Sabda
Hari ini kakak sulung Aya pulang ke Indonesia. Namanya Ethan, kuliah di Jerman. Kalau tidak salah mengambil jurusan teknik mesin di salah satu universitas ternama di sana. RWTH Aachen University. Kebayang otak kakak sulungnya sebrilian apa.
Aku ikut menjemput, menggunakan mobil HRV putih milikku. Kami menunggu di kedatangan internasional.
Sosok tinggi tegap melambaikan tangannya dengan elegan dan berkelas, pada Aya tentunya, dia sama sekali tidak melirikku. Kenal saja tidak. Lalu langkah panjangnya bergegas mendekati kami sambil menyeret koper ukuran sedang warna kuning terang.
Tubuh tingginya langsung bagaikan menghantam tubuh Aya yang lebih pendek. Tangan kanannya yang panjang membalas pelukan adiknya sementara tangan yang kiri masih memegang gagang koper.
"Lange nicht gesehen..." ucapnya dengan fasih. Aku tidak tahu pasti artinya. Rupanya Aya pun sama sampai akhirnya Ethan menerjemahkan bahwa itu artinya long time no see. Saat SMA memang ada mata pelajaran bahasa Jerman tapi aku sering bolos makanya nilai di raporku pun nilai KKM.
Dengan percaya diri aku mengulurkan tangan untuk membuat keberadaanku terlihat di matanya yang terhalang kacamata. Kuperkirakan itu hanya kacamata gaya, bukan kacamata minus.
Ia angkat kacamatanya lalu menatapku dari ujung kepala hingga ujung sepatu. Lalu menerima jabatanku sambil melirik adiknya dengan pertanyaan 'siapa dia?' yang langsung bisa kuterjemahkan.
Ternyata saat dari dekat masih lebih tinggi aku sedikit. "Sabda."
"Pacar Aya?" tembaknya segera. Wajahnya agak... angker waktu bertanya.
"Tetangga rumah kita, Mas. Deket banget." jawab Aya diplomatis.
"Apa yang deket? Rumah kita atau hubungan kalian." Buset, jawaban Aya dielaborasi sama abangnya jadi pertanyaan.
Aya tidak menjawab, dia hanya tertawa. Aku sedikit tersentak, Aya jarang ketawa loh.
"Ayo, Mas. Kita pulang. Aku kangen banget sama Mas Ethan." Aya bermanja-manja di lengan kakak sulungnya. Jujur, aku juga ingin Aya bersikap seperti manja begitu juga saat denganku. Ternyata benar di balik sosok cewek mandiri, dia akan bersikap manja pada orang yang membuatnya nyaman. Artinya aku belum cukup bikin dia nyaman.
"Mau kubantu bawain koper atau tas mungkin?" tawarku. Ethan menggeleng dan bilang tidak perlu. Wow, Ethan benar-benar mirip Aya waktu awal kita ketemu. Ya sudah, mungkin karakter keluarga ini memang dingin. Hanya Nikel saja yang friendly sejak awal.
Aku mengekor Aya dan Ethan di belakang mereka lalu segera mendahului begitu mendekati mobil. Persis supir ya setelah aku rasa-rasa.
"Tas atau ranselnya mungkin mau ditaruh bagasi?" tawarku sekali lagi. Ethan memilih meletakkan kopernya di bagasi.
Kubukakan pintu baris kedua untuk Ethan, dia masuk dan bilang terima kasih pelan. Lalu aku buka pintu penumpang baris pertama tempat Aya akan duduk mendampingiku.
Baru juga kepala Aya masuk, suara Ethan mencegahnya. "Loh, Aya sini aja sama Mas." utusnya. Aya langsung menatapku dan kakaknya bergantian lalu bilang maaf padaku dengan pelan sebelum duduk di baris kedua menemani kakaknya. Aku beneran persis supir.
"Kiko sehat, kan? Mas juga bawa treats banyak oleh-oleh buat Kiko. Kangen uyel-uyel anak itu." Rupanya Ethan juga cat person.
"Sehat dan makin gembul Kiko. Mas Ethan pasti kaget. Lebih lucu aslinya daripada foto."
"Makin nggak sabar. Ich vermisse sie sehr"
"Mau mampir makan dulu?"
"Aya, Mas pengen makan sate padang. Mas kangen banget sama sate padang. Any suggestion kemana kita bisa makan sate padang yang enak?"
Aku langsung tahu harus ke mana tapi aku diam saja daripada ditandai sok akrab.
Aya yang duduk di belakangku persis lalu menjawil bahuku. Aku menatapnya melalui spion dan langsung tahu maksud dan tujuannya menjawilku.
"Sate Padang Uda Yunus. Mau?"
"Boleh." jawab Aya. Saat kulirik Ethan, wajahnya terlihat dahsyat sekali. Rasanya pengen kutonjok. Soalnya ekspresi dia tuh nyebelin, nggak ramah. Sepertinya dia nggak suka adiknya dekat sama cowok deh. Soalnya itu juga yang aku rasakan waktu Tsana ngenalin cowoknya. Tsana itu adik sematawayangku.
Oke Sabda, tenang. Kalian sama-sama kakak laki-laki jadi coba pahami perasaannya. Dia pasti khawatir adik perempuannya kena perangkap buaya.
Aya dan Ethan mulai mengobrol. Dari tadi aku bagaikan laler. Sengaja banget Ethan tidak mengikutsertakanku dalam setiap obrolan mereka, padahal sejak tadi Aya mulai kelihatan merasa tidak enak padaku dan terus-menerus melirik ke arahku.
