Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

    Pada pukul lima dini hari, memperlihatkan ruangan OSIS yang masih sepi dan gelap. Namun, ditengah kegelapan itu, ada satu cahaya terang yang bersumber dari arah meja ketua OSIS. [Clik.. click... ] Bersamaan dengan bunyi ketikan papan keyboard yang terdengar, di situ terdapat sebuah komputer yang menyala, beserta seseorang yang duduk menggunakan komputer itu dengan ekpresinya yang terkesan serius. Tidak lain siswa yang menempati tempat duduk khusus itu ... dialah ketua OSIS yang menjabat saat ini. [Kreek... ] sementara itu, dari arah pintu terlihat seorang siswa yang baru saja masuk kedalam, lalu menutup kembali pintu itu dengan pelan.
    " ... Tumben sekali kau datang ke ruang OSIS," kata sang ketua OSIS, menyinggung keberadaannya sambil meneruskan pekerjaannya didepan komputer.
    "Hanya mengecek ruangan, jangan hiraukan aku," kata siswa itu.
    "Terakhir kali kau datang ke sini juga berkata hal yang sama. Apa itu memang tujuanmu datang kesini?"
    " ... Jika membicarakan terakhir kali aku masuk ke ruangan ini... berarti sejak bulan lalu ya."
    "Huh... aku lupa kau itu orangnya memang seperti ini," kata ketua OSIS, sempat berhenti mengetik sejenak, lalu menghela nafas sebelum bicara.
    "Terserah bagaimana kau menilaiku. Akhir-akhir ini... ada sesuatu yang sedang kupikirkan," kata siswa itu, segera duduk di sebuah kursi panjang.
    "Sekarang aku mengerti maksud dari kedatanganmu. Tiap kali kesini kau selalu memberikan peringatan atau nasehat walaupun tidak secara langsung. Seperti 'angin yang datang menujukkan arah, kemudian pergi setelah menyelesaikan tugasnya'. Terus terang kau adalah orang yang sulit dimengerti."
    "Memangnya apa yang kau harapkan lebih dariku? Aku hanya akan datang jika sedang ingin. Lagipula aku juga tidak ingin terlibat dengan banyaknya anggota OSIS lain di sini."
    "Kali ini aku tidak akan memintamu merubah sikapmu... tapi bisakah kau langsung terus terang saja jika ingin menyampaikan sesuatu? ... Saat ini tidak ada orang lain selain kita di sini. Kau bisa bebas bersikap seperti yang kau mau," kata ketua OSIS, seolah mencoba terlihat lebih terbuka.
    Mendengar perkataan sang ketua OSIS, siswa itu kembali berdiri, lalu mendekati jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan sekitar halaman sekolah. Karena masih dini hari, tentu saja tidak ada murid satupun yang akan datang. Seharusnya begitu.... 
    "Apa kau masih mengingat kekacauan yang terjadi tahun lalu?" Tanya siswa itu, berbicara sambil memandangi sesuatu.
    "Tentu saja aku ingat. Waktu itu para OSIS cukup kewalahan menghentikan aksi brutal para siswa, sampai-sampai pihak polisi juga ikut terlibat. Memang awalnya hanya sebatas kenakalan remaja biasa ... tapi dari kejadian itu, semakin lama dibiarkan pastinya juga akan semakin melunjak," jawab ketua OSIS.
    "Tepat sekali. Saat ini kekuatan OSIS belum bisa terbilang kuat seperti kakak-kakak kelas terdahulu. Selain kau, hampir tidak ada anggota lain yang begitu cekatan menangani masalah dengan efisien. Bahkan adikmu yang kau posisikan sebagai wakil, menurutku juga tidak terlalu kompeten."
    "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"
    Ketika ketua OSIS menanyakan itu dengan intonasi seriusnya, siswa yang blak-blakan mengungkapkan secara jelas kekurangan OSIS saat ini ... menghela nafas sekali lagi.
    "Kemungkinan besar ... tahun ini juga akan terjadi hal yang sama, tapi sepertinya tidak akan menjadi sebesar itu selama kau menyadari 'tandanya'," kata siswa itu.
    "Kurang lebih aku sudah menyadarinya ... tapi kenapa kau beranggapan jika 'kali ini tidak akan menjadi sebesar itu?'" Tanya ketua OSIS.
