Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Ersa merasakan hawa panas yang menyengat dari tubuh Binar. Tidak heran Binar sampai mengigau. Bahkan mungkin kesadarannya juga sudah lenyap. Dipanggil namanya tidak menyahut.

"Makasih udah mau nolong ya, Sa." Entah sudah berapa kali Jena mengatakannya.

Gadis itu melepaskan semua gengsinya. Asal Binar segera dapat pertolongan.

Sempat-sempatnya Ersa masih merasa iri. Kira-kira kapan Ersa juga punya teman yang begitu peduli dengan tulus seperti Jena?

Binar dibaringkan dalam posisi setengah duduk pada jok sebelah kiri Ersa. Sandaran diturunkan, supaya Binar lebih nyaman. Ersa pun segera tancap gas, satu tangannya coba mencari di map keberadaan klinik terdekat.

Walau hanya klinik kecil, tapi pelayanannya cukup bagus menurut Ersa. Mereka tadi bergerak cepat membawa brankar dorong, dengan cekatan membantu Ersa membawa Binar ke IGD.

"Kakaknya kenapa ini, Mas?" tanya perawat.

Ersa tertegun mendengar pertanyaan itu. Ngawur sekali, tahu-tahu menganggap Binar adalah kakaknya!

Tapi di saat bersamaan, Ersa juga paham situasi. Ia tak akan mendebat perawat itu.

"Demam tinggi, ada riwayat asam lambung.

"Ini tadi telat makan pasti, ya?" tanya dokter.

Ersa mengangguk. "Telat makan. Terus makannya dikit-dikit." Ersa sangat tahu karena seharian ia mengikuti Binar.

"Kecapean juga ini. Tensinya rendah. Dehidrasi. Kami pasang infus dengan aliran cepat supaya kebutuhan cairannya segera terpenuhi. Sudah kami injeksi obat. Nanti kalau demamnya turun, insya Allah kesadarannya akan segera kembali. Beruntung segera dibawa ke sini. Kalau nggak, bisa kejang. Soalnya demamnya nyaris 40°."

"Iya, terima kasih." Ersa tidak tahu harus menjawab bagaimana. Makanya ia hanya mengucapkan 2 kata aman itu.

Sang dokter tersenyum. Memaklumi tingkah laku anak muda di hadapannya. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia akan segera membaik setelah ini." Dokter itu seolah bisa membaca sirat khawatir di wajah Ersa.

Ersa malah berjengit. Ia memang lega Binar baik-baik saja. Tapi dokter itu bicara seolah-olah Ersa sedang mengkhawatirkan Binar. Padahal kan tidak.

Sepeninggal dokter, tersisa Ersa dan Binar saja. Ersa mengernyit melihat sesuatu yang mengintip dari balik kerah depan kaos Binar.

Ersa tahu selama ini Binar pakai kalung. Tapi tidak tahu ada liontinnya. Yang mengejutkan, liontin itu berbentuk semanggi. Sama persis dengan miliknya.

***

Ersa terkalahkan oleh kantuk, sampai tertidur dalam posisi duduk, pada kursi di sebelah brankar.

Binar mulai membuka matanya. Mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatan. Ia bingung kenapa bisa ada di sini?

Ia mengedarkan pandangannya, menemukan Ersa tertidur di atas kursi. Kedua tangannya terlipat di dada. Kepalanya menengadah bersandar pada mahkota kursi.

Binar bingung kenapa ada Ersa di sini? Ersa kah yang membawanya ke sini? Kenapa Binar tak ingat apa pun sama sekali?

Tapi kenapa Ersa yang membawanya ke sini? Kok mau Ersa repot-repot mengurusnya?

Binar sebenarnya tidak tega membangunkan Ersa yang tidurnya tampak pulas. Tapi Binar juga tidak tega membiarkan Ersa tertidur dalam posisi tidak nyaman. Bisa-bisa sebangun tidur nanti, leher Ersa sakit.

"Sa." Binar coba membangunkannya. Tapi Ersa belum ada respons.

"Sa!" Binar sedikit mengeraskan suaranya. Kaget dengan suaranya sendiri yang serak.

Kali ini berhasil membuat Ersa terbangun. Pemuda itu langsung berganti posisi menjadi tegak. "Udah bangun lo." Ersa masih ngantuk sekali.

Binar tersenyum tipis. "Maaf gue bangunin. Takut lo kecengklak!"

