Sabda
Aku masuk ke kamar dengan pikiran melayang-layang ke bayangan lengan penuh bekas luka di tangan cewek itu. Itu kelihatan luka yang belum lama terjadi. Ada masalah hidup apa dia sampai melakukan itu ya. Jangan-jangan kalau aku isengi seperti tadi, membuatnya jadi kepikiran dan memperburuk keadaannya.
Atau malah aku harus selalu memantaunya untuk memastikan dia nggak melakukannya lagi. Aku merebahkan tubuh ke kasur. Melihat langit-langit kamar yang punya sedikit bercak air hujan. Sambil memikirkan satu hal: apa aku terlalu ikut campur kalau mulai memantau cewek itu? Tapi… kalau aku nggak peduli, gimana kalau besok-besok luka-luka itu tambah banyak?
Dia punya pacar nggak, ya? Nanti kalau aku sampai dihajar cowoknya karena ngedeketin dia, bisa panjang urusan.
Kupikir keras sampai kepalaku gatal sendiri. Mungkin ini bukan perkara perasaan orang lain saja, tapi juga perasaanku sendiri yang ikut berkecamuk. Jadi, aku memutuskan mandi dan keramas. Siapa tahu, pikiran ikut bersih.
Selesai mandi, aku sedang mengeringkan rambut dengan handuk ketika suara ribut terdengar dari ruang tengah. Itu suara Karel dengan khasnya yang suka teriak kalau manggil, dan suara Bian yang… yah, seperti penagih utang.
"Itu dia orangnya," ekor mata Karel menyambut kedatanganku.
"Dicariin dari tadi, kemana aja sih kau ini?" tanya Bian, nyolot as usual. Nada suaranya memang selalu begitu. Bukan marah, hanya… default setting-nya aja memang kayak gitu.
"Orang lagi mandi juga, apa sih?" kataku, mengacak rambut yang masih basah.
"Lo dicariin ibu kos barusan." kata Karel sambil menjejalkan molen mini ke mulutnya.
Aku ikut duduk di sofa, "Kenapa katanya?" lalu menyomot tempe mendoan dari plastik gorengan kemudian duduk di sebelah Bian. "Anjir bau lo asem." kataku pada Bian, iseng.
Refleks dia ngendus-ngendus ketiaknya sendiri, panik. "Yang bener kau? WANGI GINI." dia menoyor kepalaku seperti biasa ingin menghabisiku.
Bian paling anti dengan bau badan, barusan aku cuman iseng. Dia wangi banget dan punya banyak koleksi parfum. Aku sering minta.
"Katanya minta dibikinkan desain buat banner acara kampung." Ibu kos sekaligus suami Pak RT.
Keahlianku desain grafis diketahui khalayak ramai. Akulah si manusia anomali. Kuliah psikologi, mantan atlet voli, jago desain. Aku kuliah psikologi bisa dikatakan sedang berobat jalan. Biasanya jokes kami seperti itu sih.
Oh ya perkenalan singkat dua teman sekontrakanku, Bian, sejurusan. Sedangkan Karel ambil teknik sipil. Aku baru saja pindah di sini menempati kamar kosong karena penghuni sebelumnya sudah kerja dan sekarang pindah ke Jakarta. Bian ini orang Jawa mix Batak sedangkan Karel aslinya dari Planet Bekasi.
Setelah melahap satu mendoan, aku balik ke kamar. Barangkali cewek itu sudah mengirimkan pesan.
Nihil.
Kira-kira dia simpan nomorku tidak, ya? Atau justru langsung diibuang ke tong sampah? Aku nggak bisa memprediksinya. Dia itu beneran nggak bisa ditebak.
Kalau sampai dia nggak WhatsApp aku hari ini, besok aku samperin rumahnya. Aku cuman khawatir.
Dia benar-benar tidak menghubungiku. Sesuai rencana, hari ini aku ke rumahnya. Tadinya mau pagi atau siang, tapi mungkin dia tidak di rumah. Sebenarnya aku hanya sedang mengumpulkan keyakinan untuk mendatangi rumahnya. Alasannya apa ya kalau dia tanya atau tiba-tiba aku disambut keluarganya?
Aku membeli martabak manis dari tempat langgananku. Aku akan memperkenalkan diri sebagai tetangga baru saja just in case keluarganya yang menemuiku.
Kuketuk pintu rumahnya tiga kali, tidak ada yang menyahut. Aku baru akan pulang saat kudengar pintu dibuka.
"Ya, siapa ya? Eh....?" suara cowok. Saat aku menoleh, kudapati sosok bertubuh jangkung yang lebih tinggi dariku sedikit. Wajahnya familiar. Tapi aku yakin belum pernah melihatnya sebelumnya. "Sabda Raka ya? Yang atlet voli kan?"
Dia mengenaliku. Biar aku luruska, lebih tepatnya sebut aku mantan atlet karena aku retire dini setelah kecelakaan setahun lalu yang membuatku patah kaki.
"Mimpi apa aku, beneran mau ke rumah ini atau jangan-jangan salah alamat?" dia terlihat menggemaskan. Dia ini adiknya cewek itu, dugaku. Soalnya mereka punya kemiripan di area mata. Entah mengapa penghuni rumah ini ada yang mengenaliku membuat hatiku terasa hangat.
"Aku cari..." aduh nggak tahu nama cewek itu lagi. "Cari mahasiswi FEB yang tinggal di sini. Yang tingginya kira-kira segini." Aku meraba udara mengestimasi tinggi cewek itu. Pendek sih.
"Hah? Mbak Aya? Nyariin Mbak Aya?" dia tampak kaget. Kakinya tampak mencegah sesuatu yang ingin keluar. Tipikal pawrents. Aku bisa lihat kepala kucing calico yang beberapa kali menyembul dari balik kaki panjangnya.
Aku mengangguk membenarkan. Kemudian wajahnya seperti teringat sesuatu sambil menyentikkan jari dia bilang, "Oh iya, kalian kan kuliah di Ganesha Muda."
Aku mengangguk membenarkan. Anak ini sepertinya jauh lebih asik dari kakak ceweknya itu.
"Tapi Mbak Aya lagi nggak di rumah. Apa... mau masuk dulu?" tawarnya. Aku menimbang sejenak. Tapi akhirnya mengangguk. Lagipula, aku juga ingin tahu lebih banyak tentang Aya. Atau... tentang siapa pun yang tinggal serumah dengannya. Why not? Aku pun menginjak belakang sepatu bergantian lalu mengikuti arahannya.
Di dalam, suasananya homey. Ada kucing yang waktu itu, menyambutku, langsung menggesek-gesekkan kepalanya ke kakiku. Kucing ini benar-benar friendly. Tipikal anabul yang gampang dicolong orang. Kucing kamoung yang terawat. Diberikan kalung lonceng juga. Keluarga ini pasti suka kucing sampai bukan kucing ras saja dibiarkan hidup indoor. Keren.
"Namanya Kiko," kata Nikel. "Friendly banget, kan? Udah steril tapi jiwa mau main di luarnya tuh masih gede banget." aku ingat dengan nama itu saat pertama kali Aya menyebutkan namanya,
"Namaku Nikel, adeknya Mbak Aya." ia mengulurkan tangan. Kuraih jabatan tangannya dan kita berkenalan. Ia menjabat tanganku dengan kuat dan mantap.
"Ngomong-ngomong ini ada sesuatu. Aku sebenarnya kesini juga buat ngasih tahu kalau sekarang aku tinggal di dekat sini." Kiko hilir mudik mengitari kakiku.
"Oh ya? Astaga repot repot. Jadi enak." Baru kenal dia sudah terdeteksi orang yang asik. Berbanding 180 derajat dengan kakaknya yang kulkas dua pintu.
