Baru saja ada pelanggan yang membayar. Setelah itu sepi. Belum ada lagi orang masuk. Hanya Ersa dan Jena.
Jena senyum-senyum sendiri menatap layar ponsel, karena idolanya baru saja mengunggah foto selfie.
Jena scroll sosial media beberapa saat lamanya, sampai bosan. Ia menatap keluar lagi. Belum ada hilal pelanggan datang.
Jena lama-lama gabut juga, saking tidak ada kerjaan. Biasanya kalau sepi begini, ia akan ngobrol banyak dengan Binar. Baru juga ditinggal sebentar, Jena sudah kangen pada Binar.
Sekarang ia harus ngobrol dengan siapa? Hanya ada Ersa yang sibuk makan sendiri. Ersa sepertinya sangat menikmati kesendiriannya.
Selain itu, Ersa juga menikmati makanannya, padahal cuma beberapa batang sosis dingin. Eh ... tapi menurut Jena ... sebenarnya lama-lama kalau dilihat Ersa itu kasihan juga. Kalau sedang diam seperti itu, mata Ersa seolah melancarkan luka.
Sepertinya ia menikmati kesendirian bukan karena benar-benar suka. Melainkan karena telanjur terbiasa sehingga nyaman. Padahal sebenarnya ia kesepian juga.
Makanya Binar tadi bilang, bahwa Ersa sekarang sedang dalam proses mencari teman.
Seandainya Ersa tidak menyebalkan, pasti Jena tidak akan keberatan untuk mendekatinya duluan, dan menjadi temannya. Tapi entah kenapa kelakuan Ersa itu bikin gregetan sekali. Membuat Jena gemas ... ingin menampol.
"Kata Binar lo mau merasakan hidup seperti remaja lain pada umumnya, ya? Maksudnya mau main sama teman, mau nongkrong, pokoknya yang gitu-gitu. Bener?" Jena yang notabene memang ekstrover, tidak bisa menahan diri untuk berinteraksi.
"Lo ngomong sama gue?" sahut Ersa sembari sibuk mengunyah.
"Bukan, sama kunti di sebelah lo!" Jena menunjuk kursi kosong di samping Ersa.
Ersa otomatis menoleh, dan sedikit merinding. "Jangan ngaco!"
"Habisnya pertanyaan lo aneh. Hanya kita berdua di sini. Kalau gue nggak ngomong sama sama lo, terus sama siapa?"
"Mulut Binar lemes juga ternyata. Gitu doang dia cerita-cerita sama lo. Oh, jadi selain gibahin gue di depan, kalian juga gibahin gue di belakang?" Ersa kesal. Ia meneguk minuman dinginnya. Meletakkan satu batang sosis terakhir yang tinggal sisa setengah.
"Heh, fokusnya bukan ke situ! Lagian Binar cerita sama gue bukan karena lemes mulut. Karena dia emang peduli. Binar itu orangnya peka dan empatinya bagus."
"Ya ... puji-puji aja terus si Binar!"
"Binar emang layak dipuji kok. Heh ... gue tadi kan tanya, apa benar lo lagi cari teman? Tinggal lo jawab iya apa nggak? Kok lo malah balik nanya! Asal lo tahu ... kalau kamu emang mau punya teman ... lo setidaknya harus ubah sikap. Jangan terlalu nyebelin jadi manusia!"
Ersa menarik napas dalam. "Gue cuma nggak mau jadi sok baik. Makanya gue bersikap apa adanya. Biar yang mau temanan sama gue, terima apa adanya gue."
"Jadi gitu ...." Jena mengangguk mengerti. "Tapi bukan berarti lo bisa ngomong sembarangan soal Binar, Sa."
"Ngomong sembarangan gimana? Gue bicara fakta kok. Binar itu tukang cari perhatian. Dia mau kelihatan bagus di segala aspek, supaya dia dapat pujian. Sok perfeksionis banget. Mana sok sibuk dengan kerja part time."
"Kan gue udah bilang ... lo jangan ngomong sembarangan soal Binar. Bukannya lo yang kerjaannya cari perhatian? Binar kerja karena memang butuh. Dia tulang punggung keluarga. Adiknya sakit keras, makanya mereka butuh biaya hidup yang banyak. Sana coba lo jadi Binar sehari aja! Apa sanggup? Jangankan tidur nyenyak dan cukup, duduk bentar aja dia udah bersyukur!"
Ersa jadi ingat obrolannya dengan Binar kemarin. Ketika mereka bicara empat mata di ruang istirahat minimarket ini.
"Coba lo jadi gue sebentar aja!"
Ersa menyeringai. Memangnya apa susahnya jadi Binar?
"Gue nggak keberatan!" jawab Ersa tiba-tiba.
"Nggak keberatan apa?"
"Ya nggak keberatan coba jadi Binar. Akan gue buktikan kalau Binar itu cuma tukang cari perhatian, nggak lebih!"
"Ya udah, coba aja! Lo orangnya susah banget dikasih tahu pakai mulut. Jadi biar fakta aja yang kasih lo paham!"
***
Satu jam berlalu dengan cepat. Binar tersenyum banyak karena menikmati setiap materi yang diberikan guru pengampu.
Tak mau melewatkan jatah istirahat terlalu lama, Binar segera pergi dari sana sesaat setelah materi berakhir.
Binar rasanya masih seperti tak percaya. Padahal kemarin-kemarin ia hanya bisa melihat tempat bimbingan belajar ini dari luar. Sambil berandai-andai kapan ia bisa seberuntung semua anak yang ikut bimbingan di sini?
Eh ... sekarang tahu-tahu ia sudah menjadi bagian dari mereka. Walau pun dengan cara yang tidak biasa.
Binar mengayunkan langkahnya dengan cepat. Ketika masuk ke minimarket, ia dihadapkan dengan perdebatan sengit yang dilakukan oleh Jena dan Ersa.
"Kenapa ini?" Binar berusaha menengahi.
Perdebatan Jena dan Ersa pun berakhir, mereka berdua kini sama-sama menatap Binar.
"Ini, Bin ... katanya Ersa mau coba jadi lo sehari aja. Soalnya dia pikir lo kerja keras cuma gara-gara cari perhatian!" Jena langsung laporan.
Binar menggeleng heran. "Buat apa sih, Sa? Nggak usah. Lagian gue nggak minta lo percaya kok. Toh gue yang menjalani. Nggak masalah kalau lo anggap gue cuma cari perhatian!"
"Nggak!" Ersa langsung menolak. "Yang dibilang cewek ini bener! Gue nggak mau tahu. Gue cuma mau membuktikan! Akan gue pastikan, lo emang cuma jual cerita sedih ... biar dapat simpati dan perhatian dari orang-orang! Dasar caper!"
Binar kali ini mengangguk. "Ya udah kalau itu mau lo. Gue udah kasih peringatan di awal. Lo nggak perlu sampai segitunya. Kalau lo cape, tanggung sendiri. Jangan salahin gue!"
***
Ersa tidak main-main dengan ucapannya. Ia bahkan memulai saat itu juga. Ia mengirim pesan pada Damara dan Wina, bahwa malam ini ia tidak akan pulang. Sebab ia akan menginap di rumah teman.
Binar melanjutkan pekerjaannya sampai shift habis. Dan bergantian dengan pekerja lain di shift selanjutnya. Demikian pula dengan Jena.
"Katanya mau coba jadi lo. Lah, dia molor begitu!" Jena melirik Ersa.
Pemuda itu memang tertidur dalam posisi duduk, dengan berbantalkan kedua yang di atas meja.
Binar hanya tersenyum. Ia berjalan menghampiri Ersa. "Bangun, Sa. Udah ganti shift!"
"Ma ... aku kangen," gumam Ersa tidak begitu jelas, tapi Binar bisa dengar.
Mendadak Binar juga jadi ingat Wanda ibunya sendiri.
"Sa ... gue udah mau pergi, nih!" Binar membangunkan Ersa sekali lagi.
Syukur lah, kali ini berhasil membangunkan Ersa. "Baru juga tidur sebentar, udah dibangunin aja!" Ersa kesal.
"Lo tidur lumayan lama, 3 jam," jawab Binar. "Ayo, gue harus segera pergi, harus cepat-cepat ke warung pecel tumpang."
Padahal Ersa sudah tidur cukup lama. Tapi rasanya masih sangat kurang. Sementara Binar masih cekatan sekali. Padahal semalaman bocah itu tidak istirahat sama sekali.
Binar mengayuh sepedanya. Ersa membuntut naik mobil di belakangnya. Kecepatan mobil dan sepeda jelas berbeda. Makanya pada akhirnya Ersa meninggalkan Binar saja. Ia duluan menuju warung pecel tumpang. Sebab Ersa sudah tahu tempatnya.
Ersa memarkir mobilnya agak jauh dari lokasi warung. Takut dikira pembeli juga. Ersa mana doyan makan nasi pecel atau pun tumpang.
Ersa pikir Binar akan istirahat sebentar saja antara pekerjaan di minimarket dan warung pecel tumpang. Ternyata tidak sama sekali.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor