Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

    Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Mereka membutuhkan orang lain untuk hidup dan saling melengkapi. Meskipun ada beberapa yang berpikir bahwa itu tidak dibutuhkan, pada akhirnya mereka akan dipaksa tertuju pada opsi tersebut.
    Jika konteksnya menyangkut orang biasa, pada umumnya, mereka pasti akan melakukannya dengan cara yang wajar. Tapi, bagaimanapun juga sifat dan ciri khas manusia itu berbeda-beda. ada beberapa orang yang tak bisa melakukannya secara alami karena masalah kecenderungan (mindset), dan ada juga yang tak dapat melakukan karena kepribadian, di antaranya seperti orang-orang dengan kepribadian 'tertutup'. Jika ada sesuatu yang mengharuskan dirinya melibatkan orang lain, secara dinamis, mereka akan lebih cenderung melakukan segala hal agar dapat mempertahankan tujuannya dari awal hingga akhir. Walaupun terkesan lancang sekalipun, mereka pasti akan berpikir bahwa hanya itu saja 'satu-satunya cara' yang bisa digunakannya. Setidaknya, sampai dirinya mendapatkan opsi lain yang lebih baik untuk menggantinya.
                                                   ***
    "Inilah yang memang seharusnya terjadi," gumamku ketika melihat kerumunan di barisan anak perempuan.
    Terlihat di sana, seperti yang kemarin terjadi setelah jam Bu Alina berakhir, lingkungan di sekitar Cika di penuhi oleh para siswi yang sepertinya berusaha mengakrabkan diri dengannya. Adapun beberapa teman di sebelahnya yang cukup dekat dengannya, juga ikut dalam obrolan antusias mereka.
    Ketika sedang memperhatikan kerumunan itu, sekilas mataku tak sengaja tertuju pada Amelia yang juga memandangi hal yang sama dari jarak tempat duduknya. Melihat ekpresinya, sepertinya dia sedang gelisah, seolah sudah tak punya kepercayaan diri untuk membangun kelas.
    Yah... kupikir itu wajar. Setelah melalui semua yang terjadi selama ini di kelas, sikapnya telah berubah drastis, lebih banyak diam. Berbeda dari dirinya waktu itu yang masih memiliki antusias membara, sekarang dia terlihat seperti 'kosong', atau lebih tepatnya tidak memiliki motivasi untuk memimpin kelas lagi. Mungkin baginya sekarang, tidak ada lagi yang perlu dia lakukan untuk kelas, jika pada akhirnya kelas sendiri yang akan mengkhianati harapannya.
    Meskipun beberapa siswi yang saat ini menjabat sebagai posisi penting di kelas beberapa kali berusaha menghibur, membantunya agar bangkit ... dia hampir selalu merespon dengan kata 'aku baik-baik saja', lantas menujukkan senyuman kebohongan. Jika kondisinya dibiarkan, dia mungkin akan menderita depresi yang sangat luarbiasa dikala sendirian. Fakta bahwa dia telah kalah berdebat dengan Mirza sebelumnya, pasti sudah sangat menjatuhkan mentalnya hingga ke ujung terdalam. Ditambah lagi ternyata... ada masalah pribadi antara Mirza dengan Bu Milan. Meskipun dalam setiap masalah, dirinya mendapatkan dukungan dari banyak murid di kelas, gangguan dari Mirza selalu membuatnya terpancing, membuatnya naik darah. Kondisi itu sepertinya juga berlaku untuk siswi yang duduk di sebelahnya... meskipun kondisinya tidak selabil Amelia.
    Saat wakil kelas Sifa seperti menanyakan kondisi Amelia, entah apakah ini hanya kebetulan, dia melihatku saat pandanganku mengarah ke mereka. Karena sepertinya dia tidak terlalu suka dilihat, memperhatikan kondisi mereka yang sedang buruk, aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lain. Dan di situlah dengan reflek aku melihat kelompok 'mereka' yang tidak ada Mirza didalamnya.
    Kemudian, disaat yang hampir sama Mirza terlihat sudah ada di depan pintu kelas. Dia tidak kunjung melangkah masuk kedalam kelas, karena sepertinya sedang disibukkan dengan obrolan kasar dari beberapa kakak kelas berjas hitam. Dari penampilannya, sepertinya para kakak kelas itu berasal dari jurusan otomotif. Lantas, Mirza akhirnya melangkah masuk kedalam kelas setelah obrolannya selesai, seperti biasa terlihat sangat arogan, melirik-lirik barisan anak perempuan yang tatapan mereka menyiratkan kebencian kepada laki-laki itu.
    Dengan sengaja dia berjalan santai di antara mereka yang sejalur dengan tempat duduk Amelia, kemudian meliriknya, seolah menyatakan kemenangannya. Mirza sempat terhenti di sana beberapa detik sebelum Sifa mengusirnya. Sesampainya di tempat duduk sendiri, kelompok 'mereka' menyambutnya dengan gurauan ala-ala kasar. Sembari mengobrol santai, kelompok 'mereka' jadi lebih berisik usai ketua mereka ikut bergabung.
                                                   ***
    Jam istirahat pertama aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin. Sebelum kelompok 'mereka' meninggalkan kelas, aku tidak akan berdiri dari tempat dudukku. Dari apa yang kudengar ketika jam pelajaran berlangsung, mereka sepertinya akan membicarakan suatu hal disaat kondisi kelas telah sepi. Seperti saat ini, hanya ada 8 murid yang menetap di kelas, termasuk kelompoknya Mirza.
    "Bagaimana persiapannya?" Tanya Arga, salah seorang dari kelompok 'mereka'.
    "Sebelum itu aku ingin memastikan sesuatu... kalian akan mengikutiku sampai akhir kan?" Tanya Mirza, menujukkan seringai licik ketika bertanya pada mereka.
    Sebelum menjawab, Arga dan Nafi sempat saling memandang. Kemudian, Nafi yang awalnya terlihat agak ragu-ragu segera membuat keputusan.
    "Aku akan mengikuti sampai akhir. Kau pasti akan menjamin keamanan kami, kan?" Tanya Nafi.
    "Tentu saja. Itu juga tergantung dari seberapa bergunanya kalian di 'aliansi kebebasan'."
    Sebuah nama yang tidak asing kudengar... yah, tidak salah lagi itulah yang pernah mereka singgung waktu itu. Dari penamaan yang mereka gunakan, kedengarannya seperti sebuah organisasi yang sengaja dibentuk oleh sekelompok murid sendiri.
    Ketika hendak mendengar percakapan mereka lebih jauh lagi, Mirza kelihatannya mulai memastikan kondisi kelas, sempat melirik ke arahku juga... namun, beruntungnya tatapan kami tidak jadi bertemu. Entah sekarang dia menjadi mencurigaiku atau tidak, untuk sementara waktu sepertinya aku tidak bisa memperhatikan pembicaraan mereka.
    Beberapa menit kemudian, Mirza dan kelompoknya sepertinya hendak meninggalkan kelas.
    Menunggu sampai mereka berjalan keluar dari kelas, aku segera mengikutinya diam-diam dari belakang. Agar tidak dicurigai, aku berusaha untuk tidak terlalu sering melihat mereka berjalan. Sebaliknya, aku lebih memfokuskan pandanganku ke hal-hal lain yang ada di sekitar sambil berjalan di antara kerumunan orang di lorong. Karena ketika jam istrahat di luar kelas menjadi sangat ramai, ini bisa menjadi merepotkan jika ditengah jalan sampai kehilangan jejak mereka.
    Memperhatikan mereka dari jarak yang agak sedikit kejauhan, sepertinya Mirza dan kelompoknya berjalan hendak menuju ke lantai dua. Lalu, mereka berbelok ke sisi timur. Sampai sejauh ini mengikuti, akhirnya aku menyadari kemana tujuan mereka pergi.
    "Sepertinya ini sudah cukup," pikirku.
    Alangkah baiknya untuk tetap waspada. Bisa jadi jika terus mengikuti mereka sampai ujung, ada sebuah resiko besar di sana.
    Ada kemungkinan mereka membuat jebakan yang diperuntukkan penguntit sepertiku di tempat tujuan. Yah... mungkin saja bagi seseorang yang naif, mengikuti mereka akan menjadi opsi pilihan tertinggi untuk dapat mengetahui secara jelas rahasia mereka ... karena itulah jebakan di TKP bisa menjadi efektif untuk seseorang yang berpikir akan berhasil dengan cara sederhana seperti membuntuti. Tanpa pikir panjang, tentu saja pilihanku adalah mundur terlebih dahulu.
                                                 ***
—Mirza
    Selama ini yang kulakukan hanyalah bentuk pengorbanan, setidaknya aku bisa mengatakan itu kepada diriku sendiri.
    Semua yang kulakukan pada akhirnya memang tidak berguna. Dari sudut manapun aku memainkan peran ini, semua orang hanya akan melihat sisi luarnya saja ... tidak peduli apakah yang kulakukan ini adalah bentuk tindakan benar atau hanya kesalahan, pilihanku hanya terus berjalan di 'jalur perang'.
    Dari dulu aku memang sudah terbiasa di benci orang lain. Karena itulah, sekarang aku bisa memanfaatkan kelemahanku menjadi kekuatan. Tentu saja itu adalah kekuatan paling buruk ... bagaimana tidak, selama menggunakannya, aku hanya akan dianggap sebagai tokoh antagonis.
    " ..."
    Sesampainya di depan pintu yang seharusnya menjadi tempat dari sumber 'kegelapan' itu, aku bisa merasakan suasana liar dari dalamnya. Itu sudah pasti karena didalamnya berisi para anak yang terkenal akan dunianya yang keras, tidak lain ini adalah kelas jurusan otomotif.
    "Oh, rupanya kau," kata salah seorang siswa, dengan intonasi yang sama sekali tidak menujukkan keramahan.
    "Bukankah rapatnya dilakukan hari ini?" Tanyaku, mengikuti gaya bicaranya.
    "Kau salah satunya ya... tunggu di sini, aku akan memberitahu Gesa lebih dulu," kata siswa itu, lantas berbalik pergi meninggalkanku di depan pintu kelas begitu saja.
    " ..."
    Setelah menunggu sejenak, siswa itu kembali.
    "Kau diterima. Masuklah," kata siswa itu, masih melihatku dengan sorot mata yang tidak ramah.
    Setelah mendapat izin masuk, aku dan kedua anak buahku melangkahkan kaki di kelas mereka. Tampak disekeliling, berbagai dekorasi yang menjadi ciri khas kelas mereka terpajang di sana. Bahkan, suasananya sendiri terasa lebih liar dan jauh lebih berisik dibandingkan kelas yang ku tempati sekarang. Mereka tampak seperti tidak mempedulikan CCTV yang juga terpasang di depan kelas.
    "Inikah kelas anak otomotif," gumam Nafi, spontan menelan ludah.
    "Mereka lebih bebas dari yang kukira," kata Arga, terlihat sok tenang.
    "Itu sudah pasti," kataku.
    Tak lama kemudian, sosok pemimpin kelas datang ke arah kami dengan tampang yang dilihat dari manapun akan terasa cukup mengintimidasi.
    "Kalian pasti anak kelas bahasa, kan. Seperti yang kuharapkan, kalian sangat cekatan," katanya.
    Didepanku, seorang pemimpin sekaligus pembentuk dari aliansi ini, dia adalah Gesa. Meskipun secara fisik dia bisa dikatakan hampir rata-rata sseperti siswa kelas-kelas lain yang bukan dari kelas ini, tidak diragunan bahwa dia memiliki sesuatu yang tersembunyi dari dirinya. Itu bisa dilihat langsung dari sorot matanya yang begitu tajam mengkilat.
    "Setelah kulihat secara langsung ternyata penampilanmu seperti ini ya," kataku, agak memprovokasi.
    "Apa maksudmu?" Tanya Gesa, memelototiku.
    "Kupikir seseorang yang membentuk aliansi ini adalah orang yang misterius atau setidaknya memiliki fisik yang kekar, itulah yang kupikirkan karena kau sepertinya hampir tidak pernah bergabung langsung dalam chat grub dan ikut membahas sesuatu seperti strategi 'membuat kekacauan'. Disisi lain, kau hanya memberikan informasi seolah-olah sengaja memancing kami," kataku.
    "Haha~ menarik, tidak kusangka kau memiliki dugaan seperti itu tentangku," kata Gesa, tertawa sok akrab.
    "Mari kesampingkan itu dulu. Sebenarnya aku masih ragu dengan chatmu di malam itu yang mengatakan 'waktunya telah tiba'. Hanya untuk memastikan... sebenarnya apa yang akan kita lakukan dalam waktu dekat ini?" Tanyaku, beralih ke topik serius.
    Itu benar. Inilah yang menjadi alasanku mengikuti perkumpulan ini... meskipun harus beradaptasi dengan sisi gelap mereka selama hampir sebulan.
    "Hm. Jangan begitu. Kau tidak boleh mendahului yang lain," kata Gesa, menujukkan seringai mencurigai.
    Ini agak ganjil ketika melihat sikapnya yang masih terkesan menutup-nutupi. Meskipun aliansi ini terdapat orang-orang yang menjadi pilihannya, dia terlihat sama sekali tidak menaruh kepercayaan seutuhnya kepada orang pilihannya sendiri. Ini seolah terkesan seperti... dia memiliki suatu rencana diatas rencana lain.
    "Begitu ya, kalau begitu mau bagaimana lagi. Cepat atau lambat semuanya pasti juga akan tahu, kan," kataku, setelah melihat beberapa kelompok dari kelas lain baru sampai.
    Mendengar perkataanku, Gesa hanya menatap dengan tatapan penuh percaya diri tanpa mengatakan sepatah katapun. Sepertinya, dia memang sengaja menyimpan kesenangannya sendiri di akhir nanti. Kurang lebih beginilah sosok dalang yang berinisiatif membuat kekacauan di sekolah futuristik. Dalam situasi ini, bisa dipastikan bahwa kami pasti akan terseret kedalam hukum yang ada di lingkungan sekolah ini bersama dengannya. Tapi... karena sudah sampai sejauh ini, semuanya akan percuma jika posisiku berakhir di sini. Karena itulah, aku akan berusaha berperan menjadi seseorang yang bisa setara dengannya... tapi... itu hanya pemikiran naifku beberapa saat yang lalu ... sebelum menyadari bahwa.... dia ternyata lebih licik ... dan juga lebih agresif dari yang kukira! 
                                                    ***
—Rafa
    Ketika hampir sampai di kelas, disaat yang sama lonceng yang menujukkan waktu istirahat selesai berbunyi. Sebelum setengah dari kelas terisi, aku segera duduk di tempatku. Sedikit terlambat, Fito sampai di kelas, lalu duduk disebelahku. Kemudian disusul dengan kelompok Amelia yang masuk ke kelas. Amelia sempat terlihat seperti melirik ke arah barisan kelompoknya Mirza, namun dia langsung mengerutkan kening karena tidak melihat mereka di sana. Mengingat mereka belum kembali dari lantai dua, seolah-seolah terkesan mereka cukup serius dengan rencana dibelakang layar.
    Jam pelajaran berlalu sangat cepat di hari senin ini. Meskipun pagi hari terasa begitu panjang, anehnya, di siang hari terasa seperti berlalu lebih cepat. Terlihat beberapa siswa cukup bersemangat karena akan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, disisi lain ada juga sekelompok murid yang lebih cenderung ingin segera pulang dan bersantai di asrama. Tadinya aku juga berpikir ingin pulang cepat, tapi sekarang ada beberapa hal yang harus kulakukan terlebih dahulu. Karena itulah sekarang ini aku bergegas menuju ke kelas IPS.
    "Kuharap dia bisa membantu," pikirku, sambil sesekali melihat isi pesan yang kulakukan dengan seseorang dari beberapa waktu lalu.
    "Hei!"
    Dari jarak yang cukup dekat, orang yang ku hubungi memanggilku. Seperti biasa, dia selalu bersama dengan kelompoknya yang memiliki banyak orang. Bagaimanapun juga, aku sendiri yang melihatnya bisa kehilangan kepercayaan diri. Identitas murid yang ingin ku temui ini adalah Jaka. Menurut apa yang disampaikan dalam obrolan kami lewat ponsel, sepertinya kelasnya juga memiliki permasalahan yang serupa.
    "Seperti biasa kau selalu datang dengan kelompok besar," kataku, memandangi mereka.
    "Apa mungkin kau tidak nyaman? Kalau begitu aku minta maaf," kata Jaka, terburu-buru meminta maaf.
    "Tidak... kurasa, justru lebih bagus jika sudah mengumpulkan lebih banyak orang," kataku.
    "Eh, begitu ya."
    Karena pembicaraan ini sepertinya akan menjadi panjang, salah seorang siswa dari kelompok Jaka menyarankan untuk melanjutkannya di dalam kelas mereka. Cukup melegakan karena kelas mereka lebih sepi karena sebagian besar dari anak kelas IPS segera meninggalkan kelas, tepat setelah jam terakhir selesai.
    Sebelumnya, tepatnya ketika jam pelajaran terakhir, aku sempat diam-diam menggunakan ponselku untuk mengirim pesan kepada Jaka. Kupikir aku telah memintanya bertemu seorang diri, tapi siapa sangka pada akhirnya dia juga membawa sirkelnya.
    "Langsung saja ke intinya. Apa di kelas ini juga ada murid bermasalah yang melakukan deklarasi?" Tanyaku.
    Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, seketika ekpresi Jaka dan beberapa temannya jadi menegang, kemudian mereka saling berbisik satu sama lain. Meskipun tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, aku bisa menebak jika hal yang baru saja ku singgung kemungkinan besar telah menjadi rahasia tersendiri bagi kelas mereka. Kupikir itu wajar jika mereka sampai seperti itu karena hal tersebut sangat mempengaruhi harga diri kelas, baik dari segi internal maupun eksternal.
    Setelah menunggu sampai obrolan rahasia mereka selesai, tak lama kemudian Jaka meninggikan intonasi suaranya.
    "Kupikir tidak apa-apa jika kita memberitahunya. Aku yakin Rafa bukanlah orang yang suka membeberkan rahasia seseorang," kata Jaka.
    "Walaupun kau bilang begitu...."
    "Aku mempercayainya. Sebagai temannya, aku menjamin rahasia kita akan aman. Percayalah!" Kata Jaka, terlihat bersungguh-sungguh.
    Sepertinya aku akan mendapatkan tanggungjawab besar dari mereka, itulah yang kurasakan. Memang benar jika aku tidak terlalu tertarik dengan cara mereka menjadikan itu sebagai sesuatu yang rahasia, tapi, jika dalam kondisi lain aku mungkin hanya punya informasi ini sebagai senjata ... setidaknya untuk saat ini.
    "Jika kau sampai segitunya, mau bagaimana lagi," kata salah satu temannya mengalah.
    "Rafa, sebelum itu bisakah aku bertanya? ... Kenapa kau ingin mengetahuinya? Selain itu, kau mengatakannya 'juga'. Apa mungkin di kelasmu ada yang seperti itu?"
    Mendengar pertanyaannya, aku segera mengangguk... "ya!"
    Kupikir tidak ada gunanya menyembunyikan ekstensi siswa bermasalah di kelas seperti yang baru saja mereka lakukan. Sebaliknya, aku mungkin akan mendapatkan kepercayaan lebih dari mereka jika memberitahu informasi yang bersangkutan ... ini pertukaran yang sempurna.
    "Begitu ya. Apa ada kemungkinan mereka bekerjasama?" Ujar Jaka, sedikit memiringkan kepalanya dan tampak mulai berpikir serius.
    Karena tak dapat segera menemukan jawaban yang ia cari, Jaka mengalihkan pandangannya ke arahku seolah meminta pendapatku.
    "Mungkin saja," kataku.
    Beberapa teman Jaka sepertinya tidak puas mendengar pendapatku. Dengan cepat mereka mengalihkan pandangannya kembali ke arah Jaka.
    "Huh... seandainya di antara kita ada yang tahu kejadian-kejadian masa lalu di sekolah ini mungkin bisa mendapatkan lebih banyak petunjuk," kata Jaka, mengeluh menghela nafas, lantas merendahkan kepalanya.
    Memang benar ... jika memilih opsi tercepat, itu adalah satu-satunya cara untuk memulai penyelidikan dari penyebab 'masalah murid yang membuat kekacauan tiap kelas ini'.
    "Menanyakannya pada guru juga tidak mungkin. Ini sangat rumit," kata teman Jaka, ikut mengeluh.
    Sepertinya memang tidak ada informasi lain yang bisa ku gali dari mereka. Tadinya aku berpikir ingin langsung pergi setelah mendengar beberapa hal. Tapi, melihat kondisi saat ini, sepertinya ada sesuatu yang bisa ku manfaatkan.
    "Kita ini sedang membicarakan musuh yang tidak terlihatkan?" Ujarku.
    "Apa maksudmu dengan 'musuh' itu? Kita hanya sedang membicarakan mereka yang membuat kekacauan, kan? Kita juga tidak akan terlibat...."
    Ketika salah satu dari mereka mulai bereaksi cukup pasif seolah tidak menyukai sesuatu yang kukatakan, Jaka dengan lembut menyentuh pundaknya seolah mencoba menenangkan. Mungkin dari sudut pandang mereka 'apa yang kukatakan terdengar aneh', tapi jika itu Jaka, aku merasa dia mungkin bisa memahami maksud perkataanku.
    "Lebih baik bertindak daripada hanya diam, kan," kata Jaka, terlihat cukup percaya diri dengan perkataannya.
    Mungkin dia baru mengatakan dasarnya saja, jadi aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
    "Apa sebaiknya kita melihat situasinya mulai saat ini juga?" Lanjut tanya Jaka.
    "Kupikir itu tidak perlu. Jika hanya melihat situasinya, ini sudah terlambat," kataku.
    "Lalu, bagaimana...?"
    "Kenapa tidak mulai dengan membentuk sebuah kelompok saja," kataku.
    Hanya sebuah saran. Aku berharap Jaka tidak terlalu mengharapkan itu dariku. Tapi sekarang ... sepertinya aku berubah pikiran karena tidak ada kemajuan dari 'rencana' ini. Jika itu yang terjadi, maka semua yang mereka lakukan hanya akan berakhir dengan membuang-buang waktu.
    "Kelompok apa yang kau bicarakan?" Tanya salah satu teman Jaka.
    "Jika kau bertanya pendapatku, aku hanya punya gambaran seperti 'kelompok besar yang terdiri dari kelas-kelas lain'," kataku.
    " ... Maksudmu seperti membentuk aliansi yang terdiri dari murid per-kelas?"
    Orang yang menanggapinya adalah Jaka. Sesuai dugaanku, dia pasti mengerti maksudku.
    "Mungkin seperti itu."
    Sementara Jaka menanggapi, teman-temannya hanya memasang ekpresi bingung seolah berkata 'untuk apa membentuk kelompok sampai seperti itu? dan apa tujuannya?'
    "Tapi itu tidak semudah yang kau pikirkan," kata salah satu teman Jaka.
    "Aku juga tidak yakin kelas-kelas lain akan mau ikut terlibat," kata teman di sampingnya.
    "Lagipula, di antara kita juga tidak ada yang punya kenalan orang dalam di kelas-kelas lain, kan," kata temannya yang lain.
    Setelah mengusulkan keberatan, tatapan mereka kini tertuju ke arahku. Bahkan, Jaka sendiri juga sepertinya terlihat kesulitan memikirkan cara membentuk kelompok besar. 
    "Kalau hanya mengambil sebagian kecil orang dari kelasku, kurasa aku bisa sedikit membantu," kataku.
    "Kurasa itu patut dicoba. Aku juga punya beberapa kenalan dari kelas lain," kata salah satu teman Jaka yang daritadi hanya diam.
    "Kenapa kau tidak bilang daritadi!" Teriak temannya, menimpali.
    Jika mereka sudah bisa mengikuti alur ini, maka sudah saatnya memainkan peran di tempat lain. Bagaimanapun juga yang mengusulkan ide 'membentuk kelompok besar' tidak lain adalah aku. Meskipun awalnya aku ingin Jaka yang mengambil peran besar dalam konferensi ini, tapi sepertinya dia memang sengaja ingin membuatku menjadi pusat perhatian mereka dalam mengambil keputusan.
                                                  ***
    Setelah kurang dari tiga puluh menit berada di kelas IPS, aku langsung menuju ke tempat berikutnya. Jaka dan teman-temannya telah memutuskan pulang terlebih dahulu dan mengatur rencana mereka sendiri. Sementara itu, sebelum matahari tenggelam aku telah memutuskan untuk menemuinya di tempat yang sama seperti kemarin. Karena itu, untuk mengajaknya bertemu, aku mengirimkan sebuah pesan kepadanya, dan beruntungnya hampir setiap saat kontaknya memiliki status 'online', sehingga memudahkanku menghubunginya.
    "Syukurlah dia masih berada di sekitar sekolah," pikirku, melihat balasan chatnya yang memiliki emote menggelikan di akhir. 
    Setelah memasukkan kembali ponselku kedalam saku, aku mempercepat jalanku menuju pintu utama dari gedung sekolah. Lalu, sesampainya diluar aku sedikit memutari halaman di sekitar gedung sekolah.
    "...."
    Terlihat di salah satu tempat duduk di bawah payung, seorang perempuan sedang memejamkan mata dengan senyumannya yang seolah tampak tidak pernah turun di situasi apapun. Menunggu seseorang datang bagaikan seorang ibu menunggu anaknya kembali, instingku terus berkata agar tetap pada keyakinan diri sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh sosoknya yang unik itu.
    "Kau baru datang, kan?" Tanyaku yang langsung duduk di kursi berlawanan dengannya.
    " ... Coba tebak," jawabnya dalam hening.
    Inilah dirinya yang biasa. Bisa dikatakan sebagai salah satu hobi, perempuan ini sangat suka memainkan hukum logika untuk mempermainkan lawan bicaranya.
    "Sekarang ini aku tidak punya waktu untuk meladeni candaanmu, Sherly. Bisakah kau serius mendengarkanku," kataku.
    Meskipun berinteraksi dengannya itu sangat merepotkan, aku masih membutuhkan kemampuan analisanya untuk mendapatkan poin keberhasilan yang lebih tinggi dalam rencana 'penyatuan' ini.
    "Itu tergantung dari topik yang akan kita bicarakan," kata Sherly, menyenderkan pipinya di atas tangan, sementara matanya tertuju ke arahku.
