebar-debar, terlalu banyak perasaan yang ia hadapi dalam satu waktu.

Fokusnya terbagi dalam 2 hal. Soal Ersa yang punya pekerjaan untuknya. Dan dengan Ersa yang mengatakan dirinya sedang bunuh diri perlahan.

"Gue kerja buat bertahan hidup. Mana ada bunuh diri pelan-pelan!" Rupanya Binar lebih condong tidak terima.

"Belum lama keluar rumah sakit, dapet vonis penyakit, tahu-tahu lo udah aktif ikut turnamen, setiap hari masih kerja, mana kerjaannya kayak gini. Apa itu namanya kalau bukan bunuh diri?"

"Lo mana paham, Sa? Lagian kalau lo emang punya kerjaan buat gue ... ya lo tinggal bilang. Lo nggak perlu tahu dulu apa kerjaan baru gue. Tinggal menawarkan apa susahnya? Kecuali kalau lo emang nggak niat!"

Binar rasanya sudah lelah dengan setiap lembar kisah juang yang harus ia hadapi. Kerasnya dunia ini sudah ia terjang walau dengan tertatih. Namun kemudian ada yang tiba-tiba datang menghakimi.

"Gue juga cape, Sa! Gue pun nggak mau kayak gini. Kalau nggak terpaksa, gue juga mau leha-leha di rumah tanpa melakukan apa-apa -- kayak lo. Kalau nggak leha-leha ya ngelayap tengah malam ngabisin duit orang tua!"

Ersa menarik kerah baju Binar. "Ngomong sekali lagi gue tonjok lo! Tahu apa lo soal hidup gue? Padahal gue udah berbaik hati menawarkan pekerjaan. Tapi tanggapan lo begini. Terserah lo sekarang! Kalau tahu-tahu lo mati ... biar aja Pijar hidup luntang-lantung sendirian! Bisa jadi dia juga bakal nekat jadi kuli buat bertahan hidup nantinya. Dan itu semua gara-gara lo!"

***

Binar banyak berpikir setelah Ersa pergi. Jujur ia menyesal. Harusnya ia bisa menahan emosi. Sehingga pekerjaan yang ditawarkan oleh Ersa bisa dibicarakan baik-baik.

Binar sudah melewatkan kesempatan dapat kerja bagus. "Emang bukan rezeki gue," gumamnya.

Ia berusaha ikhlas. Tapi ternyata susah. Ia terus kepikiran, dan terus menyesal.

Binar menelan obatnya. Terlambat sedikit.

"Kamu sakit ya, Bin?" tanya Pak Pram yang tak sengaja melihat Binar minum obat.

Binar menoleh. "Nggak, Pak. Cuma pusing dikit," jawabnya.

"Istirahat dulu, Bin."

"Nanggung, Pak. Sebentar lagi."

"Yang tadi itu teman kamu?"

Binar mengangguk samar.

"Anak orang kaya pasti, ya. Masih bocil udah dibawain mobil sendiri."

Binar terkekeh.

"Kamu nggak usah iri, Bin. Kamu sekarang berjuang keras. Kamu orangnya gigih. Calon orang sukses. Nanti saat kalian sudah dewasa, bisa jadi kamu lebih sukses dari dia."

Binar mengaminkan dengan setengah hati. Apa ia bahkan sempat merasakan usia dewasa?

***

Ersa mengemudi lebih ngebut dari sebelumnya. Emosinya pada Binar masih di puncak.

Selama ini setiap kali berdebat, Binar selalu mengalah. Sekali Binar mau melawan, ternyata mulutnya pedas juga.

"Nggak tahu diri emang. Udah miskin ... sok banget gayanya! Nggak bisa dikasih hati ya udah! Mau mati ya mati aja. Udah tahu jompo, sok kuat!"

Iya, Ersa emosi. Tapi bisa-bisanya ia terus kepikiran Binar dan Pijar.

Bagaimana kalau Binar betulan tiba-tiba mati? Lantas Pijar bagaimana?

Ersa menggeleng kasar gara-gara isi pikirannya sendiri. Ia memukul kepalanya keras, siapa tahu pikiran-pikiran ngawur itu hilang.

Binar ada benarnya. Kalau Ersa memang mau menawarkan pekerjaan, ya tinggal bilang. Bukannya malah diam, menunggu kepastian pekerjaan Binar yang baru.

