Aroma kayu bernuansa hangat yang mirip seperti buku-buku lama di perpustakaan.
Itulah yang kuingat mengenai seseorang yang menyelamatkanku dari tiga anak tangga IPA 5. Wajahnya sama sekali tak kuperhatikan, tetapi sensasi hangat di setiap kulitku yang bersentuhan dengan pergelangan tangannya masih kuingat dan hal itu membuatku menggelengkan kepala.
Fokus.
Aku harus mendengarkan seksama pelatih basket yang sedang membagi tiga kelompok anak sepuluh yang baru bergabung, termasuk aku. Hanya ada lima perempuan di angkatanku, itu sangat sedikit jika ditambah empat senior perempuan lainnya. Aku sungguh prihatin.
“Kalian hanya harus bermain seperti biasa agar saya bisa melihat ketahanan stamina kalian tanpa pergantian pemain selama dua babak. Jadi, mari mulai dengan kelompok pertama dan ketiga.”
Itu adalah kelompokku. Sebelum pertandingan dimulai, kami bersalaman terlebih dahulu dan aroma seseorang membuyarkan seluruh fokusku kala bermain. Sebagai seseorang yang mengisi posisi shooting guard atau pemain yang bertugas untuk menembak bola dari jarak-jarak yang cukup jauh, aku kepayahan.
Berkali-kali, bola yang kutembakan digagalkan hingga tim lawan berompi hijau melakukan rebound dan menggiring bola pada area timku sendiri. Melakukan pertahanan melawan seseorang yang aroma tubuhnya mengeluarkan aroma kayu yang intens membuatku tak fokus seratus persen berada di lapangan.
Timku berhasil mencegah tiga angka untuk tidak menambah poin tim lawan. Kepalaku menoleh ke sana-kemari seraya berlari mundur saat orang di bawah ring hendak melemparkan bola jauh. Posisiku belum siap menerima bahkan fokusku masih berkeliaran saat parfum beraroma perpustakaan terasa mengikutiku.
Alhasil, aku tak berhasil menangkap bola oren sampai memantul keras pada wajahku yang meninggalkan perih kemudian. Suara peluit yang ditiupkan pelatih terdengar sehingga aku bisa bernapas lega bahwa ada waktu istirahat barang sejenak. Tampaknya, itu terjadi karena hidungku yang mengeluarkan darah.
“Siapa nama kamu?” Pelatih bertanya saat aku menepi. “Pelatih dulu beneran tempatin kamu di posisi shooting guard, Iffaa Faddila? Kamu bahkan tidak mencetak satu poin pun. Pergi obati luka kamu sana.”
Hati kecilku berteriak di setiap langkah untuk ke toilet seraya menahan darah yang keluar dari hidungku. Aku meninggalkan kesan yang buruk di mata pelatih yang seperti tak sudi untuk melihatku kembali ke lapangan. Aku sengaja berlama-lama di toilet sampai peluit tanda akhir permainan dua babak itu selesai.
“Lo nggak papa, Iffaa? Sorry operan gue kurang tepat sampai kena muka lo.” Teman setimku menyambar saat aku kembali dan bergabung beristirahat di sisi lapangan. Botol minum berstiker karakter dua dimensi kukeluarkan dari tas seraya mengatakan, “Bukan salah lo, kok. Maaf harus keluar lapangan pas pertandingan, Danu.”
Aku meluruskan kaki saat minum setelah Danu selesai bicara dan pergi bergabung dengan para pemuda di sisi lain. Mataku memerhatikan mereka, lebih tepatnya mencari seseorang beraroma kayu yang selama pertandingan tak kuperhatikan. Atau aku menyebutnya pelarian yang memalukan.
Ada tujuh anak kelas sepuluh yang beristirahat, empat di antaranya saling melemparkan botol minum dan sisanya mengobrolkan sesuatu hingga tawa menghiasi mereka. Aku menyipitkan mata kala menerka-nerka siapa pemilik wangi kayu yang tak begitu tajam tetapi intens itu di antara mereka.
Seorang berjersey dengan nomor punggung tujuh menangkap basah diriku yang memerhatikan. Dalam seperkian detik pandangan kami bertemu, lalu aku membuang muka saat ia mengulas senyum dan melambaikan tangan di dada. Seolah mengenaliku, apakah ia orangnya?
Seketika itu bayangan kejadian pada tiga anak tangga koridor kembali membuat wajahku memerah. Aku sibuk mengalihkan tatap saat lagi-lagi orang itu masih memandang ke arahku. Tanganku mulai berkeringat tak nyaman dengan kesibukan yang dibuat-buat, bahkan tiba-tiba aku sudah pada hitungan 56 pada semut-semut yang berbaris rapi.
Kegiatan eskul telah usai dengan langit yang merona jingga, kendaraan hilir mudik tak ada habisnya, dan tempat makan di seberang sekolah masihlah ramai. Aku menunggu bus yang jaraknya puluhan meter dari sekolah dengan helaan napas lelah yang panjang.
Aku meninggalkan kesan buruk untuk pelatih bahkan meragukan posisiku sebagai penembak jarak jauh. Hal itu terjadi sebab fokusku terpecah. Aku menggerutu, “Bisa-bisanya nggak fokus karena aroma cowok.”
Akupun tak habis pikir. Demi mengenyahkan pikiran yang membuat wajahku menghangat dan kembali merasa malu, aku memasang penyuara telinga saat bus kota datang dan akhirnya bisa pulang.
“Lo membenci gue?”
Eh? Suara itu berasal dari belakangku. Aku mengabaikan karena tak yakin kalimat itu tertuju padaku. Setelah duduk di bangku kosong, aku menemukan wajah orang yang menjadi alasanku hilang fokus seharian. Aku merapatkan diri pada jendela dan berpura-pura sibuk dengan ponsel meski hanya menggulir-gulir playlist lagu yang belum kuputar.
“Jangan membenci gue karena gue ganteng.”
Eh? Aku sekarang yakin deretan kata yang terkesan percaya diri itu tertuju padaku. Aroma samar yang jarang kuhirup itu menyeruak indra penciuman saat ia duduk di sebelahku dan melipat acak jaket denimnya. Tanganku mulai berkeringat gugup.
“Ohh lo beneran benci gue?” Ia kembali bersuara dan aku tak berani meliriknya. “So, enemies to lovers?“
Aku sungguh bingung.