"Turunin gue di depan gerbang ya, Vi!" suruh Sora pada Davian.
Davian memberhentikan motornya di gerbang sekolah. Ia membuka helmnya kemudian melihat Sora yang sudah turun dari motornya. Ia membantu melepas helm di kepala Sora.
"Mau kemana? Lo mau bolos kan?" tanya Davian.
Sora tersenyum lebar. "Sera mau tampil balet di sekolahnya."
"Lo mau ke sekolah Sera?"
"Yup. Gue mau nonton dia, Vi. Ini pertama kalinya Sera tampil."
"Om Arsen?"
"Papa datang kok. Wali murid juga disuruh datang."
Davian mengangguk tidak banyak bertanya lagi. Ini bukan kali pertama Sora membolos untuk datang ke sekolah Sera. Kadang di waktu tertentu Sora juga bolos.
"Terima kasih tumpangannya." Sora menepuk bahu Davian.
"Mau gue anterin ke sana?"
Sora menggeleng. "Yang ada nanti lo telat masuk sekolah. Udah, ya, gue mau ke sana dulu!"
Sora melenggang pergi. Davian menyaksikan punggung Sora hingga Sora berhenti di halte yang tak begitu jauh dari sekolah.
Sora memesan ojek online karena menunggu bus berikutnya butuh waktu lama. Selama menempuh perjalanan ke sekolah Sera jantung Sora berdebar-debar padahal bukan dia yang akan tampil di panggung.
Tadi pagi ia sudah menyemangati Sera, tetapi ia tidak bilang akan datang. Ia akan membuat kejutan untuk Sera. Namun, ia juga harus menghindari Papa, seperti sebelum-sebelumnya.
Sebelum masuk sekolah Sera, Sora memakai hoodie oversize yang ia bawa untuk menutupi seragamnya. Acara belum mulai jadi Sora memilih pergi tempat di mana tidak terlalu banyak orang, perpustakaan. Orang-orang kebanyakan di aula sekolah.
🍬🍬🍬
Senyum bangga tertoreh di wajah Sora menyaksikan adiknya dan teman-temannya menampilkan balet The Ugly Duckling dengan sempurna di panggung. Tepuk tangan menggema seusai Sera dan teman-temannya tampil.
Sora melambaikan tangannya berharap Sera melihatnya, sebab sekarang ia berada di barisan paling belakang. Tidak mungkin ia berada di tengah-tengah wali murid yang lain, ia juga tak ingin mengambil resiko dengan bertemu Papa. Papa beneran datang menepati ucapan, ia senang akan itu.
Sora pergi keluar dari aula setelah Sora dan teman-temannya turun dari panggung. Ia akan menemui Sera.
Sera sedang bercengkrama di lorong bersama kawan-kawannya. Sora mendekat, tetapi tetap diam tak ingin mengintrupsi kebahagiaan adik dan kawan-kawannya.
"Kakak!" panggil Sera setelah menyadari keberadaan Sora. Sora pamit kepada teman-temannya, lalu berlari memeluk kakaknya.
"Kakak nonton aku?!" tanya Sera.
Sora memeluk adiknya erat-erat. "Tentu saja. Kakak akan menyesal kalau tidak menonton penampilan kamu yang sangat-sangat bagus itu. Kamu cantik sekali dengan pakaian balet."
"Terima kasih, terima kasih, aku senang kakak datang!"
"Kakak akan sering berdoa agar nanti kamu bisa menggapai mimpi kamu untuk masuk ke The Juilliard School, ya."
Sora mengurai pelukan mereka, lalu mengecup dahi Sera. "Kamu hebat!"
"Aku akan melayang karena kakak memuji terus-terusan!"
"Aku akan memegang kakimu agar tidak melayang-layang. Atau perlu aku tali juga?" Sora terkekeh. "Nanti aku buatkan kue spesial buat kamu, oke?"
"Aku tunggu kuenya!!"
"Asal jangan kasih tahu Papa kalau aku datang ya, Ser," pinta Sora.
"Seperti biasa?"
Adiknya sudah hapal betul kebiasaannya itu. Sudah beberapa kali ia datang ke sekolah Sera untuk mengecek rapor Sera sudah diambil Papa atau belum ketika pembagian rapor dan kedatangannya akan menjadi rahasianya dan Sera, oh Davian juga.
"Yup. Sekarang kamu temui teman-teman kamu sana!"
"Bye, Kak!"
Sora memperhatikan Sera yang kembali berbaur dengan teman-temannya. Senyum tak kunjung surut dari wajah Sora.
Sera udah besar dan punya banyak teman. Mama pasti senang lihatnya. Seandainya Mama di sini Mama akan kasih hadiah apa buat Sera? Aku buatkan kue saja nggak papa kan, Ma? Atau nanti aku belikan dia kalung dan liontinnya ada angsanya? Ide bagus kan, Ma?
Sora menyusuri koridor sekolah Sera untuk pulang tak mungkin ia kembali ke sekolahnya.
Sora tersentak saat sebuah tangan melingkari lengannya. Ia semakin terkejut melihat siapa pemilik tangan itu.
"Papa," lirih Sora.
"Kita ngobrol di taman depan yuk, Kak," ajak Papa.
Papa menuntun Sora sampai di taman depan yang tidak terlalu ramai. Mereka duduk di kursi taman.
Sora menunduk memilin-milin ujung lengan hoodienya yang kepanjangan. Ia sudah ketahuan. Entah, apa yang akan dilakukan Papa akan aksi bolosnya ini. Sebelumnya Papa tidak banyak tanya saat ada keterangan bolos di rapornya.
"Papa tahu kamu selama ini sering diam-diam bolos buat ke sekolah Sera ketika pembagian rapor," ucap Papa membuka obrolan di antara mereka.
Sora tidak menimpali sama sekali. Ia tidak bertanya dari mana Papa tahu atau mengapa Papa tidak berkomentar apa pun saat tahu dirinya membolos. Ia hanya diam.
"Papa boleh tanya, Kak?" tangan besar Arsen mengusap surai hitam putrinya.
Sora menganggukkan kepalanya tanpa menatap papanya.
"Kenapa Kakak melakukan itu?"
Cepat atau lambat Sora tahu pertanyaan itu akan terlontar dari mulut papanya.
"Papa tahu kamu selama ini sering diam-diam bolos buat ke sekolah Sera ketika pembagian rapor," lanjut Papa.
"Aku takut Sera kecewa, Pa," jawab Sora jujur.
"Kecewa?"
"Seperti yang aku rasakan dulu, Pa." Sora menghembuskan napas panjang. Ia semakin cepat memilin-milin lengan hoodienya. "Saat Papa melupakan janji Papa atau pun ucapan Papa kepadaku."
"Papa pernah tidak mengambil raporku padahal sebelumnya Papa bilang akan datang ke sekolah buat mengambilnya. Waktu aku tahu Papa mau ngambil raporku aku seneng banget karena sebelum-sebelumnya Mama yang ngambil raporku, mengantar dan menjemput ke sekolah, dan menghadiri acara-acara sekolah.
"Papa menyanggupi akan mengambil raporku saat setelah Mama meninggal. Kalau bukan Papa siapa lagi kan? Tapi waktu aku tunggu di sekolah Papa nggak datang. Orang tua temanku pada datang, tetapi lama banget aku nunggu tapi Papa nggak muncul.
"Waktu ditanya guruku kenapa Papa nggak datang aku bingung jawabnya, Pa. Malamnya setelah Papa pulang kerja Papa minta maaf sama aku dan bilang lupa."
Sora tersenyum sendu mengingat kenangan yang menyakitinya itu. "Papa tidak melakukan satu kali, tetapi berkali-kali. Sampai aku berharap Mama kembali lagi, Mama gak pernah lupa dan selalu datang. Mama sering memeluk Sora, Pa, setelah nerima rapor dan bilang Sora anak hebat, padahal kadang nilai Sora ada yang gak bagus."
Air mata jatuh turun membasahi Pipi Sora, buru-buru Sora menghapusnya. "Sora cuman gak ingin Sera merasa seperti itu. Aku takut Papa nggak datang. Setidaknya kalau memang Papa nggak datang, aku masih ada buat dia."
Arsen berhenti membelai rambut hitam putrinya. Hati Arsen terasa diremas mendengar penuturan putri bungsunya.
Selama ini Sora tidak banyak mengeluarkan isi hatinya ataupun bercerita. Ternyata putrinya itu memendam semuanya sendiri.
Arsen masih mengingat jelas kesalahan-kesalahan pada istri dan anak-anaknya. Pengabaian. Penyesalan masih menggelayutinya sampai sekarang.
Waktu Indi masih ada Arsen menomor satukan kerjaannya. Tidak terlalu banyak waktu yang ia gunakan untuk berkumpul bersama istri dan kedua anaknya. Saat weekend ketika bosnya menelpon dan menyuruh bekerja ia akan langsung datang, demi dipromosikan.
Arsen tidak pernah ada diwaktu Sora bisa berjalan pertama kali. Diwaktu Sora bisa memanggilnya Papa. Atau saat Sora mulai pintar bernyanyi, berakting, dan bermain piano. Ia mengetahui perkembangan Sora dari Indi dan video yang sengaja Indi rekam. Dengan anak bungsunya itu pun tak jauh berbeda.
Indi meninggal ketika Sora naik ke kelas empat dan Sera berumur 5 tahun. Indi kecelakaan saat setelah mengantar Sora ke sekolah.
Masih segar diingatkan Arsen Sora menjerit dan menangis saat tahu mamanya sudah tidak ada.
Setelah Indi meninggal Arsen menyesali semuanya. Ia menyesal tidak menjadi kepala keluarga yang baik. Ia menyesal tidak bisa mencurahkan perhatiannya pada istri dan anaknya.
Keadaan keluarganya sangat menyedihkan setelah Indi pergi. Sora menjadi anak yang pemurung dan Sera yang terus menangis mencari mamanya. Untungnya ibu mertuanya datang membantunya menenangkan Sora dan Sera dan memberi pengertian pada mereka.
Arsen berjanji untuk fokus kepada anak-anaknya. Walau kadang tidak mudah. Salah satu contohnya ia lupa mengambil rapor Sora.
"Papa juga pernah lupa menonton aku tampil teater untuk pertama kali." Sora terkekeh sedih.
"Dulu Mama semangat banget waktu tahu aku mau mengikuti ekskul teater di sekolah. Sayangnya, Mama pergi terlalu cepat jadi nggak bisa melihatku tampil."
Sora tidak bisa menahan air matanya yang terus mengalir. Ia pun membiarkannya. Kenangan menyedihkan yang selalu ia simpan rapat-rapat kini muncul ke permukaan. Ia tidak lagi bisa membendung kesedihan itu.
"Sebelum Mama meninggal pun Papa sering lupa kita akan jalan-jalan bareng ke kebun binatang, taman bermain, atau menonton film."
"Apa papa masih ingat ulang tahun Papa saat umur Sora waktu itu sebelas tahun? Sora waktu itu mau buat kejutan buat Papa sampai Sora buat kue sendiri dibantu Bi Ila. Tapi sampai malam banget Papa gak pulang-pulang dari kerja sampai lilinnya mati. Akhirnya Sera dan aku ketiduran di sofa. Paginya pas aku bangun Papa ada di sebelahku sedang tidur. Kita makan kuenya deh pagi-pagi meskipun ulang tahun Papa sudah lewat."
Sora mendongak untuk menatap papanya dan ia terkejut mendapati papanya menangis seperti dirinya. Sora memeluk papanya dari samping.
"Sekarang Sora senang Papa udah nggak kayak Papa yang dulu. Papa mengambil rapor Sera, Papa datang waktu Sera tampil balet, Papa di rumah waktu akhir pekan dan temenin aku sama Sera nonton film, makan masakanku meskipun Papa pernah diare gara-gara makan eksperimenku."
Arsen memeluk kepala Sora erat dan sesekali mengusap rambut Sora.
"Maafin Sora yang kadang masih ragu sama Papa. Sora nggak maksud gitu, Pa, Sora cuman takut."
"Sora, Papa yang harusnya minta maaf. Sora seperti itu karena Papa sering mengecewakan kakak. Maafin Papa, ya, Kak. Maaf Papa bikin Kakak kecewa dan merasa dilupakan. Maaf Papa nggak pernah ada saat Kakak tumbuh menjadi gadis yang hebat seperti sekarang. Maaf, Kak, Maaf."
"Sora sayang banget sama Papa. Jangan tinggalin Sora ya, Pa."
"Papa nggak akan ninggalin kakak sama adek."
Di dalam pelukan papanya Sora mengangguk. Pelukan mereka semakin erat. Mengabaikan tatap mata yang melihat mereka.
"Apa Kakak tidak jadi ikut nenek ke Belanda gara-gara tidak ingin meninggalkan Sera?"
"Aku nggak mau ninggalin Papa dan Sera. Kita bertiga baru tiga tahun ditinggal Mama pergi dan aku tidak ingin Papa kehilangan anak sulung Papa dan Sera kehilangan kakaknya. Sekalipun aku tinggal bersama nenek di Belanda kita bisa berkomunikasi lewat surat, telpon, ataupun surel, tetapi rasanya akan berbeda dengan aku yang ada di sisi Papa dan Sera secara nyata."
"Maafin, Papa."
"Kenapa Papa minta maaf lagi? Sora sudah memaafkan Papa."
"Terima kasih banyak-banyak karena sudah memaafkan Papa dan memberi kesempatan lebih lama bersama kamu."
"Papa Sera cari di mana-mana malah di sini pelukan sama Kakak! Mana nggak ajak-ajak!" omel Sera, kemudian anak itu berlari dan ikut memeluk Kakak dan papanya.
"Hehe, kita kayak Teletubbies," kata Sera.
"Berpelukan!" ucap Sora dan Sera berbarengan.
Arsen tertawa di dalam pelukan kedua anaknya.
Anak kita udah besar, In. Mereka tumbuh dengan baik dan menjadi anak hebat. Apalagi Sora dia benar-benar seperti kamu, dewasa sekali dia meskipun dia masih kecil di mataku. Aku tidak bisa membayangkan dia dekat dengan laki-laki, aku tidak rela.
Sera jago banget baletnya. Mungkin nanti dia akan menjadi ballerina. Dia jarang sekali mengeluh setelah latihan balet. Padahal yang aku tahu latihan balet itu tidak mudah. Tapi Sera semangat sekali waktu latihan dan les balet.
[ ]