"Harsa-kebahagiaan. Tapi bukan berarti kehidupannya selalu bahagia."
Namanya adalah doa yang tak pernah terkabul. Sejak kecil, Harsa dibebani ekspektasi orang tuanya. ayahnya ingin Harsa menjadi seorang profesor, sedangkan ibunya menginginkan ia menjadi pengusaha besar. Namun, Harsa hanya ingin menjadi dirinya sendiri, seorang pencinta gim dan pengoding yang bercita-cita mengembangkan dunia digital. Impian yang akhirnya berhasil ia wujudkan, meski dengan luka dan kehilangan.
Kini, di tahun 2056, dunia telah berubah menjadi lembaran logika dan mesin. Robot menggantikan manusia hampir di semua aspek kehidupan. Harsa tinggal sendiri di apartemen berlantai tiga puluh sembilan. Ralat! Ia tidak sendiri, tapi ditemani dua robot yang ia program sesuai karakter yang ia inginkan. Salah satunya, Keenan, si robot perfeksionis yang membangunkannya tiap pagi.
"Waktunya beraktivitas, Harsa. Hidupmu menunggu di luar sana."
"Kau menyebalkan sekali," gumam Harsa, mengusap wajah yang masih dibalut rasa kantuk. Ia mengerjap, mencoba menetralkan pandangannya yang masih buram.
Di meja makan sana, sarapan tersaji otomatis, Keenan lah yang membuatkannya. Semua menu terlihat lezat dan menggiurkan. Harsa yang telah siap untuk beraktivitas kemudian bangun dari tempat tidurnya lalu ia bersiap pergi ke kantor dan menyatap sarapan nikmat itu.
TING!
Laporan kantor dikirim ke layar hologram Harsa. Lihat! Hidupnya teratur, efisien, tapi tetap saja ia merasa sunyi, ia kehilangan kehangatan keluarga. Oke, cukup! Kini saatnya untuk bergegas ke kantor sebab pekerjaan telah menantinya.
~
Pukul delapan lewat lima belas menit Harsa telah berada di kantor yang berhasil ia dirikan tiga tahun lalu. Ia menyapa balik beberapa karyawan yang membungkukkan tubuh ke arah Harsa.
"Harsa, laporan dari perusahaan sebelah. Mereka sedang membuat robot yang menyerupai manusia. Bukan hanya rupa, tapi juga emosi dan perilaku," ujar asistennya, pria berjas hitam yang menjadi tangan kanan Harsa selama ini.
"Terus awasi. Saya tidak yakin mereka hanya sekadar bereksperimen. Dunia terlalu sunyi untuk sekadar iseng," balas Harsa yang semakin curiga dengan perusahaan sebelah. Ia hanya takut kejadian enam tahun lalu terulang kembali, dirinya kehilangan perusahaannya bahkan keluarganya. Ia mulai merintis kembali perusahaan padahal waktu itu Harsa hampir kehilangan kewarasannya.
Harsa sengaja menelusuri setiap perusahaan yang berdiri di sekeliling markas besarnya, ia tak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Keamanan adalah harga mati, apalagi setelah kehancuran pada saat itu mengajarinya bahwa kelengahan sekecil apapun bisa meluluhlantakkan segalanya.
Tahun 2056 bukan hanya soal kemajuan teknologi, tapi juga soal kerakusan yang semakin menjadi. Persaingan antar perusahaan tak lagi sekadar adu kualitas, melainkan perang dingin yang menggiring satu sama lain pada kehancuran yang menghanyutkan. Perusahaan baru bisa saja melesat, tapi di balik itu, ada ambisi tersembunyi untuk merobohkan siapa pun yang sedang berada di puncak.
Zaman telah berubah, tapi manusia tetap sama bahkan semakin rakus, egois, dan terobsesi akan kuasa. Harta dan tahta menjadi candu, dan kompetisi tak lagi adil, melainkan ajang saling menjatuhkan. Tak ada ruang untuk lengah, karena satu kelalaian bisa menjadi lubang yang menenggelamkan sebagian bahkan seluruh kapal kehidupan.
Layar kaca di ruang pribadinya menampilkan berita-berita mengenai robot jadi guru, robot jadi pemimpin rapat, bahkan robot jadi pasangan. Harsa menghela napas. Dunia yang dulu diimpikannya telah menjadi kenyataan tapi kenapa terasa begitu hampa bahkan semakin mengerikan?
~
Sore itu, saat ia baru pulang kerja, Cliff, robot dengan sifat cerewet dan suka bergosip menerobos masuk ke ruang tamu.