"Aduh gimana, ya? Tau ah. Bodo amat! Kalau Binar nanti ngajak ngobrol duluan, baru gue bahas soal kerjaan itu. Eh, tapi kalau dia diem terus gimana, dong!"

Ersa mengacak rambutnya sendiri sampai mencuat ke mana-mana.

***

"Kamu kenapa, Sayang?" Wina bingung, sepanjang perjalanan pulang anaknya murung.

Seperti biasa, mereka di mobil berdua, yang menyetir gantian Wina.

"Tadi aku ketemu temenku pas berangkat, Ma."

"Oh, ya?" Wina tersenyum. Senang Ersa menceritakan temanny. "Di mana ketemunya?"

"Di proyek yang barusan kita lewati." Ersa menunjuk dengan dagunya.

"Lah, ngapain dia di proyek itu?" bingung Wina

"Dia kan miskin. Jadinya sekolah sambil kerja."

"Hus ... Ersa ... mulutnya belajar dipasang filter, Nak! Jangan gitu!"

"Ya maap. Dia yang aku omongin kemarin. Beneran dipecat dari minimarket gara-gara Papa. Terus kerja di situ."

"Astaghfirullah. Kali ini papamu beneran keterlaluan, sih."

"Ya emang."

Wina sebenarnya juga bingung kenapa suaminya bisa bertindak sejauh ini. Kenapa kebencian Damara pada Binar terlalu berlebihan?

"Mama tahu sesuatu nggak? Jujur aku penasaran, Ma. Sampai aku ngerasa bersalah sama Binar. Terlebih aku tahu hidupnya Binar nggak mudah. Kok Papa masih tega jahat begitu. Sampai sekarang Binar nekat kerja di proyek demi bertahan hidup."

Winq tersenyum. Ia merasa bangga pada putra satu-satunya itu. Karena semakin ke sini, Ersa semakin menunjukkan sisi manusianya, yang peka terhadap kesulitan manusia lain.

Walau pun Ersa menunjukkan kepekaannya dengan cara yang unik. Sesuai dengan karakter bawaannya.

"Coba kamu tawari dia pekerjaan lain, Sayang. Di lokasi syuting ada beberapa pekerjaan kok. Kalau dia mau, bisa Mama ajak kerja di sana. Setidaknya nggak seberat ikut proyek kerjaannya."

"Aku juga punya rencana begitu, Ma. Aku ada kerjaan buat dia."

"Oh, ya? Apa?" Wina benar-benar antuasias. Ternyata Ersa malah sudah menyediakan calon pekerjaan untuk Binar.

"Ada deh. Pokoknya aku punya kerjaan yang oke buat dia. Nggak nguras waktu dan tenaga. Yang pasti gajinya gede. Nanti uang yang Mama transfer ke rekening aku, sebagian buat bayar dia nggak apa-apa, kan?" Ersa minta izin dulu.

Karena saat ini uang sakunya 100% memang dari Wina.

"Ya boleh dong, Sayang. Yang udah Mama kasih ke kamu, itu sepenuhnya udah hak kamu. Terserah mau kamu apain uangnya. Asal di jalan yang positif."

"Makasih, Ma. Sayangnya tawaran pekerjaan itu belum aku sampaikan ke dia, Ma. Soalnya tadi kami berantem. Adu mulut. Aku kesel dia kerja di tempat kayak gitu, padahal lagi sakit. Kok nggak mikirin dirinya sendiri. Sembrono banget jadi manusia!"

"Coba kamu kasih tahu baik-baik, Sayang. Jangan emosi dulu! Kalau tawaran kerjaan kamu memang oke, dia pasti mau kok."

"Duh ... tapi aku nunggu dia ngomong duluan, deh. Ogah aku ngajak ngomong duluan pasca berantem!"

Wina tergelak. Gemas dengan kelakuan anaknya itu. "Ih, lucu amat anak, Mama. Kamu ngajak ngobrol duluan juga nggak apa-apa kali!"

"Ogah! Biar dia aja duluan!"

***

"Kusut amat muka lo!" Roy menyambut kedatangan Binar.

Hari ini Binar tidak terlambat. Tapi mukanya benar-benar kusut macam baju belum disterika.

"Cape!" jawab Binar seraya duduk, lanjut menelangkupkan kepalanya di atas meja, berbantalkan kedua tangan.

"Makin jompo aja lo! Bau koyonya makin semerbak!" Roy mengendus aroma khas orang lanjut usia itu.

"Cape gue ... jangan cari ribut! Dari semalam gue dikatain jompo terus! Bikin makin nggak mood! Makin cape!" keluh Binar.

Binar orangnya jarang mengeluh. Kalau sampai mengeluh, itu tandanya ia benar-benar sedang lelah.

"Memangnya siapa semalam yang ngatain lo jompo? Makin banyak orang bilang lo jompo. Harusnya lo sadar diri. Dibilangin jangan terlalu keras kerjanya."

Roy merasa serba salah ketika bicara dengan Binar. Ia ingin memberi solusi supaya Binar tidak terlalu memforsir tenaganya. Supaya Binar tidak bekerja terlalu keras.

Tapi di saat bersamaan, Binar juga punya alasan kenapa ia nekat bekerja sekeras itu.

***

Ersa baru saja masuk kelas. Tatapannya langsung fokus ke bangku Binar. Orangnya sedang tidur pulas berbantalkan meja.

"Kayak gitu malah kerja di proyek! Si g0bl0k emang!" batin Ersa.

Ersa duduk di bangkunya sendiri. Mengambil ponsel dari dalam saku. Mau main ponsel dulu sebelum bel masuk berbunyi.

Tapi ia malah dihadapan dengan banyak sekali pesan dari Damara.

'Masih betah di luar kamu? Pulang!'

'Sa, kamu pilih pulang sendiri atau Papa seret?'

'Papa tahu kamu tinggal di apartemen mamamu, kan? Bukan hal sulit bagi Papa buat nyeret kamu pulang!'

'Kalau semester ini prestasi kamu menurun, Papa beneran bakal kirim kamu ke luar negeri. Malu-maluin kamu tetep belum bisa jadi nomor satu. Setidaknya kalau lulusan luar negeri, bakal sedikit membantu dalam menyelamatkan muka Papa!'

Ersa tanpa sadar mengeratkan genggamannya. 

Sebenarnya Damara kenapa? Sepertinya tidak bisa sekali melihat Ersa hidup damai? Hanya demi obsesinya untuk menjadi sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna.

Sepanjang perjalanan berlangsung, Ersa terus kepikiran soal ancaman Damara. Ia benar-benar harus bisa rangking 1 paralel semester ini.

Sebenarnya Ersa tidak perlu khawatir. Sebab ia sudah melakukan perjanjian dengan Binar. 

Ersa terus menatap Binar di depan sana. Binar juga tidak semangat mendengarkan pelajaran.

Ersa bertahan sampai bel istirahat pertama berbunyi.

"Ngantin yuk, Bin!" ajak Roy.

"Duluan aja. Gue mau lanjut tidur. Dari semalam belum tidur sama sekali."

"Tapi lo udah makan apa belum? Apa mau nitip?"

"Nggak usah, Roy. Makasih. Tadi gue udah sarapan kok, dimasakin Pijar."

"Beneran udah makan?"

"Bener, Roy!"

"Ya udah kalau gitu. Lanjut tidur, gih!"

Roy pun berlalu pergi. Kelas juga mulai sepi karena sebagian besar sudah keluar. Hanya tersisa beberapa murid saja termasuk Binar dan Ersa.

Sepeninggal Roy, Binar merogoh tasnya. Megambil obat dari sana, menelannya dengan bantuan air yang ia bawa. Binar kembali menelangkupkan kepala di atas meja.

Ersa perlahan beranjak dari bangkunya. Ia menghampiri Binar. Berdiri di sebelah bangku pemuda itu.

"Kenapa?" tanya Binar yang risih karena terus ditayap oleh Ersa.

"Gue mau ngomong serius."

"Ngomong apa?"

Ersa sebenarnya kesal Ternyata pada akhirnya malah Ersa yang kalah, dengan duluan mengajak Binar bicara. Kalau tidak terpaksa, Ersa pun tidak akan sudi melakukannya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Langkah Pulang
374      274     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Wabi Sabi
95      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Pilihan Terbaik
4841      1470     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Nina and The Rivanos
10224      2468     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Heliofili
2590      1157     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Yu & Way
134      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Arsya (The lost Memory)
710      528     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Cinta Sebatas Doa
606      425     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.
Aditya
1413      636     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5010      1382     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...