Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

—Orang Ketiga
    Pemandangan di sekitar menampakkan bagian dalam gedung olahraga. Di sana, Mirza beserta beberapa anak otomotif membawa Amelia dan Cika masuk kedalam. Seperti yang terlihat, di dalam gedung olahraga sangat sepi meskipun diluar sedang ramai karena adanya kerusuhan.
    "Kita apakan mereka berdua?" Tanya Nafi, tampak sedikit resah.
    "Untuk sementara ikat mereka lebih dulu di sini. Selanjutnya kita pikirkan nanti," kata Mirza, kemudian menyuruh salah satu dari mereka mencarikan tali untuk mengikat Cika dan Amelia.
    Sekitar kurang dari lima menit, salah satu dari mereka berhasil mendapatkan tali yang biasanya digunakan oleh petugas pramuka. Meskipun itu terlihat akan menyakitkan jika menggunakannya untuk mengikat tangan kedua perempuan itu, Mirza dengan memendam perasaan pribadinya terus melakukan hal yang seolah menjadi tugasnya.
    Bahkan, Arga dan Nafi yang ditugaskan olehnya untuk mengikat keduanya saja merasa agak bersalah. Itu terlihat jelas dari mimik wajah mereka.
    "Aww..." rintih Amelia secara spontan.
    "Tunggu...."
    Ditengah pelaksanaan mereka itu, Mirza tiba-tiba menyuruh mereka berhenti. Awalnya ekpresi Mirza tampak seperti merasa bersalah, akan tetapi tiba-tiba saja ekpresinya menjadi sedikit serius ketika mengamati kedua perempuan malang itu sekali lagi. Terutama dia mulai curiga dengan sikap Cika yang tetap tenang dalam situasi tersebut. Karena penasaran, Mirza mengambil langkah maju dan mendekatinya, lalu menggerakkan tangannya seolah akan melakukan sesuatu kepadanya.
    "Hei! Apa yang akan kau lakukan, kau mau melecehkannya juga!?" Kata Amelia yang terburu-buru menyimpulkan kecurigaannya.
    "Hmm... sepertinya kau salah paham," kata Mirza, tersenyum sambil memegang ponsel Cika yang diambil dari saku jas.
    Bahkan setelah ponselnya diambil, Cika tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Seolah dirinya sudah tak berdaya, Cika hanya diam dengan mulut yang tertutup rapat serta pandangan yang konsisten tertuju ke bawah.
    "Bodohnya... kau seharusnya memasang 'kunci pengaman' jika tidak ingin orang lain membukanya," kata Mirza, mulai mengutak-atik ponsel milik Cika.
    Setelah menggeser layar awal, secara langsung tampilan masuk berada dalam kontak yang terakhir kali digunakan Cika untuk mengirimkan pesan rekamana audio otomotis kepada seseorang. Disisi bawahnya terdapat tanda centang dua dengan warna biru yang menandakan jika pengirim sudah menerima pesan audio itu dari tiga menit yang lalu. Karena penasaran, Mirza mulai mendengarkan isi pesan itu. Namun, belum juga selesai mendengarkan semua isinya, dia segera menghentikannya, lalu menghapusnya dengan memilih opsi 'hapus pesan kedua belah pihak'. Disisi lain, ditengah tadinya mendengarkan sebagian apa yang telah terekam, Amelia yang juga ikut mendengarnya sempat menoleh ke arah Cika seolah mengatakan, 'aku sama sekali tak terpikirkan cara itu'. Namun sayangnya, sekarang rencana itu kini sudah diketahui oleh Mirza.
    "Jadi begitu, karena itu kau masih...."
    Ketika akan mengucapkan kata 'tenang' untuk memberinya sindiran, Mirza dikejutkan lagi oleh Cika yang sikapnya masih tetap sama meskipun usahanya telah diketahui.
    "Tch, buang-buang waktu saja. Kalian berdua, cepat lanjutkan mengikat mereka berdua," kata Mirza, sedikit kesal.
    Setelah selesai mengikat Amelia dan Cika dengan tali yang begitu erat, Mirza mengembalikan ponsel yang di ambil tadi dengan melemparnya. Beruntung, ada casing yang terpasang sehingga ponsel yang dijatuhkan itu tidak menerima kerusakan serius. Kemudian, Mirza beserta orang-orang yang ikut bersamanya segera meninggalkan gedung olahraga, meninggalkan kedua perempuan itu di gudang dengan keadaan tangan yang terikat. Daritadi Amelia memang berusaha melawan mereka dengan melemparkan cemooh, akan tetapi, sepertinya itu sudah tidak berlaku lagi karena sekarang keduanya tidak bisa pergi dari situ.
    Salah satu cara agar mereka berdua bebas adalah mengharapkan seseorang masuk kedalam gedung olahraga. Namun, itu hanya kemungkinan kecil yang hampir mustahil karena gedung olahraga sendiri biasanya tidak akan dipakai selain pada mapel penjas.
    "Ini salahku, tapi dimana letak kesalahan ini dimulai ya...," kata Amelia, seolah kembali depresi mengingat beberapa hal yang sudah terjadi sampai saat ini.
    "Setiap orang pasti bisa melakukan kesalahan," kata Cika.
    "Tapi kesalahanku ini sangat besar. Ini sudah kedua kalinya aku merasa kalau 'semua tindakan, usaha yang kulakukan bisa membuat orang lain ikut terseret kedalam masalahku juga'. Kupikir andaikan bisa membuat semuanya bersatu, itu akan mudah ... tapi sepertinya hanya aku yang berpikir seperti itu," kata Amelia.
    "Apa sekarang ini waktu yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri?" Tanya Cika.
    "Memangnya apa yang bisa kita lakukan!?Kau tadi melihatnya sendiri kan, bahkan caramu juga digagalkan," kata Amelia, meninggikan intonasinya dengan perasaan pesimis.
    " ... Apa benar begitu? Ngomong-ngomong pesan audio tadi sebelumnya sudah ku atur menjadi otomatis terkirim. Bagaimana kalau seseorang yang ku kirimkan pesan itu sudah membacanya? ... Bukannya sekarang masih ada harapan," kata Cika, masih mempertahankan sikap tenangnya.
    Seolah merasa tenang ketika berada di dekat perempuan itu, kepanikan yang ada didalam diri Amelia mulai mereda sedikit demi sedikit. 
    "Kau sangat kuat ya. Bahkan dalam kondisi seperti ini kau masih sangat tenang," kata Amelia, mulai bisa tersenyum samar-samar.
    "Merasa panik hanya akan membuat cara kerja otak tertutup. Aku hanya berusaha tenang agar bisa berpikir jernih," kata Cika.
    "Meskipun begitu kau tetap kuat ... aku jadi iri denganmu. Andaikan aku juga bisa menerapkannya dari awal, aku mungkin bisa menyadari dimana letak kesalahanku sebelum berakhir seperti di kelas tadi. Mungkin sebenarnya aku tidak cocok jadi ketua kelas," kata Amelia.
    "Tidak. Itu bukan masalah kecocokan. Kau... seorang siswi yang bernama Amelia ... sejak awal memang memiliki standar yang cukup untuk jadi pemimpin kelas. Saat hari pertama, aku kagum melihatmu berterus terang mendeskripsikan cita-citamu untuk jadi seorang presiden di depan banyak orang. Kupikir saat itu alangkah baiknya kalau aku juga harus lebih memberanikan diriku menyambut lingkungan baru di sekolah futuristik ini ... tapi nyatanya, aku baru bisa sekarang menonjolkan diri," kata Cika, sekilas menceritakannya dengan perasaan damai. 
    "Apa benar begitu?"
    "Jika tidak, bagaimana mungkin aku ada di sini setelah semua yang terjadi tadi."
    Mendengar perkataan Cika, dari dalam diri Amelia tiba-tiba saja motivasinya untuk berjuang sekali lagi muncul. Namun konsep kali ini sudah berbeda. Jika sebelumnya Amelia berjuang keras menjadi pemimpin dengan dalih agar diakui oleh banyak orang, sekarang dia menjadi pemimpin karena ingin memenuhi harapan orang-orang di kelasnya. Sebuah keinginan besar akhirnya kembali lagi ke dalam dirinya dan menghapuskan apa yang sudah menjadi letak dari perasaan pesimisnya. Satu hal penting yang dia sadari setelah adanya perubahan ini adalah, masa lalunya mengenai 'siswi yang bunuh diri' itu sebenarnya tidak pernah ada. Kenyataannya, pada masa itu dia terlalu memaksakan dirinya untuk berusaha keras sehingga muncul bagian dari dirinya yang merupakan wujud dari tekanan batin itu sendiri, atau yang lebih familier disebut sebagai bentuk stres.
    Setelah itu, sambil menaruh harapan pada seseorang yang akan datang menyelamatkan mereka, Cika dan Amelia akhirnya mengobrol dan bercerita banyak hal satu sama lain untuk mengisi waktu yang akan dihabiskan selama ditahan didalam gedung olahraga. Tanpa disadari, mereka menjadi akrab di tengah situasi itu.
                                                      ***
—Rafa
    Setelah kelas kami diserbu oleh anak-anak otomotif, keadaan didalam menjadi kacau. Jika tadinya ketua kelas masih berada di sini, dalam situasi seperti ini dia mungkin akan mengatakan 'tetap tenang' kepada seluruh murid didalam kelas. Tapi sayangnya, sekarang ini tampaknya ketua kelas kami sedang memiliki masalahnya sendiri ... meninggalkan kelas yang berada dalam suasana menggantung ini.
    "Aku khawatir dengan Amelia," kata salah seorang siswi yang bernama Nida.
    "Ya... selama ini dia terlalu memaksakan dirinya," kata Sifa, teman sebangku Amelia.
    "Apa kau tidak kesal melihat semua yang terjadi tadi? Kau tidak terlihat emosi seperti biasanya," singgung Nida.
    "Aku memang sangat kesal saat ini... tapi... tidak ada yang bisa kita lakukan, kan," kata Sifa, intonasinya terdengar seperti orang yang sudah putus asa.
    Memang benar jika dalam kekacauan yang terjadi saat ini keputusan yang paling aman adalah tidak terlibat dalam urusan mereka. Meski sekeji apapun tindakan yang akan mereka lakukan, semua murid seolah-olah dipaksa untuk tutup mata dan mulut. Menyerahkan semuanya kepada kakak kelas OSIS adalah pilihan satu-satunya karena merekalah yang seharusnya memiliki kekuatan yang setara atau mungkin lebih. Tapi, jika mengamati waktu yang telah berlalu cukup lama, sepertinya OSIS juga kewalahan menangani kekacauan yang muncul secara tiba-tiba.
    "Mendadak Cika berlari pergi setelah ketua kelas pergi... apa mungkin dia bermaksud mengejarnya?!"
    Dari arah tak jauh dari aku berdiri dibelakang kerumunan, tak sengaja kudengar ada sekelompok siswi yang tampaknya sedang membicarakan Cika.
    " ... Aku tidak pernah melihat Cika yang seperti itu sebelumnya. Tapi... aku ragu dia bisa mengejarnya," kata siswi yang suaranya lirih.
    "Tenang saja, Cika pasti akan kembali. Nanti tanyakan saja orangnya langsung 'apa yang sudah terjadi'," kata siswi yang memiliki aura ekstrovert.
    Aku ragu Cika akan kembali secepat itu. Dari percakapan kami di malam itu, Cika sendiri menjadi cukup emosional ketika memahami seberapa tertekannya Amelia sejak menjadi ketua kelas belum lama ini. Mengesampingkan Cika, sepertinya ada yang sesuatu yang mengganjal sejak Mirza dan anak otomotif keluar usai menyerang psikis Amelia. Waktu mereka cukup tepat... 'apa mungkin mereka sengaja mengincar Amelia?' ... Ada kemungkinan seperti itu juga. Tapi kenapa? Apa semua ini sudah direncanakan? Jika memang seperti itu, maka tidak hanya Amelia, Cika yang mengejarnya juga berada dalam bahaya.
    Tanpa menunggu lagi, aku mengeluarkan ponselku. Dengan gerakan jari yang cepat aku menuju ke kontak Cika. Karena akan sangat mencolok bila melakukan panggilan telepon di kondisi seperti ini, alih-alih menelepon aku mengirim sebuah pesan 'peringatan' kepadanya. Dengan segera pesan itu memiliki tanda centang dua ... dan tak lama setelahnya berubah jadi warna biru. Sepertinya aku melakukan ini di waktu yang tepat, pikirku.
    "..."
    Kupikir pesan 'peringatan' itu akan membuatnya waspada, begitulah seharusnya ... tapi ini sungguh mengejutkan. Bagaimama tidak, dia justru mengirim sebuah pesan rekaman audio setelah menunggu kurang lebih lima menit sambil melihat anak-anak di kelas menonton kegaduhan yang terjadi diluar. Merasa penasaran, aku segera kembali ke tempat duduk, menjauhi kerumunan didepan kelas.
    Saat ini KBM mungkin tertunda, jadi secara tidak langsung kekacauan ini akan membuat peraturan menjadi longgar. Buktinya, meskipun saat ini seharusnya jam pelajaran pertama, anak-anak di kelas justru tidak berada di tempat duduk mereka masing-masing. Jika seharusnya kami masih diawasi di balik CCTV, mungkin kami akan segera menerima teguran ... tidak. Dalam kondisi kacau seperti ini hampir tidak mungkin menganggap ada yang mengawasi. Bila adapun si 'pengawas' mungkin akan terfokus pada CCTV lain seperti lorong-lorong tempat terjadinya kekacauan yang sedang terjadi. Menggunakan kesempatan ini, aku mengambil headset tanpa kabel milikku dari dalam tas, kemudian menghidupkannya, lalu menaruhnya di telinga. Setelah menghubungkannya ke ponsel lewat bluetooth, aku mulai mendengarkan pesan audio itu ... dan saat mendengarkannya, bukan hanya terkejut, posisi Cika saat merekam pesan audio ini juga membuatku khawatir. Seperti dugaanku, Mirza dan anak otomotif yang bersamanya sengaja ikut mengejarnya. Tampaknya, mereka sudah sampai di sana kurang dari dua puluh menit setelah meninggalkan kelas bahasa.
    Dari apa yang bisa didengar, tidak mungkin Cika merekam semua ini secara terbuka. Yang itu berarti, kemungkinan yang paling pasti adalah dia menaruh ponselnya di saku dengan kondisi merekam. Jika sekilas melihat durasi berakhirnya audio itu tepat pada lima menit, bisa disimpulkan bahwa dia menggunakan semacam fitur kirim otomatis dengan durasi yang ditentukan. Aku sendiri tidak tahu fitur itu karena jarang menghubungi seseorang secara personal, kecuali jika memang membutuhkan. Tidak menutup kemungkinan jika ini adalah hasil yang Cika dapatkan karena sering berinteraksi dengan ponselnya, apalagi setelah memiliki beberapa teman yang terkadang mungkin sering menelpon atau saling bertukar pesan dengannya.
    Kembali fokus pada isi pesan audio itu, di menit ke dua memasuki ketiga terdengar jelas jika Cika memang sengaja berniat ingin melindungi Amelia, meskipun harus ikut menjadi korbannya. Mendekati menit akhir, Mirza mengatakan jika keduanya akan disekap di gedung olahraga ... yang itu berarti, saat ini Cika dan Amelia mungkin sedang perjalanan menuju kesana, mengingat pesan audio yang terkirim ini sudah berlalu tepat sejak delapan menit, saat baru saja selesai mendengarkan semuanya.
                                                     ***
    Memasuki jam KBM kedua, kekacauan semakin besar sejak beberapa murid dari tahun kedua ikut mengobarkannya. Yang pasti mereka kebanyakan berasal dari anak otomotif, lalu sisanya adalah mereka yang hanya ikut-ikutan. Keadaan diluar semakin tidak dapat dikendalikan, bahkan para guru juga tidak terlihat di manapun untuk meredakan situasi ini. Adapun OSIS, mereka tampak kewalahan mengejar anak-anak otomotif yang diklaim sebagai buronan, sumber dari kekacauan ini. 'Mungkin mereka lelah dengan aturan ketat', hanya itulah asumsi yang bisa dilihat dari permukaan. Mereka secara tidak langsung mendapatkan motivasi melakukannya juga bisa dikatakan sebagai salah satu cara untuk melepaskan stres. Terlebih lagi untuk anak-anak tahun kedua yang mungkin sudah lama tidak merasakan kebebasan 'dibebaskan dari pelajaran dan aturan' atas mayoritas para murid setelah sekian lama. Jika melihat dampak negatif dari adanya penerapan sistem kurikulum saat ini, kerusuhan yang terjadi ini bisa dikategorikan sebagai salah satu faktor internalnya.
    Alasan mengapa ada banyak 'murid-murid liar' bisa berada di sekolah futuristik, kemungkinan ada dua faktor. Yang pertama, awalnya mungkin mereka memang berusaha keras agar bisa masuk ke sekolah ini, namun, setelah mereka benar-benar telah menginjakkan kaki di sini, mereka justru berubah haluan yang mungkin bisa disebabkan oleh aturan dan sebagainya. Bagi yang tidak mengetahui secara jelas standar dari sekolah ini, hal tersebut memang cukup ironis. Tapi mau bagaimana lagi... nasi sudah menjadi bubur. Mungkin dalam pemikiran mereka, daripada keluar sekolah, menjalani kehidupan di sini sampai hari kelulusan tiba merupakan opsi satu-satunya. Karena setelah lulus mereka akan diberikan rekomendasi pekerjaan, itulah yang menjadikan mereka mati-matian bertahan di sini ... meskipun harus menjadi yang terendah di kelas sekalipun. Tapi... hal itu justru malah menekan mental mereka. Seperti gunung merapi yang telah lama menahan lahar didalam dapur magma, suatu saat pasti akan meletus mengeluarkan semua isinya dengan sangat dasyat karena terlalu lama menahan kandungannya. Sama seperti yang terjadi saat ini, para murid yang didominasi oleh anak-anak otomotif sudah membentuk mayoritas pemberontakan atas sistem ketat yang dipakai di sekolah ini.
    Seharusnya sistem tersebut memang setara dengan apa yang akan mereka dapatkan di akhir nanti, tapi mereka seolah dibutakan oleh sesuatu yang membuat ilusi 'ketidakadilan' muncul. Tidak tahu siapa pelakunya, yang pasti itu sudah menyebar layaknya virus yang menular seiring berjalannya waktu.
    Sementara sedang merenung dengan ponsel yang terbaring diatas meja, tak lama kemudian terdengar suara notifikasi dari layar ponsel. Setelah kutunggu-tungggu, akhirnya dia mengangkat ponselnya. Mengingat orang itu hampir setiap saat statusnya 'online', ini menjadi pertama kalinya dia agak telat menerima pesan yang ku kirimkan. Didalam pesannya, dia tak lupa mengetik kata permintaan maaf sebelum ke intinya ... yah, sepertinya dia juga memiliki permasalahannya sendiri di kelas IPA.
    Sebelumnya, aku mengirimkan pesan seperti ini kepada orang itu; "kupikir saat ini kau masih sedang mencari saingan untuk menguji dirimu sendiri. Karena itu aku punya informasi tanpa motif apapun. Kau pasti masih ingat siswi jenius yang kuperkenalkan kemarin kan, sekarang aku akan memberitahu kondisinya yang mengkhawatirkan. Kau mungkin masih berniat menjadi penonton, tapi itu adalah hakmu dan aku tidak akan memaksamu ikut terlibat. Saat ini dia sedang memasuki 'kandang macan' untuk mengamankan temannya. Aku akan mengirimkan bukti itu kepadamu. Jika kau mendengarnya sendiri, kau akan tahu garis besarnya. 'Apa yang akan kau lakukan' itu terserah padamu. Intinya aku hanya menyayangkan saja tidak ada yang mengetahui perjuangannya sendirian". Setelah mengirimkan pesan teks, selanjutnya aku mengirimkan pesan audio yang dikirimkan Cika di kontak pribadiku. Tadinya cukup nyaris jika beberapa menit saja aku ragu memutuskan akan membicarakannya dengan orang itu ... bagaimana tidak, pesan audio yang dikirim di kontaknya Cika mendadak hilang, berubah menjadi teks yang bertuliskan 'pesan ini sudah di hapus'.
    Kupikir dia akan ragu dan akan mencaritahu terlebih dahulu kebenaran dari audio yang kukirimkan ... tapi sepertinya dia tidak menyinggung hal itu sama sekali. Dalam pesan, balasannya dia hanya mengatakan; "sepertinya kau menyiapkan panggung yang menarik," dengan emote tersenyum di akhir kalimat. Tapi anehnya yang kurasakan saat ini dia tidak mungkin tersenyum karena hal biasa, melainkan karena hal yang menurutnya luarbiasa. Kemudian tak lama dia kembali mengirimkan pesan lagi; "aku akan membuktikan kebenaran dari pesan ini sendiri. Andaikan ujung-ujungnya tidak sesuai ekspektasi, kurasa aku akan membuatmu melakukan sesuatu untukku". Dan lagi-lagi, dia memberinya emote di akhir kalimat.
    "Benar... dia orangnya memang seperti ini," pikirku.
    Diantara kenalanku saat ini, seseorang yang paling rumit diajak bicara normal dialah Sherly. Terlepas dari kebiasaanya, dia hampir tidak pernah lengah ketika menghadapi siapapun lawan bicaranya. Kupikir itulah pesona yang dimilikinya ... seorang siswi dengan harga diri yang tinggi. Sulit dibayangkan orang seperti dia tiba-tiba tertarik dengan orang sepertiku.
    Meskipun seharusnya aman memasrahkan penyelamatan mereka kepada Sherly, tetap saja aku khawatir. Disisi lain tidak ada jaminan bahwa dia akan melakukannya, satu sisi lagi ada kemungkinan jika hasil semua itu tidak sesuai dengan harapannya.
    Saat ini keadaan didalam maupun diluar kelas masih tetap sama. Kuintip dari jendela luar sekolah, di halaman sekolah masih banyak anak-anak otomotif yang melakukan aksi mereka. Tentu saja mereka berkelompok, karena itu mungkin akan mengurangi resiko. Merasa cukup mengamati situasi, aku beranjak dari tempat dudukku, mencari terobosan jalan melewati pintu kelas, menghilang tanpa meninggalkan hawa keberadaan.
    Setelah penuh perjuangan melewati pintu kelas yang dibanjiri oleh para siswa, dengan segera aku berjalan cepat menuju pintu keluar. Tak lupa mengambil sepatu, aku langsung memakainya tanpa mengudari talinya.
                                                   ***
—Sherly
    Saat ini kondisi didalam maupun diluar gedung sekolah benar-benar kacau. Anak-anak otomotif, mereka telah bersatu membuat sebuah mayoritas kerusuhan. Padahal tak perlu melakukannya sejauh itu, mereka bisa melakukan kenakalan besar sendiri yang akan membuat mereka dikeluarkan... tapi sepertinya mereka mempunyai tujuan tertentu, jika tidak, mana mungkin mereka sampai membuat kekacauan sebesar ini?
    Dari apa yang kudengar dari salah seorang kakak kelas tahun kedua, sepertinya kejadian serupa juga pernah terjadi pada tahun lalu. Dan ironisnya, pelaku utama yang menggerakkan mereka layaknya sebuah boneka, belum tertangkap, bahkan masih cukup misteri. Entahlah, mungkin saja pelaku selama ini telah berbaur dengan banyak murid, sehingga jejaknya sulit diendus oleh anak OSIS sekalipun. Apakah kekacauan yang terjadi saat ini disebabkan oleh orang yang sama, atau justru berbeda orang...? Misteri akan selalu ada sebelum semuanya terungkap. Seseorang harus mengungkapnya jika hal yang sama tidak ingin terulang kembali, karena begitulah prosesnya.
    Saat sedang memikirkan siapa yang cukup aktif dalam 'simulasi' kali ini, maka hanya ada satu orang yang langsung terlintas di kepalaku. Disaat yang sama, orang itu telah muncul. Bukan secara langsung bertatap muka, melainkan lewat sebuah notifikasi ponsel yang sengaja kubiarkan sejenak.
    Setelah cukup lama menunggu, aku mengambil ponsel yang ku taruh diatas meja. Membuka kunci dengan pin yang terpasang, aku segera membuka aplikasi kontak yang tertuju pada orang itu.
    Menyimpulkan isi dari pesan yang di kirimkan, sepertinya dia memang tampak disibukkan dengan berbagai masalah yang terjadi sekarang ini. Awalnya kupikir dia hanyalah seorang introvert seperti kebanyakan orang sejenisnya... tapi, setelah menganalisa pergerakannya belakangan ini, dia lebih mirip seperti sesosok bayangan yang menyamar sebagai manusia. Umumnya, manusia memiliki pikiran sebagai inti utama dari setiap perkembangan, proses, dan hati sebagai penyeimbangnya. Jika pikiran tertutup, maka hati akan menjadi gelap. Sebaliknya, jika hati yang tertutup, maka pikiran justru akan semakin terbuka. Mengapa itu bisa terjadi? ... Jawabannya mudah. Bahkan orang awam juga mampu memahami dengan nalurinya sendiri. Contohnya seperti yang dialami langsung oleh orang ini.... 
    Sedikit terkejut dengan apa yang dikirimkannya, aku mendekatkan ponsel ke telinga sedekat mungkin agar bisa mendengar isi dari pesan audio itu. Meskipun didalam kelas agak berisik, aku mampu memfokuskan telingaku untuk mendengar pesan audio itu.
    "Dengan kata lain dia membutuhkan bantuan, ya... pft, padahal tidak perlu sampai sebegitu juga basa-basinya," pikirku.
    Dari apa yang kudengar melalui pesan audio tersebut, sepertinya teman dari orang itu mengalami masalah dengan anak otomotif yang di komando oleh anak bermasalah di kelasnya.
    Korban utamanya adalah seseorang yang berusaha ditolong oleh si perekam. Jika si perekam adalah teman dekat orang itu, maka wajar saja jika dia ingin menolongnya. Tapi sepertinya orang itu juga telah memiliki 'jadwal terbangnya' sendiri. Apakah itu bagian dari rencananya atau hal yang tidak diduga olehnya... satu-satunya hal yang pasti adalah dia telah mencapai batas melakukan semuanya sendirian. Jika tidak, sulit dipercaya dia semudah itu memutuskan akan membicarakannya denganku. Dilihat dari sisi manapun ini adalah taruhannya. Dia menggunakan bukti ini juga agar bisa membuatku bergerak dengan keluar dari bilik penonton.
    "Huh... bagaimana ini ya...."
    Di posisiku aku bisa saja menolak permintaannya dengan mudah. Tapi... didalam isi pesannya, di hari sebelumnya dia pernah berkata bahwa 'si perekam yang merupakan temannya adalah murid jenius yang memiliki kemampuan melebihiku'. Ketika mengingatnya, entah mengapa hatiku terasa agak geli hingga ingin tertawa terguling-guling.
    "Yah... bagaimanapun juga orang itu telah mengakuinya."
    Mungkin kedengarannya memang sulit dipercaya tiba-tiba orang itu menaruh harapan kepadaku. Apalagi informasi yang diberikannya ini terlalu mendadak, jadinya agak meragukan mengambil langkah dalam kondisi seperti sekarang. Tapi... meski begitu tetap saja aku merasa penasaran 'seberapa menariknya perempuan itu' hingga membuat orang itu memilihnya, menjadi rekan dalam bayangan. Aku tidak tahu apakah dia menggunakan mantra yang bisa membuatku ditarik olehnya hanya dengan kesepakatan ini, itu juga membuatku cukup penasaran.
    "Mungkin aku bisa membuat pengecualian hanya untuk kesepakatan kali ini."
                                                    ***
    Setelah pada kesimpulan untuk 'menerima saja permintaan orang itu', aku perlahan berdiri mendekati kerumunan kelas. Di sana, terlihat salah seorang siswa dengan cukup kerepotan menangani anak-anak otomotif yang sengaja berniat menyerang. Objek mereka bukanlah siswa itu maupun kelas... melainkan aku.
    "Sudah kubilang pergi saja! Kalian hanya akan membuat masalah di sini," bentak siswa kelas yang berusaha menghadang mereka.
    "Tuduhanmu itu cukup keterlaluan ... bagaimana kau tahu kami akan membuat masalah di sini?" Tanya salah satu anak otomotif dengan lemah gemulai.
    "Itu tidak perlu ditanyakan. Kerusuhan diluar itu ulah kalian kan," kata siswa kelas, masih terus melotototinya.
    "Roby, cukup. Kau telah melindungi kelas dengan baik," kataku, memotong interaksi keduanya.
    Ketika melihatku keluar dari balik kerumunan, siswa kelas bernama Roby seketika memasang ekpresi terkejut. Sementara itu, disisi lain anak otomotif yang melihatku muncul, tersenyum seolah telah mempersiapkan rencana licik mereka.
    "Biar kutebak, kau pasti ketua kelasnya, kan," kata salah satu anak otomotif, terlihat cukup percaya diri dengan tuduhannya.
    Sepertinya memang begini siasat mereka. Untuk menjatuhkan sebuah kelas, hal yang paling utama mereka incar pasti adalah sesuatu yang menjadi 'pilar pembangun' ... siapa lagi jika bukan seseorang yang menonjol, memiliki jabatan sebagai ketua kelas. Tapi sayangnya, mereka melakukan kesalahan karena datang kesini, apalagi mengklaimku sebagai ketua kelas di sini.
    "Apa kau yakin? Yang kau katakan tadi hanya asumsimu kan. Atau mungkin... kau mendengar informasi dari seseorang dari kelas kami?" 
    "Ya begitulah," responnya agak sombong.
    "Kau terlihat cukup percaya diri sekali. Mari kesampingkan dulu anggapanmu yang masih absurd itu. Memangnya ada perlu apa kesini?"
    Membalas tatapannya, aku menujukkan senyuman dengan maksud lain. Meskipun aku sangat mengerti tatapannya itu dimaksudkan untuk mengintimidasiku, terus terang itu tidak memberikan dampak kerusakan apapun kepadaku. Justru dialah yang harusnya segera menyadari jika keyakinanku tidak bisa tergoyahkan semudah itu... pada akhirnya, dia sendiri yang akan mulai merasa terimidasi jika melanjutkan percakapan tidak pentingnya ini. Ibarat seperti seseorang sedang bercermin, apapun yang keluar dari mulutnya ... hanyalah suara angin yang memiliki wujud bayangan fana dibalik kaca. Seperti siswa yang berdebat denganku ini, lambat laun dia pasti akan merasa lelah dengan sendirinya.
    "Kau sudah mulai agak menyebalkan. Jika kau punya mulut, bicaralah sesuatu!" Bentak anak otomotif itu, daritadi terus mengoceh sementara aku menghiraukannya seperti orang yang sedang menunggu antrian.
    "Kelihatannya kau sudah kehilangan kesabaran. Apa sudah lelah bicara sendiri?" Sindirku, masih dengan ekspresi yang sama.
    "Kau... perempuan aneh."
    "Benarkah? Aku hanya bersikap sopan. Apa itu salah?"
    "Kau pasti tidak waras," dia menekan suaranya.
    "Ayo kita tinggal kelas aneh ini. Dasar orang-orang idiot," lanjut katanya, memimpin anak otomotif lain yang ikut bersamanya, meninggalkan kelas.
    Bukan hanya siswa otomotif yang berdebat denganku saja yang merasa jengkel, bahkan teman-temannya dari jurusan yang sama juga merasakannya. Karena keberadaanku membuat tujuan mereka gagal, sepertinya mereka tidak mungkin kembali lagi dalam waktu dekat.
    "Seharusnya aku lebih berusaha tenang ketika menghadapi mereka tadi," kata siswa kelas bernama Roby, kecewa dengan dirinya sendiri.
    "Itu wajar karena ada tamu yang tidak diundang mendadak datang mencari masalah. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, ketua," kataku, memberikannya sedikit pujian.
    "Huh... bukankah lebih baik memang kau saja yang menjadi ketua kelasnya? Aku rela kok," kata Roby.
    "Tidak apa-apa. Dalam sistem kelas, jabatan itu hanya sekedar peran yang diperagakan untuk kepentingan kelas agar memiliki tujuan yang jelas. Meskipun tidak tertarik mengambil salah satunya, aku tetap bisa berkontribusi didalam kelas dengan caraku sendiri. Selama tidak ada yang mempermasalahkannya, aku juga tidak akan mempermasalahkan idealisme kalian," kataku.
    "Kau memang selalu berkata seperti itu, tapi bukan berarti aku tidak memahami maksud perkataanmu... hanya saja, setiap orang itu punya batas kemampuannya masing-masing. Bakat sejak lahir atau potensi yang sudah ada, tidak semua orang memilikinya. Saat ini kita mungkin terlihat seperti seseorang yang sedang belajar melakukan sesuatu yang bisa dilakukan di sini ... meskipun secara logika, ruang lingkup kita masih benar-benar sangat terbatas," kata ketua kelas Roby, terdengar bijaksana.
    "Kalau begitu kenapa tidak mengincar kursi OSIS?" Tanyaku, memberi saran.
    "Itulah yang pastinya diharapkan oleh murid-murid seperti kita, kan," jawab Roby, cukup antusias mendengar kata 'OSIS'.
    Ketika kami bertukar pandangan mengenai perencanaan masa depan, orang-orang di kelas yang mendengar pembicaraan ini ikut merasakan antusias untuk mengejar posisi tertinggi.
    Menjadi OSIS di sekolah futuristik memang bukanlah perkara yang mudah. Mereka harus memiliki standar di atas rata-rata atau minimal memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sebagai bentuk kebanggaan. Dengan begitu, murid yang terpilih akan mampu mengembangkan potensinya ke tingkat yang lebih tinggi. Itu adalah hal yang tidak seharusnya disia-siakan.
    "Oh benar juga."
    Aku teringat sesuatu. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk meminta bantuan.
    "Ada apa?" Tanya Roby yang sempat mendengarku.
    "Sebenarnya ada seseorang yang ingin ku tolong. Aku mungkin tidak bisa melakukannya sendirian karena keadaan diluar."
    "Kalau begitu kami akan mengantarmu," kata Roby, hanya dalam beberapa detik telah mengumpulkan persetujuan kelas.
    "Seperti yang diharapkan. Ketua memang bisa diandalkan," kataku, tersenyum tipis.
    "Kau pasti sudah tahu kalau aku tidak akan bisa menolak permintaanmu, kan," kata Roby lirih, seolah dapat membaca pikiranku.
    "Yah... siapa sangka."
                                                       ***
    Setelah Roby dan sebagian besar murid di kelas sepakat, kami bergegas keluar hendak menuju ke gedung olahraga dengan kelompok besar. Melihat rombongan kelas kami di tengah kerusuhan yang terjadi, anak otomotif hanya bisa melihat, diam-diam mencela dibelakang. Meskipun begitu kelompok kami sangat tenang. Kuakui Roby merupakan sosok pemimpin yang ideal bagi kelas kami, setidaknya itulah yang kulihat secara objektif.
    Ketika baru berjalan beberapa meter, seseorang yang tidak ingin kami temui tiba-tiba muncul dengan sengaja menghadang. Dia adalah tokoh yang seharusnya dibenci semua murid di kelas saat ini. Tentu saja identitas sebenarnya adalah seorang siswa bermasalah di kelas yang melakukan tindakan keji sebelumnya. Siapa lagi jika bukan Tomi, murid yang terang-tetangan menyatakan perlawanan terhadap kelas dan mencoba menghasut Roby untuk berkonspirasi menjatuhkan kelas lain. Bahkan kebanyakan orang juga bisa memperkirakan siapa yang layak untuk dijadikan sekutu ... tapi berbeda dengan orang pendek berkacamata ini, meskipun pintar dia menjadi sangat bodoh jika sudah disuap oleh sesuatu. Terlebih lagi tawarannya adalah sesuatu yang tak akan bisa didapatkan oleh seseorang tanpa berjuang keras, itu adalah kursi anggota OSIS. Sebuah kebohongan murahan.
    "Tomi! Apa sekarang kau masih bermimpi menjadi anggota OSIS?" Tanya Roby. "Lihatlah sekelilingmu! Apa ada sesuatu yang baik akan terjadi dibalik makna kekacauan ini?" Lanjut Roby, menekan intonasi bicaranya.
    "Tidak ada."
    Cukup mengejutkan. Bahkan orangnya sendiri telah mengakui dengan jelas bahwa tidak ada makna di balik kerusuhan yang terjadi. Tapi anehnya, bukan merasa menyesal, dia justru memperlihatkan ekspresi percaya dirinya.
    "Tapi begini juga tidak apa-apa," lanjut kata Tomi.
    "Ha? Apa maksudmu?" Tanya Roby, heran dengan ucapannya.
    "Dari hasil analisaku, jika sesuatu yang besar telah terjadi maka itu akan membuat perubahan besar pada isinya. Seperti mayoritas anak otomotif yang melakukan kekacauan besar-besaran saat ini, pelanggaran mereka pasti bisa disetarakan dengan 'pengeluaran'. Tapi di situlah letak problemnya..." sampai tahap ini, Tomi terlihat sangat percaya diri dengan kata-katanya.
    "Apakah mungkin, 'sekolah akan mengeluarkan mayoritas anak otomotif yang jelas terlibat dalam kekacauan ini?' ... Aku menunggu jawaban itu. Andaikan mayoritas mereka dikeluarkan, bukankah itu akan mencoreng nama baik sekolah futuristik ini? ... Hehe..., tak bisa dipungkiri, setelah kejadian ini harga diri sekolah pasti akan runtuh!" Kata Tomi, seolah merasa yakin akan terjadi demikian.
    Kurasa argumennya cukup menarik, tapi dia tidak memikirkan bahwa masih ada beberapa cara atau harapan yang bisa menanggulangi sebelum semua itu terjadi. Maka itu berarti, kemungkinan runtuhnya sekolah ini tidaklah seratus persen akan terjadi.
    "Atas dasar apa kau bisa seyakin itu?" sebelum Roby hendak mengutarakan pendapatnya, aku lebih dulu memotong, menanyakan itu kepada Tomi.
    "Haha..., itu sudah tidak perlu diragukan lagi. Dipikir dengan logika pun hasilnya tidak akan jauh berbeda," kata Tomi, sambil memainkan kacamatanya.
    "Kalau begitu mari kita bertaruh," kataku.
    Mendengar kata 'bertaruh', baik Roby maupun Tomi sama-sama terkejut. Mereka sepertinya tampak tidak menduga bahwa aku akan melakukannya sampai sejauh ini untuk membela sekolah futuristik, tempatku berada saat ini.
    "Jika setelah kejadian ini sekolah futuristik tidak runtuh seperti yang kau bayangkan, kau harus angkat kaki dari kelas kami," kataku, terus terang.
    "Bagaimana kalau sebaliknya?" Tanya Tomi, masih terlihat cukup percaya diri.
    "Aku akan menuruti semua perintahmu, bahkan setelah pembubaran sekolah semisal itu memang terjadi," kataku.
    "Sepertinya itu bagus. Aku akan menerimanya," kata Tomi tanpa ragu.
    "Sherly, kau serius? Perjanjian itu sama sekali tidak ada untungnya bagimu kan? Kenapa kau sampai sebegitunya?" Tanya Roby, heran.
    "Untuk pembuktian. Kepada seluruh murid yang mendengarkan, aku berharap ini akan jadi taruhan yang sebenarnya," kataku, dengan sengaja memancing anak-anak lain disekitar untuk ikut mendengarnya. Ini kumaksudkan sebagai bentuk perlawanan.
    Keseriusanku baru saja dimulai dari sini. Jika tadinya aku sempat berpikir ingin menonton semuanya dari awal hingga akhir... sekarang karena ekstensi orang itu aku jadi harus merepotkan diri mengambil peran ini juga. Sepertinya meminta imbalan kepadanya setelah semua ini selesai tidak buruk juga, itulah yang kupikirkan.
    Setelah pembicaraanku dengan Tomi selesai, rombongan kami segera berjalan pergi meninggalkan kerumunan hina, anak-anak otomotif ini. Sepanjang jalan lorong, kami menerima cacian dalam bentuk sorakan kasar mereka. Sampai pada pintu keluar, ketika mengambil sepatu kami masing-masing mereka masih saja mengerjai beberapa siswa kelas kami yang berada dalam rombongan. Meskipun begitu, rombongan kami tetap sabar menghadapi sikap mereka. Tidak ada satupun dari kami yang mengutamakan emosi pribadi. Seharusnya ini akan menjadi perjuangan yang patut dibanggakan.
    Kemudian, sampai di luar gedung sekolah, terlihat semuanya benar-benar kacau oleh anak-anak otomotif. Selain melakukan aksi kekerasan kepada siswa lain, mereka juga melakukan tindak kenalan lain yang membuat mereka bebas melakukan apapun. Menghiraukan mereka, kami terus melangkah dalam diam menuju tempat yang menjadi tujuanku menolong teman orang itu.
    Ketika kami sudah berada cukup jauh dari gedung sekolah utama (GSU), lingkungan tampak sepi. Di area utama bagian utara (AUBU) yang kami lewati juga sangat sedikit orang terlihat. Karena di wilayah ini hampir tidak ada toko atupun bangunan fasilitas yang buka, itulah yang menjadikan area ini benar-benar kosong di waktu seperti ini. Kalaupun ada seseorang yang lewat, itu pasti adalah anak otomotif. Kami terus membiarkan mereka melalui kami sepanjang jalan hingga sampai didepan gedung olahraga yang kelihatannya tidak ada satupun dari mereka yang menjaga.
    Kupikir akan ada satu atau dua anak otomotif yang menjaga tempat ini... tapi sepertinya mereka memang tidak mempedulikan para tahanan yang ada didalam. Mereka terlalu sibuk dengan kesenangannya sendiri.
    "Sepertinya aman. Tidak ada tanda-tanda mereka di sekitar sini," kata salah satu siswa kelas kami yang melapor, setelah sesaat memutari gedung olahraga.
    "Syukurlah kalau begitu. Kita jadi tidak perlu memakai kekerasan untuk sementara waktu," kata Roby, menghela nafas lega.
   "Oh! Sepertinya mereka tidak menguncinya lho!" Kata salah satu siswa kelas yang mengecek pintu masuk gedung.
    "Sherly, kau mau masuk kedalam? Kami akan menjaga diluar andaikan mereka datang," ujar Roby. 
    "Baiklah, kalian juga harus hati-hati," kataku, sebelum masuk kedalam gedung.
    Setelah berada didalam, aku diam sejenak ketika sampai di aula tengah gedung olahraga. Kupikir jika mencari ke segala tempat didalam gedung seluas ini, itu akan sangat membuang waktu dan tidak efisien. Karenanya, dalam memanfaatkan kesunyian ini aku memasang baik-baik kedua telingaku agar bisa mendengar sumber 'suara seseorang'.
    Sambil berjalan perlahan, aku mulai mendengar suara yang awalnya terdengar samar-samar di suatu tempat. Sedikit berkeliling, sampailah aku di depan salah satu ruangan yang memiliki gema 'suara seseorang' seperti sedang mengobrol ... tidak salah lagi, didalamnya pasti tempat dimana kedua perempuan yang dimaksud oleh orang itu di tahan. Tanpa menunggu lama lagi, aku segera masuk, mengecek kondisi mereka.
    "Eh... kenapa kau bisa ada di sini?" Menanyakan itu dengan intonasi heran, perempuan yang seharusnya pernah bertemu denganku sebelumnya, tepatnya di luar halaman gedung sekolah waktu itu, terlihat kaget dengan ekspresi aneh begitu melihatku datang, hendak menyelamatkannya.
    Dengan cepat aku bisa langsung mendapat jawaban dari pertanyaan 'mengapa orang itu lebih memilih menggunakannya daripada aku'. Seketika itu dalam hatiku merespon, "ah, ternyata ini alasannya." Sebuah garis perbedaan besar antara diriku dan dirinya, membuat 'salah satu sisi ini' tidak terpenuhi.
    Matanya yang bulat, proporsi tubuhnya yang ideal, sosok perempuan bersepatu hitam dengan garis merah muda ini... sekilas memperlihatkan kepribadian bagai seorang anak kecil yang tahu caranya 'berpikir' ... entah mengapa membuatku bisa melihatnya dengan jelas, sisi 'kepolosan' itu darinya.
    "Fufu, mungkin pertemuan kita sudah ditakdirkan," kataku, sesaat tersenyum kecil ketika melihatnya.
                                                        ***
—Bu Milan
    Ini terjadi lagi... sama seperti tahun lalu... bencana yang tidak ingin ku ingat sekali lagi terjadi. Dalam diriku terus bertanya-tanya, 'mengapa harus anak-anak itu yang berulah kembali?' ... Meskipun aku tahu bahwa ada orang lain yang dengan sengaja memprovokasi mereka, tetap saja pandanganku akan rasa benciku kepada mereka tidak berubah. Sejak tahun lalu aku menjadi 'lepas kendali' ketika dihadapkan dengan mereka. Itulah mengapa sekarang ini aku memposisikan diri sebagai guru sastra. Agar tidak terlibat dalam masalah internal mereka lagi, aku telah memutus sepihak interaksi dengan mereka.
    Tapi kenapa sekarang harus terjadi lagi... 
    "Kekacauan ini... ulah siapa?"
    Tepat di bawahku saat ini, beberapa anak otomotif terlihat gemetaran ketika melihatku menanyakan hal yang jelas kepada mereka. Yah... pastinya mereka juga akan ketakutan jika sudah begini.
    "Bicaralah!"
    Jika aku menggunakan gaya bicara yang biasanya, mereka pasti tidak akan menjadi setakut ini. Itu wajar karena sekarang aku benar-benar sudah mencapai puncak kesabaran.
    "Kalian tidak bisa berbicara ya?"
    Ini adalah kelemahanku sebagai seorang guru. Meskipun guru itu umumnya memiliki prinsip harus mengutamakan kesabaran, jika dipaksa menghadapi situasi tertentu, maka di antara guru sepertiku pasti akan langsung bertindak tegas tanpa menahannya ... karena itu akan menjadi perasaan tidak berguna jika terus dipendam. Seperti prinsip seorang pembunuh yang mengharuskan membunuh perasaannya terlebih dahulu, guru juga bisa melakukan hal yang sama dikala menghadapi situasi tertentu. Ini adalah bentuk keseriusan dalam memberikan pengajaran.
    Saat berdiri tegak tepat dihadapan mereka, aku mendekatkan wajahku kepada salah satu dari mereka yang sudah sangat ketakutan. Ini bukanlah upaya untuk menakut-nakuti mereka, melainkan bentuk kepedulian karena aku sudah memberikannya sebuah dorongan agar anak ini mampu bicara terus-terang.
    "Seperti biasa ibu sangat terampil memainkan berbagai macam peran guru."
    Tepat di situasi ini, salah seorang siswa yang intonasinya tidak asing kudengar tiba-tiba muncul dengan santainya, melihatku dengan kesan serius, berwajah datar.
    "Tidak juga. Hanya meniru Bu Eko melakukannya," kataku, kini kembali menjadi diriku yang biasanya.
    "Kesampingkan itu dulu. Sepertinya ibu kesusahan masuk kedalam GSU karena kerusuhan ini," kata siswa itu, menyilangkan kedua tangan, seolah tidak menganggapku ekstensi yang benar-benar harus dihormati.
    "Benar sekali, anak-anak ini memang sangat merepotkan lho," kataku, melirik mereka.
    Melihat interaksi di antara kami, beberapa anak otomotif yang ketakutan di bawah tidak bisa berhenti gemetar. Mengenai siswa yang sangat santai berbicara denganku ini, dia adalah anak tahun kedua, namanya Ricky, salah satu siswa jenius di kelas sebelas bahasa.
    "K—kami hanya ikut-ikutan mereka saja! Kami tidak bermaksud melakukan apapun yang merusak fasilitas," kata salah satu dari mereka membeberkan.
    "Siapa yang kalian ikuti?" Tanya Ricky, terlihat agak mengintimidasi.
    "G-Gesa... Gesa anak kelas sepuluh..." ucap salah satu dari mereka terbata-bata.
    "Ternyata benar," kata Ricky, seolah sudah mengetahuinya atau sudah menebaknya.
    "Hah... kau ini. Kalau sudah tahu kenapa tidak langsung cari orangnya saja? ... Jangan bilang kamu malas bertindak," kataku, sesaat menghela nafas.
    Perilaku dan perkataannya yang seperti ini sudah sering kudengar beberapa kali ketika dalam kondisi tertentu. 'Melakukan pergerakan yang terkesan misterius dan tidak wajar', itulah yang selalu kulihat dari dirinya.
    "Kamu itu juga bagian dari anggota OSIS. Setidaknya lakukanlah yang seharusnya dilakukan," lanjut ceramahku, terkesan seperti guru.
    "Itu tidak sepenuhnya salah, tapi sekarang ini aku memang benar-benar melakukan tugasku. Beberapa saat yang lalu aku sempat menginterogasi salah satu ketua komplotan mereka, dan jawaban dia juga sama. Orang yang sudah mengatur semua kerusuhan ini adalah Gesa, siswa tahun pertama dari jurusan otomotif. Lalu saat aku mendatangi kelas mereka diam-diam, aku tidak bisa menemukan anak dengan nama itu di sana. Kemungkinan dia sudah menyadari posisinya dan bersembunyi di suatu tempat sampai kerusuhan ini reda dengan sendirinya," kata Ricky, menjelaskannya dengan sangat tenang.
    "Tapi setelah kerusuhan ini reda, bukankah dia bisa ditemukan dan dieksekusi dengan mudah... toh, identitas orangnya juga sudah diketahui," kataku.
    "Mungkin tidak sesimpel kelihatannya. Terkadang dibalik sebuah insiden, masih ada sisa rencana tersembunyi yang tersimpan di belakang. Bagaimanapun juga dia adalah siswa yang telah membuat kekacauan besar seperti ini ... jadi, masuk akal bila berasumsi kalau dia akan terus memikirkan langkah selanjutnya, berupaya menjatuhkan harga diri sekolah, meskipun harus menjadikan seseorang 'bom waktu' ... seperti tahun lalu," kata Ricky.
    Ketika mendengar kata 'bom waktu', sesaat aku mengalihkan pandangan, merasa tak ingin mengingatnya kembali. Tahun lalu kekacauan ini juga hampir serupa... tapi yang paling parah adalah di endingnya.
    "Kalau begitu kita harus mencari anak itu sekarang juga...."
    "Tunggu...."
    Saat akan bergegas pergi hendak meninggalkannya begitu saja, mendadak Ricky menarik tanganku tanpa ragu.
    "Sebaiknya ibu tenang dulu. Jika mencarinya sampai ke sudut sekolah pun itu tidaklah efisien. Yang ada kerusuhan ini akan menjadi-jadi bila kita tidak ikut menanggulanginya," kata Ricky.
    "Tapi anak-anak OSIS kan...."
    "Memang dalam kondisi seperti ini mereka itu bisa diandalkan, tapi lebih baik lagi jika kita turut membantu mereka, apalagi kalau sudah melihat dampaknya langsung," kata Ricky, matanya sedang tertuju ke arah lain. "Lihatlah di sana, sepertinya perkelahian besar sudah dimulai. Apa tidak masalah dibiarkan?" Lanjut Ricky, masih sangat tenang melihat dari kejauhan.
    "Tentu saja tidak! Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal," kataku, langsung berlari menuju tempat kejadian dengan terburu-buru. Di belakang Ricky juga mengikutiku.
                                                     ***
—Orang Ketiga
    Sementara kekacauan masih terjadi di gedung sekolah utama, ditempat lain juga ada yang demikian. Salah satunya memperlihatkan halaman depan gedung olahraga yang berada di area utama bagian utara. Di sana, terdapat rombongan anak-anak kelas sepuluh IPA yang sedang berjaga di luar.
    "Roby! Ini gawat, mereka sedang perjalanan kemari," kata salah satu siswa melapor.
    "Segera peringatkan yang lain untuk berkumpul," kata Roby dengan ekspresi serius, beranjak memimpin mereka.
    "Baik!"
    Dengan cepat, rombongan mereka merapat dan berdiri di belakang Roby dengan raut muka yang sama-sama serius. Sementara itu, disaat yang bersamaan beberapa anak otomotif telah sampai di hadapan mereka. Dalam jarak lima meter, kewaspadaan mereka sama-sama meningkat. Dari yang terlihat, ekspresi anak otomotif sangat percaya diri, sementara anak kelas sepuluh IPA cukup serius menatap mereka. Dalam situasi ini, masing-masing dari mereka intimidasinya terasa sangat kuat, serta terdapat tekanan yang seolah-olah akan pecah bila salah satu dari mereka ada yang naif, tidak sabar untuk maju, asal menyerang. Tidak akan lama lagi ... tempat tersebut sudah pasti akan menjadi medan pertempuran bagi kedua kubu, anak kelas sepuluh IPA dan OTO.
    "Sepertinya memang benar, kalian sengaja membuat masalah dengan kami," kata salah satu siswa perwakilan mereka.
    "Kami hanya ingin membawa teman kami kembali. Apa itu akan jadi masalah untuk kalian?" Tanya Roby, gelaknya terlihat percaya diri menghadapi intimidasi mereka.
    "Berani juga kau!" Gertak siswa yang menjadi perwakilan mereka, terlihat sudah tidak sabar ingin memulai pertikaian.
    "Sikat mereka!" Lanjutnya, memimpin yang lain menyergap anak IPA.
    "Semuanya! Pertahankan tempat ini! Jangan gentar!" Tegas Roby, memimpin anak-anak kelasnya.
    "WOOO....!!! "
    Dalam waktu singkat, perkelahian besar telah dimulai. Dari pihak anak otomotif yang dipimpin oleh seorang pembuat masalah dari kelas sepuluh MIKA, yaitu siswa bernama Dodi, dengan serius berkelahi tanpa aturan, menyibak tangan siapa pun yang mendekat. Disisi lain, dari pihak anak IPA yang tidak seserius itu seolah lebih berusaha menahan diri ... lambat laun mereka mulai dipojokkan.
    "Hoi! Memangnya kalian sepengecut ini?" Tanya Dodi, memegang kerah Roby, sementara tangan kanannya yang hendak memukul ditahan.
    "Tidak... sejak awal kami memang tidak berniat bertarung. Setelah tugas kami di sini selesai, kami akan langsung pergi dari tempat ini, " kata Roby, berusaha menahan tinjunya.
    "Dasar pengecut! " Teriak Dodi.
    Mendapat semangat bertarung, Dodi yang tak bisa menahan diri, berusaha keras mencari titik lemah Roby, dengan melancarkan serangan pukulan hingga tendangan yang memusat pada perut serta pinggangnya. Roby yang hanya melakukan pertahanan, tak dapat terus menangkis serangan yang datang beruntun ke arahnya... alhasil, dia terhempas beberapa meter, terjatuh usai menerima tendangan kaki kanan sempurna dari Dodi.
    "Ergh...." Roby menahan rasa sakit di perutnya.
    "Roby!" Teriak salah satu siswa kelas IPA yang khawatir, melihat pertarungan keduanya.
    "Gimana? lanjut?" Ujar Dodi, tanpa rasa bersalah semakin sombong setelah menjatuhkan ketua kelas anak IPA.
    Roby tidak menjawab tantangan Dodi. Dia justru berusaha berdiri, menahan rasa sakitnya tanpa berkata apapun kepada lawan didepannya.
    Karena perbedaan kekuatan fisik, serta faktor yang membuat mereka harus menahan diri, terlihat jelas anak otomotif lebih diunggulkan dalam tawuran ini. Satu-persatu mereka dijatuhkan dan dibuat babak belur. Bahkan, siswa yang jadi juru lapor Roby beberapa saat lalu, kondisinya tampak mengenaskan, terbaring di tanah.
    "Sudah cukupkan! Sekarang apa kalian puas dengan semua ini?!" Teriak Roby dengan lantang, suaranya juga agak serak setelah dijatuhkan Dodi barusan.
    Mendengar itu, bukannya mundur... anak otomotif yang dipimpin Dodi justru semakin meremehkannya. Selain melihat anak IPA dengan tatapan hina, anak otomotif juga bersorak-sorak atas kemenangan mereka.
    Disaat yang sama, ketiga perempuan baru saja keluar dari gedung olahraga, dikejutkan dengan pemandangan mengerikan di halaman depan. Mereka keluar di momen yang tidak tepat.
    "Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?" Amelia yang kebingungan bertanya-tanya.
    "Ini keterlaluan...." ujar Cika, bersimpati, sekilas melirik ke arah Sherly yang berdiri di sampingnya.
    "Sepertinya kita terlambat," kata Sherly, anehnya masih sangat tenang meski melihat teman kelasnya dihajar babak belur, sebagian juga sudah terbaring di atas tanah.
    "Kenapa kau masih setenang itu? Mereka teman sekelasmu kan?!" Dengan terus terang Amelia mengomentari sikapnya.
    "Ya, benar."
    "Kalau begitu kenapa...."
    "Merasa panik tidak akan menyelesaikan masalah. Sudahlah, daripada memikirkan itu sebaiknya pikirkan bagaimana cara bernegosiasi dengan mereka," kata Sherly, melihat salah satu anak otomotif yang sudah mengetahui keberadaan mereka bertiga.
    "B-bernegosiasi... apa yang kau...."
    "Ssstt. Kalau tidak mau melakukannya sebaiknya kau diam," kata Sherly, seperti biasa tutur katanya lembut, tapi sebenarnya memiliki penekanan yang kuat.
    Kemudian, Sherly berjalan memimpin kedua perempuan dari kelas bahasa itu di belakangnya, mendekati mereka di antara anak-anak dari kelasnya.
    "Sepertinya kalian baru saja selesai membuat kehebohan besar di sini," kata Sherly, memakai gaya bicara menyindir yang jadi ciri khasnya.
    "Tidak kusangka ada saksi yang diam-diam bersembunyi didalam gedung. Kukira kalian sudah pergi sejak tadi," kata Dodi, gelagatnya seperti berbohong.
    "Kalau sudah tahu kami akan kesini, sepertinya kau diberitahu oleh seseorang ya," kata Sherly, mereka-reka informasi mereka.
    "Hoh... kau cukup pintar. Yah, kami memang sempat diberitahu oleh siswa bernama Mirza tadi," kata Dodi.
    "Mirza? Dimana dia sekarang?" Amelia terburu-buru menanyakannya, sesaat sempat terkejut mendengar nama 'Mirza'.
    "Aku tidak tahu. Dia pergi begitu saja setelah berpapasan denganku. Hah... Kira-kira dia dimana ya? Aku ingin berterimakasih kepadanya karena sudah memberiku peran yang membuatku bersemangat seperti ini," kata Dodi, tertawa lepas.
    "Hm, ternyata rumor itu benar. Seperti yang diharapkan dari siswa bodoh yang berani menyabotase fasilitas didalam gedung sekolah," kata Sherly, tersenyum tipis.
    Mendengar apa yang dikatakan olehnya, Dodi yang tersinggung langsung memasang muka serius. Sementara Amelia dan Cika yang berdiri dibelakang, cukup terkejut mendengar fakta tidak terduga itu.
    "Apa itu benar...?" Amelia bertanya-tanya.
    "Ternyata dia orangnya...," kata Cika didalam hati, mengingat informasi terkait 'siswa bermasalah' yang pernah disampaikan Rafa.
    "Dari siapa kau mengetahuinya?" Tanya Dodi, menatap tajam ke arah Sherly.
    "Darimanapun juga bisa. Aku selalu tahu apa yang terjadi didalam maupun diluar gedung sekolah," kata Sherly, terdengar agak sombong mengatakannya.
    "Jadi begitu. Kau punya mata-mata di segala tempat ya," kata Dodi.
    "Selanjutnya mau bagaimana? Aku bisa saja melaporkan tindakanmu ini kepada OSIS," kata Sherly, tersenyum licik. 
    "Ha? Jangan terlalu percaya diri. Sadari posisimu sekarang ini! Kalian sudah terkepung. Sebelum kau membeberkannya, aku akan lebih dulu membungkam mulutmu," kata Dodi, segera memerintah anak otomotif lain ikut merapat, mengepung ketiganya dari segala arah, menutup jalur pelarian.
    "Sudah kuduga kau ketakutan. Tapi sepertinya keberuntungan ada di pihak kami," ujar Sherly, matanya tertuju ke arah lain, bukan melihat Dodi, melainkan seseorang yang selangkah demi selangkah mendekat dari belakang.
    Tepat dari arah selatan, begitu sudah cukup dekat, seseorang yang bisa dianggap bantuan telah datang, mengejutkan mereka semua. Tidak lain sosoknya itu adalah siswa jenius tahun kedua, berjalan didepan Bu Milan yang mengikutinya, ikut menghampiri mereka.
    "K-kenapa dia ada di sini..."
    Ketika melihat mereka, Dodi tampak terkejut seolah tak menduga. Reaksinya yang tiba-tiba ketakutan itu bukan sebab kedatangan Bu Milan, melainkan lebih ke seorang siswa berwajah datar yang menatap lurus ke arah mereka itu.
    "Ada apa semua ini?" Tanya Bu Milan, terkejut melihat sekian banyak siswa yang babak belur, sebagian juga terkapar di tanah, dekat mereka berdiri.
    "Ternyata kau di sini ya," kata siswa tahun kedua bernama Ricky, melihat Dodi sembari menyilangkan kedua tangan.
    Melihat Ricky telah menghampirinya, Dodi yang seakan tampak sangat ingin menghindari pertemuan tersebut, mendadak hendak melarikan diri. Akan tetapi, Sherly yang mengetahui pergerakannya spontan membuat laki-laki itu tersandung, sengaja menjulurkan kakinya saat dia akan berlari ... berakhir dengan Dodi yang jatuh tersungkur, tampak memalukan dengan posisi tengkurap.
    "Sebaiknya perhatikan langkahmu sebelum berlari," kata Sherly, menutup mulutnya, tertawa kecil.
    "Kau ini...!" Dodi yang kesal menoleh ke arah Sherly yang membuatnya tersungkur.
    "Sebelumnya kau sudah cukup merepotkanku. Ngomong-ngomong apa kau mau tahu nasib temanmu yang kau tinggalkan kurang dari satu jam tadi?" Tanya Ricky, lanjut mengintimidasi.
    "Dia tertangkap?" Dodi gemetaran.
    "Setelah ku interogasi, dia mendadak memberitahu semuanya kepadaku ... termasuk untuk siapa kalian bertindak," kata Ricky.
    "Hi...! B—baiklah. Aku akan memberitahu semuanya ... termasuk bagaimana aku bisa membuat kekacauan di sini," kata Dodi, tampak telah diambang batas ketakutan, begitu melihat wajah datar Ricky dari dekat.
    Sementara mereka sibuk bercakap-cakap, sebagian anak otomotif yang tersisa langsung kabur, melihat adanya kesempatan.
    "Hei! Mereka kabur!" Teriak Amelia memperingatkan.
    "Tidak masalah. Mereka itu hanya 'pion yang dikorbankan'. Jika 'komandonya' sudah tertangkap, mereka pasti akan beralih mencari 'dalang' yang tersisa. Yah... kesampingkan itu dulu, yang terpenting anak ini sudah kutangkap," kata Ricky, tampak tenang dengan wajah yang selalu datar.
    "Kau mendengarnya dari Tobi kan," kata Dodi, sekilas langsung memahaminya.
    "Siapa 'komandan' kalian yang tersisa?" Tanya Ricky.
    " ... Mungkin, mirza ... dari kelas bahasa," jawab Dodi.
    Cika dan Amelia saling menatap satu sama lain, pikiran mereka satu arah. Sementara itu, Bu Milan yang seharusnya mengetahui dengan jelas siapa siswa bernama Mirza itu, hanya merunduk ke bawah, tanpa berkomentar apapun.
   "Dimana dan kapan terakhir kali kau melihatnya?" Lanjut tanya Ricky.
    "Di depan gedung sekolah... mungkin sekitar satu jam yang lalu," jawab Dodi.
    Ketika mereka sedang dalam proses interogasi, tiba-tiba saja ponsel Cika berdering. Seperti ada pesan yang baru saja masuk. Dengan segera, dia membuka ponselnya dan melihat isi pesan serta nama pengirimnya. Saat melihat kontaknya, diketahui pengirimnya adalah Rafa. Isi pesannya kurang lebih menanyakan keadaan Cika.
    "Siapa?" Tanya Amelia penasaran.
    "Rafa ... siswa dari kelas kita," jawab Cika, tanpa sadar tersenyum sendiri sebelum menjawab pertanyaan Amelia.
   "Rafa?" Amelia tampak tidak mengingatnya.
    "Dia siswa yang kurang menonjol di kelas. Tapi ketika sedang serius, dia bisa jadi sosok yang bisa menyelesaikan masalah," kata Cika, terlihat bangga mendeskripsikannya, tanpa sadar mengucapkan nama orang itu sebelumnya.
    "Memang ada orang seperti itu di kelas kita ya?" Amelia bertanya-tanya, tidak yakin.
    "Yah... dia sendiri memang kurang suka bersosialisasi," kata Cika, sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
    Ditengah pembicaraan kecil mereka, pesan masuk dari Rafa kembali terdengar. Saat Cika melihatnya, dia tampak begitu senang seolah ingin mengatakan bahwa 'itu adalah dirinya yang biasa'.
    "Dia sudah memperkirakannya. Bahkan sudah sampai penyelesaiannya," gumam Cika.
    "Apa maksudmu?" Tanya Amelia, sempat mendengar gumamnya.
    Alih-alih menjawab pertanyaan Amelia, Cika yang telah mendapatkan jawaban atas pencarian Ricky ... hendak mencari keberadaan perwakilan siswa bermasalah yang terakhir segera terjawab.
    "Anu! Sepertinya temanku sudah tahu dimana siswa yang kalian cari itu berada," kata Cika, melambaikan ponselnya.
    "Ha? Secepat itu? Bagaimana mungkin."
    Orang yang pertama kali bereaksi atas berita tersebut adalah Dodi... merasa tidak yakin dengan informasi yang didapat Cika. Sementara itu, Ricky yang merasa harus mendengarkannya kemudian memberikan kesempatan kepada Cika untuk berbicara.
    "Dimana?" Tanya Ricky, begitu mendekati Cika.
    "Seharusnya saat ini posisinya ada di atas gedung panorama... area utama bagian tengah," kata Cika.
    Saat tempat itu disebutkan, Bu Milan spontan mendongak, melihat bukit kecil yang seharusnya menjadi jalan menuju ke area utama bagian tengah. Seolah merasa diintai dari atas kejauhan, mereka sama-sama menoleh meski hanya sekilas.
    "Temanku juga mengatakan kalau anak otomotif yang berada didalam gedung sedang proses dikumpulkan," kata Cika, menyampaikan informasi yang tersisa.
    "Kalau memang begitu, seharusnya kekacauan didalam GSU sudah mereda. Jadi seperti itu... mereka berniat ingin menghentikan semuanya sekarang," kata Ricky, dengan mudah menyimpulkan asumsi berdasarkan fakta atas informasi yang diberikan.
    "Sepertinya merekalah yang sedang menunggu ditangkap," lanjut Ricky.
                                                      ***
—Rafa
    Satu jam sebelum kejadian di sekitar gedung olahraga....
    Setelah berhasil keluar dari gedung sekolah utama yang kacau, aku menuju ke tempat dimana mereka berkumpul. Sebelumnya, pesan yang dikirimkan Jaka... dia berkata akan bersiaga di luar, mengamati kekacauan sekitar halaman depan GSU, bersama teman kelasnya. Tujuanku bukanlah berinteraksi dengan mereka, melainkan hanya akan mengamati dari kejauhan. Meski pesan yang dikirimkan Jaka seolah mengajakku berpartisipasi juga, aku sama sekali tidak berniat melibatkan diri, berkumpul bersama kelompoknya.
    Yah... menurutku beberapa orang yang mengikutinya pasti sudah lebih dari cukup menangani keributan di sana. Seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, asalkan dia tidak mencoba bergerak sendirian. Tapi jika dipikir-pikir, aku merasa itu tidak akan terjadi ... karena sejak awal, Jaka adalah tipe orang yang selalu mengandalkan orang-orang terdekatnya, apalagi setelah memberinya saran untuk membuat 'kelompok besar', dia pasti bisa mengendalikannya.
    Menuju ke belakang, keributan juga terjadi di sana. Kali ini lebih banyak anak tahun kedua. Disisi lain sempat kulihat, beberapa anggota OSIS kelihatannya sudah mulai bergerak, berusaha menanggulangi permasalahan yang timbul dari berbagai kekacauan ... baik dengan cara keras, maupun dengan cara musyawarah. Tapi tetap saja anak otomotif telah mendominasi sebagian besar tempat. Aku tidak tahu apakah mereka memang sebanyak itu... karena aku sendiri tak pernah tahu informasi tentang kelas otomotif sebelum mereka melakukan kudeta.
    "Tolonglah! Hentikan aksi kalian...!"
    Suara nyaring terdengar dari arah tak jauh-ku berdiri saat ini. Agak tidak asing dengan intonasi suaranya, aku memutuskan berjalan beberapa langkah mencari sumber suara karena penasaran. Dan kutemukan dibalik keramaian pojok gedung... kalau tidak salah itu adalah Mbak Tia, siswi tahun kedua yang pernah berinteraksi denganku di hari pertama ... tepatnya, kami bertemu di area tahun kedua saat melakukan olahraga pagi. Meski waktu itu kami sempat berbicara cukup banyak, aku ragu dia masih mengingatku.
    "Hei! Kau yang di situ, bisakah kesini sebentar."
    Sungguh panggilan yang tak terduga... Mbak Tia memanggilku disaat kondisinya tampak tidak diuntungkan. Ini kelalaianku. Mengapa aku tidak menyadari? ... Tak ada seorangpun di sekitarku yang biasanya ku anggap sebagai perisai di sini. Kupikir dia tidak akan menyadari keberadaanku dari jarak ini... tapi siapa sangka, matanya begitu jeli melihat sekitar.
    "Apa Mbak memanggilku?" Tanyaku, tak punya pilihan lain, mendekati mereka.
    "Ha? Siapa orang cupu yang kau panggil ini?" Kata salah satu anak otomotif dengan kasar, menunjukkan tatapan mengintimidasi ke arahku.
    Yah... seharusnya aku tidak penasaran tadi. Aku harus belajar dari kelalaian ini.
    "Kebetulan sekali. Dia adalah junior yang ku andalan...."
    Tentu saja apa yang dikatakan olehnya itu hanyalah kebohongan belaka. Mana mungkin orang yang hanya pernah bertemu sekali dengannya, akan menyebut seperti itu.
    "Kau bisa menanyakan apapun kepadanya yang berhubungan dengan anak laki-laki," sambung kata Mbak Tia.
    Karena baru tiba di sini, aku tidak mengerti konteks yang mereka bicarakan. Tapi dari kalimat Mbak Tia barusan, sepertinya ini menyangkut sesuatu yang tak bisa dijawab oleh anak perempuan. Atau kukira semacam itu.
    "Sebagai OSIS kau cukup kejam ... membuatku terlibat kedalam masalahmu," sindirku, menghela nafas.
    Seolah mencoba merespon sindiranku, Kakel Tia sepertinya memberi isyarat mata... 'memelas'. Meski itu seharusnya tidak tampak jelas dari luar, bagi orang yang terbiasa berpikir dalam sepertiku, isyaratnya masih bisa kupahami.
    "Benar apa yang dikatakannya," salah satu anak otomotif justru mendukung protesku.
    "Lebih baik kau pergi saja. Kami akan membiarkanmu," kata temannya, seolah berniat mengusirku secara halus.
    "...."
    "Kau tidak ingin terlibatkan? Jadi untuk apa kau masih di sini?" Salah satu dari mereka meyakinkan.
    "Karena sepertinya Mbak OSIS ini membuatku repot-repot kesini, jadi kupikir sebaiknya ada sesuatu yang bisa kulakukan untuknya," kataku, mencari-cari alasan.
    "Apa-apaan sikap itu! Murid sok teladan!" Bentak salah satu dari mereka, geram.
    "Sudah kuduga kalian memang orang-orang yang berisik. Terus terang aku tidak menyukai situasi ini," kataku.
    "Ngomong-ngomong terkait isi pembicaraan kalian dengan Mbak OSIS itu, memangnya apa yang kalian tanyakan?" Lanjut tanyaku, berpura-pura penasaran.
    "Tch, mana mungkin kami memberitahumu. Bodoh!"
    Setelah berkata kasar, keempat anak otomotif itu meninggalkan tempat ... sudah tidak berminat denganku sejak aku mengomentari sikap mereka. Ketika melewatiku, salah satu dari mereka sengaja menyenggol punggungku dengan kuat, namun aku membiarkannya.
    "Kalau begitu permisi," kataku, berniat langsung pergi setelah merasa selesai dengan tugasku di sini.
    "Tunggu sebentar, kalau tidak salah namamu Rafa kan," kata Mbak Tia, tersenyum begitu mengingatnya. 
    "Kupikir Mbak tidak akan mengingat nama salah satu siswa membosankan sepertiku," kataku.
    "Ayolah, jangan merendah begitu. Aku ini punya ingatan yang bagus kalau mengingat nama seseorang," kata Mbak Tia, dengan gayanya yang berlebihan.
    "Itu bagus," kataku singkat.
    "Reaksimu datar sekali," Mbak Tia mengela nafas, memaklumi.
    "Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan di kelasmu?" Tanya Mbak Tia, seolah penasaran akan 'perihal' itu.
    "Seperti yang terlihat sekarang. Semuanya diperparah oleh anak otomotif yang mendadak masuk kedalam kelas," jawabku, mengingat beberapa saat yang lalu, ketika masih berada didalam kelas.
    "Begitu ya. Diantara kelas sebelas dan dua belas hampir tidak ada yang seperti itu ... tapi siapa sangka itu justru malah muncul dari kalangan anak kelas sepuluh," kata Mbak Tia, setengah menggumamkannya.
    "Mungkin memang itu yang diharapkan oleh 'pelaku'. Agar dapat memulai kekacauan dengan leluasa, membuat pergerakan diluar tingkatan kelas akan menjadi pilihan teraman," kataku, mencoba berasumsi.
    "Maksudmu ada kemungkinan kalau yang mendeklarasikan aksi ini, merupakan perencanaan murid kelas sebelas atau dua belas?"
    "Seharusnya begitu. Anak tahun pertama digunakan tidak lebih hanya sekedar pion. Setelah tujuan 'pelaku' tercapai, otomatis pion yang sudah di korbankan maupun yang belum, bisa merasakan hasil yang sama-sama diuntungkan. Secara logika, bukankah itu bisa jadi salah satu bentuk perjanjian yang mungkin mereka sepakati?"
    "Kau benar, mereka mungkin telah membuat kerjasama yang seperti itu. Dari apa yang kudengar, sepertinya mereka berniat menjatuhkan harga diri sekolah ini."
    "Kalau masalah itu seharusnya Mbak yang lebih tahu kan ... sekolah sebesar ini tidak mungkin bisa dijatuhkan dengan mudah. Bahkan bila di masa lalu sekolah ini pernah mengalami insiden serupa yang lebih mengenaskan, aku tidak yakin pihak sekolah akan membuat kesalahan dari celah yang sama. Memperhitungkan tingkat keberhasilan, mereka tidak akan bisa menyentuh angka lima puluh persen. Dengan kata lain, semua bentuk kekacauan ini adalah tindakan yang sia-sia. Tidak ada keuntungan yang bisa mereka capai ... malahan, mereka yang ikut telibat justru akan terseret mendapat hukuman. Yah, beda cerita kalau mereka 'menggunakan sesuatu yang dapat mengancam otoritas sekolah'," kataku, menganggap kemungkinan terakhir adalah kemungkinan yang paling tidak mungkin.
    "Itu dia! Mungkin saja itu yang menjadi tujuan utama pelaku!" Entah mengapa tiba-tiba, Mbak Tia menujukkan antusiasme yang membara, terhadap hipotesis barusan.
    "Mengancam otoritas sekolah?" Tanyaku, dengan intonasi remeh.
    "Ya, sesuatu yang seperti itu. Coba pikirkan, 'apa yang bisa dilakukan pelaku dengan membentuk kekacauan ini', " kali ini, Mbak Tia tampak serius dengan perkataannya, seolah berniat memancingku agar memikirkannya.
    "Kupikir agak berlebihan kalau semisal memikirkan kasus seperti pembunuhan murid terhadap guru akan terjadi di sekolah ini. Tapi mungkin ada sesuatu lain yang bisa menyamakan tingkatannya, dengan pergerakan yang tidak terlalu mencolok, " kataku.
    "Manipulasi? Tapi... bukankah itu memerlukan orang dalam," kata Mbak Tia, seolah telah memikirkan berbagai kemungkinan.
    "Apapun itu kita akan tahu setelah pelaku utama berhasil ditangkap. Untuk saat ini semua hal tadi hanyalah sebatas asumsi. Terlepas dari logis tidaknya itu," kataku.
    "Kau benar, tidak baik juga membuat hipotesis yang terlalu liar. Tapi sepertinya identitas pelaku utama masih belum diketahui. Bagaimana cara menangkapnya?" Kata Mbak Tia, dalam kalimat terakhir tidak bermaksud menanyakannya kepadaku, melainkan lebih seperti bicara sendiri.
    "'Menundukkan salah satu bawahan setianya dan memaksanya untuk berbicara'. Aku sudah memiliki target dan infomasi yang cukup untuk mengeksekusi orang itu," kataku, seolah menjawab pertanyaannya, namun sebenarnya hanya ikut menyambung.
    Yah, orang yang ku maksud tidak lain adalah Mirza. Menurut sepotong informasi yang kudapat dari Cika, memperkirakan jarak waktu, seharusnya saat ini Mirza baru saja meninggalkan gedung olahraga, setelah menyekap dua siswi kelas kami. Tidak menutup kemungkinan bahwa dia masih berada di area utama bagian utara.
    "Aku masih memiliki sesuatu yang harus kukerjakan. Apa yang akan Mbak lakukan?" Tanyaku, saat memutuskan hendak pergi.
    Sebelum menjawab pertanyaanku, Mbak Tia tersnyum ke arahku. Seolah-olah tatapan itu diberikan untuk menyanjung siswa. Secara pribadi mungkin memang terkesan seperti memberikan motivasi ... tapi sepertinya tidak baik jika mengharap lebih dari itu. Selain tampak seperti 'menyanjung', tatapan itu sekilas memberikan arti seolah sedang 'memperhatikan'. Aku bertanya-tanya apakah dia memang tertarik dengan hal seperti itu juga? ... Sifatnya yang seperti ini... mengingatkanku kepada Sherly.
    "Aku masih harus membantu OSIS di sini, sebaiknya kau berhati-hatilah," kata Mbak Tia.
    "Aku mengerti. Terimakasih," ucapku.
    "Hn? Kenapa kau berterimakasih?"
    "Tidak apa-apa ... hanya ingin mengatakannya saja," kataku.
    Mungkin sebaiknya memang tidak perlu ku ungkapkan secara jelas, karena bagian itu seharusnya cukup sulit dijelaskan. Hanya bisa berkenalan dengan kakak kelas, senior seperti Mbak Tia saja sudah membuatku cukup bersyukur. Di dalam dunia ini, kebanyakan orang bersikap baik agar diperhatikan atau dikenang oleh orang lain. Terkadang mereka lupa bahwa ekstensi orang baik yang sebenarnya itu adalah memiliki ketulusan hati tanpa dusta. Bahkan jika ada, itu tidak lebih dari dua puluh persen ... karena pada dasarnya, manusia tidak bisa hidup tanpa kebohongan. Meskipun ini hanyalah sekedar penilaian abstrak yang ku berikan kepada Mbak Tia, itu bisa menjadi pertimbangan apakah di masa depan dia masih menjaga kemurnian dirinya atau mungkin telah berubah menjadi keruh.
    "Oh benar juga," kataku, terhenti sebelum kami berpisah.
    "Ada apa?" Tanya Kakel Tia yang masih belum jauh.
    "Anak kelas sepuluh IPS, mereka mungkin akan terlibat masalah dengan anak otomotif di halaman belakang sekolah. Kalau Mbak ada waktu bisakah mengecek situasi mereka?" Ujarku.
    "Wah, sudah punya teman dari kelas lain rupanya," celetuk Mbak Tia, tampak tersanjung, seraya menepuk pelan kedua tangannya.
    "Hanya kebetulan, jangan di lebih-lebihkan," kataku, menangkal perkataan selanjutnya yang berpotensi diucapkannya.
    "Orangnya seperti apa? Namanya?"
    "Dia agak sedikit tinggi dariku. Mbak bisa mengetahuinya sendiri setelah bertemu orangnya langsung. Dari warna jas dan sebagainya, seharusnya Mbak sendiri bisa membedakannya kan. Bagaimanapun juga Mbak yang lebih mengerti berbagai hal di sekolah ini. Namanya Jaka, dia ekstrovert yang selalu dikelilingi teman sekelasnya," kataku, tidak ingin menjelaskan panjang lebar. 
    "Oke, aku akan mengingatnya," katanya, terdengar cukup bisa diandalkan.
    Sepertinya tidak ada hal yang harus dikhawatirkan di sini. Aku bisa lebih menghemat waktu dan tenaga.
    Setelah kami berpisah, aku langsung menuju ke tempat tujuan. Sebelumnya aku berpikir ingin melihat situasi Jaka dan teman sekelasnya dari kejauhan lebih dulu, sembari menunggu pergerakan mereka. Tapi setelah bertemu dengan Mbak Tia, sekarang aku berubah pikiran ingin menyelesaikan drama panjang ini secepat mungkin, melihat hasil akhir, serta makna dari kekacauan ini.
    'Putaran jam waktu yang kurasakan masih juga terasa lambat' ... belum bisa bergerak normal sejak dimulainya langkah awal 'kekacauan'. Masalah yang sekarang harusnya jadi puncak dari sederet peristiwa yang terjadi. Sejujurnya aku tidak peduli dengan kerusuhan, maupun situasi yang terjadi sampai saat ini. Karena semua yang kulakukan hanyalah upaya untuk mendapatkan hak ketenanganku kembali. Sebagai seorang siswa... tidak. Mungkin sebagai individu yang menyukai kesendirian, aku akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan hasil yang kuinginkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1101      633     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...