"Ersa sayang ... ayo sarapan dulu." Wina langsung menyambut putra semata wayangnya, yang sedang berjalan menuruni tangga.
Ersa tersenyum tipis. Selalu bahagia tiap kali Wina ada di rumah. Wanita itu selalu menunjukkan sayangnya secara maksimal pada Ersa.
Ersa pun duduk di sebelah Wina. Terima-terima saja ketika Wina mengambilkan berbagai macam makanan di piringnya.
Sebenarnya ada beberapa jenis makanan yang tidak Ersa suka. Tapi kalau yang mengambilkan Wina, Ersa akan menghabiskan semuanya tanpa sisa.
Jarang-jarang Wina ada di rumah. Ibunya itu sibuk menekuni pekerjaannya sebagai aktris senior. Job series dan filmnya tak pernah sepi. Langganan peran jadi ibu teladan. Yang memang sesuai dengan karakternya di dunia nyata.
Walau tak selalu ada untuk Ersa, tapi bocah itu bangga sekali pada ibunya.
"Makasih, Ma," ucap Ersa tulus. Si kulkas 10 pintu itu, selalu mencair hanya ketika bersama ibunya.
Hanya satu orang yang sama sekali tak menatap kehadiran Ersa. Sang kepala keluarga, yang tetap fokus pada makanan dalam piringnya sendiri.
Damara fokus menghabiskan makanannya dulu. Sebelum lelaki itu akhirnya buka suara.
"Papa sudah atur pelajaran tambahan lagi untuk kamu. Tambah satu jam, ya?"
Baru juga bicara, tapi Damara sudah sukses membuat Ersa tidak nafsu makan.
"Pa, setiap hari aku pulang tengah malam, sampai kurang tidur. Kok malah ditambah lagi jam belajarnya?" Ersa rasanya sulit sekali menelan makanannya. Tapi ia tetap berusaha makan demi tidak mengecewakan Wina.
"Pa ... sudah, lah. Kenapa terus menambah jam belajar Ersa? Kasihan, Pa. Anak kita ini masih dalam masa pertumbuhan. Dia harus cukup istirahat. Ersa makin ke sini makin kurus. Mama khawatir ini akan berdampak pada kesehatannya." Wina coba bicara pada suaminya itu.
Lagi pula ia juga sedang kecewa. Karena jelas-jelas semalam mereka tidur di kamar yang sama, ada banyak waktu untuk bicara berdua. Tapi Damara sama sekali tak membicarakan hal ini dengan Wina. Justru mengambil keputusan sepihak yang membuat Wina terkejut. Apa lagi Ersa yang harus menjalani.
"Ini demi kebaikan Ersa juga. Sudah mahal-mahal aku kirim dia ke berbagai lembaga belajar. Tapi dia tetap nggak bisa ngalahin juara bertahan. Ersa harus lebih giat belajarnya. Biar dia bisa jadi nomor satu!" Damara menjelaskan dengan menggebu-gebu.
"Pa ... berapa kali aku harus bilang? Nggak harus jadi nomor satu. Ersa selalu sehat dan mengusahakan yang terbaik saja, itu sudah cukup membanggakan. Jangan kasih standar yang terlalu tinggi. Kasihan, Pa. Ersa juga perlu menikmati masa remajanya." Wina rasanya sudah lelah menjelaskan hal yang sama secara berulang-ulang pada suaminya. Tapi mau bagaimana lagi? Damara sulit sekali untuk mengerti.
"Standar kamu terlalu rendah, Ma! Nggak bisa seperti itu! Ersa ini satu-satunya ahli waris kita. Dia nanti yang harus meneruskan perusahaan kita. Dia harus punya reputasi yang bagus. Rekam jejak yang bagus. Jika dia belum berhasil jadi yang pertama, akan ada kecacatan dalam profil yang tertulis dalam datanya sebagai pemimpin kelak!"
"Astaga ... Papa berpikir terlalu jauh! Nggak perlu sampai segitunya, Pa. Ersa sudah berusaha semaksimal mungkin. Kecerdasan Ersa sudah lebih dari cukup untuk bisa mewarisi perusahaan yang selalu Papa banggakan itu. Kalau masalah profil-profilan yang sempurna ... itu hanya akal-akalan Papa saja. Papa terlalu perfeksionis, sampai lupa kalau kita ini manusia. Nggak ada manusia yang sempurna, Pa!"
"Kalau pikiran Mama terus seperti itu ... Ersa nggak akan bisa maju! Harusnya Mama dukung cara Papa didik Ersa! Supaya dia jadi manusia yang berkualitas!"
Ersa rasanya ingin langsung kabur saja. Terjebak di antara kedua orang tuanya yang berdebat sengit -- dan dirinya adalah sumber dari perdebatan itu -- rasanya benar-benar buruk. Ingin menghilang saja dari dunia sekarang juga.
Tapi sekali lagi, isi piring yang diberikan oleh Wina padanya, jauh lebih berharga dari apa pun. Walau sulit dan beberapa kali terbatuk karena memaksakan diri untuk menelan ... Ersa tetap terus berusaha mengosongkan piringnya.
Setelah bersusah payah, akhirnya piring Ersa benar-benar sudah kosong. Ini lah saatnya ... membebaskan diri dari perdebatan yang tak kunjung usai.
Ia tiba-tiba berdiri ... yang membuat remaja jangkung itu seketika menjadi pusat perhatian.
"Aku udah selesai, Ma ... Pa .... Aku pamit berangkat sekolah sekarang, ya." Ersa memaksakan senyumnya.
"Bimbel barunya dimulai nanti malam, Sa. Papa nggak mau tahu, kamu harus bisa ngalahin si Binar! Jangan bikin malu!" Damara belum cukup bicara ternyata.
"Papa benar-benar, ya! Nggak ada pedulinya sama anak sendiri. Papa tega!" Wina tampak terluka sekali.
"Ersa ... kalau kamu cape ... nggak apa-apa nanti langsung pulang aja. Nggak usah dijalani bimbelnya. Kasihan badan kamu, Nak," peringat Wina.
"Apa-apaan Mama ini? Awas aja kalau kamu sampai berani nggak bimbel! Kamu tahu sendiri akibatnya nanti!" amcam Damara.
Ersa menarik napas dalam. Ia selalu menunggu momen kebersamaan bersama kedua orang tuanya. Inginnya menikmati waktu berkualitas bersama. Tapi selalu ini yang terjadi ... perdebatan yang tak ada habisnya.
"Papa tenang aja ... aku nggak akan kabur, kok. Aku akan berusaha memenuhi ekspektasi Papa sampai titik darah penghabisan! Sekali pun aku rasanya udah kayak mau mati ... bakal tetap aku lakukan," jawab Ersa akhirnya.
"Bagus ... memang seharusnya begitu. Anak muda nggak boleh lembek!" Damata menyeringai puas.
Wina yang makin sedih, sampai menangis. "Ersa ... kamu jangan begini, Nak. Nggak apa-apa kalau kamu keberatan. Mama nggak bisa lihat kamu seperti ini terus. Apa lagi Mama nggak selalu ada untuk mendampingi kamu. Mama merasa bersalah sekali."
Ersa membantu menghapus air mata ibunya dengan lembut. "Jangan nangis ya, Ma. Aku nggak apa-apa kok."
Ersa benar-benar pergi setelah itu. Supir sudah menunggu di depan, dalam mobil mewah yang dibeli khusus untuk mengantar Ersa ke mana-mana. Menjalani aktivitas segudangnya, yang seolah tak pernah habis.
Pak Hendro nama supir Ersa itu. Lelaki itu sudah pasang cengiran khas, untuk menyambut kedatangan Ersa. Tapi Ersa malah melengos.
Yang membuat Pak Hendro makin bingung ... Ersa bukannya segera masuk ke dalam mobil ... tapi malah bablas sampai keluar gerbang.
"Lho ... Mas Ersa mau ke mana?" Pak Hendro buru-buru mengejar.
Langkah kaki Ersa yang panjang-panjang, cukup untuk membuat Pak Hendro kewalahan. Maklum, selain karena memang sudah paruh baya ... Pak Hendro juga ukurannya mini ... hanya 160 cm. Sementara Ersa 181 cm tingginya.
"Mas Ersa kenapa nggak masuk mobil?" tanya Pak Hendro ketika berhasil mengimbangi langkah Ersa, walau harus berlari kecil.
"Aku mau bolos sehari aja, Pak. Sumpah aku cape banget. Benar kata Mama, kalau dipaksakan terus ... kasihan badanku. Bisa mati muda aku," jawab Ersa jujur apa adanya.
Pak Hendro meringis. Ia sebenarnya mengerti perasaan Ersa. Ia juga kasihan pada Ersa yang aktivitasnya banyak sekali setiap hari.
Tapi di lain sisi ... Pak Hendro juga harus mejalani pekerjaannya. Ia tidak bisa lepas tangan begitu saja. Karena yang mempekerjakan dirinya adalah Damara. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaannya jika membiarkan Ersa bolos. Mengingat ini adalah sumber mata pencaharian utama, untuk menafkahi keluarganya.
"Mas Ersa ... maaf, ya. Tapi nanti saya bisa diomelin Tuan. Saya takut, Mas." Pak Hendro menyampaikan keluh kesahnya.
Ersa pun menghela napas. "Coba Pak Hendro balik aja, deh. Ambil mobil, lalu berangkat seolah-olah antar saya sekolah seperti biasa. Terserah mau pergi ke mana Pak Hendro. Entah ngopi atau malah pulang nemuin keluarga. Yang penting hari ini aja ... saya pengen bebas!"
