—Rafa
Pagi hari ini adalah pagi yang tenang seperti biasa. Tidak terasa seminggu telah berlalu sejak hari pendaftaran. Sebagian besar para murid baru pasti mulai penasaran dengan sistem sekolah ini yang sebelumnya tiba-tiba mengadakan 'tes tertutup'.
Yah—pada dasarnya tes itu sendiri dikhususkan untuk murid agar dapat membangun perekonomiannya dengan cara memperbanyak pengalaman yang mengharuskan untuk belajar. Mungkin secara objektif, kedengarannya memang agak memaksa, tapi memang seperti inilah sistem yang telah disiapkan oleh sekolah terbaik di zaman ini, agar menghasilkan murid yang kompeten di masa yang akan datang.
Ngomong-ngomong tentang 'tes tertutup', itu memang diadakan seminggu sekali atau tepatnya di setiap hari senin. Namun, tidak seperti sebelumnya, 'tes tertutup' selanjutnya diadakan langsung di dalam ruangan tanpa harus melewati tes 'kelihaian' dan 'ketelitian' seperti saat pertamakali mengikuti. Kemudian, kami akan diberikan kode nomor masuk ruangan acak lewat pesan pemberitahuan sekolah sebelum menuju ke 'cubic room' yang berada di lantai atas dan terletak secara terpisah. Sama seperti sebelumnya, panitia OSIS yang mengawasi 'tes tertutup' di dalam ruangan masing-masing. Dari tahap tersebut hampir tidak ada perubahan yang siginifikan.
"Rafa? Apa kau sedang memikirkan sesuatu?"
Ditengah perjalan kami menuju ke gedung sekolah, tiba-tiba perempuan yang berjalan di sampingku menanyakan itu. Siapa lagi jika bukan Cika, perempuan yang kukenal sebagai tetangga baik yang ironisnya hampir selalu membagikan makanannya kepadaku setiap kali kami bertemu.
"Yah, aku hanya memikirkan cara bagaimana agar membuatmu berhenti membagikan makanan hampir setiap harinya kepadaku," kataku, mengatakan yang baru saja kupikirkan.
"Setidaknya kau harus bersyukur karena aku bersedia membagikannya kepadamu," katanya, tampak sedikit cemberut.
"Tentu saja aku bersyukur atas kebaikanmu, tapi bukankah sekarang kau memiliki teman selain aku? Kau bisa saja membagikannya kepada mereka juga kan," ujarku.
"Kalau itu... kupikir untuk sekarang agak-agaknya cukup sulit melakukannya," katanya.
"Jadi kalau denganku itu mudah, begitu?" Tanyaku.
"Yah... begitulah," jawabnya, dengan ekspresi membingungkan seperti biasa.
"Aku sama sekali tidak mengerti," kataku, menghela nafas berat.
"Tidak perlu dimengerti juga tidak apa-apa—asalkan setiap hari kau mau menerimanya itu sudah cukup," katanya, tersenyum ramah.
"Sungguh kebaikan yang memaksa," gumamku, membuang muka.
Terkadang aku memang tidak mengerti maksud dari dirinya setiap kali melakukan sesuatu yang menurutku agak aneh—akan tetapi, aku juga paham jika secara objektif dunia ini sangat luas. Tak heran jika di sini juga ada beragam orang seperti dia yang memiliki pemikiran subjektifnya tersendiri.
"Ngomong-ngomong ini pertamakalinya kita berjalan bersama ke sekolah ya," katanya yang tiba-tiba.
"Kupikir begitu," kataku, sekilas meliriknya.
"Bukankah itu karena kau selalu menghindari ku setiap pagi," sindirnya, melihatku dengan ekspresi datar.
"Mau bagaimana lagi, itu karena kau selalu bersikeras memaksaku 'kan," bantahku.
"Aku tidak pernah memaksamu kabur dariku setiap pagi!" Katanya, dengan intonasi lebih tinggi.
"Sepertinya kau sama sekali tidak mengerti," lanjut bantahku.
"Kalau begitu jawablah ini. Dari sudut pandangmu, aku ini orang yang bagaimana? Ah! Sebagai tambahan dilarang memberi penilaian yang asal-asalan," katanya, menatap tajam ke arahku.
Secara bersamaan langkah kami pun terhenti.
Awalnya aku memang sempat berpikir ingin mengunakan kata 'biasa' sebagai kata netral yang bisa ku gunakan dengan sangat bebas dan sederhana—tapi kelihatannya itu sudah tidak berlaku lagi sebagai penangkal atas dirinya.
"Maaf Cika. Aku tidak tahu apakah jawaban yang akan ku berikan akan memuaskanmu atau tidak—" kataku terpotong.
"Jawab saja!" Tegasnya.
"Bagiku kau adalah teman perempuan pertama yang bisa cukup akrab mengobrol secara normal denganku di sini. Tentu saja aku sangat menghargainya," jawabku singkat dan tanpa kelanjutan.
Suasana membeku ini berlangsung selama tiga sampai lima detik dengan kami yang saling menatap.
"Ya sudahlah kalau begitu," katanya, dengan wajah serius yang memudar, lantas tergantikan oleh senyum ramah, sebelum pada akhirnya kami kembali berjalan.
Sudah kuduga. Dia memiliki kelebihan untuk tidak bisa diprediksi tingkah laku dan pemikiranya. Entah bagaimana caranya dia bisa memiliki kelebihan seperti itu, yang pasti dia sendiri tidak menyadari akan keanehannya tersebut. Sepertinya akan lebih baik jika tidak mengatakannya secara langsung, mengingat dirinya masih dalam tahap menghadapi persoalan yang berhubungan dengan sosial.
Sebelumnya, di hari pertama aku masih mengingat jelas wajah kesepian Cika di malam hari itu. Tepat di saat dia menceritakan tentang sekilas masa lalunya, aku merasa dia memiliki kemiripan denganku di salah satu bagiannya. Tapi pada dasarnya, pemikiran kami mungkin memiliki perbedaan yang sangat jauh. Satu-satunya orang yang telah menunjukkan buktinya secara tidak langsung adalah siswi jenius dari kelas IPA, salah satu perempuan lain yang pernah berinteraksi denganku di sekolah ini.
Tanpa sadar ketika sedang memikirkan itu, kami telah sampai di area utama bagian tengah yang merupakan letak dari gedung sekolah utama.
"Aku akan pergi ke kelas lebih dulu," kataku.
"Tunggu!" Tiba-tiba dia menghentikanku.
"Apa ada yang lain?" Tanyaku yang hanya meliriknya.
"Itu...!"
Ketika hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba sebuah tangan yang melambai langsung merangkul lehernya hingga membuatnya terkejut berlebihan.
"Hei, May—jangan mengejutkanku seperti itu!" Serunya.
"Hehe~ maaf, kupikir kau sudah terbiasa," kata seorang siswi yang sepertinya itu adalah salah satu temannya.
"Mana mungkin aku bisa terbiasa dengan cara menyapa seperti itu," keluhnya.
"T-tunggu...!" Terdengar suara siswi lain yang juga bergabung dengan mereka.
"May...! Tolong jangan meninggalkanku begitu saja," lanjut kata siswi itu dengan intonasi nyaring.
Ditengah senda gurau mereka, aku segera meninggalkan Cika yang disibukkan oleh kedua temannya itu.
Mengenai kedua temannya... dalam beberapa hari selama sebulan ini secara kebetulan aku sudah pernah melihat mereka di jalan maupun di kelas, jadi tidak mengejutkan jika Cika bisa berada di antara mereka, karena tempat duduk ketiganya berdekatan.
Walaupun Cika memang pernah sempat melihatku di jalan bersama temannya, aku hanya bersikap pura-pura tidak mengenal agar tidak mengganggu suasana mereka. Bagaimanapun juga, kepribadian Cika pada dasarnya bukanlah seorang 'introver alami', melainkan akibat pilihannya, dia terpaksa mengarah ke jalan yang mengharuskan memiliki kepribadian itu selama beberapa tahun di masa lalu.
Ketika masuk kedalam gedung sekolah lewat jalur belakang, tampak di sana—aula tengah yang luas dipenuhi oleh berbagai murid dari kelas lain serta angkatan yang berbeda-beda. Hari ini adalah hari kamis. Seperti yang dijadwalkan, kami para murid tahun pertama (kelas 10) memakai jas biru serta seragam putih di dalamnya.
Ditengah perjalanan menuju ke kelas, secara kebetulan aku melihat 'sirkel B' yang merupakan perkumpulan anak bermasalah di kelas bahasa saat ini. Aku menggolongkannya demikian agar lebih mudah dalam mengingat ekstensi mereka di kelas. Mereka berdiri di depan pintu seolah-olah kawasan tersebut adalah milik mereka.
"Sepertinya... mereka sudah membentuk grupnya," kata siswa 'A'.
"Apa akhirnya kita sekarang akan bergabung juga?" Tanya siswa 'B'.
"Untuk sementara bukankah sebaiknya kita lihat perkembangannya terlebih dulu," jawab siswa 'A'.
"Aku tidak meminta pendapatmu!" Tegas siswa 'B', menegaskannya sebagai lelucon.
Ditengah obrolan tersebut, seseorang yang paling ku ingat wajahnya menanggapi pertanyaan itu dengan ekspresi wajah menyeringai.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Kalau sudah waktunya, kalian hanya perlu mengikutiku saja."
Siswa yang memiliki intonasi berat itu adalah Mirza. Dia adalah siswa paling bermasalah di dalam kelas saat ini. Selain tingkahnya yang berani membantah guru, dia juga sering kali beradu mulut belakangan ini dengan ketua kelas.
"Hey! Apa yang kau lihat!"
Salah satu dari mereka sepertinya menyadari keberadaanku...
"Tunggu, kalau tidak salah... kau orang yang di kantin waktu itu 'kan," lanjutnya, menghampiriku dan menutup jarak di antara kami.
Identitas siswa 'B' yang mengidentifikasiku ini kalau tidak salah namanya Arga—dia merupakan bagian dari 'sirkel B' yang pernah memanipulasi Fito saat kejadian di kantin.
"Siapa yang kau maksud?" Tanyaku, berpura-pura tidak tahu.
"Tunggu... kau sungguh tidak mengenaliku?" Tanya Arga, tiba-tiba terlihat agak tergoyahkan, merasa tidak yakin dengan klaimnya.
Menanggapi ketidakyakinannya, dengan pelan aku menggelengkan kepala tiga kali, berharap dia sudah melupakan wajahku waktu itu...
"Sepertinya aku salah orang," katanya, mengkonfirmasi hal tersebut dengan mengangguk dua kali.
Setelah yakin berpikir demikian, dia beserta kedua temannya segera pindah tempat sambil membicarakan orang di kantin yang dia maksud (permintaan siswa 'A' untuk menceritakannya karena penasaran).
"Syukurlah dia sudah lupa," pikirku, segera berjalan masuk kedalam kelas.
***
"Whaa! Hari ini kau juga kelihatan menggemaskan!" Kata siswi 'A', tanpa ragu langsung memeluk kepala siswi 'B' yang memiliki postur tubuh kecil.
"A-ah...! Jangan mengejutkanku seperti itu," kata siswi 'B', dengan suara kecil khasnya yang menyerupai kicauan burung.
"Eli... bolehkah aku membawamu pulang?" Ujar siswi 'A', memasang muka menakut-nakuti sambil mendekatkan wajahnya.
"A-anu, itu..."
Tidak mampu menanggapi perkataannya, siswi 'B' yang panik akan gurauannya segera berlari menjauhinya. Tapi cerobohnya, dia yang tidak melihat ke depan saat berlari akhirnya menabrak-ku yang kebetulan sedang berjalan masuk dari arah pintu kelas.
Meskipun tabrakannya tidak membuat diriku maupun dirinya terpental jatuh, tetap saja itu membuatku sedikit terkejut.
"Ah...! M-maaf," ucap siswi 'B', tambah panik ketika mendongak melihatku.
"Berhati-hatilah," kataku, sembari melepaskan pinggulnya yang sempat kutahan, lalu segera menuju ke tempat duduk.
Sepertinya siswi 'A' yang menjahilinya sempat melihat ke arah kami—tapi bukan berarti dia mempedulikanku yang menjadi korban kena tabrak karena ulahnya. Dari kejauhan, aku bisa melihat siswi 'A' menanyakan hal yang wajar kepada siswi 'B'.
"Aku harus segera terbiasa dengan suasana di kelas ini," pikirku, sebelum meletakkan tubuhku di atas meja.
Biasanya ketika berada di kelas, aku akan mendengarkan musik sambil membenamkan wajahku di atas meja. Tapi kali ini, entah mengapa aku sedang tidak ingin melakukannya. Oleh karena itu, aku yang dalam posisi senggang, pada akhirnya mau tidak mau seolah dipaksa harus mengamati kondisi kelas saat ini.
Didalam kelas ini kuperhatikan... dari sekian banyak obrolan yang bersumber dari kelompok masing-masing, sepertinya yang bisa membuatku sedikit tertarik hanyalah topik mengenai 'pemilihan seksi kelas' yang diusulkan oleh siswi sebangku Amelia itu, kalau tidak salah namanya adalah Sifa.
Menurut obrolan mereka, sepertinya hari ini mereka akan mengusulkan itu kepada wali kelas kami Bu Milan. Karena hari ini adalah hari kamis, sesuai jadwal Bu Milan akan mengajar sastra di jam ke-enam setelah istirahat pertama. Mengesampingkan itu, jam pertama kelihatannya akan diisi dengan mapel sejarah.
"Oh, hei..." Dengan gaya bicara yang masih kaku dan canggungnya seperti biasa, siswa yang duduk di sebelahku menyapa ringan ketika sedang menaruh tasnya.
Aku tidak membalas sapaannya dengan lisan, melainkan hanya mengangguk sekali sebelum dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Kupikir pemandangan ini telah menjadi hal biasa sejak hari pertama. Orang yang sulit berkomunikasi tidak seharusnya memaksakan diri untuk berbicara dengan orang lain, apalagi menyapa jika itu bukan merupakan suatu kebiasaan.
Terkadang, adakalanya seseorang bisa terjebak dalam situasi sulit untuk memberikan tanggapan lisan yang akurat kepada lawan bicara. Oleh karena itu, bagi orang yang lebih suka diam mengamati segala sesuatu sepertiku, memberikan respon dengan suatu tindakan kecil akan lebih mudah dilakukan sebagai opsi terbaik.
Beberapa saat kemudian aku melihat Cika beserta kedua temannya memasuki kelas bersama, kemudian duduk dan memulai obrolan mereka sendiri sebagai salah satu kelompok kecil di dalam kelas.
Karena kondisi kelas cukup berisik, aku tidak bisa mendengar obrolan mereka, sementara yang bisa kudengar hanyalah sekumpulan suara yang seolah-olah mengepul, menjadi satu kesatuan awan besar yang mencakup seisi ruangan.
Lantas, ketika bel masuk telah berbunyi, dengan cepat kondisi kelas berubah menjadi senyap dalam hitungan detik. Jika mengingat bahwasanya ada CCTV yang memantau kelas, tidak heran jika mereka akan lebih berhati-hati dalam menjaga ketertiban di kelas. Kecuali....
"Pft, menyedihkan," kata Mirza dari sirkel 'B' yang duduk di bangku belakang, menahan tawa kecilnya sembari menutup mulut.
Seperti biasa dia terkesan acuh tak acuh dengan kelas yang ditempatinya. Tentu saja sikapnya itu akan menarik perhatian murid satu kelas, terutama untuk ketua kelas yang paling berupaya mendisplinkan seluruh murid.
Setelah bel masuk, beberapa menit kemudian datang seorang guru yang akan mengajar pelajaran sejarah—beliau adalah Pak Jeni, seorang pengajar yang cukup tenang dalam menghadapi segala situasi di dalam kelas.
Beberapa hari sebelumnya saat beliau pertama kali mengajar di kelas kami, Pak Jeni tidak mempermasalahkan sirkel 'B' yang diam-diam berbicara sendiri di tengah pelajaran. Bahkan sepertinya, beliau sendiri terlihat sengaja tidak melihatnya seolah-olah mereka tidak dianggap sebagai ekstensi murid di dalam kelas.
"Selamat pagi anak-anak semuanya," ucap Pak Jeni, setelah menaruh absensinya di atas meja.
"""Selamat pagi Pak!"""
Seluruh murid segera membalas salamnya.
Setelahnya, Pak Jeni mulai melakukan absensi kelas. Sesuatu yang unik dari Pak Jeni adalah ketika mengabsen siswa beliau tidak memanggil nama kami satu persatu, melainkan hanya melihat ke arah semua murid seolah-olah dapat mengetahui siapa yang hadir dalam sekali lihat. Aku jadi sedikit penasaran, apakah ini juga hasil pengalaman hidup seorang guru profesional yang sudah mengajar selama bertahun-tahun di sekolah futuristik ini...? Kemudian, setelah selesai mengabsen seluruh siswa, Pak Jeni meminta kami membuka buku pelajaran saat ini.
"Sejarah."
Saat aku baru menaruh buku pelajaran di atas meja, tiba-tiba Pak Jeni mulai berbicara dengan intonasi agak berat.
"Apakah kalian... sudah selesai mengerjakan tugas yang saya berikan minggu lalu?"
Seketika itu fokus mereka segera tertuju pada objek tugas yang di maksud, beberapa di antara mereka mulai membolak-balikan halaman buku.