    "Itu karena kejadian kali ini ada hubungannya dengan 'keterlibatan OSIS di tahun lalu'. Kau tahu kan, meskipun kasusnya sudah dinyatakan selesai, itu hanya terlihat pada permukaan saja. Kau tidak akan bertanya 'bagaimana semua ini bisa berhubungan', kan?"
    "Jangan meremehkanku!" Jawab ketua OSIS.
    Setelah membentak siswa itu, ketua OSIS kembali tenang saat duduk kembali di kursinya.
    "Bagaimanapun juga semua sudah terjadi ... apapun keputusanmu yang akan menjadi tindakan selanjutnya, itu tidak akan merubah situasi di masa lalu selama 'pelaku utamanya' belum ditemukan," kata siswa itu, beranjak dari kursinya, kemudian mendekati pintu seolah merasa ingin meninggalkan ruangan.
    "Jika kasus ini memang masih ada hubungannya dengan kekacauan di masa lalu, kemungkinan besar pelakunya adalah murid kelas sebelas atau dua belas."
    "Apa kau tidak mencurigai orang-orangmu sendiri?" Tanya Siswa itu, sedikit menyipitkan matanya seolah sedang memastikan sesuatu.
    "Aku tidak bisa membayangkan anggota OSIS yang kupilih sekarang memiliki niat sekeji itu. Hubungan kami semua adalah saling mempercayai. Semisal ada salah satu dari mereka melakukan tindakan yang merugikan, aku pasti sudah merasakannya dari awal," kata ketua OSIS, terlihat sangat yakin dengan ucapannya.
    "Hubungan saling mempercayai, ya... bagiku itu hanya terdengar seperti kata 'hiasan' saja," kata siswa itu, tiba-tiba menghilang setelah meninggalkan kata tersebut.
    Diaaat itu juga, ketika ruangan kembali sepi, ketua OSIS memejamkan matanya sambil merenungkan kata terakhir siswa itu yang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
    "Seperti biasa aku tidak bisa menebak pemikirannya ataupun memahami idealismenya," gumam ketua OSIS.
    Sementara itu, terlihat dari sudut ruangan terdapat jam dinding menunjukkan pukul lima dengan jarum panjang berada di angka empat. Dari momen yang terjadi selama obrolan ini berlangsung, mereka telah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk membicarakan masalah yang terdengar cukup serius... dimana masalah yang akan dihadapi menyangkut kejadian tahun lalu.
                                                    ***
    Sekitar satu jam setelah terjadi pembicaraan antara ketua OSIS dengan siswa yang masih menjadi misteri keberadaannya, di sebuah lorong sisi timur lantai satu, atau lebih tepatnya di daerah yang biasanya menjadi tempat bagi anak-anak otomotif berkumpul, terdengar suara heboh yang jauh lebih keras daripada hari-hari biasa. Tak diduga, ada seorang siswa dari jurusan lain yang terlihat bentrok dengan salah satu siswa dari jurusan otomotif. Karena situasi keduanya sudah memanas, tentu saja mayoritas anak otomotif menyoraki keduanya seolah menginginkan adanya perkelahian. Disisi lain, para murid dari jurusan lain yang kebetulan lewat dan melihat keributan itu, pada akhirnya ikut melihat dalam kerumunan karena penasaran. Karena letak keributan itu yang berada di lantai satu, tentu saja itu akan segera mengundang para murid tahun pertama. Sementara itu, tangga kelas mereka yaitu para murid dari jurusan MIKA, bahkan sebagian besar anak laki-laki berbondong-bondong ikut melihatnya. Disisi lain, dari sudut pandang siswi bernama Sania, dirinya bahkan tidak bisa tenang ketika tidak sengaja mendengar anak-anak perempuan membicarakan keributan itu saat sedang membaca buku catatan.
    "Sudah cukup! Kalau memang tidak ada yang menghentikannya, maka aku sendiri yang akan melakukan," kata Sania, dengan perasaan marah menegaskan ucapannya, sehingga menyambung obrolan salah satu siswi yang mengatakan 'tidak ada satupun orang yang berani melerai perkelahian itu'.
    "T-tunggu! Sania! Apa yang akan kau lakukan? itu bahaya!" Kata salah satu siswi, memperingatinya.
    "Mereka itu hanya murid tahun pertama seperti kita. Aku tidak yakin mereka akan bermain kasar kalau yang menegurnya perempuan."
    Mengabaikan peringatan siswi sekelasnya ... seolah tidak merasakan ketakutan apapun, dia lantas keluar kelas menghampiri keributan itu. Tepat saat berada di dekat sana, Sania mengambil ancang-ancang sebelum mengambil tindakan, seakan hendak mencoba membubarkan kerumunan.
    "Apa yang sedang kalian semua lakukan!? Kalian semua mengganggu kenyamanan lingkungan. Memangnya tidak ada tempat lain yang bisa dijadikan keributan?"
    Mendengar intonasi tinggi yang bersumber dari belakang, sebagian besar murid yang berkerumun di antara keributan seketika menoleh ke arah Sania yang memiliki ekspresi acuh tak acuh dengan situasi. Namun, itu hanya pengalihan sekilas dan sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Merasa frustasi karena diabaikan, Sania mulai berjalan mendekati kerumunan. Namun, saat akan menyelam ke dalam kerumunan, dia dicegah oleh seseorang yang menjadi ketua kelas dari jurusan otomotif, laki-laki bernama Gesa.
    "Apa yang hendak kau lakukan?" Tanya Gesa, berdiri di depannya seolah sengaja menghalangi.
    "Tentu saja melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Minggir!"
    Meskipun tatapan Sania mengarah tajam ke arah Gesa yang menghalangi jalannya, itu sama sekali tidak membuatnya tergerakkan untuk menyingkir. Justru, Gesa membalas tatapan itu dengan raut wajah yang seolah sengaja memprovokasi.
    "Kau tidak perlu melakukan sesuatu yang sia-sia. Lagipula keributan yang terjadi ini bukan urusanmu, kan?"
    "Memang itu bukan urusanku dan aku juga tidak peduli siapa yang bertengkar dengan siapa...."
    "Kalau begitu-"
    "Tapi keributan ini menggangguku! Aku bahkan tidak bisa tenang saat membaca buku catatan!"
    "Tch, dasar murid sok rajin," kata Gesa, mengecapkan lidahnya yang terdengar seperti merendahkan lawan bicaranya.
    "Memangnya kenapa?! masalah?"
    Seolah menantang Gesa, Sania yang keras kepala tetap bersikeras ingin membubarkan keributan yang masih berlanjut.
    "Jangan mengganggu kami."
    Mengatakan tiga kalimat itu, Gesa menunjukkan tatapan mengintimidasi sebelum memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membungkam Sania. Di sisi lain, perkelahian kedua murid yang terlibat semakin lama semakin keras. Meskipun mental keduanya sama-sama kokoh, mereka sudah hampir tidak bisa menyembunyikan rasa sakit fisik yang diterima masing-masing. Lalu, tak lama kemudian sebuah suara pertikaian kembali terdengar dari arah lain. Disusul dengan suara kegaduhan yang satu persatu muncul, dapat didengar 'jika dari lantai dua ada beberapa siswa tahun kedua yang melakukan hal serupa'.
    Tidak ada konteks yang jelas mengenai kronologinya, namun hebatnya, kegaduhan di mana-mana mulai terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh menit sejak keributan terjadi pertama kali di depan kelas X OTO. Guru-guru yang lewat, berusaha mengatasi mereka bahkan kesulitan karena disisi lain keributan itu terjadi secara berkelompok. Umumnya jika murid hanya terdiri dari beberapa orang saja, itu masih bisa diatasi ... tapi tidak dengan mayoritas.
    Apabila banyak dari mereka bekerjasama, baik secara langsung maupun tidak langsung, pihak yang berusaha mencegahnya pasti akan segera kewalahan mengatasi situasi itu. Meskipun dibentak sekalipun, mereka akan berpikir bahwa dirinya masing-masing sudah aman bila bersembunyi dalam kekacauan. Karena itulah situasi tersebut sulit di atasi ... ini akibat dari tindakan mereka yang tidak bisa diatur. Sementara kekacauan bisa ditimbulkan, kepanikan juga akan terjadi dalam waktu yang sama. Jika murid yang tidak terlibat tiba-tiba tanpa sengaja masuk kedalam kekacauan, sudah pasti itu bisa membuat kepanikan ... terlebih lagi untuk para siswi yang umumnya memiliki sikap responsif yang berlebihan terhadap situasi.
    Seseorang yang memiliki rencana sejauh itu untuk menjatuhkan harga diri sekolah, sudah pasti merupakan dalang dari semua keributan yang terjadi saat ini. Dan seperti yang sudah dia harapkan, dalam waktu singkat gedung sekolah utama hampir sepenuhnya di kuasai oleh anak-anak otomotif akibat dari kerusuhan ini. Karena semua itu terjadi sebelum para guru dan anggota OSIS berkumpul, itulah yang menjadi kesempatan bagi anak-anak otomotif untuk menyabotase beberapa hal yang dapat di interaksi didalam gedung sekolah utama. Mereka sangat cekatan dan tidak takut dengan resiko yang akan mereka terima. Maka satu hal yang dapat dimengerti bahwa, sang dalang telah memberikan jaminan yang cukup tinggi kepada mereka. Lalu, di salah satu tempat yang belum dikuasai oleh mereka, yaitu ruang OSIS, para anggota OSIS yang hanya ada bendahara, humas, sekertaris, wakil dan tentu saja ketua OSIS seolah telah terjebak dalam situasi itu. Awalnya mereka bisa meredakan konflik yang tak jauh dari ruangan, namun, keributan baru mendadak terjadi saat para murid berjas hitam datang.
    "Bagaimana ini?!"
    "Andai tadi kita bisa menangkap salah satu dari mereka, keributan baru mungkin tidak akan terjadi," kata sang wakil ketua.
    "Seharusnya kita menggunakan cara yang keras," kata sang sekertaris.
    "Kalau kita melakukan itu, bisa jadi tindakan kita malah mengarah seperti yang mereka harapkan," kata sang ketua.
    "Jadi kita harus bagaimana? Tidak mungkin kita akan terus diam di sini tanpa melakukan apapun, kan," kata sang sekertaris, meninggikan intonasi bicaranya.
    "Orang itu pasti akan melakukan sesuatu," kata sang ketua.
    "Siapa yang kau maksud? Apa mungkin...?"
    "Ini bukan saatnya membahas dia. Andaikan kekacauan ini memang akan menjadi seperti tahun lalu, ada kemungkinan mereka akan mencoba melemahkan sistem 'pengontrolan sekolah' yang ada pada kita. Jadi semuanya, untuk sementara jangan ada yang meninggalkan gedung sekolah ini," kata sang ketua, memberikan arahan kepada semua yang ada di situ.
    Meskipun sang ketua OSIS tampak tenang memiliki strateginya sendiri untuk bertahan, dia seolah melupakan peringatan yang dikatakan oleh siswa misterius di pagi hari tadi. Hubungan seseorang bisa menjadi bilah bermata dua jika terlalu mempercayai orang tersebut. Terkadang hal yang sebenarnya 'membahayakan' bukanlah mereka yang menyerang dari depan, melainkan mereka yang menyerang dari belakang.
                                                     ***
—Cika
    Sebelum pukul tujuh pagi, suasana kelas tampak begitu kacau balau ketika anak otomotif datang seperti badai. Awalnya mereka memang terlihat seperti melakukan kunjungan ke kelas lain, namun... tidak dengan semua yang telah terjadi sekarang ini.
    Tepat didepan kelas, Mirza dan kelompoknya menjadi agresif setelah mereka datang. Seolah didorong oleh sesuatu, dia memprovokasi ketua kelas lebih kejam dari sebelumnya.
    "Itu sangat keterlaluan!"
    Satu persatu murid dari barisan anak perempuan terus menerus melontarkan kalimat itu ketika melihat tindakan Mirza yang membuat Amelia perlahan-lahan 'hancur'.
    "Bukannya itu sangat keterlaluan," kata Maya yang turut bersimpati.
    Meskipun dari pihak anak laki-laki Arif yang menjadi perwakilan telah berusaha keras menghentikan mereka, usahanya digagalkan ketika salah satu anak otomotif melancarkan pukulannya ke arah perut, sehingga Arif yang tidak melawan terbaring di bawah sambil menahan rasa sakitnya. Tentu saja orang yang pertama kali menolongnya adalah murid dari kelompoknya.
    "Arif, kau bisa bediri?" Tanya salah seorang siswa, mencoba membopongnya.
    "Ergh..., ya," jawab Arif, terus memegang perutnya yang terkena pukulan.
    Setelah membuat keributan besar, salah satu anak dari kelas otomotif dengan berani mendekati Amelia tanpa mempedulikan siswi lain disekitarnya yang mencoba melindungi.
    "Apa lagi yang kau inginkan?" Tanya Amelia dengan intonasi rendah.
    "Mirza sudah menceritakan semua tentangmu. Kau benar-benar ketua kelas yang menyedihkan."
    Menerima provokasi itu, sebuah tetesan air jatuh ke lantai seolah ada sesuatu yang baru saja dihancurkan. Tak dapat menahan perasaannya, Amelia segera berlari keluar dari kelas tanpa mempedulikan situasi yang terjadi sekarang dan menghilang dalam sekejap. Sebelum siswi lain mengejarnya, tubuhku secara spontan mendahului mereka untuk menyusul kemana perginya Amelia.
                                                      ***
-Orang Ketiga
    Setelah meninggalkan kelas, terlihat Amelia terus berlari menghiraukan kondisi kacau yang sedang terjadi saat ini di setiap lorong kelas. Sementara itu, tepat dibelakang terlihat Cika yang berusaha mengejarnya. Meskipun dia secara spontan reflek mengejarnya, namun kekhawatirannya itu nyata. Bagaimanapun juga Amelia telah banyak berkorban untuk kelas. Buktinya, dia telah berhadapan dengan Mirza sampai pada titik ini, menegur sikapnya hingga kehilangan kesabaran di detik-detik terakhir dan menyebabkannya mengalami tekanan mental.
    Saat ini, kondisi Amelia bagaikan benang kusut yang sukar diluruskan. Jika tekanan itu masih dalam kondisi berkelanjutan, maka seterusnya yang akan terjadi adalah....
    "Uh..."
    Tepat saat dia berhenti lari dan melihat ke arah jendela terbuka di lantai dua, mendadak dirinya terdiam ... seolah-olah merasa dilema akan sesuatu. Pandangannya tersebut, sekilas memberikan gambaran pada masa lalunya ketika masih duduk di bangku SD.
    Pada masa itu dia hanyalah seorang perempuan yang keras kepala. Karena kedua orang tuanya adalah seorang guru, sudah pasti dia diberikan pendidikan yang cukup ketat. Alhasil dia tumbuh dengan sifat yang keras kepala, namun memiliki wibawa yang tinggi. Rasa kepemimpinannya itu sudah didapatkan ketika masih berada di SD. Tapi... terlepas dari rasa kepemimpinannya, semakin lama anak-anak yang berada di kelas yang sama dengannya justru semakin membencinya.
    Semua itu berawal dari suatu insiden yang dimana Amelia secara tegas 'lebih mementingkan ketaatan daripada solidaritas'. Sehingga mulai dari situ anak-anak lain mulai menjauhinya. Mereka yang awalnya dekat semakin menjauh, dan mereka yang awalnya akrab, mulai ada kecanggungan. Puncak dari semua itu semakin jelas ketika awal tengah semester dimulai. Selama tes berlangsung, Amelia yang jaringan komunikasinya telah terputus dari kelas, dengan usahanya sendiri mengerjakan tes secara mandiri. Berbeda dari anak-anak lain di kelasnya, mereka saling membantu satu sama lain, saling memberi jawaban dan menawarkannya secara diam-diam. Alhasil, mereka semua juga bisa mengoptimalkan nilai mereka. Kemudian, sehari setelah ulangan selesai....
    "Lihatlah, kami juga bisa mendapatkan nilai yang tinggi. Dengan ini kau tidak akan sesukanya mengatur kami kan," kata salah satu siswa yang datang ke arahnya, sembari memamerkan nilai ulangan.
    " ... Terserah saja. Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari nilai itu? Nilai yang kalian dapat bukanlah nilai yang sebenarnya. Itu hanyalah nilai dari hasil kerjasama, bukan hasil usaha sendiri," kata Amelia, tetap tenang membaca bukunya.
    "Sialan! Mentang-mentang kau pintar, mudah sekali menghina orang," ujar siswa itu dengan ekpresi marah.
    "Makanya, sebelum bisa meraih hasil terbaik untuk diri sendiri, kalian harus belajar 'bagaimana harus mandiri'," kata Amelia, terus terang.
    Setelah mengatakan hal tersebut, pandangan seluruh kelas seketika tertuju ke arah Amelia. Tidak seperti sebelumnya dia memiliki banyak teman, kini dia malah memiliki lebih banyak musuh. Meskipun semua itu telah dirasakannya, Amelia tetap teguh berjalan di jalannya. Baginya, semua perubahan drastis yang terjadi di dalam lingkungannya itu, kurang lebih adalah salah satu bentuk pengorbanan untuk meraih impiannya.
    Lalu, sejak saat itu dia terus berperan sebagai ketua kelas. Karena tidak ada catatan buruk satupun didalam data Amelia, para guru terus memberikan apresiasi dan semangat untuk bisa mengembangkan dirinya. Namun, terkadang para guru juga resah karena Amelia tampak seperti seseorang yang terlalu patuh pada aturan. Padahal, dia memiliki potensi untuk menjadi seorang pemimpin yang sempurna. Akan tetapi, dibalik kesempurnaan itu, di situlah letak dari kelemahannya. Itu terjadi ketika dia secara tidak langsung membuat salah seorang siswi di kelasnya mengalami depresi.
    Awalnya, Amelia memperlakukannya cukup baik karena siswi itu hampir setiap saat selalu membantunya seperti seorang asisten. Karena kecakapan itulah yang pada akhirnya membuat Amelia menaruh kepercayaan lebih kepada siswi itu. Dan... setelah Amelia akhirnya mengetahui kebenaran mengapa siswi itu sangat rajin, itu semua karena dia juga memiliki impian yang sama. Akan tetapi, siswi itu terlalu memaksakan dirinya sampai tidak mengetahui batas dimana dirinya bisa bertahan. Lalu, ketika melihat jendela terbuka tepat di lantai dua... kemalangan itu terjadi ... tanpa diduga, siswi itu tergerak untuk melompat dari sana. Entah apa yang dipikirkannya, Amelia yang berusaha menghentikannya waktu itu nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa. Seolah gagal melawan tekadnya, Amelia hanya terdiam melihat siswi itu yang masih membawa tekadnya lalu menghilang dari pandangan. Itu terjadi sekilas dalam beberapa detik sebelum pada akhirnya Amelia jatuh pingsan dan tidak mengingat 'kata terakhir' yang diucapkan siswi itu. Meskipun dirinya ingat jika dia ada di sana untuk mencegahnya, Amelia hanya bisa yakin bahwa siswi itu pasti telah membuang impiannya. Namun... kenyataannya justru tidaklah tidak seperti itu.
    Kini, setelah Amelia seakan-akan berada di posisi siswi itu, akhirnya dirinya bisa mengingat jelas bahwasannya siswi itu masih teguh memegang tekadnya ... walaupun harus tumbang karena tidak kuat menahan diri.
    "Aku tidak akan bisa menjadi sekuat ketua amel, karena itulah aku berhenti di sini. Tapi, meskipun sudah tidak berada di sini, aku belum menyerah dengan impianku—" Begitu kata terakhir dari siswi tersebut.
    "Bodoh! ... Memangnya apa yang bisa kau raih kalau kau menghilang dari sini. Bukannya itu akan sia-sia?!"
    Dalam ingatan Amelia, bagaimanapun dia berusaha menghentikannya dengan kata-kata, siswi itu hanya tersenyum tipis ... menoleh ke belakang sebelum melompat dari jendela terbuka ... pergi untuk selamanya.
    Saat ini, Amelia yang sangat depresi seolah telah dibuat ingat kembali dengan memori kejadian itu. Tanpa sadar... dirinya sudah berada di dekat jendela dan siap untuk melompat. Namun, disaat itu juga ... aksinya langsung dihentikan oleh seseorang yang mengerjarnya tadi. Orang yang menghentikannya itu tidak lain adalah Cika.
                                                ***
—Cika
    Ketika masih berada di bangku SMP, aku baru mengerti jika tidak semua sosok pemimpin bisa terus bertahan dari serangan mental. Itu terjadi beberapa kali, namun korban yang paling sering adalah mereka yang tidak dapat berkomunikasi atau memiliki masalah tersendiri. Dibalik korban yang sekilas tampak seperti orang biasa itu, di antaranya ada juga korban bully yang merupakan seseorang yang memiliki kejeniusan di atas rata-rata. Kondisi itu bisa terjadi karena beberapa hal seperti 'terbiasa ikut campur dalam masalah seseorang' atau 'kehilangan batasan untuk menahan diri'. Jika dalam konteks Amelia, mungkin saja dia telah kehilangan batasan untuk menahan dirinya.
    Mengikuti jejak Amelia, aku terus berlari di antara kerusuhan yang sedang terjadi sekarang ini. Meskipun kerusuhan ini membuat jalan antar lorong sulit dilalui, aku tidak menyerah untuk mengambil jalan lain. Dan juga... entah mengapa aku merasa diikuti sejak meninggalkan kelas.
    Selama kurang lebih lima menit aku mencari-cari di lantai satu, dengan cepat aku berasumsi jika mungkin Amelia sudah berlari ke lantai dua. Beruntung aku lebih dulu mengecek ke sisi timur, karena di sana... dengan jelas aku melihat Amelia yang berdiri didekat jendela dengan 'pandangan kosong'. Berlari sekuat tenaga, dengan panik aku menarik Amelia sebelum dia menaikkan salah satu kakinya ke jendela yang terbuka. Setelah itu, kami pun jatuh serentak kebelakang. Entah bagaimana, untungnya di sini tak ada seorangpun yang melihat insiden nyaris barusan.
    "Huff... syukurlah," ucapku, dengan nafas terhenga-henga.
    Sementara itu, Amelia yang baru saja ku selamatkan mulai merintih meneteskan air matanya dengan wajah yang dibenamkan ke bawah. Mungkin saja itu dilakukan agar tidak ada seorang pun yang melihatnya menangis. Jika seseorang dari kelas melihat situasi ini, kupikir itu akan menjadi skandal yang tidak diinginkannya.
    ... Ah! Lalu bagaimana denganku...? Huh... kupikir aku juga bisa menjaga rahasia.
    "Anu... ketua? Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
    "Tolong jangan...."
    "Apa?"
    "Tolong jangan melihatku yang sekarang ini," kata Amelia, dengan intonasi samar-samar.
    "Menurutku tidak ada salahnya kalau sesekali ingin menangis. Itu wajar," kataku.
    "...."
    "Setidaknya aku tahu kalau ketua adalah orang yang kuat dan tegar," lanjutku.
    "Aku tidaklah kuat. Mungkin kalian sudah menyadari. Aku hanya berusaha terlihat kuat didepan kalian," kata Amelia, masih membenamkan wajahnya.
    "Meskipun begitu tidak apa-apa. Kau bisa menjadi dirimu sendiri. Tapi kupikir memaksakan diri untuk menjadi kuat bukanlah sesuatu yang efektif dilakukan. Bagaimana kalau kau merubah bagian dari 'memaksa' itu?" Tanyaku.
    "Maksudmu?"
    "Kau tidak ingin kehilangan harga dirimu sebagai ketua kelas, kan? Daripada berpikir untuk memaksa seseorang mengikuti caramu, kenapa tidak sesekali mencoba memahami anak-anak lain yang ada di kelas? Aku yakin mereka pasti juga memiliki beragam pendapat yang mungkin tidak kau duga atau belum pernah kau pikirkan sebelumnya," kataku.
    "Jika seperti itu, menurutmu akankah mereka mau melakukannya?" Tanya Amelia yang sudah berhenti menangis, terisak.
    "Belum dicoba tidak akan tahu. Apapun hasilnya, usaha dari diri sendiri itu yang perlu diutamakan. Yang pasti segala bentuk usaha tidak akan mengkhianati hasil, ya kan," kataku, berusaha meyakinkan.
    Menunggu sejenak, dia tampaknya mencoba berpikir dalam kondisi itu. Mungkin aku memang tidak bisa membantu banyak mengatasi tekanannya, akan tetapi, setidaknya aku harus memberinya dorongan untuk maju ... hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.
    Mendadak ditengah situasi ini ponselku berbunyi. Sepertinya ada pesan yang baru saja masuk. Kupikir itu pesan dari Maya yang akan menanyakan kondisi di sini ... tapi setelah kubuka, ternyata itu adalah pesan dari Rafa.
    "Mungkin saja Mirza dan beberapa anak otomotif itu mengikutimu. Apa saat ini kau masih baik-baik saja?" Itulah isi pesannya.
    Jika dipikirkan lagi memang benar saat itu aku merasa jika ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Karena saat itu letak fokusku sedang mencari Amelia, aku tidak terlalu mempedulikannya.
    Dan benar saja ... kurang dari satu menit pesan dari Rafa ku terima, Mirza dan beberapa anak otomotif yang sebelumnya berada di kelas tiba-tiba muncul. Ketika mereka melihat kami, ekpresi mereka berubah menjadi senyuman licik seolah-olah telah menemukan mangsa yang dari awal sengaja mereka incar.
    " ... Melarikan diri tidak akan membuatmu terbebas dari tanggungjawabmu, ketua," sindir Mirza dengan tatapan tajam.
    Mendengar suara itu, sempat kuperhatikan pundak Amelia sedikit bergetar seolah kaget merasakan kehadiran seseorang yang pastinya tidak ingin dilihat, atau bahkan ditemui.
    "Apa kau masih belum puas menjadikan ketua sebagai objek sarkas-mu? Daripada mengincar mereka yang sudah tidak berdaya, kenapa kau tidak mencari orang lain saja yang lebih menghibur?" Tanyaku.
    Kupikir ini pertama kalinya aku terlibat dalam interaksi ikut campur masalah ini. Tapi... melihat kondisi Amelia sekarang, aku merasa ingin menjauhkan dia darinya.
    "Jangan ikut campur! Entah siapapun namamu, kalau tidak ingin terlibat dengan kami, segeralah pergi sekarang juga!" Kata Mirza dengan lantang.
    Mengesampingkan dia yang tidak ingat atau mungkin tidak tahu namaku, sepertinya apa yang dikatakan Rafa tentang Mirza itu benar.
    "Tidak ... aku tidak akan pergi sebelum membawa ketua jauh dari orang sepertimu. Memangnya apa yang kau inginkan lagi darinya?" Tanyaku.
    "Sebaiknya kau menurut saja dan tinggalkan tempat ini kalau tidak ingin menyesal," kata Mirza, terdengar seolah mengancam.
    "Pergilah, aku sendiri yang akan mengurusinya," kata Amelia, mencoba bangkit dari tekanannya, kemudian memasang ekpresi serius.
    "Kau dengar sendiri kan. Pergilah!" Terus Mirza.
    " ... Tidak."
    "Sepertinya kau sangat keras kepala."
    "Lalu kenapa? Apa kau akan menindaklanjutiku juga?"
    Saat menanyakan itu, Mirza sempat menunjukkan ekpresi kaget ... memberi respon seperti yang ku harapkan. 
    "Sekarang apa kau masih ingin membiarkanku pergi?" Lanjut tanyaku, terus memojokkannya.
    "Tch, semoga kau tidak menyesal. Ayo bawa mereka berdua ke gedung olahraga," kata Mirza, dengan kesal mengajak anak otomotif yang ikut bersamanya menangkap kami.
    Meskipun aku sendiri yang berharap agar Mirza tergerakkan untuk menangkapku juga, kelihatannya Amelia yang tidak mengerti apa yang kupikirkan berusaha tidak melibatkanku. Sementara itu, sebelum mereka menemukan kami, beruntung aku sempat mengaktifkan pesan audio otomotis kepada seseorang. Pesan itu sendiri sudah kuatur merekam hingga lima menit ke depan sebelum mereka datang tadi. Jadi seharusnya pesan itu baru saja mati setelah mereka membawaku pergi.
    Mungkin yang kulakukan ini bukanlah bagian dari 'rencana'. Akan tetapi, setidaknya aku harus memprioritaskan untuk mengamankan Amelia agar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan seperti yang dia lakukan tadi. Dari apa yang dikatakan Mirza, sepertinya kami akan di tahan didalam gedung olahraga yang seharusnya tidak akan digunakan kecuali hari jumat dan sabtu pada jam pelajaran Penjas.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1105      637     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...