"Nggak ada tempat buat tidur."

Binar merasa tak enak pada Ersa. Ia nyaman di atas brankar, tapi Ersa tidak.

"Lo yang bawa gue ke sini?"

"Kira-kira? Ya kali lo jalan sendiri ke sini!" Ersa tetap lah Ersa yang begitu adanya.

Binar terkekeh. Kemudian mengernyit samar karena nyeri perutnya masih tersisa. "Makasih ya, Sa. Tapi gimana ceritanya? Seingat gue tadi gue lagi kerja."

Ersa sebenarnya malas cerita. "Itu temen lo si Jena. Gue baru sampai minimarket, langsung digelandang masuk. Suruh nolongin lo. Lo tidur tapi nggak bisa dibangunin. Takut setengah mati itu cewek. Tapi dia juga nggak bisa ninggalin minimarket. Makanya nyuruh gue. Ya terpaksa gue mau. Kalau ada apa-apa nanti gue juga disalahin."

Senyum Binar semakin mengembang.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Nggak. Ini pertama kali gue dengar lo bicara panjang."

"Ya kan lo tanya tadi."

"Makasih sekali lagi."

"Gue terpaksa!"

"Meskipun terpaksa pada akhirnya lo tetap nolong gue, Sa."

Binar merasa sudah jauh lebih baik. Hanya masih sedikit lemas, dan sakitnya kadang masih terasa. Yang jelas demamnya sudah turun.

Binar melihat ini sudah jam 2 dini hari. "Lho ... udah jam 2, Sa. Lo nanti nggak dicariin orang tua lo?"

"Ya dicariin, lah! Nanti gue pasti diamuk!"

Binar makin merasa tak enak. "Kalau gitu lo pulang sekarang aja."

"Lo ngusir?"

"Nggak gitu maksudnya. Dari pada lo beneran diamuk nanti. Gue ngerasa nggak enak."

"Nanti kalau gue tinggal, gue malah dianggap nggak baik sama orang-orang di sini. Mana lo nggak bawa apa-apa, cuma bawa badan doang. Lo mau pulang naik apa nanti?"

Binar meringis. "Iya juga, ya. Gue hutang budi sekaligus hutang biaya klinik ini sama lo. Gue janji akan balikin secepatnya."

Ersa tidak menjawab. Ia hanya ingat pesan dokter tadi. "Infus lo udah mau habis. Katanya kalau udah habis, nanti boleh langsung pulang. Gue mau bilang ke suster dulu."

Ersa beranjak dari sana. Binar baru memperhatikan tabung infusnya yang memang tinggal sedikit.

***

Tak lama Ersa kembali dengan seorang suster.

"Oh, iya. Udah nyaris habis ini. Untung masnya segera laporan. Oke, infusnya saya lepas sekarang. Gimana kondisinya? Sudah lebih baik, kan?"

"Sudah, Sus. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah. Dokternya sudah pulang. Tapi tadi sudah pesan, kamu langsung boleh pulang setelah infusnya habis. Dan juga sudah meninggalkan resep untuk ditebus. Nanti biar diambilkan sama adiknya di apotek!"

Binar tak ubahnya Ersa, yang kaget perawat itu menganggap mereka bersaudara.

Ersa malah sudah memutar matanya saking jengahnya. Tapi tidak berusaha menjelaskan yang sebenarnya juga. Toh mereka tidak kenal. Dan tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini.

"Mana resepnya? Biar saya ambil sekarang. Biar cepat bisa pulang." Ersa meonodong suster itu dengan telapak tangan kanannya.

"Ayo ikut saya."

Suster itu keluar duluan dari bilik. Diikuti oleh Ersa yang membuntut di belakangnya.

Meninggalkan Binar sendiri di sana, dengan sisa senyumnya. Binar sebenarnya benar-benar dibuat terkesan dengan sisi lain Ersa ... yang ternyata masih punya empati.

***

Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari, ketika mereka akhirnya sampai rumah Binar. Sebenarnya Ersa ingin langsung pulang. Mengingat ia juga lelah, mau segera istirahat.

Tapi ini juga adalah kesempatannya, untuk mengetahui apa yang paling membuatnya penasaran. Yaitu ... apakah orang tua Binar benar-benar sudah meninggal?

Kapan lagi ia akan ada kesempatan untuk masuk ke rumah Binar?

"Makasih sekali lagi ya, Sa. Gue nggak akan pernah lupa sama kebaikan lo. Gue janji bakal segera bayar hutang setelah gajian."

"Duit segitu bukan apa-apa. Cuma recehan. Nggak usah dianggap hutang." Ersa menolak mentah-mentah.

"Kalau segitu menurutku banyak, Sa. Nggak apa-apa. Tetap aku anggap hutang. Kalau lo nolak, gue malah nggak enak."

"Ya udah, kalau lo maksa."

Binar membuka pintu mobil dan segera turun. Binar agak kaget karena Ersa ikut turun.

"Numpang ke toilet," ucap Ersa sebelum Binar bertanya macam-macam.

"Ya udah. Ayo mampir dulu. Nginep juga boleh kalau mau."

"Ogah! Cuma mau numpang kencing."

"Tapi kamar mandinya jelek, nggak apa-apa, kan?"

"Gue juga nggak berekspektasi bakal bagus kok."

Binar menarik napas dalam. Berusaha sabar. Berusaha mengingat bahwa Ersa baru saja menolongnya. Ia tak boleh emosi.

Binar mengambil sesuatu di bawah pot bunga. Ternyata kunci rumah.

Sebenarnya Binar agak kepikiran, sebab jam segini lampu-lampu rumah masih menyala. Harusnya Pijar sudah mematikan semua lampu sebelum anak itu tidur.

Binar harap, Pijar hanya lupa mematikan saja. Semoga tidak terjadi apa-apa pada adiknya itu.

"Assalamualaikum." Binar mengucapkan salam.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. "Waalaikumussalam. Mas Bin!"

Pijar muncul dari balik pintu kamar. Raut wajahnya khawatir.

"Kok belum tidur, Dek?" tanya Binar seketika.

"Aku dari semalam coba hubungi Mas Binar. Tapi nggak ada respons. Terus tahu-tahu tadi ada yang balas pesanku. Pakai HP Mas Bin, tapi ternyata itu Mbak Jena. Katanya Mas Binar sakit. Aku tanya Mas Binar dibawa ke klinik mana. Mbak Jena juga nggak tahu. Ya mana aku bisa tidur!"

Ada rasa lega karena Pijar baik-baik saja. Tapi Binar kini merasa bersalah. Ya, kebiasaan Pijar setiap hari adalah mengirim pesan pada Binar secara berkala. Termasuk ketika ia sudah mau tidur. Dan Binar akan selalu berusaha merespons secepatnya.

Tentu Pijar kepikiran jika Binar tahu-tahu tidak ada kabar.

"Maaf ya Mas nggak kasih kabar. Iya tadi memang sakit sedikit. Tapi sekarang udah baikan kok. Kamu pasti khawatir banget, ya." Binar benar-benar merasa bersalah. Padahal Pijar butuh banyak istirahat.

"Udah, nggak apa-apa. Yang penting sekarang Mas Bin udah baik-baik aja. Mas Bin kecapean pasti. Aku bilang juga apa ... harusnya lepas aja salah satu kerjaannya, Mas. Yang di pecel tumpang itu, udahan aja. Nggak tega aku lihat Mas Binar kerja terus."

Binar hanya tersenyum. "Oh iya, kenalin. Ini teman Mas, namanya Ersa. Dia yang bawa Mas ke klinik."

Binar mengalihkan perhatian Pijar, dengan memperkenalkan Ersa.

Pijar masih menyimpan rasa khawatir yang begitu besar pada kakaknya. Apa lagi Binar masih terlihat pucat. Sorot matanya pun meredup, tanpa binar seperti biasanya.

Namun fokus Pijat juga teralih pada seseorang yang datang bersama dengan kakaknya itu. Terlebih Binar memperkenalkan dirinya sebagai penolong, yang sudah membantu membawanya ke klinik.

Jelas Pijar tak bisa mengabaikan orang itu begitu saja. Ia juga harus berterima kasih pada teman kakaknya.

Pijar tersenyum cerah pada Ersa. Ia bahkan berjalan mendekat. Tinggi mereka ternyata setara, setelah saling berhadapan seperti ini. Dan Pijar segera mengulurkan tangannya.

"Aku Pijar, Mas Ersa. Makasih udah nolongin Mas Binar, ya. Seneng bisa kenalan sama orang baik seperti Mas Ersa."