Kupikir bagi orang yang hobi menulis, ini adalah tugas yang cukup sederhana, yaitu hanya mengerjakan sepuluh soal esai di dalam buku tulis. Seperti layaknya tugas biasa, mungkin beliau akan menilainya 10 poin setiap nomor dengan jawaban yang benar. Jika murid bisa menjawab dengan benar semua soal tersebut, maka itu akan menjadi 100 poin genap. Karena ini adalah tugas yang tidak memerlukan usaha yang begitu keras dan juga tidak begitu rumit, harusnya mereka pasti akan mampu....
"Hei, boleh aku lihat punyamu?" Pinta Fito, secara paksa mengambil buku LKS-ku tanpa menunggu persetujuan dariku.
Sekilas aku baru menyadari—oh, benar. Di sini juga ada spesies orang seperti dia.
Setelah berhasil menyalin enam puluh persen jawaban yang panjang, Fito memberikan LKS-ku kembali. Karena dia tidak sempat menyalin semuanya, alhasil dia hanya mendapatkan sebagian jawaban.
Karena sesi pengoreksian akan dilakukan, kami diminta untuk maju menaruh LKS kami di depan meja beliau. Alih-alih sebisa mungkin menghindari sesuatu yang mengharuskan untuk maju ke depan, aku sengaja meminta Fito mengumpulkan LKS-nya bersama LKS-ku dengan dia yang maju kedepan. Mungkin karena kubiarkan mencontek tadi, dia terlihat seperti ingin balas budi kepadaku—tanpa memberikan respon seperti halnya penolakan, kubiarkan dia terlihat menurut saja.
Sementara semua murid senyap kecuali mereka yang ada di barisan belakang, beberapa saat kemudian akhirnya Pak Jeni selesai mengoreksi tugas-tugas kami.
Dikarenakan tidak semua murid telah mengumpulkan tugas yang diberikan oleh beliau, kupikir seharusnya akan ada sesuatu seperti halnya nasehat entah itu berupa teguran atau sindiran. Jika tidak ada sesuatu yang seperti itu, maka hal tersebut bisa saja diartikan sebagai 'Pak Jeni memang tidak mempedulikan muridnya dari segi menilai karakteristik murid'.
Jika dilihat dari sudut pandang seorang guru yang memberikan tugas kepada muridnya, umumnya itu bertujuan untuk mengisi nilai mereka di dalam buku evaluasi yang akan digabungkan dengan nilai raport. Sederhananya, murid yang tidak mengerjakan tugas nilainya tidak akan bisa diisi.
Seharusnya individu bisa memikirkan konsekuensi itu sendiri tanpa perlu ditegur karena hasilnya akan mempengaruhi nilai pada ujian semester.
Setelahnya, Pak Jeni memanggil Amelia dan satu lagi tokoh kelas lain untuk membagikan satu-persatu LKS yang sudah di koreksi dan dinilai. Ketika sedang menaruh kepala di atas lengan, tiba-tiba LKS-ku mendarat di sebelahku tanpa memperhatikan siapa yang membagikannya. Kemudian, saat aku spontan menoleh ke arah siswa yang berjalan membagikannya, ternyata dia adalah Arif, seorang sekretaris kelas.
Sekilas, aku juga melirik ke arah LKS Fito yang diberikan 'tanda merah' dengan nilai 40, sementara nilai di LKS-ku diberikan 'tanda hitam' dengan nilai 100.
Saat melihat perbedaan tanda ini, sepertinya secara samar-samar aku bisa mengetahui maksud tersembunyi dari Pak Jeni.
Tapi yang menjadi pertanyaannya, bagaimana beliau bisa mengetahui hal tersebut? Padahal beliau sendiri tidak mungkin mengetahui seluruh proses mengerjakannya, ataupun gerak-gerik Fito yang diam-diam menyalin jawabanku di antara banyaknya murid di depan—tentunya dalam waktu yang singkat.
Ini masih menjadi misteri—mengenai cara pengamatan beliau terhadap murid dalam satu ruangan. Padahal beliau sendiri terlihat tidak terlalu memperhatikan kami, tapi sepertinya, beliau diam-diam memperhatikan juga meskipun dengan cara pandang yang berbeda.
***
Setelah jam istirahat pertama, sesuai jadwal jam ke-enam diisi oleh wali kelas kami Bu Milan.
Seperti yang mereka obrolkan pagi tadi, Amelia menyampaikan ide Sifa mengenai pembentukan seksi kelas.
"Bu! Saya ada saran, bagaimana kalau segera membentuk seksi kelas," kata Amelia, mengangkat tangannya.
"Seksi kelas ya... apakah semuanya sudah sepakat?" Tanya Bu Milan.
"Tentu sa—"
"Memangnya sejak kapan kau mendengar bahwa semua murid telah sepakat."
Seorang siswa dengan intonasi berat, serta agak serak yang berkata demikian adalah Mirza. Dari ekspresinya, kelihatannya dia sengaja mengatakannya untuk memancing perhatian seluruh murid di kelas.
"Apa-apaan kau ini! Kalau kau merasa keberatan, beri alasan yang jelas untuk menentangnya! Padahal Amelia sudah susah payah mengatur kelas kita! Kau seharusnya mengikuti saja daripada memberi penolakan yang tidak penting setiap waktu!"
Siswi pertama yang menyerukan itu bukanlah Amelia, melainkan Sifa yang spontan menegaskan hal tersebut.
"Oke. Kalau kau sampai sebegitunya memaksaku untuk bicara, akan kukatan semuanya sekarang dengan terus terang. Perempuan itu—dia terlalu memaksakan kehendaknya! Aku tidak yakin dia akan serius memikirkan pendapat murid lain, apalagi menerima masukan selain dari orang-orang yang dikenalnya. Dia hanya mengandalkan dirinya sendiri, karena itulah yang menurutnya paling benar—seperti itulah dia sekarang," kata Mirza yang sama-sama tegas, namun tanpa disertai amarah seperti Sifa.
Seketika itu, seluruh perhatian murid tertuju ke arah Mirza yang sepertinya akan memulai lagi perdebatannya dengan sirkelnya Amelia. Meskipun rata-rata dari mereka terdiri dari para siswi yang memiliki pola pikir rasional, namun faktanya, Mirza yang memiliki sikap layaknya seperti anak brandalan rupanya juga bisa menunjukkan sisi permikiran logisnya.
"Tapi menurutku, kebanyakan orang pasti masih berpikir tidak ingin melakukan hal yang merepotkan, dan aku yakin kau pasti juga termasuk di antaranya. Bukankah lebih efisien kalau seseorang mewakilkan pendapat menurut dirinya saja daripada harus menangani satu persatu kontra yang pastinya akan membutuhkan waktu lama. Kalau kau berada di posisinya, memangnya kau sendiri bisa memilih opsi terbaik untuk kelas?"
Kali ini, orang yang menanyakan hal tersebut dengan intonasi tenang yang jadi ciri khasnya adalah Nida, seorang siswi yang terpilih menjadi bendahara kelas.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Nida, lantas Mirza tersenyum kecil, seolah-olah senyuman tersebut memiliki arti tersendiri baginya.
"Kalau begitu misalkan sekarang ini aku akan memberi masukan lain, apakah ketua kelas akan menerimanya? Aku tidak yakin dia akan mau mendengarkannya," kata Mirza, seolah bisa menduganya.
"Tergantung dari masukanmu. Kalau itu bisa diterima baik oleh semuanya," kata Nida.
"pft, kau mengatakan 'oleh semuanya?' Paling-paling kalian sendiri yang akan memutuskannya sepihak tanpa memperhatikan pendapat minoritas. Kalian pikir asalkan mayoritas setuju, maka semuanya bisa berjalan lancar? Tidak. Kuberitahu faktanya, justru inilah yang akan menjadi bibit kebencian di masa mendatang. Atau paling tidak, itu akan membuat perselisihan."
Sekilas, aku agak terkejut dengan ucapannya—sungguh di luar penampilannya, ternyata Mirza juga bisa mengungkapkan secara gamblang 'alur' tersebut. Kupikir dia memiliki pengalaman seperti itu di masa lalu yang menjadikannya cukup perhitungan terhadap kedudukan ketua kelas. Apa mungkin ini hanya sekedar cara dia menyinggung 'sistem kepemimpinan' Amelia sekarang...?
"Ketua kelas! Apa kau berpikir semuanya bisa berjalan sesuai keinginanmu? Perlu kau ingat, biasanya aku tidak akan peduli dengan apa yang ingin kau lakukan, tapi jika kau, menggunakan hak kepemimpinanmu untuk menundukkan semua yang ada di kelas ini, aku akan menjadi orang yang paling dulu melepaskan diri dari tanganmu," kata Mirza dengan tegas, seolah-olah membuat seisi kelas bergema akan perkataannya.
"Hei! Jaga mulutmu! Amelia tidak mungkin berpikiran seperti itu! Memangnya kau ini tahu apa tentangnya!" Tegas Sifa, amarahnya sudah memuncak.
"Sepertinya kau yang tidak mengerti," bantah Mirza, menyeringai.
"Kau Mirza, 'kan. Sepertinya kau tidak terlalu suka denganku yang menjadi ketua kelas. Apa yang membuatmu tidak puas?" Tanya Amelia, hanya meliriknya.
"Kupikir kau harus menyadarinya sendiri," kata Mirza, terdengar tidak ingin mengungkapkan 'bagian' tersebut secara langsung.
"Aku benar-benar tidak mengerti pola pikirmu," kata Sifa, sebelum memalingkan wajahnya ke depan.
"Tidak masalah, aku juga tidak mengerti 'kalian yang mengendalikan' dan 'kalian yang dikendalikan'," balas Mirza, masih dalam sikap tenangnya.
Sementara keheningan terjadi selama beberapa detik setelahnya, Bu Milan yang dari tadi hanya diam seolah sengaja membiarkan perdebatan mereka berlangsung pada akhirnya mulai berbicara, mengambil momentum tersebut untuk membuka pelajaran seolah tidak terjadi apa-apa.
Dari perdebatan Mirza tadi, kupikir secara pribadi aku juga selalu memikirkan hal yang sama—mulai dari sekolahku yang dulu terhadap ketua kelas Amelia di SMA saat ini. Menganggapnya sebagai salah satu 'sistem' yang harus dihindari akan lebih mudah dilakukan daripada harus sejauh itu untuk menentangnya. Tapi, melihat keseriusan dia berdebat tadi, kelihatannya dia tidak suka menjadi sosok penurut yang bisa dengan mudah dikendalikan oleh 'kepemimpinan tertutup'. Yah... kupikir itu wajar bila ada beberapa murid yang tidak terlalu menyukai cara penyampaian tersebut.
Dikarenakan kelas masih penuh keraguan dan ketidakyakinan antara satu dengan yang lain, sepertinya pemilihan seksi kelas untuk sementara waktu akan ditangguhkan.
Jika melihat secara objektif, menurutku seluruh murid di kelas ini masih belum mampu berinteraksi secara mendalam dengan orang-orang kelasnya sendiri—baik antar-baris maupun lawan jenis. Masih perlu waktu bagi mereka untuk beradaptasi dan menjalin hubungan interpersonal yang alami secara bertahap untuk mempersatukan mereka.
Mengingat ini masih sepuluh hari sejak awal pendaftaran, sepertinya aku harus menganggap situasi ini sebagai salah satu hal yang wajar terjadi. Karena secara tidak langsung... memang seperti inilah konsep awal hubungan manusia.
***
Pagi hari ini, karena suatu hal aku memiliki urusan di kantor. Kupikir jika ada orang yang kebetulan mengetahui ini, siapapun yang mengenalku pasti akan berpikir ini tidak seperti diriku saja.