"HARSA! HARSA! KAU HARUS LIHAT INI!"
Suara Cliff memecah keheningan rumah. Harsa menghela napas panjang baru juga hendak merebahkan tubuh setelah seharian dihantam rapat dan laporan.
"Apa lagi sih, Cliff? Kau tahu aku baru..." ungkap Harsa yang terpotong.
"Ada yang ingin bicara denganmu. Perempuan. Cantik. Bukan robot. Dan dia... mengikuti akun sosial mediamu," ujar Cliff memotong monolog Harsa.
Harsa berhenti mengeluh. Perempuan? Di tahun segila ini, siapa yang masih tertarik menghubungi manusia nyata lewat jalur personal seperti itu?
"Siapa namanya?"
Cliff menunjukkan layar hologram yang menampilkan profil singkat. "Arunika Amerta Fernando. Aneh, dia tidak punya banyak jejak digital. Tapi... aku telusuri, dia tinggal di zona larangan teknologi, tempat yang bahkan Qoodle pun enggan mampir," terang Cliff.
Harsa mengerutkan dahi. "Sambungkan."
Dalam sekejap, layar hologram menyala. Suara lembut namun terdengar ragu menyapa dari sisi lain.
~
Di lain tempat jauh dari hingar-bingar dunia robotik, gadis bernama Amerta hidup dalam rumah tanpa jendela. Ia seperti bunga yang tumbuh di bawah kubah kaca, dirawat tapi tak bebas. Papanya, seorang ilmuwan yang pernah dipuji karena menciptakan robot-robot pengganti manusia, kini menjadi pria obsesif yang melarang Amerta menyentuh apa pun yang berhubungan dengan teknologi.
Tapi hari ini, ia melanggar aturan. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan tablet tua yang ia temukan di gudang tersembunyi rumahnya. Ia menelusuri aplikasi yang entah bagaimana masih bisa terhubung ke dunia luar. Lalu, secara acak atau mungkin sudah ditakdirkan, ia membuka profil bernama Harsa.
"Namanya... kebahagiaan," gumamnya. "Apa dia benar-benar bahagia?" Amerta mengirim pesan. Butuh beberapa menit sebelum muncul panggilan masuk. Hologram menampilkan wajah laki-laki asing.
"Hai," sapa Amerta, polos dan lembut.
"Hai..." balas Harsa terdengar sedikit dingin.
Gadis itu tampak muda, tapi bukan itu yang membuat Harsa terpaku. Melainkan caranya menatap ke kamera, seolah sedang memandang dunia yang tak pernah ia sentuh.
"Siapa namamu?" tanya Amerta tanpa basa-basi.
"Harsa," jawab Harsa.
"Artinya?"
Harsa mengangkat alis. "Kenapa ingin tahu?"
"Papaku bilang, nama adalah cermin jiwa. Kalau namamu bermakna bahagia, berarti jiwamu bahagia, kan?"
Harsa tertawa kecil, getir. "Kalau saja semudah itu."
Gadis itu mengangguk pelan. "Namaku Amerta. Artinya keabadian. Tapi aku merasa hidupku justru tak berjalan."
Harsa terdiam.
"Aku baru pertama kali menelepon seseorang. Biasanya aku hanya berbicara dengan dinding atau bayanganku sendiri. Hari ini aku telah melanggar aturan," ungkap Amerta.
Harsa bisa mendengar desahan ringan di ujung kalimat itu. Ada keberanian yang dipaksakan. Ada luka yang ditutupi senyum.
"Kenapa aku?" tanya Harsa dari seberang sana.
Amerta menatap Harsa. Pandangannya jernih, tapi seperti danau yang menutupi jurang.
"Karena aku butuh bukti kalau dunia ini masih nyata. Dan kamu terlihat nyata."
Harsa ingin menjawab, tapi dadanya terasa sesak. Dia melihat seseorang yang hidup di sangkar, tapi masih berani mengetuk dunia luar.
"Aku senang bisa bicara denganmu hari ini," kata Amerta pelan. Harsa bisa melihat jelas senyum manis gadis itu tapi tak bisa dipungkiri jika gadis itu terlihat menyimpan banyak luka.
"Terima kasih telah menjadi bagian dari kebahagiaanku yang selama ini sempat hilang," ujar Amerta sebelum layar gelap, tanpa pamit, tanpa penjelasan.
Tapi Harsa tahu, dunia tidak akan sama lagi setelahnya dan hari itu, dua jiwa yang hancur mulai bertemu di celah rahasia dunia dan mereka belum tahu bahwa semesta punya rencana lebih besar.
~