"Kalau ketahuan Tuan gimana?"
"Nggak akan, Pak. Orangnya aja habis ini juga berangkat kerja, kok. Ya udah Pak Hendro buruan sana balik. Sebelum simpangan sama Papa berangkat nanti."
Karena sedikit upaya menakut-nakuti dari Ersa itu, Pak Hendro pun langsung berbalik untuk ambil mobil. Membuat Ersa tersenyum tipis ... kemudian melanjutkan langkahnya berjalan tanpa arah dan tujuan.
***
Sudah cukup jauh Ersa berjalan. Kakinya memilih untuk melenggang memasuki gang demi gang. Sengaja, supaya tidak ketahuan Damara. Karena sang papa tak mungkin berangkat kerja lewat gang-gang kecil seperti ini.
Langkah Ersa terhenti saat melihat warung nasi pecel tumpang di depan sana. Bukan heran karena keramaiannya, tapi lebih heran dengan seseorang yang ia lihat di sana.
'Itu Binar, kan?'
Binar terlihat dengan cekatan membantu melayani pembeli ... membuatkan minuman, mengantarkan pesanan, bahkan juga membungkus pesanan take away.
'Apa wanita itu adalah ibunya Binar?'
Ibunya berjualan nasi pecel tumpang, makanya Binar terjun untuk membantu sang ibu. Benar begitu, kan?
Padahal ini sudah mepet jam masuk sekolah. Tapi bisa-bisanya Binar belum pakai seragam. Atau bahkan belum mandi juga itu.
Pantas saja setiap hari Binar terlambat datang ke sekolah. Ternyata ini alasannya.
Ersa cuek saja lah. Ia lanjut mengayunkan langkahnya.
***
Sudah jam 7 kurang 15 menit. Tapi Binar baru selesai dengan urusan pekerjaannya. Ia menerima bayaran hari ini dengan hati yang senang dan penuh syukur. Setelah itu Binar mulai mengayuh sepedanya untuk pulang dulu.
Binar mengernyit melihat seseorang yang tak asing, sedang berjalan gontai di pinggir jalan. Ketika hampir melewatinya, Binar mengurangi kecepatan pancalan sepedanya.
"Ngapain, Sa? Tumben jalan kaki ke sekolah? Duh ... bau kecut dong nanti."
Ersa menoleh. Menatap Binar dengan tajam. "Bukan urusan lo!"
"Lah, ditanya baik-baik malah begitu! Mau bareng gue atau gimana? Gue bonceng." Binar masih terus berusaha berbuat baik.
Kalau dilihat dari tampangnya, Ersa ini selalu kelihatan seperti manusia yang sedang dihadapkan dengan banyak masalah. Binar kadang kasihan padanya. Tapi lebih sering kesalnya, sih.
"Ogah!"
"Beneran nggak mau? Udah mau telat lho ini."
"Dibilangin ogah ... budek, ya?"
Binar hanya bisa tahan kesal. "Ya udah ... kalau nggak mau. Gue duluan."
Binar pun mulai menggenjot sepeda bututnya dengan cepat. Meninggalkan Ersa, karena ia memang harus buru-buru.
Sementara Ersa hanya meliriknya dengan sengit. Kesal atas sikap sok baik Binar.
***
Tidak ada waktu sekadar untuk sarapan. Padahal Pijar sudah membuatkan makanan untuknya kakaknya. Bukan makanan yang mewah. Ia buat seadanya, yang penting bisa dimakan. Sayur bening dan tempe goreng.
"Makan dulu, Mas! Dimakan atau nggak, Mas Binar bakal tetep telat!"
Pijar realistis saja, makan tidak makan akan tetap telat. Lebih baik Binar makan dulu walau sedikit. Pijar terlalu khawatir dengan kondisi Binar. Binar tak bisa terus-terusan mengabaikannya kesehatannya sendiri.
"Udah telat, Dek. Maksudnya biar aku telatnya nggak terlalu lama. Makin lama poin makin banyak, hukuman juga makin nggak manusiawi." Binar coba menjelaskan.
"Iya, aku paham. Tapi tetap makan dulu. Nggak peduli cuma 3 sendok, yang penting perutnya jangan kosong."
Tak tega melihat muka adiknya yang memelas, Binar akhirnya menurut saja. Ia tidak repot ambil pirng sendiri untuk makan. Ia langsung serobot makanan yang ada di piring Pijar.
Pijar bilang 3 sendok, Binar beri bonus 2 sendok lagi. "Makin enak masakan kamu," puji Binar tulus.
Binar benar-benar langsung nyelonong pergi lagi. Meninggalkan Pijar yang masih belum puas melepas rindu pada kakaknya itu.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor