Sabda
Hari ini aku sampai di kampus kurang sepuluh menit dari mata kuliah pertama di mulai. Saat di kantong parkir soshum, kudapati dua orang bersitegang di atas motor masing-masing. Salah satunya aku kenal: Bian, teman sekontrakanku yang tadi berangkat duluan untuk isi bensin.
“Di sini itu area parkir mahasiswa tahun kedua.”
“Nggak ada aturan kayak gitu, perasaan? Aku duluan parkir di sini. Kenapa aku harus ngalah?”
“Nyolot banget sih jadi cewek? Pasti maba ya.”
“Emang kenapa gitu kalau maba?”
Pagi-pagi Bian sudah berdebat dengan cewek. Aku mencoba mendatangi mereka dan melerai.
“Yan. Noh. Di sebelah motorku selang tiga motor ada yang kosong, sana buruan sebelum keduluan yang lain.” Bian mendengus kesal kemudian memberikan lokasi parkir favoritnya karena berada di bawah pohon rindang sehingga tidak kena terik matahari berlebihan saat hari mulai siang.
Cewek itu segera parkir dan melepas helm. Ia berkaca sebentar sambil merapikan rambutnya yang tadi dimasukkan ke dalam hoodie. Tatapannya datar saat matanya bertemu denganku, lalu ia pergi begitu saja, memasang headphone yang sejak tadi menggantung di lehernya.
Dia.
Aku yakin itu dia—cewek yang waktu itu nggak bilang terima kasih saat aku mengembalikan kucingnya. Dia nggak bilang terima kasih saat aku menemukan kucingnya yang hampir ditabrak motor dan berlari ketakutan di balik pohon jambu.
Saat itu aku baru pulang dari cari sarapan, sengaja tidak pakai motor hitung-hitung olahraga. Untung aku bawa snack meo di kantong celana training-ku.
Aku pun melangkah mengejar cewek itu dari yang semula aku di belakangnya hingga membersamainya. Aku sengaja berdiri di sebelahnya persis karena kita akan menyebrang. Dia tidak sadar ya kalau aku ingin menyeberangkan malah ngeloyor duluan. Aku masih terus membersamainya sampai mungkin dia sadar kalau dari tadi kubuntuti meskipun sebenarnya tidak.
“Kenapa ya?” dia berhenti lalu mengalungkan headphone warna beige-nya. Dia menatap dengan tatapan angker.
“Kenapa apa maksudnya?” aku balas dengan wajah polos.
“Kenapa ngikutin?” ia bertanya dengan senewen.
“Loh, kamu pikir jalan ini cuman buat jurusanmu doang?” aku terkekeh, lucu sekali melihat ekspresi wajahnya saat jengkel. Mungkin karena alasanku masuk akal, dia kembali mengenakan headphone-nya dan melanjutkan langkah tanpa tersipu sama sekali. Dia benar-benar nggak ingat aku, ya?
Aku ulurkan tangan kananku di depan mukanya. Dia cukup pendek sih. Aku memang mendadak mengulurkan tangan sampai membuatnya menabrak punggung tanganku dan wah... lipstiknya ketinggalan sedikit. Bukannya iklan suka bilang kalau produk mereka transferproof, ya?
Muka cewek ini tampak begitu kesal sambil menatap mataku tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kenapa nggak ngomong sih? Padahal aku pengin dengar suaramu.
“Sabda. Namaku Sabda, mahasiswa tahun kedua psikologi.” Aku menunjuk gedung fakultasku di sebelah kiri jalan. Kami sudah harus berpisah karena dari gantungan tasnya aku tahu dia anak Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Dia melengos begitu saja tanpa mengindahkan niat baikku buat mengajaknya kenalan. Sebelum dia kembali memasang headphone-nya, “Kamu nggak ingat aku, kah?” Dia nggak menghentikan langkahnya sama sekali meskipun tadi sempat kulihat dia agak memperlambat langkah.
“Heh, Sab…” suara Bian yang kemudian sudah berdiri di sebelahku. “Monyetlah pagi-pagi udah ada aja gebrakannya. Tadi mau isi bensin udah ngantri lumayan eh pas bagianku pertalite-nya abis dong, akhirnya aku isi pertamax. Terus sampai kampus malah berantem sama cewek. Memang senin bukan monday tapi monyet.” penghuni kontrakan tersumbu pendek, Bian.
Coba kurangkul seperti biasa, lagi-lagi aku mendapat penolakan dari Bian yang tidak suka physical touch. “Sabar.” kataku sambil mengelus dadanya dan aku langsung hampir ditendang olehnya. Untung muscle memory-ku baik, aku langsung ngacir meninggalkannya.
Masih tersisa 3 menit sebelum aku diminta tutup pintu dari luar oleh dosen semi killer pengampu mata kuliah biopsikologi ii. Normalnya aku naik tangga, karena sudah hampir terlambat aku masuk lift saja.
“Tahan pintu lift-nya!” pekik Bian sambil berlari tapi lift-nya sudah terlanjur menutup, sengaja tidak aku tahan. Dia pasti jengkel banget berturut-turut mengalami kesialan hari ini.
Elaine
Gara-gara dia bertanya tadi, aku jadi berusaha keras mengingat-ingat. Awalnya aku kira dia cuman iseng. Dari tampangnya yang ganteng itu, dia pasti playboy kampus makanya aku tidak mau berurusan dengan tipe begitu. Tapi setelah aku ingat-ingat, bukankah dia yang membawa Kiko kembali tempo hari jauh sebelum masa orientasi di kampus?
Aku berusaha keras mengingat-ingat tapi ingatanku samar, itu sudah cukup lama dan waktu itu aku hanya melihat wajahnya kurang dari 5 menit. Kalau dari perawakannya sih mirip.
“Aya...” Tara menyenggol lenganku. Cewek rambut cepak yang duduk di sebelahku hari ini dalam mata kuliah bisnis pengantar. “Namamu dipanggil.”
“Oh iya, saya…. hadir, Bu.” gelagapan, aku sampai tidak dengar dosen sedang presensi kehadiran. Dosen dengan kacamata melorot itu menatapku dengan horor seolah mempertanyakan letak kesadaranku, lalu lanjut memanggil nama-nama berikutnya.
Sampai jeda kelas pun aku masih memikirkan cowok itu. Kenapa dia masih ingat aku ya? Padahal pertemuan waktu itu bahkan bukan kurang dari 5 menit lagi, genap 60 detik saja kurasa tidak. Ingatanku memang payah.
Tapi kalau dipikir-pikir, untuk apa aku mengingatnya, kan kami sudah tidak ada urusan. Benar juga, lupakan saja kejadian tadi pagi. Sekarang aku lapar dan wangi sambal bawang sudah menari-nari di hidungku. Aku makan di kantin fakultas dan memesan menu nasi ayam sambal bawang langgananku.
“Minumnya?” tanya Mbak Sinta memastikan segera setelah aku menulis catatan. Aku lupa.
“Es teh.”
“Minum teh habis makan itu nggak baik betewe.” suara dari sebelah kiriku.
Wangi ini, dia lagi. Aku hampir bertanya kenapa dia di sini, pasti dia akan menjawab ini kantin untuk umum semua orang boleh makan di sini. “Aku tahu jawabanmu tapi kenapa tiba-tiba makan di sini deh?”
“Aku sering makan di kantin FEB. Aku juga sering beli nasi ayam Mbak Sinta.”
“Emang iya, Mbak?” aku mencoba konfirmasi ke yang bersangkutan. Tidak sengaja aku melihat punggung tangannya.
Kenapa bekas lip cream-ku tadi tidak dia cuci bersih dulu, sih? Lip cream yang sedang kupakai stain-nya memang kacau. Hadiah pemberian Tara katanya dia tidak cocok dengan shade itu, lalu diberikan untukku.
"Iya aku lumayan hafal sama mas ganteng.”
Dia menyibakkan rambut dengan bangga saat dipuji ganteng oleh Mbak Sinta. Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau memang dia sering kemari bahkan makan menu yang sama denganku.
“Jadinya minum apa, Mbak Cantik?” cuman orang tertentu saja yang kubiarkan memanggilku dengan nama depanku. Sungguh aku kurang nyaman dipanggil itu.
“Ya es teh.” aku tidak peduli interupsi dari cowok di sebelahku ini. “Aku duduk di dekat kaktus ya Mbak.” pamitku dan ternyata dibuntuti oleh cowok ini.
Aku tidak berniat menanyakan apapun padanya dan menganggapnya orang asing yang duduk semeja denganku saja.
Aku mengenakan kembali headphone, lalu mengeluarkan handphone dari saku hoodie-ku kemudian bersandar siku pada meja. Posisiku sengaja untuk menutupi eksistensi cowok di depanku ini. Aku tidak menyalakan apapun sih, sengaja supaya tidak diajak bicara saja.
“Kamu makan sendirian aja?” ia bertanya sambil tolah-toleh. “Biasanya cewek kan suka gerombolan.”
“Kelihatannya gimana?” jawabku datar.
“Kok denger?” Dia tersenyum jahil. Aku ketahuan. “Nih ya, minum teh habis makan itu sebaiknya dihindari. Karena apa? Karena minum teh setelah makan dapat menghambat penyerapan zat besi, seng, dan magnesium. Nah kekurangan zat besi sendiri dapat menyebabkan anemia.” dia mengoceh panjang lebar dengan wajahnya yang terlihat sangat bahagia tanpa beban hidup.
“Udah yapping-nya?” samar-samar aku dengar suara anak-anak perempuan berbisik membicarakan sosok di hadapanku.
Kalau dilihat-lihat, wajahnya tampak besinar dan tengil. Seperti seseorang yang memang terkenal.
Beberapa kali dia menyahut sapaan orang-orang yang mengenalinya. Sebenarnya siapa orang ini sampai banyak anak FEB yang kenal padanya? Apakah dia selebgram? Tiktokers? Politisi? Anak pejabat? Siapa sih...
Ada satu hal yang membuatku antara nyaman dan tidak nyaman di dekatnya. Setiap aku menghela napas, aku sedikit terganggu dengan wangi parfumnya karena mirip sekali dengan milik seseorang. Kenapa parfum mereka bisa sama sih.
Tara bilang dia akan menyusul setelah dari toilet, sampai sekarang belum kelihatan juga batang hidungnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, foto profil kosongan dan nama Tara muncul di pop up notifikasi.
Ternyata dia mengabarkan bahwa dirinya pulang lebih awal karena diare. Ini artinya aku akan makan siang semeja berdua dengan orang aneh ini. Apa aku bungkus saja dan pergi dari sini, ya?
“Pesanan Mba Cantik dan Mas Ganteng.” Mbak Sinta menurunkan pesanan kami dari nampan.
“Makasih, Mbak.” koor kami kompak.
“Selamat menikmati makanannya.”
Baru saja hendak meraih sendok, benda logam itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara keras klontang yang membuat beberapa menoleh ke arahku.
Aku menunduk untuk mengambilnya dan baru akan berdiri untuk meminta sendok baru, tiba-tiba cowok itu datang (entah kapan perginya cepat sekali seperti kilat) membawa sendok yang baru.
“Makasih.” ucapku kikuk.
“Sama-sama,” sahutnya ceria. “Selamat makan.” katanya lagi sebelum kami makan dengan khidmat. Syukurlah dia tidak banyak bicara selama kami makan.
Dia tidak mengajakku bicara tapi lebih banyak bermonolog seperti mengomentari sambel bawang mix sambel matang yang katanya enak banget. Bicara soal tidak suka kemangi, mungkin Mbak Sinta lupa menghilangkannya. Aku tidak peduli dengan ocehannya tapi aku ingat dan aku dengar semua yang dia katakan.
Makananku masih setengah waktu kulirik sekilas piringnya telah kosong hanya tersisa kemangi dan tulang ayam. Saat ini dia tengah menenggak air mineral dingin langsung dari gelasnya karena tadi dia request tidak usah pakai sedotan.
Aku mulai tidak nyaman karena setelah selesai makan dia sekarang malah memandangiku. Aku berusaha keras melanjutkan makan seolah tidak terganggu dengan tatapannya. Apa aku siram aja mukanya pakai es teh? Sabar Ela, sebentar lagi habis kok setelah itu langsung bayar dan pergi saja.
“Cantik, ada ingus…” waktu dia menyebut namaku ‘Cantik’ aku langsung menatapnya dengan bola mata besar dan semakin besar saat dia bilang ada ingus.
Buru-buru aku menarik tisu dan mengelap bagian bawah hidungku. Hari ini sambal bawangnya memang pedas, aku saja sampai menangis dan terus menerus menarik ingus.
Dia tertawa untuk kesekian kalinya.
“Jangan sok kenal, kita nggak kenal. Dan jangan panggil aku Cantik.” Apakah aku harus bertanya kalau tempo hari memang dia? Mungkin ada alasan kenapa dia jadi seperti ini, sok asik.
Aku sudah tidak tahan lagi. Jangan-jangan kalau tidak segera kuselidiki, dia akan mengikutiku terus seperti ini. Membuat tidak nyaman.
“Kamu yang waktu itu…”
“Iya aku yang waktu itu, finally kamu ingat.” aku belum selesai ngomong sudah dipotong. Jadi benar dia, ya?
“Aku tetangga barumu tahu. Kontrakanku nggak jauh kok dari rumahmu.” Dia menyibakkan kembali rambut panjangnya yang kelihatan halus dan terawat itu.
Memangnya aku harus peduli dia tinggai di mana? Lagipula aku tidak bertanya.
“Sebenarnya aku cuman mau ngetes, kamu orangnya emang nggak tahu terima kasih atau gimana. Soalnya tempo hari kamu nggak ada ngomong makasih sama sekali. Tapi misiku kelar sih, ternyata barusan aku ambilin sendok baru buat kamu, kamu bilang makasih.”
Deg, ternyata benar aku lupa bilang terima kasih padanya waktu itu!
“Ternyata benar aku lupa.” Aku duduk tegak sambil menangkupkan kedua tangan, “Terima kasih banyak sudah membawa Kiko dengan selamat.” Aku menunduk dalam, mengucapkan terima kasih dengan tulus.
“Sebagai ucapan terima kasih, biar aku bayarkan makanmu tadi.” aku beranjak dan segera menuju kasir. Dia tidak keberatan aku membayarkan makan siangnya. Dia menunggu tepat di sebelahku.
“Sudah aku bayar.” dia tersenyum hingga matanya nyaris hilang. “Mbak, ada pena?” tanya cowok itu sambil membuat gestur menulis di udara.
“Ada tapi merah e, Mas.”
“Aman. Pinjam bentar.”
“Terima kasih…” jawabnya senang sambil menatapku dengan menunduk karena dia sangat tinggi, sepertinya di atas 180cm..
“Karena hari ini kamu sudah traktir aku makan, kapan-kapan giliran aku yang traktir, ya?" dia tiba-tiba menarik tanganku. Lalu diam terpaku. Buru-buru aku menutup bekas luka silet dengan lengan hoodie-ku.
Dia menatapku lekat dan aku sengaja buang muka. Aku langsung menyembunyikan tanganku darinya meski sempat terjadi sedikit adegan tarik menarik.
Dia menghela napas kemudian minta secarik kertas, karena tidak ada buku tulis atau notes, jadilah dia mengambil nota dariku. Lalu menuliskan angka demi angka beralaskan salah satu meja kantin. Dia sempat izin karena masih ada yang makan di situ.
Aku dapat merasakan ekspresinya langsung berubah setelah melihat bekas lukaku tadi. Suasana di sekitar kami pun jadi mendadak canggung.
"Nomorku. Tolong nanti WhatsApp ya. Aku lupa nggak bawa hape ketinggalan di sekre kayaknya."
Aku diam. Sembari meresapi lagu Ghea Indrawari yang mengalun dari speaker kantin FEB di ujung ruangan. Entah siapa yang bertugas mengoperasikan lagu-lagu itu, tapi aku suka lagu ini. Lirik-liriknya sederhana, ngena, dan encouraging.
Menangislah
Kan kau juga manusia
Mana ada yang bisa
Berlarut-larut
Berpura-pura sempurna
Sampaikan pada jiwa yang bersedih
Begitu dingin dunia yang kau huni
Jika tak ada tempatmu kembali
Bawa lukamu biar aku obati
"See you ya..." usai mengembalikan pena pada Mbak Sinta, dia pergi mendahuluiku.
Kupandangi punggungnya terus sampai tidak kelihatan lagi. Dia pasti orang terkenal, sepanjang perjalanan dia terus disapa orang-orang sekitar.
Tatapanku kini beralih, di bawah angka-angka itu dia juga membuat simbol semi-colon kemudian menuliskan namanya, Sabda.