    "Kau mungkin sudah tahu banyak, jadi langsung saja ke intinya ... sebelumnya, kau berkata hanya ingin menjadi penonton dalam kasus ini, kan. Apa sekarang kau masih belum berubah pikiran?" Tanyaku.
    Sebelum dirinya membuka mulut, seringai kecil yang tampak seolah telah memberiku jawaban.
    "Tentu saja tidak. Untuk apa terlalu serius memikirkannya. Apa sekarang... kau bermaksud ingin melibatkanku juga?"
    "Mana ada ... justru aku bersyukur kau tidak berubah pikiran. Melibatkanmu? Andai memang semudah itu, aku tidak akan memintamu bertemu denganku seperti sekarang," kataku.
    Mendengar pernyataanku, untuk sesaat itu membuat Sherly menurunkan alisnya, heran.
    "Jadi, sebenarnya apa tujuanmu?" 
    " ... Hanya memberimu sedikit informasi," kataku.
    Ketika aku mengatakannya, ekpresinya masih tetap sama, seolah-olah merasa tidak terlalu tertarik mendengar 'informasi' yang ku sebutkan.
    "Misal kau melihat atau mendengar ada seorang murid yang lebih jenius darimu di sekolah ini, bagaimana pendapatmu?"
    " ... Bukankah itu wajar. Sekolah ini bahkan memiliki standar yang tinggi untuk bisa dimasuki. Tidak heran kan jika pasti ada murid yang lebih jenius dariku di sini," kata Sherly.
    "Apa kau tidak memiliki rasa kompetitif sama sekali?" Lanjut tanyaku.
    "Kompetitif, ya... tentu saja aku punya. Memangnya kenapa?"
    "Sayang sekali. Sepertinya murid jenius yang kumaksud ini memiliki sesuatu yang tidak kau miliki sebagai individu. Meskipun kau berkata punya rasa kompetitif sekalipun, aku hanya bisa melihat sosokmu yang hanya menunggu layaknya 'keberadaan terakhir' yang dimana dalam skenario itu murid harus berjuang agar bisa setara menghadapi kejeniusanmu," kataku.
    " ... Memangnya apa yang tidak kumiliki?"
    "Tekad untuk berjuang bersama ... itulah yang tidak kau miliki sekarang ini," jawabku.
    Wajar jika kebanyakan orang jenius seperti dia memiliki pemikiran untuk berjuang sendiri, menyelesaikan masalah sendiri, bahkan melakukan semuanya sendiri tanpa meminta bantuan dari orang lain. Tapi tidak dengan 'perempuan itu' ... karena setiap kali melihatnya di kelas, entah mengapa rasanya seperti melihat seekor kancil yang berada di antara kerumunan rusa. Meskipun kejeniusannya memiliki kesenjangan di antara rata-rata orang, tanpa perlu memainkan sebuah 'peran', dia secara alami mampu beradaptasi dengan 'kawanan' yang umumnya dilihat tidak setara dengannya. Berbeda denganku maupun Sherly, dia adalah sosok cahaya yang terkubur di antara 'buku tua'.
    "Kau pasti paham kan, mengapa aku tidak punya sesuatu yang seperti itu," kata Sherly, merasa bahwa aku bisa mengetahuinya.
    "Setiap orang bisa melangkah lebih maju daripada hanya stagnan. Lebih mudah melakukan daripada hanya melihat, yang membuktikan semua itu adalah 'dia'," kataku.
    "Sepertinya kau cukup tertarik dengan murid jenius yang kau maksud itu. Setelah ini kau akan memperkenalkan dia kepadaku, kan. Jadi siapa dia itu?" Tanya Sherly, tanpa basa-basi.
    "Kau sudah bertemu dengannya kemarin. Selain itu, dia sudah banyak membantuku dari saat pertamakali berada di sekolah ini ... bahkan kali ini juga begitu," jawabku.
    Mendengarnya, Sherly sempat terlihat sedikit terkejut, lalu perlahan kembali tenang, sembari mengangguk paham.
    Yah... kurasa ini sudah berhasil memberikannya sedikit pukulan di awal kalimat tadi. Apakah setelah ini dia akan berbalik mengendurkan pandangannya ke arahku sementara waktu dan beralih ke Cika sebagai objek baru, itu tergantung dari apa yang akan terjadi nanti. Jika Sherly mulai bergerak seperti yang ku harapkan, maka tingkat keberhasilan dari rencana 'penyatuan' ini bisa menjadi lebih efektif. Sepertinya yang bisa kulakukan hanya sampai di sini. Sisanya, aku hanya bisa berharap dia mempercayai informasi yang baru saja ku berikan.
    "Jadi siswi itu. Aku masih mengingatnya," kata Sherly, sedikit mengangkat seringainya kembali.
    "Hanya itu yang ingin ku bicarakan...."
    "Tunggu!"
    Ketika baru saja berdiri dan hendak pergi meninggalkannya begitu saja, mendadak dia menghentikanku.
    "Sebenarnya bukan itu yang ingin kau sampaikan, kan?" Lanjut tanya Sherly.
    "Apa kau pikir aku akan menaruh harapan lebih kepadamu? Penonton," kataku, sedikit menggunakan sindiran di akhir kalimat.
    "Lagipula, aku sudah mempercayai siswi itu dari awal. Aku bisa menggunakannya kapan saja."
    Meninggalkan kalimat itu sebelum pergi jauh, aku sempat mendengar Sherly menanggapi perkataan terakhirku yang demikian...
    "Kau benar-benar kejam ya...."
    Memang tidak ada yang salah dengan kata yang diucapkan Sherly ... tapi entah mengapa itu membuatku teringat dengan masa-masa yang telah lama ku buang. 'Jika membuat sesuatu itu mudah, maka menghancurkannya juga mudah'. Bagaimanapun juga aku belum menemukan 'sesuatu yang kucari di sekolah ini'. Tapi sisi baiknya, karena belum menemukan apa yang kucari itu, aku jadi bisa menemukan berbagai hal baru dari kasus yang terjadi sekarang ini.
    Secara umum, setiap orang memiliki kemampuan memahami situasi yang terjadi di sekitar, tapi kebanyakan dari mereka tidak cukup mampu mengolah secara informatif hasil dari perkembangan itu. Diantara menjadi stagnan atau berkembang, mereka hanya punya pilihan dasar itu sebelum memutuskan akan bertindak atau hanya diam melihat situasi.
    Masalah yang terjadi sekarang bukan hanya akan melibatkan sebagian besar para murid, tetapi juga akan mempengaruhi para OSIS yang tidak menyadarinya. Entah ada berapa banyak dari mereka yang ikut 'memberontak', tapi yang pasti, mereka mungkin telah melakukan suatu hal yang hampir serupa denganku seperti saat ini. [Melihat sekeliling] Tidak ... mungkin dalam situasi sekarang sepertinya akulah yang meniru cara mereka bertindak.
