Elaine
Kalian pernah nggak? Dekat sama seseorang tapi kalian nggak pernah benar-benar 'bersama' dan nggak tahu 'arah'nya ke mana? I've been there too.
Banyak yang bilang, kalau kita sering menghabiskan waktu dengan seseorang, lama-lama bisa jatuh cinta. Sayangnya nggak ada yang kasih aku peringatan bagaimana rasanya jatuh cinta sama seseorang yang friendly ke semua orang.
Prasetya Setha Tama. Kakak kelasku di SMA. Seseorang yang mudah bergaul, mudah disukai, dan mudah bikin orang merasa spesial, termasuk aku. Cerita ini bukan tentang kami yang akhirnya bersama. Ini cerita tentang ia yang datang, mengisi, lalu pergi.
Awalnya biasa saja. Aku kelas sepuluh, dia kelas dua belas. Kami kenal di OSIS. Saat itu aku belum tahu namanya. Hanya tahu dia orang yang memiliki banyak julukan luar biasa. Aku hanya mengangguk, memang awalnya nggak tertarik, lambat laun nama ‘Setha’ mulai sering tinggal di kepalaku.
Suatu sore, aku menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Mas Ethan, kakakku yang seangkatan dengan Setha, biasanya pulang bareng aku. Pada hari itu Mas Ethan mendadak sakit dan pulang lebih dulu.
Kudengar suara motor berhenti. Ia menaikkan kaca helm. Wajah tampan nan memikatnya itu menyapa indera penglihatanku.
“Ethan tadi balik duluan, kan? Kamu pulang bareng siapa?"
“Iya, Mas. Tadi katanya demam. Dijemput ojol." jawabku kala itu.
“Cancel aja, terus bareng aku." Aku sudah bilang, kan, kalau Setha ini tetanggaku?
“Duh, aku nggak enak nge cancel-nya. Aku nggak apa-apa kok, aman. Mas Setha balik duluan aja."
Anehnya, Setha justru mematikan mesin motor.
“Ya udah, aku tungguin aja di sini sampai driver kamu datang. Ntar aku kawal kalian biar Ethan nggak khawatir.”
Tidak lama kemudian, ojekku datang. Setha kembali menurunkan kaca helm dan menghidupkan mesin. Benar, dia mengawalku.
Sebelum naik, Setha sempat berkata pelan, “Kalau Ethan masih sakit besok, bilang ya. Ntar berangkat bareng.”
Dan sejak saat itu, semuanya pelan-pelan berubah. Baperku bertambah parah.
Sejak hari itu, aku dan Setha mulai sering ngobrol. Benar, Mas Ethan izin tidak masuk 3 hari karena diare hebat. Sepertinya salah makan. Selama tiga hari itu pula aku bareng terus sama Setha.
Selepas rapat OSIS pun dia bisa tiba-tiba menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, apapun jawabanku dia akan mengulurkan sari roti buatku.
Dari luar mungkin aku kelihatan biasa saja. Tapi di dasar hatiku, semuanya terasa spesial. Aku mulai merasa senang setiap dia menyebut namaku. Aku selalu suka nada suaranya ketika menggodaku, tatapan matanya saat menahan tawa, dan caranya mengecek apakah aku sudah sampai rumah tiap kali pulang lebih malam dari sekolah. Semua itu... mulai bikin aku baper.
“Aya, kamu tuh nggak cocok marah. Mending senyum terus aja, cakep.”
“Kalau ada pikiran yang bikin kamu pusing jangan kamu tanggung sendiri ya, Ay. Ada aku.”
“Kamu cantik ternyata habis potong rambut, kelihatan lebih fresh.”
Aku tahu dia orangnya ramah. Tapi waktu itu, aku merasa begitu bego dengan percaya bahwa yang dia begitukan cuma aku.
Puncaknya adalah saat malam menjelang event sekolah. Semua panitia menginap semalam di sekolah. Waktu itu, listrik sempat mati sebentar. Di tengah kekacauan, ada suara yang langsung menenangkan dan membuat wajahku terasa panas.
“Aya, sini… Pegangan aku aja. Kita bareng jalannya.”
Tangan kami sempat bersentuhan. Hangat. Tapi tentu aku nggak gandengan tangan sama Setha. Aku cuman pegangan di lengan jaketnya. Aku masih ingat betul, saat kami jalan berdampingan, dia sempat berbisik, “Jangan lepasin pegangan kamu, takut kamu kesandung.”
Saat itulah aku tahu: aku benar-benar jatuh. Hubungan kami tetap begitu selama beberapa bulan. Ada rasa nyaman, tapi menggantung. Kadang bikin ketawa, kadang bikin nangis sendiri. Aku tahu semua orang lihat kami kayak “something”, tapi sebenarnya nothing.
Sampai akhirnya ada pengumuman tentang seleksi Putera Puteri Daerah. Setha ikut. Nggak heran juga karena semua pujian positif ada sama dia.
Singkat cerita, Setha cinlok dengan partner-nya pada ajang tersebut. Namanya Cecil. Cecil adalah finalis Puteri Daerah dari SMA lain. Tidak bisa kupungkiri, mereka cocok banget di panggung.
Dan di situlah untuk pertama kalinya, aku sadar aku cuma pemeran figuran yang berharap mendapat spotlight di cerita yang bahkan memang bukan ditulis untukku.
Rasanya kayak baru ditinggalin padahal nggak pernah digandeng.
Rasanya sakit, sakit yang aneh. Bukan kayak diputusin, karena kami nggak pernah jadian. Tapi ada perih yang nyata di bagian dadaku.
Aku jadi sering menghindar. Aku tahu betul dia pasti bingung, mungkin mikir aku ngambek nggak jelas.
Pelan-pelan, aku belajar melepaskannya. Meskipun nggak mudah. Aku memang masih terus mengaguminya dalam hatiku. Nggak ada satu orang pun yang tahu.
Semenjak dia lulus dan pindah rumah, kami nggak lagi saling sapa, nggak ada kabar. Kadang dia masih muncul di explore Instagram bersama sang pacar, tentunya. Cecil yang cantik dan terlihat sempurna. Idaman para lelaki. Kecantikannya sangat sesuai standar. Putih, langsing, tinggi, cantik, pintar, dia paket lengkap. Dan dia juga mantan Sabda. Selera mereka berdua sama.
Kadang aku masih ngerasa getir. Aku sedang berusaha memaafkan diri sendiri karena pernah berharap pada seseorang yang bahkan nggak pernah benar-benar menoleh ke arahku.
Barusan Sabda nangis atau kelilipan? Aku terus memperhatikan Sabda. Rahangnya tampak mengeras waktu Mas Ethan bertanya soal voli. Aku nggak menyangka Mas Ethan akan sedingin ini pada Sabda. Aku bisa lihat betapa Sabda yang biasanya ceriwis tidak kuat menghadapi dinginnya Mas Ethan.
"Mas nggak boleh judge orang kayak gitu." Aku mencoba mendebat statement yang bilang atlet biasanya playboy. "Soal Sabda mau lanjut voli atau nggak juga bukan urusan Mas Ethan."
Mas Ethan menghela napas mendengar debatku, terselip perasaan bersalah dari raut wajahnya, "Iya, Mas minta maaf."
"Minta maafnya ke Sabda, bukan ke Aya."
Mas Ethan melirik Sabda tajam, "Maaf." ia menggugurkan kewajiban. Sabda cuman tersenyum simpul lalu mulai gigitan pertamanya.
"Kamu kalau cari cowok yang bener loh, dek." suara Mas Ethan memecah keheningan di meja kami. "Dan jangan gampang percaya sama omongan laki-laki. Kadang yang manis justru jebakan." Kudapati Mas Ethan menyeringai ke arah Sabda. Sekarang aku seperti sedang melihat penguin vs srigala. Sabda penguin, Mas Ethan srigalanya.
"Aku udah gede loh, Mas." kataku serius.
"Segede apapun, di mataku kamu itu forever bayi yang harus selalu dilindungi." Aku paham Mas Ethan memang sangat menyayangiku.
Ponselnya berdering. Mas Ethan menerima panggilan video dari Nikel. "Wah parah nggak ngajak-ajak." Nikel masih pakai seragam basket dengan wajah dan rambut basah keringat.
"Hai, Nikel. Sini nyusul."
"Bungkusin aja satu buat Nikel."
"Oke, tenang nanti Mas bungkusin."
Panggilan video diakhiri. "Dan kamu..." ditujukan untuk Sabda. "jangan macem-macem sama adekku. Kalau sampai macam-macam, nggak akan kukasih ampun." Sebelum memasukkan potongan sate ke mulut, Mas Ethan berwasiat. Wasiat yang membuatku malu karena aku dan Sabda tidak ada hubungan spesial. Selama ini aku berusaha tidak baper dan Sabda hanya selalu ada. Tidak lebih. Selama ini aku berusaha menjaga jarak, tidak mau baper, dan Sabda pun selalu ada sebagai teman yang nyaman, tidak lebih. Aku tidak mau terluka dua kali oleh “spesies” yang sama: cowok friendly yang terlalu dekat tapi terlalu jauh.
Aku dengan cepat menyikut lengan Mas Ethan, "Udah lah, Mas. Malu-maluin. Lagian selera Sabda bukan aku. Aku nggak cantik."
Tapi tiba-tiba, tanpa jeda, suara mereka berdua bersahutan, “Kata siapa nggak cantik?” Aku sampai kaget.
"Kamu cantik loh dek. Jangan sekali-kali kamu ngerasa kamu jelek. Hei, kamu itu aku versi cewek. Aku ganteng begini, kamu jelas cantik paripurna, dek." kata Mas Ethan menggebu-gebu. Aku cuma bisa geleng kepala sambil menahan senyum. Mungkin aku memang harus mulai percaya, kalau aku nggak sesuram yang aku kira.