"Kan ... hantu jompo penghuni kelas kayaknya baru balik lagi."
"Hooh, perasaan tadi nggak kecium. Ini malah kecium lagi!"
"Biarin aja, lah. Permisi-permisi aja. Dari pada ketempelan!"
Slentingan-slentingan itu mulai terdengar, sesaat setelah Binar masuk kelas. Binar sudah kebal telinganya.
Ia tidak mau mengaku, bahwa bau koyo itu berasal dari dirinya. Rasanya malah terhibur setiap kali mereka menganggap bau koyo itu berasal dari makhluk astral.
Binar lihat Ersa sudah duduk manis. Ersa kini tahu bahwa bau koyo itu bersumber darinya. Kalau setelah ini informasi itu tersebar, berarti Ersa doyan bergibah.
Binar segera duduk di sebelah Roy.
Tadi ia menghabiskan waktu cukup lama di toilet, sebab perutnya agak sakit. Akhir-akhir ini perutnya agak manja.
"Telat aja tiap hari!" Roy langsung menegur Binar.
"Bawel ... kayak nggak pernah lihat gue telat aja!" Binar balik menegur Roy.
Yang bersangkutan malah tertawa. "Dicariin Bu Hamidah tadi." Roy menyebutkan nama guru BK, yang mengajar di jam pelajaran pertama tadi.
Sebenarnya Binar adalah buronan Bu Hamidah. Gara-gara sering terlambat, Binar jadi sering masuk ruang konseling, untuk diwawancarai oleh Bu Hamidah.
"Padahal gue udah sering curhat sama Bu Hamidah. Masa gue harus cerita masalah yang sama terus? Apa beliau nggak bosan?" Binar saja sudah sampai bosan cerita jujur soal alasannya sering terlambat.
Roy si receh kembali tertawa. "Mungkin Bu Hamidah seneng lihat lo ... naksir kali. Kan lo most wanted. Kaum hawa mana ada yang nggak tertarik sama lo? Seandainya gue cewek, mungkin juga udah naksir lo!"
"Pikir dulu kalau ngomong! Bu Hamidah udah dewasa, mana ada naksir bocil kayak gue?"
"Hei ... nggak ada yang nggak mungkin. Umur itu hanya angka, Man! Nabi Muhammad sama Siti Khadijah ... tuaan perempuannya jauh! Kemarin Luna Maya nikah sama Maxim."
"Ya beda, Roy!"
Dua bersahabat itu masih ingin lanjut berdebat. Tapi Bu Endah guru geografi sudah masuk kelas barusan. Kelas seketika hening. Karena Bu Endah terkenal killer.
"Hari ini ada ulangan harian dadakan, ya. Simpan buku dan HP kalian semua dalam tas. Lalu tasnya taruh depan. Cepat!"
Belum apa-apa Bu Endah sudah bikin gebrakan. Yang seketika membuat kelas riuh dengan protes.
"Bu kok mendadak, sih?"
"Bu tolong kasih waktu baca-baca 10 menit!"
"Bu Endah, ulangan hariannya minggu depan aja, ya. Please!"
"DIAM KALIAN!" murka Bu Endah.
Semua protes itu seketika berhenti. Dan kelas pun kembali hening dalam atmosfer yang tegang. Uhm, ini sebenarnya lebih mirip adegan film horor thriller.
"Cepat lakukan apa yang saya perintahkan tadi. Kalau nggak mau, silakan keluar kelas. Nilai kalian saya kosongi!" ancam Bu Endah.
Dengan dumelan tertahan, mereka akhirnya menurut. Segala buku dan ponsel sudah mereka masukkan tas. Dan dengan tidak ikhlas, mereka letakkan tas-tas itu di bawah papan tulis.
Tidak ada yang berani coba menyembunyikan buku atau ponsel di dalam laci. Mengingat Bu Endah adalah tipe guru yang jeli. Sedikit saja gerak mencurigakan, mereka akan langsung didiskualifikasi.
"Makanya kalian harus rajin belajar. Jangan belajar kalau mau ulangan aja. Jadi panik kalau ada ulangan mendadak seperti ini. Kalian jangan salah paham. Ini cara saya didik kalian, supaya jadi generasi yang berkualitas." Bu Endah memberi nasihat dulu dulu sebelum membagikan lembar soal.
Dari sekian banyak murid, yang tidak repot protes hanya Binar dan Ersa. Mereka tampak tenang karena yakin akan bisa menjawab semua soal.
Untuk Binar, anak itu memang punya kelebihan. Sebenarnya ia bukan seseorang yang rajin belajar. Tapi ia punya ingatan fotografis. Sehingga hanya sekali membaca atau mempelajari ketika KBM berlangsung, semua materi akan terus tersimpan dalam otaknya.
Kalau Ersa, ia setiap hari ikut bimbingan belajar sampai tengah malam. Tak heran ia menguasai semua materi dengan baik.
Kelas hening ... semua berusaha mengerjakan soal dengan sebaik mungkin. Sembari mencari celah saat Bu Endah sedikit lengah. Siapa tahu saja bisa saling bertukar jawaban dengan para genius.
"Sa ... nomor 4 jawabannya apa?" bisik seorang siswa.
"Pikir sendiri!" jawab Ersa ketus.
Ya memang begitu Ersa orangnya. Kebalikan dari Binar, yang royal sekali berbagi jawaban.
"Bin ... nomor 7, 8, 9 apa jawabannya?" Roy melanjutkan wawancara terselubung dengan Binar.
"E, C, D," jawab Binar tanpa ragu.
Roy tersenyum puas. Bersiap membagikan jawaban pada siswa yang lain juga.
Dan itu membuat Ersa semakin tidak suka pada setiap hal yang ada dalam diri Binar.
***
Hampir 30 menit berlalu, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel. Jelas saja suara itu segera menjadi pusat perhatian.
"Suara HP siapa itu? Kan aturan sekolah udah jelas. Boleh bawa HP. Tapi di kelas harus dalam mode silent. Kok keras banget bunyinya!" Bu Endah langsung ngomel-ngomel.
Binar meringis. Irama piano indah dari Yiruma yang berjudul Kiss The Rain itu ... berasal dari ponsel Binar.
Bunyi dering ponsel Binar memang keras sekali. Khas bunyi ponsel pintar yang ia beli dengan harga murah. Yang penting bisa dipakai.
"Maaf, Bu Endah. Itu HP saya." Binar langsung minta maaf.
"Astaga ... kamu ini Binar. Sana ... cepat kamu silent dulu! Walau pun kamu murid paling pintar, bukan berarti kamu dapat keistimewaan."
"Iya, Bu. Maaf. Saya lupa ganti ke mode silent." Binar benar-benar lupa. Karena memang tidak ada waktu juga sepertinya. Jadwalnya terlalu padat merayap.
Binar melangkah keluar dari bangkunya, menuju ke depan kelas untuk ambil ponsel dalam tas. Dering yang tadi sempat berhenti, baru saja terdengar lagi. Seseorang yang meneleponnya tadi, baru saja menelepon kembali.
"Buruan disilent, Binar!" tegur Bu Endah saat itu juga.
"Iya, Bu."
Binar mempercepat gerakannya. Ketika ponsel itu ia ambil, ada nama Pak Mukhlis tertera di layar. Mimik Binar langsung berubah.
"Bu Endah ... maaf. Tapi saya sepertinya harus angkat telepon ini." Binar memberanikan diri minta izin.
"Nanti aja, Binar! Kamu selesaikan dulu ujiannya."
"Bu, tapi ini penting." Binar mendekat pada Bu Endah.
Ia menjelaskan bahwa Pak Mukhlis adalah wali kelas adiknya, Pijar. Kalau Pak Mukhlis menelepon seperti ini, biasanya telah terjadi sesuatu pada adiknya di sekolah.
Binar juga menjelaskan bahwa adiknya itu punya penyakit jantung bawaan sejak lahir.
"Tapi kenapa telepon kamu? Orang tua kalian ke mana?"
"Maaf, Bu. Orang tua kami sudah meninggal. Saya satu-satunya keluarga yang Pijar punya."
"Ya sudah, angkat teleponnya di luar." Bu Endah akhirnya luluh juga.
"Iya, Bu. Terima kasih."
Di luar, Binar telepon balik Pak Mukhlis. Tak butuh waktu lama bagi Pak Mukhlis untuk mengangkat teleponnya.
"Assalamualaikum, Binar ... astaghfirullah, kok kamu lama banget angkatnya."
"Maaf, Pak. Saya tadi lagi ada ujian. Pijar baik-baik aja kan, Pak?"
"Semoga ya, Bin. Ini saya sama Pijar lagi di dalam ambulans. Perjalanan ke rumah sakit biasanya. Adik kamu tadi tiba-tiba pingsan waktu pelajaran. Untung pas saya yang ngajar. Udah coba kami beri pertolongan pertama di UKS. Dokter di UKS bilang suruh langsung bawa ke rumah sakit aja."
"Ya Allah ... ya udah kalau gitu saya nyusul ke rumah sakit sekarang ya, Pak. Terima kasih."
"Kamu hati-hati di jalan, Binar ... jangan ngebut!"
"Iya, Pak."
Binar langsung kembali ke dalam kelas. Ia menjelaskan pada Bu Endah soal apa yang terjadi pada Pijar.
Bu Endah walau pun killer, tapi bukan berarti tidak punya hati. Ia pun memberi izin pada Binar.
"Ya sudah, kamu boleh pergi. Ikut susulan langsung di kantor aja besok. Izin kamu biar diurus sama ketua kelas, nanti Ibu yang minta tolong ke dia. Semoga adik kamu baik-baik aja."
"Aamiin, terima kasih, Bu."
Binar segera bersalaman dan mencium punggung tangan Bu Endah. Ia bergegas mengambil tas dan berlari secepat kilat keluar kelas.
Semua murid bertanya-tanya ke mana perginya Binar? Kok bisa-bisanya Bu Endah dengan mudah memberi izin begitu?
Mereka sedih karena sumber contekan mereka menghilang.
Hanya satu orang yang tidak sedih. Justru marah dan kesal. Ya siapa lagi kalau bukan Ersa?
Ersa heran sebenarnya, kenapa Binar sampai rela meninggalkan ujian yang penting untuk nilainya ini?
Ersa kesal dengan sikap meremehkan -- yang menurut Ersa, adalah wujud dari kesombongan Binar. Mentang-mentang pintar, bisa seenaknya.
"Ersa sini kamu!" panggil Bu Endah.
"Kenapa, Bu?" Jujur Ersa agak kaget tiba-tiba dipanggil.
"Udah buruan sini!"
Ersa terpaksa berdiri. Tapi tak lupa ia tutup lembar jawabannya dengan soal terlebih dahulu. Supaya tidak ada yang menyontek.
"Tolong urus izin Binar ke guru piket, ya!"
"Lah, kok saya, Bu! Kenapa nggak Binar sendiri?"
"Dia ada urusan penting. Harus buru-buru pergi. Kamu kan ketua kelas. Saya minta tolong."
"Tapi kan ini lagi ujian, Bu!"
"Ya nanti aja setelah kamu selesai mengerjakan."
Ersa mendengkus kesal. Duh ... makin benci ia pada spesies makhluk menyebalkan bernama Binar itu.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor