“Lockscreen-nya bagus. Gue juga mau bikin bentuk hati di pipi sama lo, biar locksreen gue ceria.”
Aku segera memasukan ponsel pada saku rok saat Anbi Sakardja memberikannya saat pagi hari sebelum jam pelajaran berlangsung. Cowok itu membuatku malu setengah mati hanya karena layar ponsel yang menampilkan wajahku dan Hima, bentuk setengah hati terukir oleh warna merah lipstick di sisi pipi kami berdua hingga membentuk hati seutuhnya saat pipi kami menempel.
“Oh ya, If. Gue nggak bisa ke toko aunty nanti. Maaf ya rencananya batal. Gue harus nemenin mama di rumah sakit.”
Aku menggeleng, tak keberatan. Anbi memiliki urusannya sendiri dan terlebih lagi urusan keluarga. Lagipula, aku tak memiliki hak memaksa agar ajakan itu ditepati.
“Mama lo sakit?” tanyaku sedikit sungkan, tetapi Anbi mengiyakan dengan senyum di wajah seolah baik-baik saja. Aku mendoakan, “Semoga cepat sembuh.” Dan, saat itu pula aku menyadari kesedihan di matanya meski bibir itu tersenyum lebar.
Anbi juga minta diabsenkan saat perkumpulan band. Aku mengerti. Beberapa saat kuperhatikan tubuh tegap cowok itu yang perlahan menjauh dan menghilang saat memasuki kelas. Aku menatap langit pagi yang berawan dan segera masuk kelas setelah bel berbunyi. April baru datang dan mengatur napasnya tergesa di meja.
“Nyaris aja gerbang ditutup sama pak Bima,” keluhnya seraya membenarkan rambut yang hari ini terkepang rapi. Itu bagus. “Gimana latihan basket kemarin?”
Aku mengembuskan napas berat. Kakiku masih terasa pegal dan aku masih mengantuk karena tidur dini hari mengurusi kanal di platform, juga membongkar kardus-kardus yang tersimpan rapat di bawah tempat tidur. Namun, yang membuatku tidur begitu larut adalah membaca beberapa buku kenangan atau catatan musikku yang tersisa. Bernostalgia.
Secara resmi, aku adalah anggota band. Senior berhasil meyakinkanku, tetapi alasan kuatku adalah ingin Hima Fadilla mendengarku bermain musik lagi. Semoga musikku mencapainya. Cukup satu pendukung nomor satu saja dan aku akan bertahan. Terlebih, Bapak juga tak mengomentari soal musikku. Semangat bergejolak dalam diri, itulah alasanku semalam tak bisa tidur.
“Udah mau ulangan semester. Malasnya.” April mengeluh panjang. Aku tak terlalu memikirkannya, tetapi aku bersemangat oleh poster di ponsel soal kompetensi musik. Waktunya cukup bertabrakan dengan ulangan semester tiga bulan mendatang dan rincian seleksinya membuatku tertantang. Kukabari hal ini pada anggota bandsaat perkumpulan dan antusias mereka menulariku.
“Berhubung band kita lengkap, mari kita coba.” Panji berseru riang. Sedetik kemudian mengeluh, “Kenapa juga harus punya channel? Kemarin aja kami ikut seleksi, pengikutnya nggak nambah.”
Yudis seketika terbahak. “Lolos tahap pertama aja nggak, Pan. Ngarep nambah pengikut.”
“Kalian pernah ikut?” Aku memastikan. Bagas—ketua klub—menjelaskan, “Pernah sekali, tahun kemarin doang. Kami ikut audisi bertiga aja. Gue tau alasan kami gagal … itu karena suara fals Panji.”
Yudis kembali tertawa. Aku mengulum senyum melihat Panji terkekeh miris. Bagas juga memberitahu bahwa alumni yang dua tahun telah lulus dari sekolah pernah tampil di Skyline Festival dan mengantongi juara kedua. Salah satu dari mereka ditawari agensi musik, terlebih dia adalah perempuan. Jadi, aku mempertanyakan mengapa kami tak memiliki cukup anggota jika punya alumni yang begitu berbakat.
“Senior itu kelas dua belas, kami masih kelas sepuluh waktu gabung band. Ada pemain bass kelas sebelas yang suka sama senior itu, tapi ditolak pas mau acara besar. Kondisi band jadi berantakan karena dia kabur. Untungnya ada Panji yang jago bass, tapi jangan suruh dia nyanyi aja.”
Jadi itulah asal terbitnya aturan dilarang menjalin hubungan asmara di klub ini. Aku mengerti. Yudis juga angkat suara setelah penjelasan Bagas, “Gimana anak cowok nggak suka dia, Gas. Udah mah cakep, otak pinter, jago main gitar, ditambah baik hati pula. Gue aja suka.”
Terdengar seperti malaikat. Aku iri. Lantas, aku mencari kesempatan yang tepat untuk menawarkan, “Kalau mau pakai akun punya gue aja, Kak. Tapi masih ada beberapa videonya.” Kuberikan ponsel pada mereka yang berohria menatap layar persegi itu. Ada belasan video lamaku bermain gitar dan aku malu setengah mati saat video pendek aku menyanyikan lagu orisinal diputar.
“Lo mau jadi vokalis, Faa?” tawaran itu berasal dari Bagas. Aku gelagapan menjawab, “Nggak pede, Kak.” Meski demikian, Bagas meyakinkan, “Suara lo lebih bagus dari Panji. Itung latihan aja, lagian kalau kami lulus tinggal lo sama Anbi di band. Gimana promosi ke adik kelas kalau vokalisnya nggak ada?”
Aku mengiyakan cukup lama setelah dipikir-pikir untuk keberlangsungan band. Di sisi lain, Panji mengusulkan, “Video lo nggak usah dihapus, Faa. Sayang banget. Ini ‘kan identitas lo. Kita numpang akun aja buat pendaftaran. Karena video lo pada pake topeng rubah Jepang, jadi apa kita mau pake juga, Gas?”
Yudis menyetujui. “Bagus tuh. Kita nggak perlu nunjukin muka. Perform pun jadi nyantai.”
Soal itu aku tak berkomentar. Aku cukup malu menunjukkan wajah di layar ponsel ataupun khayalak ramai. Simpelnya, aku ingin menjadi misterius, haha.
“Jadi, nama band kita apa?” Bagas menilik satu persatu anggotanya. Aku jadi kepikiran. Kami memikirkannya dalam waktu yang lama dan usulan-usulan asal bunyi dari Panji ditolak mentah oleh Bagas dan Yudis. “Tunggu pendapat Anbi aja deh. Oh ya, lo belum kasih nomor buat masuk grup. Sekalian punya Anbi, ya.”
Aku memberikan nomor dengan cepat, tetapi memberitahu, “Gue nggak punya nomor Anbi, Kak.” Wajah seniorku terpampang bingung dengan alis tertaut keheranan. Panji berujar, “Kalian keliatan deket sampe selalu semeja pas di kantin. Kalian temenan ‘kan?”