Aya sudah memperingatkanku tadi, bahkan dari kemarin, tapi aku ngeyel. Aku tidak menyangka kalau penjelasan Aya sangat akurat. Aku pikir tadinya Aya hanya menakut-nakuti, ternyata Ethan sedingin ini padaku.
Saat aku sedang mengaduk-aduk es jerukku sambil bermain block buster, kudengar Aya membicarakan soal Nikel yang kena demam berdarah beberapa waktu lalu. Aya juga mention namaku. Aku langsung nyengir lebar ke arah Ethan seolah mau bilang kalau 'aku baik loh, aku bukan buaya, you don't have to worry kalau adikmu lagi bareng sama aku, soalnya aku baik'.
Sekeras apapun Aya berusaha melibatkanku dalam obrolan, Ethan lebih gigih untuk menyingkirkanku. Tenang, Sabda, jangan cemberut, harus tetap senyum karir.
Aku menerima pesan, dari Aya. Dia bilang maaf berkali-kali karena sikap dingin kakaknya. Aku bilang tidak apa-apa sambil mengirimkan stiker wajah memeable Bian hasil kreasiku.
Aya izin ke toilet, mampus tinggal kami berdua. Ethan langsung sibuk dengan ponselnya, aku jadi ikutan, tapi ini bukan aku banget kalau nggak basa-basi. Semoga Aya nggak lama.
"Balik ke Indonesia dalam rangka apa, Mas?"
Dia menatapku seolah bilang 'gede nyali juga lu ngajak omong gue'. Begitulah kira-kira. Lalu meletakkan ponselnya di meja, aku juga ikutan, bermaksud menyimaknya. "Suka-suka saya." jawabnya kemudian. Pengen kubalikin lagi orang ini ke Jerman. Judes banget.
"Jadi kalian ini sebenarnya apa?" bukannya menjawab, dia malah menginterogasiku dengan tatapan tajam.
"Dia itu adik kesayanganku, jangan main-main sama perasaannya."
"Kalian sudah berapa lama kenal? Kenal di mana?"
"Kamu naksir kan sama adekku? Ngaku aja nggak usah ngeles."
Aku sampai bingung mau jawab yang mana dulu, tahu-tahu dia memberondongku dengan banyak sekali pertanyaan yang sepertinya ia tahan-tahan sejak tadi.
"Apa maksud dan tujuan kamu deketin adekku?"
"Siapa namamu, nama panjangmu, kuliah di mana, jurusan apa? Berapa IPK terakhirmu? Ada riwayat penyakit berat?"
Berasa interview kerjaan, sial. Aku belum menjawab satu pun dia ini nggak sabaran sekali sih. Alhasil aku menjawab seingatku saja. Kusebutkan semua yang ingin dia ketahui tentang diriku. Namun soal hubunganku dan Aya, sengaja tidak kujawab.
Sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku ingin meresmikan hubungan. Namun setelah aku berkontemplasi cukup lama, aku takut dia menolak dan malah menjauhiku. Aku tahu aku terlalu pengecut tidak mau mengambil risiko karena bagiku hubungan kami saat ini sudah terasa menyenangkan semenjak Aya tidak judes lagi.
Dan benar saja dia menagihku, "Apa maksud dan tujuan kamu deketin Aya?" Aku bingung harus bilang apa. Sejauh ini aku dan Aya memang hanya sebatas tetangga dan kating-adek tingkat di universitas. Syukurlah Aya akhirnya kembali sehingga aku tidak perlu menjawab pertanyaan Ethan.
"Minta akun Instagram sama WhatsApp-mu."
Aya menatap kami berdua bak menonton pertandingan pingpong. Apa lagi ini.
Dia langsung menyidak isi galeriku di Instagram. Menyimak seperti hendak nge-judge. "Followers hampir satu juta ya... kamu atlet?"
"Mantan, Mas."
"Kenapa? Kan masih muda, sayang banget. Ohhh, atlet timnas?" Nada suaranya berubah, agak shock, mungkin antara kagum atau bingung harus bereaksi seperti apa..
Aku tahu aku terdiam terlalu lama. Suara-suara sekeliling mendadak melemah, menyisakan ruang kosong di dadaku yang menggema. Jujur, aku paling tidak suka dan tidak ingin ada yang mengorek traumaku kecuali aku yang ingin cerita sendiri. Aku tidak bisa bicara, tenggorokanku sakit sekali. Tenggorokanku menegang. Rasanya seperti sedang menelan paku. Tidak ada satu kata pun yang berhasil lolos. Sakit sekali.
Hal seperti ini membuatku tidak nyaman. Lambat laun kedua telapak tanganku mendingin, telapak kaki kananmu bergerak naik turun tanpa kusadar, jantungku berdebar keras sampai aku khawatir terdengar oleh mereka.
"Atlet biasanya playboy." Dia segera mengakhiri interogasinya karena sate padang pesanan kami sudah datang. Kemeja biru yang dia jadikan outer itu ia lipat bagian lengannya dan bersiap untuk menyantap makanannya.
Aku tidak mendengar apa yang selanjutnya dia katakan karena aku fokus menghilangkan rasa sakit di kerongkonganku. Sebisa mungkin aku mengatur napas untuk menenangkan diri. Bisa, Sabda. Bisa...
Air mataku jatuh setitik dan segera kuseka habis. Kulirik Aya sekilas berharap dia tidak lihat, ternyata malah kami kontak mata. Ah, sial.