                                                  ***
    Pada malam hari, untuk pertama kalinya aku berinisiatif menghubungi salah seorang ekstrovert di kelas. Tidak lain laki-laki yang cukup dekat denganku saat ini, dia adalah Doni. Alasan mengapa kami sudah cukup dekat, itu mungkin karena kami lebih sering mengobrol mengenai teman-temannya yang belakangan ini memang sering mendatangiku untuk meminta bantuan mengerjakan tugas sekolah. Meskipun awalnya aku merasa sangat ingin menghindari ini, tapi dengan cepat pemikiran itu berubah setelah melihat adanya kasus Mirza yang semakin intens di kelas. Agar bisa menguatkan rencana 'penyatuan' ini, tidak ada salahnya mencoba mengajak mereka ikut masuk dalam kelompok besar. Jika langkah ini berhasil, ada beberapa manfaat yang bisa didapat satu sama lain. Dan di antaranya bagi mereka, itu adalah 'bisa mendapatkan teman dari kelas lain'.
    " ... Rafa? Tidak biasanya kau menghubungiku duluan."
    Sebuah suara terdengar jelas dari ponsel yang memang memiliki kualitas bagus ketika sedang digunakan untuk menelpon. Selain itu, didalamnya juga ada beberapa fitur yang salah satunya bisa menjernihkan suara tanpa gangguan suara asing masuk seperti robekan kertas atau gesekan plastik.
    "Ada hal penting yang ingin ku bahas denganmu," kataku.
    Meskipun rasanya masih sulit membagikan rencanaku kepadanya, aku mungkin bisa menggunakan cara alternatif untuk menanyakan beberapa persoalan kepada Doni.
    "Apa ini akan jadi masalah kalau aku ingin kau dan yang lainnya ikut membantu bekerjasama dengan beberapa murid dari kelas IPS?" Tanyaku.
    "Eh ... kenapa tiba-tiba ... apa ini semacam ajakan membentuk kelompok belajar lalu kau mengajak kami ikut bergabung?"
    Meskipun kedengarannya seperti membuat lawakan, tapi dari cara berkatanya justru lebih terdengar mengarah pada kesalahpahaman.
    "Sebenarnya akhir-akhir ini aku mulai berteman dengan beberapa siswa dari kelas IPS, jadi aku ingin kau dan yang lain ikut berteman juga dengan mereka, bukannya itu bisa jadi hal yang baik?"
    Tentu saja... agar bisa menciptakan alur yang indah dan sejalan, maka diperlukan sedikit kebohongan untuk membangunnya.
    "Dengan kata lain, kau ingin memperkenalkan mereka kepada kami?"
    "Kurasa begitu."
    "Hm... bagaimana ya... bukannya bermaksud menolak permintaanmu ... hanya saja... mungkin akan ada kecanggungan di antara kami," kata Doni, terdengar ragu.
    "Sepertinya itu bukanlah hal yang harus dikhawatirkan," kataku.
    "Eh...?"
    "Aku secara langsung akan memperkenalkan kalian kepada mereka. Karena kita berada di kelas yang sama, kelompok kalian mungkin bisa lebih dikenal oleh kelas-kelas lain. Bagaimana menurutmu?"
    " ... Sejujurnya aku tidak terlalu mempermasalahkannya ... tapi bagaimana kau akan memperkenalkan kami?"
    "Aku hanya akan memperkenalkan kalian sampai batas kata 'teman yang cukup dekat di kelas'. Dari titik itu, kau bisa memulai perkenalan dengan mereka, kan."
    "Aku tidak yakin bisa melakukannya," kata Doni.
    "Bukankah ada Arif yang cukup terampil dalam komunikasi? Andai kau meminta dia melakukannya, itu tidak akan sulit, kan," kataku.
    "Kenapa kau tidak langsung meminta dia saja?" Tanya Doni, sedikit mengeluh.
    "Saat ini aku mengandalkanmu. Kalau kau masih bertanya-tanya 'untuk apa semua ini' ... di sana kau akan tahu dengan sendirinya jika mengikuti permintaanku."
    Mungkin kedengarannya memang egois dan terlalu memaksa, tapi kupikir semua tindakan ini patut dicoba. Daripada tidak melakukan apapun dan hanya diam dalam kelompok, lebih baik mulai bergerak sedikit demi sedikit meski harus menggunakan cara yang agresif seperti yang kulakukan saat ini.
    "Nah... Rafa."
    "Ada apa?"
    "Mungkin agak aneh mengatakannya ... di kelas bisanya kau terlihat seperti orang yang sangat pasif, tapi sekarang, setelah berbicara denganmu seperti ini, entah mengapa... rasanya aku seperti sedang berbicara dengan orang lain," kata Doni.
    Sepertinya kata yang sama pernah diucapkan oleh seseorang. Umumnya, seseorang bisa menjadi gugup, terimidasi, atau ragu ketika berbicara dengan orang lain yang mungkin menurutnya 'tidak terlalu akrab' dengan individu lain atau kelompok lain. Memang benar secara alami aku mungkin akan memakai 'topeng' jika mencoba akrab dengan seseorang ... tapi apakah perbedaan itu terasa jelas dirasakan lawan bicaraku ketika dalam kondisi tertentu...? Kurasa aku sendiri bahkan masih kesulitan memahaminya.
    " ... Tenang saja. Yang sedang kau ajak bicara sekarang ini memang aku seorang, tidak ada yang lain," kataku. 
    "Pastinya begitu," kata Doni, seolah perkataannya tadi hanya bercanda.
    Setelah mengakhiri obrolan dengan Doni, selanjutnya aku bergegas menghubungi seseorang. Tentu saja, dia adalah Jaka.
    "Tumben sekali kau menelpon duluan. Ada apa?"
    Sepertinya, di mata mereka aku seolah dianggap sebagai keberadaan yang 'tidak biasanya muncul'. Aku penasaran... seberapa banyak kah orang yang mungkin akan terkejut bila mendapati 'seorang introvert' mencoba berinteraksi disaat membutuhkan?
    "Sebenarnya...."
    Tepat di malam itu, sambil melihat langit di malam hari dari arah pintu balkon yang sebagian tersorot sinar rembulan, aku memberitahu inti percakapanku dengan Doni yang barusan. Ditengah menjelaskan 'penggabungan' itu, Jaka juga sempat mengungkapkan hal yang sama seperti Doni. Tidak bisa disangkal bila awalnya mereka pasti akan merasa ragu karena belum terbiasa satu sama lain. Andaikan langkah penyatuan ini sudah berhasil, hasil buahnya pasti juga akan mereka dapat setelahnya.
                                                       ***
    Pada pukul empat pagi, aku jadi lebih sering terbangun karena sepertinya telah menjadi kebiasaanku dari beberapa hari ini.
    "...."
    Setelah mengangkat bahuku yang tadinya cukup berat, aku terduduk sejenak di atas tempat tidur, lalu menoleh ke arah ponsel yang ku letakkan di atas laci di samping sebuah novel.
    "Memangnya dia sudah terbangun sepagi ini?"
    Meskipun aku mencoba meyakinkan diriku bahwa orang yang ingin ku hubungi kemungkinan besar masih tidur pulas, tetap saja aku merasa ingin mendesaknya untuk membicarakan sesuatu dengannya karena kupikir ini waktu yang tepat. Sebab, seperti yang kulihat dari beberapa hari sebelumnya, tindakan beberapa murid yang kurang lebih memiliki gerak gerik seperti Mirza telah melakukan pergerakan lebih intensif dari hari ke hari. Murid berjas hitam yang tidak lain adalah ciri khas anak jurusan otomotif, juga semakin terlihat mencurigakan setiap kali melakukan sesuatu seperti halnya 'mengamati', 'mengkondisikan' dan 'berinteraksi'. Beruntung, mereka cukup mencolok ketika melakukan tindakan tersebut, jadi aku bisa tetap bersikap normal bila melewati mereka secara kebetulan.
    Karena masih merasa ragu untuk menghubunginya, aku segera berdiri dan meraih ponselku, lalu keluar dari ruangan dengan niatan ingin mencari udara segar di teras depan.
    Seperti yang kuharapkan, hembusan angin dingin di jam sepagi ini membuat otakku 'berjalan lebih cepat' setelah bangun tidur. Tapi untuk beberapa orang yang sensitif akan udara dingin di pagi hari, bukannya dapat mempercepat proses otak, justru fisik mereka mungkin akan mengalami gangguan jika tidak memiliki daya tahan tubuh yang sedikit lebih kuat.
    Karena saat ini adalah pukul empat pagi dan mungkin sudah lebih dari beberapa menit sejak aku berdiri didekat pagar teras, suasana di sekitar asrama benar-benar sangat sepi. Bahkan, ini jauh lebih sepi dibandingkan tengah malam yang terkadang masih terdengar suara siswa dari beberapa ruangan.
    Kembali melihat kedalam ponsel, aku mulai menyusun beberapa hal yang ada di jendela beranda. Karena aplikasi yang terinstal hanya sebatas kebutuhan siswa saja, maka cukup mudah untuk menyusun beberapa hal agar lebih sederhana. Contohnya aku bisa membuat sebuah widget untuk menyatukan empat aplikasi dalam satu kotak, atau memasukkan beberapa aplikasi kedalam satu kotak folder yang dapat dibuat. [Menghela nafas] ... mungkin yang kulakukan ini hanya sebatas mengisi waktu, karena pada dasarnya... [melirik ruangan sebelah] aku sendiri merasa bosan karena tak dapat menemukan cara lain untuk menghubungi perempuan itu.
    Karena sepertinya tidak ada cara lain, aku membuka ponselku lagi, lalu mencari kotaknya. Orang yang ku hubungi itu tidak lain adalah Cika.
    "Sejujurnya aku tidak ingin mengganggunya," pikirku.
    Meskipun awalnya sangat ragu, kini aku bisa langsung menekan tombol 'memanggil' karena terdorong rasa bosan. [Tuut... ] tak lama setelah status panggilan berubah menjadi 'berdering', sungguh tidak diduga dia merespon lebih cepat dari yang kupikirkan.
    "Rafa? Ada apa?"
    Dari nada bicaranya, aku bisa menebak dia sepertinya sudah bangun lebih awal dariku.
    "Tadinya aku berpikir ingin membicarakan sesuatu denganmu, tapi siapa sangka kau sudah terbangun di jam segini," kataku.
    "Biasanya aku memang sudah terbangun dari pukul tiga. Ini sudah menjadi rutinitasku," kata Cika.
    "Apa yang sedang kau lakukan? ... Bangun sepagi ini."
    "Tentu saja belajar, memangnya ada hal lain?"
    "Mungkin memasak, atau menanak nasi," kataku, menambahkan.
    "Itu juga kulakukan," kata Cika, merespon datar.
    "Huh... kau harus punya alasan tepat karena menggangu waktu belajarku. Memangnya apa yang ingin kau bicarakan? ... Apa mungkin, ini ada kaitannya dengan rencana yang kau bicarakan sebelumnya?" Lanjut tanya Cika. 
    "Itu juga termasuk. Lagipula ini sudah masuk dalam 'tahap penentuan'," jawabku. 
    "Apa maksudmu?"
    "Kita bicarakan itu langsung. Apa kau bisa keluar sekarang? Aku sudah menunggu di luar hampir setengah jam," kataku.
    "Eh! Kenapa kau tidak menelponku daritadi!"
    Sekarang, setelah aku mengatakan posisiku saat ini 'berada di luar', seketika dia langsung berubah pikiran sembilan puluh derajat. Kupikir dia terlalu mengkhawatirkan bagian itu.
    Tak lama setelah panggilan kami terputus, dari arah pintu ruang sebelah perlahan-lahan terbuka. Dari sana, sosok perempuan yang memakai sweater keluar, lalu berjalan mendekatiku yang terus menatapnya dari pagar teras depan.
    "Sosok bangun tidur," kataku.
    "Apa yang kau bicarakan. Aku lebih dulu bangun sebelum kau," kata Cika, seolah bisa menebak entah bagaimana.
    "Yah, terserah."
    "Jadi bagaimana? Kali ini pasti juga berhasil, kan?" Tanya Cika, terdengar seperti menganggap biasa, hasil dari keberhasilanku.
    "Untuk sekarang bisa dibilang begitu. Tapi yang menentukan apakah semuanya memang berhasil, itu tergantung dari apa yang mungkin terjadi nanti," kataku.
    "Memangnya... apa yang mungkin terjadi nanti?"
    "Badai kekacauan."
    "Eh...?"
    "Sejauh yang ku selidiki dari beberapa hari ini, ada beberapa hal yang bisa mengkaitkan dugaan itu."
    "Kau memiliki bukti?"
    "Jika bukti fisik aku memang tidak memilikinya ... tapi untuk kejadian ini, ada beberapa teori dan hipotesis yang bisa ku gali didalamnya."
    "Meski begitu aku percaya padamu. Bisa kau jelaskan satu persatu secara detail?"
    Yah, kurasa ini adalah beberapa hal yang kudapatkan ketika sedang mengintai kelompok 'mereka' yang dipimpin Mirza. Jika Cika sudah sangat mempercayaiku sejauh ini, maka lebih mudah melakukan 'rencana tambahan' bila diperlukan. Ini juga sekaligus akan menjadi rasa bersalahku kepadanya, karena memberikan 'peran besar' yang menjadi penutup masalah konflik didalam kelas.
    "Akan ku mulai dari kemunculan murid yang ingin 'mencari kebebasan' di tiap kelas. Menurutku, kemungkinan besar mereka memiliki kesatuan seperti organisasi gelap yang bersembunyi di bawah permukaan. Seperti halnya Mirza dengan kelompoknya, murid yang serupa dari kelas lain juga melakukan hal yang sama, seperti sengaja 'memicu pertikaian didalam kelas' atau menyerang 'murid yang memiliki posisi tertinggi di kelas'."
   "Apa karena itu... Amelia menjadi sasaran...?"
    "Kemungkinan begitu. Tapi ada sesuatu yang janggal," kataku.
    "Apa itu?"
    "Jika dibandingkan kelas-kelas lain, mereka justru lebih agresif membuat kegaduhan didalam kelas. Buktinya saja tatapan Bu Eko waktu itu seolah mengatakan bahwa 'di sini tidak terlalu parah' ketika memperhatikan Mirza dan kelompoknya saat mengajar beberapa hari yang lalu."
    "Apa maksudnya tidak terlalu parah? bukankah waktu itu sempat ada perdebatan antara Bu Eko dan Mirza? Bahkan Amelia juga kena imbasnya."
    "Itu memang benar. Kalau melihanya dari permukaan itu tidak salah. Meskipun begitu yang Mirza lakukan sejauh ini justru masih tergolong sebagai kenakalan remaja tingkat rendah."
    "Kenapa bisa begitu?"
    "Itu sederhana. Dia membantah dengan logikanya sendiri tanpa bermaksud menyeret orang lain masuk kedalam perdebatannya. Hanya saja waktu itu, peran ketua kelas membuat Amelia ikut terseret juga. Alhasil, Amelia menjadi salah paham dan keadaan kelas semakin kacau karena tidak ada yang bisa memahami keadaan yang sebenarnya."
    "...."
    "Tempo hari ketika menyelidiki tindakan apa saja yang murid seperti Mirza dari kelas lain lakukan, mereka justru lebih merepotkan daripada Mirza. Seperti dari kelas MIKA, ada
    siswa yang menyabotase segala sesuatu yang ada di kelas. Lalu dari kelas IPA, ada siswa yang secara terang-terangan berambisi menguasai satu kelas. Lalu dari kelas IPS, ada siswa yang suka membolos dan berambisi mengosongkan satu kelas meskipun harus menggunakan cara paksa. Tentu saja semua siswa itu memiliki kelompoknya masing-masing, akan tetapi lebih besar daripada kelompoknya Mirza."
    "Kenapa bisa sampai seperti itu? Tapi kurasa tidak ada murid yang banyak mengetahuinya."
    "Itu karena mereka merahasiakannya. Karena yang kita bicarakan ini adalah sekolah futuristik yang sudah pasti memiliki reputasi tinggi dibanding sekolah umumnya, guru bisa saja bertindak merahasiakan aib tiap kelas yang memiliki masalah. Bukan hanya itu saja, andai memang semuanya bersih dan tidak ada gosip terkait aksi kekacauan ini, berarti ada pengaruh khusus dari ekstensi 'murid jenius' dari tiap-tiap kelas. Apa kau lupa jika sekolah ini memiliki standar yang cukup tinggi untuk bisa memasukinya? ... Murid yang seperti itu pasti juga ada," kataku.
    "Kau benar... sepertinya aku belum mengetahui apa-apa tentang sekolah ini..."
    "Begitu juga aku."
    "Eh..."
    "Jika bukan karena kasus ini, aku mungkin masih menjadi murid normal yang hanya perlu hadir di kelas tanpa memiliki kesibukan selain belajar," kataku, turut menyindir diri sendiri.
    "Kau benar... entah mengapa di bagian itu kita sedikit mirip," kata Cika, terlihat cukup percaya diri mengatakannya.
    Setelah terdiam sejenak memperhatikannya, aku kembali fokus melanjutkan apa yang ingin ku sampaikan.
    "Seperti yang ku katakan tadi, Mirza memiliki tingkat kenakalan lebih rendah dibanding kelas-kelas lain. Waktu itu aku sempat melihat Mirza bersama dengan anak-anak otomotif."
    "Maksudmu anak otomotif yang memakai jas berwarna hitam, kan."
    "Saat melihatnya berinteraksi dengan mereka, aku sempat mengikuti Mirza dan kelompoknya ke lantai dua ketika jam istirahat pertama. Kalau tidak salah, sepertinya mereka hendak menemui kakak kelas dari jurusan otomotif. Lalu, saat menunggu sejenak sambil memperhatikan dari kejauhan, ada sosok siswa dari kelas lain yang arah tujuannya sama seperti Mirza. Kupikir mereka sedang mengadakan rapat untuk mempersiapkan langkah berikutnya."
    "Dan kau tahu apa langkah mereka selanjutnya?"
    "Singkatnya, mereka mulai menyebarkan konspirasi sebelum melancarkan ultimatum."
    "Untuk membuat kekacauan besar pasti akan melibatkan banyak murid dalam upayanya. Maka demi tujuan itu, masuk akal bila mereka sudah mulai menyebarkan konspirasi dari hari-hari sebelumnya. Mungkin saja mereka menargetkannya pada murid baru yang lebih rentan untuk dipengaruhi. Kemudian, setelah melakukan semua persiapan itu, maka mereka akan..."
    "Menyerang reputasi sekolah."
    Mendapati kesimpulan akhir itu, kami saling menatap satu sama lain. Bagaimanapun juga 'kekacauan' adalah hal yang sudah tidak bisa dihindari pada tahap ini. Maka dari itu, diperlukan sebuah pencegahan sebelum orang-orang dari luar sekolah mendengar situasi menggelisahkan ini. Disaat itu juga, setelah membicarakan seluruh rangkuman dari insiden 'kekacauan' ini, aku kembali melanjutkan pembicaraan mengenai siapa saja orang-orang yang berhasil ku satukan dalam 'rencana penyatuan' sebelumnya. Lalu, kami juga menyusun strategi, seperti membahas mengenai masalah kepanikan yang akan terjadi dan lain sebagainya.
    Yah... bagaimanapun juga setiap kekacauan pasti akan berakhir bila dapat mengeksekusi dalangnya. Cukup mungkin jika menganggap dalang itu akan menampakkan dirinya ditengah kekacauan yang terjadi. Bahkan jika masih tersembunyi keberadaannya, mengancam salah satu pengikutnya dan menanyakan keberadaannya akan menjadi satu-satunya opsi yang tepat. Apapun cara yang akan ku gunakan nanti, ketika berhadapan langsung dengannya aku akan langsung mengakhiri skenarionya yang sangat merepotkanku sejauh ini. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan ketenanganku kembali di kelas, menyendiri sebagai siswa biasa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1107      638     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...