Ersa terdiam untuk beberapa saat lamanya. Ia sudah cukup dibuat bungkam dengan interaksi kakak beradik ini.

Ia jadi lebih bungkam ketika tahu-tahu Binar menyebutnya sebagai seorang teman?

Itu sudah cukup untuk membuat Ersa merasa dihargai. Ternyata apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang berguna. Baru kali ini ada orang yang begitu menghargai sesuatu yang ia lakukan.

Belum selesai kebungkaman Ersa, tiba-tiba Pijat mendekat. Memperkenalkan dirinya dengan senyum secerah lampu pijar. Mengucapkan terima kasih dengan begitu tulusnya. Bahkan mengatakan ia adalah orang baik.

Mungkin ini hanya hal sederhana untuk orang lain. Tapi tidak untuk Ersa. Ia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sebelumnya.

"A-ah, iya." Hanya itu jawaban Ersa.

"Ersa orangnya agak pemalu, Dek." Binar sedikit melakukan klarifikasi. Padahal hanya untuk menutupi kelakuan Ersa biasanya. Yang tiba-tiba suka cosplay jadi batu. Sengaja Binar selamatkan image Ersa. Supaya Pijar juga tidak kaget-kaget amat.

"Mas Bin istirahat aja sana di kamar. Biar aku buatin Mas Ersa teh anget dulu. Mas Bin mau juga?"

"Aku bikin sendiri aja, Dek. Kamu yang istirahat. Kamu pasti belum tidur sama sekali, kan?"

"Jangan bantah sekali ini aja, Mas! Mas Bin lagi sakit!"

"Tapi ...."

"Aku nggak nerima penolakan, Mas!" Pijar memotong ucapan Binar.

"Y-ya udah. Tapi habis itu kamu buruan istirahat!"

"Iya!"

Binar sedikit ragu. Ia melangkah gontai menuju kamar yang sama dengan tempat keluarnya Pijat tadi.

"Sebenarnya nggak usah repot-repot. Gue ke sini cuma mau numpang kencing." Ersa akhirnya punya kesempatan untuk bicara agak panjang.

Sebenarnya ia masih dikuasai rasa iri, atas interaksi hangat sepasang saudara ini. Sesuatu yang tak akan pernah bisa ia rasakan.

Wina sekarang usianya sudah 42 tahun. Terlalu berisiko untuk wanita itu bisa hamil lagi. Damara sepertinya juga sudah tidak ada minat untuk menambah anak. Punya anak satu saja sudah kena mental.

"Oh iya. Toiletnya di belakang, Mas. Langsung masuk aja ke sana. Nanti hadap kanan."

Ersa mengikuti arah yang diberikan oleh Pijar. Sembari Ersa memperhatikan sekitar. Tampak luar rumah ini tidak jelek-jelek amat. Dalamnya pun tertata rapi dan bersih. Hanya saja sempit. Ruang gerak terbatas.

Hanya beberapa langkah Ersa tahu-tahu sudah menemukan kamar mandinya. Ia masuk ke sana. Kamar mandi ini juga sempit. Bak mandinya kecil, berdampingan dengan WC jongkok.

Tapi sungguh ini tidak jelek-jelek amat. Dan setiap sudutnya sangat bersih.

Selesai dengan urusan kamar mandi, Ersa segera kembali. Ia tadi tak sempat memperhatikan foto-foto yang terpasang di dinding. Sehingga ia baru melakukannya sekarang.

Ada foto anak-anak kecil yang pasti mereka adalah Binar dan Pijar. Ada juga foto ketika mereka sudah beranjak remaja. Juga foto bersama dengan kedua orang tua mereka.

"Mas Ersa ... tehnya udah siap. Aku taruh sini, ya." Pijar meletakkan teh hangat itu di atas meja kecil, yang terletak di atas karpet hijau di ruang tamu.

"Lah, kan gue udah bilang cuma mau numpang toilet!l." Ersa tidak menyangka Pijar akan tetap membuat teh untuknya.

"Ngeteh dulu. Nggak terlalu panas. Bisa langsung dihabiskan. Bentar, aku mau antar tehnya Mas Bin di kamar."

Tanpa menunggu jawaban dari Ersa, Pijar langsung beranjak. Masuk ke dalam satu-satunya kamar tidur di rumah itu.

Sebenarnya Pijar dan Binar memang tidur dalam satu kamar, dan di atas kasur yang sama juga.