Aku pun membuka basa-basi, menanyakan sedikit banyak tentang lawan bicara. Ternyata dia masih SMA kelas 2. Sebaya dengan adik kandungku. Dia juga bercerita soal kakak sulung mereka yang sedang kuliah di Jerman. Nikel benar-benar enak diajak ngobrol bahkan cenderung too much information. Tampangnya sih cool, tapi dia super friendly. I like him.
Saat mengobrol tiba-tiba lenganku terasa gatal, aku lepas apple watch-ku sebentar.
Mataku terkunci pada foto keluarga. Dua duduk, tiga berdiri. Di antara yang duduk ada Aya.
Ada Aya, ada Nikel, ada satu laki-laki lagi tapi terlihat dewasa (mungkin anak sulung), dan ada dua sosok yang aku klaim orangtua. Tapi foto yang laki-laki wajahnya ditempeli stiker. Nikel tahu aku sedang melihat ke arah foto keluarga tetapi dia hanya tersenyum saja seolah enggan membahas.
"By the way, Aya ke mana, tahu?"
"Tadi sih pamitnya ke Paralayang."
"Serius Paralayang? Sama siapa?"
"Sendiri."
Paralayang.
Cewek.
Sendirian.
Kulirik apple watch-ku yang menunjukkan pukul 16.45 WIB. Jalan menuju Paralayang itu aku akuin mengerikan. Bisa-bisanya dia pergi sendiri.
Mungkin karena membaca ekspresi kagetku, Nikel langsung membeberkan fun fact, "Tenang aja. Mbak Aya udah sering ke sana sendiri."
Aku semakin terkejut mendengarnya. Menurutku itu cukup ekstrim. Aku akan menyusulnya, makanya aku izin pakai toilet rumah ini kemudian langsung pamit pada Nikel. Namun aku tidak bilang akan menyusul kakaknya.
Jalan ke Paralayang cukup ekstrem. Berliku, tanjakan tajam, dengan tebing di satu sisi dan hutan di sisi lain. Motor-motor tua kadang ngos-ngosan di tengah tanjakan.
Sesampainya di sana, pemandangan seperti biasa. Laut lepas yang menghampar jauh, matahari yang bersiap tenggelam. Tapi yang paling mencolok adalah satu sosok yang duduk sendirian. Dia. Weekday begini tidak banyak orang. Aku bisa langsung menemukannya. Duduk memegang lutut memandangi pantai dari ketinggian. Dia benar-benar sendirian.
Baru saja ada kucing oren mendatanginya dan menggesekkan kepalanya. Seolah mengerti siapa yang butuh pelukan. Aya tampak senang menyambut kucing oren tersebut kemudian menggendongnya sebentar sebelum si oren menggeliat minta dilepas.
Oleh karena tergoda dengan jajanan di bawah, aku turun sebentar dan kembali lagi dengan jajanan dan air mineral dingin. Mengawasinya dari kejauhan.
Dia tidak banyak berganti posisi. Sesekali dia mengangkat handphone lalu memotret sunset. Dia benar-benar menikmati pemandangan dengan matanya, foto pun hanya sesekali.
Aku tergerak. Kupotret Aya dari jauh, siluetnya di depan matahari terbenam. Kujadikan story. Caption-nya: "Some people shine quietly."
Eh, ada kucing motif pasir proyek menghampiriku. Mengeong cukup keras hingga aku memohon padanya supaya tidak berisik, takut ketahuan. Dia mau minta makananku, tapi tidak kuberikan. Aku berikan saja dia snack meo yang selalu restok di jaket atau tas.
Tidak perlu waktu lama notifikasiku mulai berisik karena banyak yang reply. Belakangan aku jarang update karena malas dengan banyaknya notifkasi. Berisik.
Waktu dia menoleh ke arahku, aku langsung balik badan. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Dia baru saja lewat di balik punggungku.
Kurasa aku memang setidak kasat mata itu di matanya.
Aku memantaunya dari atas, ternyata dia jajan kemudian kembali naik lagi. Sunset makin bagus. Sekali lagi dia memotret. Makan cimol lalu tiba-tiba pundaknya naik turun. Dia... nangis?
Aku menggenggam botol air mineral lebih erat. Rasanya ingin mendekat, menawarkan tisu, pelukan, atau apapun yang bisa membuatnya nyaman. Tapi aku hanya diam. Hatiku rasanya sesak melihatnya begitu, padahal aku pun tidak tahu alasan dia menangis. Rasanya ikut tidak nyaman. Tapi aku yakin ada sesuatu yang berat mengusiknya.
Luka sayatan itu, hobi menyendiri, dan headphone yang selalu ia bawa itu. Pasti dia sedang menghadapi sesuatu yang pelik.
Aku harap dia bertahan. Dan semoga dia tidak pulang terlalu gelap, jalanan mengerikan.
Dia berdiri. Doaku terkabul kontan. Dia menyeka wajahnya dengan punggung hoodie kemudian melewatiku begitu saja. Aku belum ketahuan.
Aku mengekor agak jauh di belakang. Dia membayar parkir dan langsung meluncur turun dengan motor matic-nya.
Dia sangat lihai. Aku sempat dibikin senam jantung saat mobil dari bawah membunyikan klakson dan menyalakan lampu jauh. Tapi cewek itu, Aya, dia sangat santai, pelan tapi pasti.
Elaine
Minimal seminggu sekali aku suka ke Paralayang sampai sudah hafal medannya. Hari ini pun sama. Aku sengaja pilih weekday atau selain hari libur nasional karena di sana tidak terlalu ramai. Di sana lebih sepi, lebih jujur. Tidak ada pasangan yang terlalu mesra, tidak ada anak-anak berlari. Hanya langit luas, angin, dan aku.
Begitu membuka pintu, aroma makanan langsung menyeruak. Ruang tengah terasa hangat, lampu kuning yang menggantung di langit-langit menyinari sosok Nikel yang duduk selonjoran di sofa, selimut menyelimuti separuh badannya, matanya menatap layar Netflix, mulutnya sibuk mengunyah.
"Mbak Aya, tadi risol punya Mba Aya aku makan ya."
"Iya, nggak apa-apa."
"Oh iya, Mbak, tadi ada yang nyariin kamu." Nikel menyambutku di ruang tengah sambil nonton film di Netflix. Mulutnya sibuk mengunyah yang entah apa.
Aku diam sebentar, kening sedikit berkerut. "Siapa?"
"Mantan atlet timnas voli." Aku menatap Nikel dengan bingung. "yang cakep itu," lanjutnya berharap aku mendapat clue yang penting.Seolah itu cukup sebagai petunjuk utama.
Aku menatapnya. Sepi. Bingung. Hah? Siapa? Aku nggak tahu atlet apapun. Kudapati Nikel nampak gusar karena aku tidak bisa menebak petunjuk darinya.
"Si Sabda. Sabda Raka Handoko. Gimana kalian bisa kenal deh?"
Dia sampai mendatangi rumah, pasti karena tidak aku WhatsApp.
"Dia bilang apa?" Aku bertanya bukan karena aku peduli, aku hanya perlu tahu saja.
"Cuman nyariin kamu terus ngasih martabak sambil nginfoin kalau dia tinggal dekat sini. Enak ini, Mbak. Aku udah makan dua. Nih aku mau makan lagi."
Nice info.
"Kamu nggak kasih nomor hapeku, kan?" pertanyaan antisipasi.
"Enggak. Dia nggak minta sih."
Nikel berdiri dari sofa menghampiriku, "Oh iya, apple watch-nya ketinggalan. Mbak balikin deh." Nikel menyodorkan apple watch strap putih itu padaku dengan mulut masih mengunyah.