Bagi seseorang yang hanya ingin duduk 'menikmati skenario layaknya menonton film', tentu saja pekerjaan ini merupakan salah satu hal yang pastinya ingin dihindari. Bukan sepenuhnya bermaksud menyepelekan, hanya saja sebisa mungkin ingin bermain aman untuk mengurangi 'keterlibatan dalam suatu rute yang merepotkan'.
Intinya adalah menghindari sesuatu yang melelahkan seperti bertemu orang-orang penting yang pastinya mengharuskan untuk berekspresi sebagai kesan penilaian orang tersebut. Dalam kondisi seperti itu, terus terang aku tidak terlalu ahli dalam 'berganti wajah' tanpa melakukan persiapan dari awal. Itu sebabnya aku lebih suka memilih cara teraman tanpa harus tampil mencolok.
"Permisi Bu! Absensi anda dari kemarin ketinggalan."
Suatu keberuntungan aku bertemu tepat saat beliau baru meninggalkan kantor.
"Oh... saya lupa. Terimakasih ya," kata Bu Milan, segera menerima absensi yang ku-ulurkan.
"Kamu... Rafa, 'kan?" Lanjut tanya Bu Milan, yang sepertinya masih mengingat namaku entah bagaimana.
Seperti biasa aku menjawabnya dengan anggukan. Tidak seperti yang kulakukan kepada Fito, anggukan-ku kepada beliau lebih lembut agar dinilai sebagai sopan santun. Meskipun begitu, ini terkesan agak memaksa karena tidak menggunakan lisan sebagai penjelas. Bagaimana jika beliau justru salah paham? Itulah yang menjadi kekhawatiran lain.
"Kamu siswa yang pendiam ya. Apa dari dulu kamu selalu begitu?" Tanya Bu Milan, sekilas tampak penasaran.
"Ya, kurang lebih," kataku.
Awalnya aku berpikir akan mengangguk lagi sebagai jawaban, namun entah mengapa aku merasa tindakan itu akan mengurangi nilai kesopanan-ku sebagai pelajar jika melakukannya terlalu sering.
"Kalau begitu saya permisi," kataku, sedikit mengangguk sebelum berbalik lekas pergi.
Karena urusanku telah selesai, aku segera mengakhiri percakapan guna menghindari pertanyaan yang tidak perlu. Dari kejauhan, aku merasa beliau masih memantau-ku di belakang, seakan-akan mencoba mengindentifikasiku. Kupikir seharusnya aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, namun—untuk beberapa hal itu membuatku merasa agak tidak nyaman dan sedikit risih.
***
Saat kembali kedalam kelas, seseorang yang tidak seharusnya berinteraksi denganku, menoleh ke arahku seakan menunggu hasil laporan.
"Aku sudah memberikannya," kataku datar.
"Hanya ingin memastikan, kau menjaga kesopananmu saat berbicara dengan beliau, kan?" Tanya siswi itu, terlihat galak.
Tentu saja aku yang tidak berniat terlibat jauh dengannya hanya akan menjawabnya dengan anggukan—namun, dari sorot matanya kelihatannya dia tidak terlalu suka caraku meresponnya seperti itu.
"Kau itu laki-laki! Jawab yang tegas!" Kata siswi itu, agak membentak sebelum pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku lega itu tidak menjadi pusat perhatian, tapi tampaknya ada salah satu sirkel yang kebetulan melihatnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya siswa 'A'.
Lantas, aku mengangguk meresponnya.
"Apa yang kau lakukan? Kau tidak membuat masalah dengannya, 'kan?" Lanjut tanya siswa 'A', terdengar seolah mencurigaiku.
'Satu-satunya yang bermasalah bukankah dia?' Jujur, aku ingin berkata demikian—tapi mungkin itu bisa memicu konflik sekiranya aku berterus terang.
"Kupikir tidak. Ketua kelas hanya menyuruhku mengembalikan absensi Bu Milan yang tertinggal," jawabku.
"Begitu ya, sepertinya kami yang salah paham," kata siswa 'A', menghela nafas lega sembari saling toleh pandang.
Saat dia menyebutkan kata 'kami', pandanganku sempat tertuju ke arah teman-temannya yang ikut mendengarkan percakapan kami di belakangnya.
"Perkenalkan, aku Doni!" Kata siswa 'A', memecahkan keheningan yang kubuat.
"Rafa."
Setelah perkenalan singkat itu, dengan segera dia menggiringku bergabung ke sirkel mereka. Ini adalah sebuah cara untuk menyambut orang baru sepertiku, begitulah pikirku pada saat yang sama.
Sekarang... aku benar-benar masuk dalam kandang mereka. Karena situasinya telah menjadi seperti ini... kupikir jika menolaknya secara langsung itu akan membuat penilaiannya terhadapku menjadi buruk... dan juga ini mungkin adalah situasi yang tepat untuk mengidentifikasi kelompok mereka.
Dari jarak interaksi sedekat ini, sepertinya aku akan mencoba memahami integritas kelompok ini.
Kedengarannya, obrolan mereka bersifat bebas—topik yang dibahas juga bermacam-macam. Tak seperti obrolan siswi perempuan yang biasa kudengar, obrolan mereka mengandung kesan humor dan terkadang disertai dengan infomasi acak yang bisa ditemukan dimana saja, asalkan berada pada jarak terdekat dengan kelompok tersebut.
"Apa kalian sudah melihat video viral itu?" Tanya siswa yang bernama Gilang.
"Oh, aku sudah melihatnya, itu sangat konyol sekali!" Seru siswa yang bersama Retno, tertawa terbahak-bahak.
"Hei lihatlah ini, video yang baru diunggah anak sekolah mereka," kata Gilang, menunjukkan layar ponselnya ke arah kami.
Video yang ditunjukkannya itu sepertinya adalah video komedi yang sepertinya populer saat ini. Mereka dapat melihatnya lewat aplikasi sosmed yang terhubung ke semua pelajar di sekolah futuristik seluruh negeri. Sepertinya, ini adalah salah satu kegunaan fitur aplikasi tersebut yang mampu mengisi hiburan siswa seperti mereka di waktu luang. Berbicara mengenai aplikasi 'sosmed pelajar', aku hanya mengikuti sedikit orang yang sekiranya memberikan informasi seputar sekolah futuristik. Tapi ketika melihat mereka yang sepertinya hanya berfokus pada hiburan saja, itu membuatku agak kecewa.
"Ngomong-ngomong siapa yang kau ikuti di sosmed? Tidak ada rahasia-rahasiaan lho," tanya Doni tiba-tiba.
"Sebaiknya jangan terlalu berharap karena kupikir kalian tidak akan tertarik," jawabku.
"Sudah tidak apa-apa tunjukkan saja, kami sangat penasaran," kata Doni, bersikeras memaksa.
Meskipun dia berkata demikian, itu tidak membuatku yakin bahwa mereka akan memberikan respon positif.
Saat aku mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat dijadikan alasan, kebetulan, sekilas aku sempat melihat layar ponsel Arif yang masih dalam tampilan list 'orang yang diikuti' di aplikasi sosmed-nya.
"Oh, itu. Salah satunya aku juga mengikuti orang ini," kataku, menunjuk ke salah satu list nama profil di ponsel Arif.
"Hn...? Oh! Tidak kusangka, rupanya selain aku ada juga laki-laki yang tertarik dengan isi kontennya," kata Arif, tampak senang saat mendengarnya.
"Kupikir aku menyukai cara belajarnya yang unik," kataku, berkata apa adanya.
"Hahahaha! Kau mengerti juga ya!" Seru Arif, menepuk punggungku sekali.
Ditengah kelanjutan suasana percakapan Arif denganku... terlihat Doni, Gilang dan Retno menatap kami berdua dengan wajah datar, seolah tidak terlalu memahami atau mungkin tidak tertarik dengan isi percakapan kami.
"Mereka berdua seperti berada di dimensi lain," kata Retno.
"Haha... ya, aku mengerti. Sisi baiknya kita bisa mengandalkan mereka berdua saat ada tugas," kata Gilang, mengacungkan jempolnya.
"Hei, aku tahu ini sedikit suram, tapi bisakah untuk tidak membuat rencana gelap seperti itu? Kalian berdua terlihat menakutkan," ujar Doni, melihat kedua temannya seolah memancarkan aura hitam yang mengepul di udara.
Yah, mungkin seperti itulah cara mereka bersenda gurau setiap harinya. Kupikir kelompok ini tidak terlalu buruk juga, tapi untuk saat ini aku masih belum membutuhkannya.
Meskipun memiliki integritas yang diperlukan saat ini dalam menghidupkan suasana kelas, bagi anak perempuan, mereka masih harus saling mengenal terlebih dahulu sebelum bisa melihat potensi kelompok ini. Dengan begitu, mereka pasti mampu membuat pertimbangan yang sesuai dalam membangun pondasi kelas. Ini adalah 'langkah yang dilewati' oleh ketua kelas kami, terlepas apakah itu sengaja atau tidak disengaja.
Saat ketiganya mulai beralih ke topik humor lain, dalam situasi pendekatan ini sepertinya aku mempunyai kesempatan untuk membicarakan sesuatu yang intensif dengan sekretaris laki-laki kelas kami, Arif.
"Hei, menurutmu apa kelas akan terus menjadi seperti ini?" Tanyaku kepada Arif.
"Maksudmu pasti tentang situasinya kan? Jujur saja, kupikir andaikan beberapa aturan ketat sedikit dilonggarkan, mungkin akan ada sesuatu yang berubah. Baik dari mereka yang diam-diam masih merasa keberatan, maupun mereka yang tidak merasa keberatan sama sekali—jelas kelas ini masih belum stabil karena tidak ada rasa persatuan yang pasti di dalamnya," jawab Arif.
"Dengan kata lain kau mengharapkan akan adanya perubahan 'kebijakan sepihak' dari ketua kelas, begitu?" Lanjut tanyaku.
"Ya begitulah... kau mungkin tahu sendiri kan ketua kelas kita Amelia itu bagaimana. Saat menyangkut ketertiban kelas, dia seringkali bersikap tegas dan tidak segan-segan memarahi siswa kelas dengan idealismenya. Alangkah baiknya kalau dia lebih rileks memimpin kelas kita. Aku agak khawatir dia terlalu memaksakan diri," kata Arif.
Oh... awalnya kupikir Arif akan memberikan kesan lebih baik atau penilaian khusus terhadap kebijakan Amelia yang digadang-gadang mampu melangsungkan kesejahteraan kelas... tapi nyatanya, setelah mendengar langsung pendapat Arif menyangkut situasi kelas sekarang ini, kurang lebih seperti yang ku perkirakan... dia pasti memikirkan hal yang sama.
"Belakangan ini... siswa yang namanya Mirza itu bersikeras menentangnya dengan alasan merasa terganggu karena harus menerima paksaan yang ditekankan ketua kelas. Ngomong-ngomong apa kau juga berpikir begitu?" Tanyaku.
"Mungkin ini berbeda dengan cara dia menentangnya. Meskipun cara Amelia terkesan memaksa, tapi aku tidak merasa semua itu untuk kepentingan pribadinya. Setidaknya, dari semua tindakan yang kulihat, aku merasa bahwa Amelia memang bersungguh-sungguh ingin mengkondisikan kelas kita," jawab Arif.
"Menurutmu, apa yang seharusnya Amelia lakukan agar bisa menjadi sosok pemimpin yang ideal?" Lanjut tanyaku.
"Kalau mungkin, aku ingin ketua kelas kita lebih memperhatikan perasaan semua orang di kelas tanpa terkecuali—dan juga lebih dekat dengan semuanya. Seandainya dari awal bisa seperti itu, bukankah itu bisa menjadi langkah besar untuk membangun persatuan kelas?" Kata Arif.
"Kau benar, seharusnya memang seperti itu," kataku.
"Hahaha...! Kupikir kau tidak akan tertarik membahas topik semacam itu. Apa mungkin ada sesuatu yang mengganggumu? Seperti mencoba merencanakan penentangan—sama seperti yang Mirza lakukan," kata Arif, berbisik saat mengkaitkannya dengan Mirza.
"Mana mungkin aku punya keberanian seperti itu," bantahku.
"Hahaha! Benar juga ya," kata Arif, tampak selalu menunjukkan keramahannya.
Setelah obrolan panjang kami selesai, tak lama kemudian lonceng tanda masuk berbunyi, membuat kami semua bubar dan kembali ke tempat duduk masing-masing.
Meskipun bergaul dengan mereka itu sedikit menyenangkan, tapi aku tidak akan bisa mendekati mereka dalam jangka waktu yang lama.
Kurasa tidak ada salahnya untuk berkumpul bersama mereka lagi sesekali—itulah yang sempat terlintas di kepalaku. Hanya semata untuk mendapatkan informasi yang lebih luas, mungkin kelompok mereka cocok kujadikan 'media sarana informasi' layaknya sebuah koran yang bisa terkumpul sendiri tanpa harus bingung mencarinya.
Karena aku memiliki 'ruang pribadi' yang harus ku jaga setiap saat, sebagai antisipasi, menjaga jarak secara tidak langsung dari mereka mungkin adalah strategi terbaik yang kumiliki sekarang.
***
Di zaman sekarang, hampir di sekolah manapun tipe guru tegas pastinya akan selalu ada. Biasanya, jika ada sekolah yang tidak memiliki tenaga pengajar dengan kepribadian seperti itu, sekolah tersebut terkadang dikategorikan lemah dalam mengendalikan muridnya—itu sudah menjadi ciri khas umum dalam suatu lembaga sekolah.
Salah satu alasan yang menjadi perbedaan signifikan, itu karena guru yang demikian memiliki cara tersendiri dalam menangani murid—meskipun berpotensi menjadi objek yang paling dibenci dan paling tidak disukai.
Selain memiliki keteguhan hati yang kuat, biasanya guru yang demikian itu juga memiliki pola pikir rasional dan analisis, baik ketika di dalam jam KBM, maupun di luar lingkup pengajaran. Meskipun beberapa di antaranya sifatnya terkadang sulit ditebak, sejujurnya aku lebih menyukai tipe guru seperti itu.
"Belum berubah juga ya..." terdengar gumaman seorang guru yang saat ini mengajar di kelas kami.
Beberapa di antaranya yang menyadari sindiran tesebut, sesaat menoleh, melihat tingkah laku bebas salah seorang yang duduk di bangku belakang. Sementara orang yang menjadi objek diperhatikan, kelihatannya tidak mempedulikan sama sekali tatapan tajam kelas yang tertuju ke arahnya, melainkan melihat sorot mata beliau seolah sedang menantang lewat kontak mata, serta menambahkan senyuman tipis yang telah menjadi ciri khasnya ketika mengintimidasi seseorang.
"Apa ada masalah? Sepertinya dari tadi aku hanya diam," kata Mirza, diam-diam menyeringai kecil.
Kupikir ini bukanlah yang kedua atau ketiga kalinya terjadi.
Sejak hari pertama, Mirza memang sudah terlihat seperti menikmati kebebasannya sendiri di dalam kelas bersama kelompoknya, seperti berbicara sendiri atau membuka ponsel saat KBM berlangsung. Meskipun seringkali ditegur, Mirza sama sekali tidak menunjukkan perubahan, justru sebaliknya... dia semakin meningkatkan keberaniannya dengan bersikap arogan.
Dari penampilannya, sekilas dia memang terlihat seperti orang kaya, tapi di sisi lain perilakunya itu hampir tidak ada bedanya dengan preman di jalanan.
Akhir-akhir ini Mirza juga membuat keributan dengan orang-orang penting di kelas. Dia melakukannya dengan sengaja seolah-olah menikmati perannya sebagai tokoh antagonis. Karena sifatnya yang seperti itu, selain kelompoknya sendiri, kelihatannya secara tidak langsung dia telah dikucilkan hampir sebagian besar anak di kelas. Meskipun seharusnya dia sudah menyadarinya hal tersebut, tapi sepertinya dia tidak terlalu mempedulikannya.
Seperti yang terjadi minggu lalu dengan Bu Eko, guru geografi yang mengajar saat ini, kesan pertama yang didapat dari Mirza hanyalah adu pemikiran yang berakhir dengan saling membantah.
Meskipun tidak ada sopan santun sama sekali ketika berhadapan dengan beliau, faktanya Mirza selalu bisa terhindar dari hampir segala masalah hanya dengan mengandalkan pemikiran individunya yang licik.
Aku penasaran apakah dia itu memang sengaja? Atau mungkin, dia mempunyai motif tertentu untuk melakukannya? Aku ingat dari percakapan mereka kemarin sempat membicarakan sesuatu yang terdengar seperti 'perencanaan di balik layar'—untuk sementara ini, aku akan mencoba berasumsi bahwa dia memang sedang merencanakan sesuatu.
Karena tidak ada petunjuk yang bisa membuktikan jelas tindakannya, kupikir dengan mengikuti sedikit arus, cepat atau lambat kebenarannya mungkin bisa terlihat lebih jelas setelah melihat kemana arah skenario ini berjalan.
Kelihatannya Amelia dan yang lain sudah tidak bisa membendung tekanan Mirza lebih dari ini—mungkin setelahnya dia akan ditindaklanjuti dan di hakimi secara langsung, itulah yang sempat kudengar dari percakapan kecil mereka setelah Bu Eko keluar dari kelas.
Selama ini Amelia hanya memberinya peringatan tegas, tapi setelah melihat sikapnya yang sudah sejauh ini kelewatan, kelihatannya sudah saatnya dia memikirkan langkah selanjutnya seperti menjatuhi hukuman berat, atau memperkuat peraturan kelas—sesuatu yang merepotkan seperti itulah yang mungkin terlintas di kepala mereka.