Tapi kamar itu sudah menjelma seperti kamar pribadi Pijar. Saking jarangnya Binar ikut tidur di sana, akibat jadwal padatnya.

Tak lama kemudian Pijar sudah keluar lagi. Ersa masih bekutat memperhatikan foto-foto di dinding. Pijar pun menghampirinya. Tersenyum melihat foto-foto berjajar itu.

"Itu cuma foto. Tapi itu adalah kenangan berharga buat kami. Terlebih foto-foto kami bersama alhamarhum Ibu dan Bapak. Mau foto bareng lagi udah nggak bisa." Pijar berusaha keras menahan kesedihannya.

"Jadi orang tua kalian sudah meninggal?" Ersa tahu pertanyaannya pasti menyakitkan bagi Pijar.

"Ya. Mereka sudah berpulang. Kami kehilangan keduanya sekaligus, dalam kecelakaan pesawat 2 tahun yang lalu. Saat itu mereka dalam perjalanan berangkat ke Korea. Mereka mau jadi TKI. Tergiur dengan iming-iming gaji besar. Demi memperjuangkan operasi buat aku. Tapi takdir berkata lain."

Ersa merasa bersalah karena sudah membuat bocah ini, menceritakan kembali peristiwa menyakitkan dalam hidupnya.

Ersa ingin berkata maaf. Tapi mulutnya seperti kaku sekali. Saking tak terbiasa mengucapkan kata-kata maaf.

"Turut berduka cita." Begitu lah jawaban Ersa akhirnya.

"Makasih, Mas. Sejak saat itu Mas Binar jadi harus kerja keras banget. Aku benar-benar ngerasa nggak berguna. Ibu dan Bapak harus meregang nyawa demi  pengobatanku. Setelah itu gantian kakakku yang harus kerja mati-matian demi kami bertahan hidup. Aku benar-benar beban keluarga."

Erda bingung dengan situasi ini. Ia tak tahu bagaimana harus menyikapi. Apakah ia harus memberi usapan penenang pada Pijar? Atau ia harus menyuntikkan kata-kata yang bijak?

"Memangnya lo sakit apa?" Ersa tidak tahu ini benar atau salah.

"Jantung, Mas. Udah bawaan dari lahir. Makin gede jantungku makin manja. Makin nyusahin."

Ah, Ersa baru tahu. Bocah ini ternyata punya penyakit yang serius. Pantas Binar sampai banting tulang segitunya.

"Diminum dulu tehnya, Mas."

Ersa akhirnya terpaksa ikut dengan Pijar. Mereka duduk lesehan. Dan meminum teh hangat buatan Pijar.

"Maaf ya, Mas. Nggak ada sofa. Sofa dulu ada. Tapi udah kami jual. Hehe."

Tiba-tiba terdengar bunyi yang mengejutkan. Namun tidak asing. Sumbernya berasal dari perut Ersa.

Ersa sedang kelaparan. Jujur ia kemarin sengaja tidak makan malam di rumah. Karena rencananya ia mau makan sosis bakar saja di minimarket. Tapi ia malah harus membawa Binar ke klinik. Jadi lah ia belum makan apa pun hingga detik ini.

Jelas Ersa malu, lah. Mau ditaruh mana mukanya? Mana Pijar malah tersenyum.

"Sebentar. Kami masih punya stok makanan kok. Coba aku buatin sesuatu ya."

"Eh, nggak usah!" Ersa berusaha menolak. Ia mau segera pulang.

"Nggak apa-apa. Udah, Mas Ersa duduk dulu. Biar aku buatin makanan."

Pijar sudah beranjak dari sana. Ersa ingin sekali mengikat bocah itu. Biar tidak pergi-pergi seenaknya lagi.

"Maaf lama ya, Mas." Pijar kembali membawa sepiring nasi goreng.

Tapi Pijar justru mendapati suara dengkuran halus. Ketika ia lihat ... itu ternyata berasal dari Ersa. Pemuda itu tertidur di atas karpet hijau.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Sahara
22929      3472     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
Dessert
1058      556     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Love 90 Days
4651      1862     2     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
Yu & Way
169      137     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Batas Sunyi
2003      914     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
YANG PERNAH HILANG
1771      661     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
PATANGGA
888      606     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Ikhlas Berbuah Cinta
1252      844     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Mentari Diujung Senja
1667      886     2     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Unknown
260      211     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!