Malam itu kami semua berkumpul. Mama, papa, aku, Kak Maya, dan juga Feline, adik kembarku. Sudah lama kami tidak berkumpul seperti itu, tepatnya setelah kakak dan papa berkelahi setahun lalu, kemudian dia keluar dari rumah ini. Namun suasana malam itu sangat berbeda. Terasa ketegangan yang sangat. Kak Maya yang sudah tak pernah kutemui selama kurang lebih setahun juga nampak sangat berubah. Dia terlihat lebih kurus dibanding dulu. Tapi senyum di wajahnya masih tetap tidak berubah. Dia terlihat sedikit sibuk menenangkan bayi mungil yang berada dalam gendongannya itu agar tetap tenang.
“Sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini. Aku sebenarnya sangat merindukan suasana seperti ini,” kata mama membuka pembicaraan.
Papa hanya terdiam. Sesekali dia berdehem. Dia hanya memandang lurus ke depan, tidak memandang seorang pun diantara kami.
“Hari ini aku mengumpulkan kalian semua di sini, karena ingin memberitahukan satu hal penting,” suara mama berubah menjadi sedikit serak. Terlihat matanya sedikit memerah. “Mama dan papa memutuskan untuk bercerai,” lanjutnya lagi sambil berusaha menahan airmata yang sepertinya akan jatuh menetes di pipinya.
Apa!? Bercerai!? Bukankah hubungan papa dan mama selama ini baik-baik saja, kenapa tiba-tiba ingin bercerai? Aku mungkin salah dengar. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Menelan ludah. Mencoba untuk mendengarkan perkataan mereka dengan seksama.
“Ma, sebenarnya ada apa? Mama dan papa selama ini kan baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bilang ingin bercerai!?” Feline langsung mengeluarkan ucapan yang tak bisa keluar dari mulutku.
“Ya, Ma. Apa yangg sebenarnya terjadi?” Kak Maya akhirnya ikut membuka suaranya. “Kalau memang ada masalah, bukannya bisa dibicarakan baik-baik dulu?”
Mama menggeleng. Dia tak bisa membalas satu pun pertanyaan kami. Airmata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh membasahi pipinya, menetes hingga ke atas meja. Dari raut wajahnya aku bisa merasa kalau mama sedang menahan perasaan sakit dalam hatinya.
“Tak ada alasan apapun. Kami berdua hanya merasa tidak cocok, dan sudah memutuskan untuk bercerai. Sekarang silahkan kalian pilih, siapa yang ikut papa dan siapa yang ikut mama,” kata papa menggantikan mama menjelaskan.
“Tidak mau! Aku tidak mau memilih siapa pun diantara kalian! Aku mau keduanya... Aku tidak mau mama dan papa berpisah... Hoaaaa...” Feline langsung menangis dengan keras.
Kak Maya juga terlihat menangis. Matanya sangat merah. Sementara aku, aku hanya dapat terdiam. Tak ada sedikutpun suara yang keluar dari mulutku. Apakah aku sedang bermimpi? Kalau iya, kenapa aku tidak juga terbangun?
“Celine, aku rasa, kamu bisa memberikan pilihanmu. Beritahu papa, kamu ingin iikut siapa.” Kali ini papa bertanya hanya kepadaku seorang.
Aku menggeleng. Tetap tak bersuara.
“Papa tahu berita ini membuat kalian bertiga sangatlah terkejut. Papa tidak memaksa kalian untuk memberikan jawaban hari ini. Tapi papa harap, besok kalian bisa memberikan jawaban yang terbaik,” lanjut papa lagi. “Maya, sekarang kau sudah memiliki keluarga sendiri, papa rasa perceraian ini tidak akan berpengaruh untukmu.”
“Pa, kenapa kalian seenaknya memutuskan!? Kenapa kalian tidak bertanya pada kami terlebih dulu!? Ah, tidak, bukan pada kami, tapi kenapa kalian berdua tidak menanyakan perasaan si kembar terlebih dulu!?” Nada suara Kak Maya semakin meninggi.
Papa hanya terdiam. Setelah itu dia lalu berkata, “Ini sudah menjadi keputusan aku dan mamamu. Kalian bisa menerimanya atau tidak, keputusan ini pada akhirnya tidak akan berubah.” Papa lalu mendorong kursinya ke belakang, berdiri, dan kembali ke kamarnya meninggalkan kami semua yang masih ada di ruang tamu.
“Ma, katakan pada Feline kalau semua itu bohong, Ma! Bukankah papa dan mama saling menyayangi!? Bukankah papa dan mama akan selalu bersama kami!? Ma, jangan mau cerai, Ma. Bicarakan baik-baik dulu sama papa,” bujuk Feline sambil berlinang airmata.
Mama hanya membalas ucapan Feline dengan pelukan. Sementara Kak Maya, dia hanya bisa menangis pelan, tidak ingin tangisannya malah mengganggu bayi kecilnya itu.
Namaku Celine. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini berumur 13th, siswi kelas VIII di salah satu SMP swasta yang ada di Medan. Kak Maya adalah kakak pertamaku, usianya 8th di atasku. Aku mempunya seorang adik kembar, bernama Feline. Kami berdua adalah kembar identik. Yang membedakan kami berdua hanyalah tahi lalat yang terletak di telapak tangan kananku. Dia tidak memiliki tahi lalat itu di telapak tangan kanannya.
Meskipun kami berdua adalah saudara kembar tapi sifat kami sangat berbeda. Feline anak yang ceria, dia disukai banyak orang dan bisa dengan mudah mengeluarkan apa yang dipikirkannya. Berbeda denganku, aku hanyalah anak yang tak memiliki teman, tak pandai berbicara, dan sehari-harinya hanya bisa menghabiskan waktu dengan membaca. Jujur saja, aku terkadang sangat iri dengan Feline. Aku ingin sekali bisa menjadi dirinya yang sepertinya hidup ini sama sekali tak ada beban. Tapi itu tak mungkin terjadi. Biar bagaimanapun, aku adalah aku, selamanya tak akan bisa menjadi orang lain.
“Celine, kamu ingin ikut siapa?” tanya Feline sebelum kami berdua tidur.
“Aku... aku tidak tahu,” jawabku pelan.
“Aku juga. Aku sangat menyayangi mama dan papa. Aku tidak ingin berpisah dari mereka. Sebenarnya mereka bisa membicarakannya baik-baik tapi kenapa mereka langsung memutuskan untuk berpisah? Aku tidak mengerti... Hik... aku benar-benar tidak mengerti, Celine...” Isak Feline.
Aku yang tidur di sampingnya pun merasa sangat sakit. Aku memeluknya dengan erat. Pelukan ini sering kuberikan padanya ketika dia sedang dalam keadaan sedih.
“Celine, kenapa kamu tidak menangis? Memangnya kamu tidak sedih mereka berpisah?”
“Sedih, tapi entah kenapa airmataku tidak bisa keluar. Aku tidak dapat berpikir apapun. Aku berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, dan ketika kita terbangun besok, semuanya akan hilang. Papa dan mama akan menunggu kita seperti biasa di meja makan, tersenyum hangat pada kita, menyediakan makanan untuk kita, dan mengantar kita ke sekolah seperti biasanya.”
“Iya, aku juga berharap seperti itu,” kata Feline pelan.
Malam itu, kami berdua menutup maya, berharap esok hari akan terjadi keajaiban. Kami berharap kami bisa melihat papa dan mama yang tersenyum pada kami seperti biasa. Namun, penantian kami tak pernah terwujudkan...
Esok paginya, mama dan papa sudah menunggu kami di ruang tamu. Mata mama terlihat sangat bengkak. Sepertinya dia tidak tidur semalaman dan hanya menangis. Sementara papa, wajahnya terlihat kusut, sama sekali tak ada senyum di wajahnya. Pagi itu, kami berdua izin dari sekolah karena masalah ini. Kami juga sudah merapikan baju kami berdua ke dalam koper masing-masing.
“Celine, kamu sudah memutuskan akan ikut siapa?” tanya papa padaku.
Aku hanya terdiam. Aku berbalik ke Feline, membiarkan dia memilih.
“Aku ikut mama,” jawab Feline pelan.
“Kalau begitu, kamu ikut denganku, Celine. Ayo pergi!” Kata papa mengulurkan tangannya padaku.
Sebenarnya dari dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku juga lebih memilih untuk ikut mama, tapi aku tahu Feline lebih membutuhkan kasih sayang mama dibandingkan aku. Aku melambaikan tanganku pada mama dan Feline. Aku tersenyum pada mereka sebelum aku berbalik dan seketika itu juga ketika aku membalikkan wajahku, airmata terus mengalir membasahi pipiku, menghalangi pandanganku. Aku tidak ingin berbalik lagi. Aku tidak ingin memperlihatkan wajah penuh airmataku ini pada mereka berdua. Aku berharap kami semua bisa berbahagia. Meskipun bukan berada di tempat yang sama, aku berharap mama, papa, Feline, aku dan juga Kak Maya bisa berbahagia seperti dulu ketika kami semua bersama.
“Feline, mama, dimanapun aku berada, aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Aku pasti akan selalu mengingat kalian. Karena kita adalah keluarga, sampai kapanpun hal itu tidak akan pernah berubah. Dan siapapun tidak akan pernah bisa mengubah kenyataan bahwa kita adalah keluarga.” Aku mengirimkan sms itu pada Feline sesaat setelah kami berpisah.
“Ya, kita adalah keluarga. Aku akan menjaga mama dengan baik di sini, dan suatu hari nanti saat kita berdua sudah dewasa, aku akan membawa mama bertemu denganmu, Celine. Kita semua akan berbahagia!” Balas Feline dengan menambahkan emoticon smile di akhir sms-nya.
Aku menghapus airmata yang mengalir di pipiku. Aku harus tersenyum. Aku tidak boleh terus menangis seperti ini! Aku meyakinkan diriku sendiri, memberi semangat pada diriku sendiri.
Setiap orang, siapapun itu, pasti punya masalah tersendiri dalam hidupnya yang tak diketahui orang lain. Sama halnya dengan papa dan mama, keduanya pasti memiliki masalah yang membuat mereka harus bercerai, masalah yang tak dapat mereka katakan pada kami. Suatu hari nanti, saat kami sudah dewasa, mungkin kami akan mengerti dengan sendirinya apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa orang yang telah ditakdirkan hidup bersama, pada akhirnya harus berpisah...
Akan tetapi, untuk kalian, khususnya para orang tua yang telah melahirkan kami ke dunia ini, yang telah memperlihatkan kami betapa indahnya dunia ini, hendaklah kalian memikirkan kami dalam pikiran kalian masing-masing sebelum kalian mengambil keputusan. Karena siapapun itu, tidak akan menginginkan keluarganya berpisah. Siapapun itu, pasti mengharapkan adanya kasih sayang papa dan mama dalam hidup ini...
Dua tahun telah berlalu sejak perpisahan kami. Tanpa sepengatahuan papa, aku masih sering contact dengan Feline. Kami berdua sering saling mengirimkan foto dan melalui Feline, aku bisa tahu kalau mama saat ini dalam keadaan yang sangat sehat. Mama, Feline, aku merindukan kalian, sangat merindukan kalian...
Meskipun terkadang dalam hidup ini, karena hal kecil, kita bertengkar dan tidak berbicara selama seminggu lamanya. Terkadang hanya karena hal kecil pula, kita menjadi lebih egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Tapi sebenarnya dari hal kecil itulah kita harus mengerti dan memahami keluarga itu akan selalu memaafkan, keluarga itu akan selalu ada di saat senang atau pun sedih, kelaurga itu adalah tempat dimana kita bisa berbagi canda tangis dan tawa, keluarga itu adalah tempat dimana kita merasa aman, nyaman dan tenang...
THE END