Malam hari ini, aku melihat bintang di langit untuk menenangkan pikiranku.
Seperti malam biasanya, malam ini juga tidak jauh berbeda. Namun, meskipun hampir tidak ada bedanya, aku selalu merasakan sensasi yang sama setiap kali menikmati kesunyiannya—'tidak ada ketenangan yang jauh lebih menenangkan dibanding melihat langit di malam hari', itulah yang kurasakan.
Mengingat akhir-akhir ini setiap paginya selalu berisik karena perdebatan antara sisi perempuan dengan sebagian kecil kelompok anak laki-laki, mungkin 'ketenangan' kelas yang ku dambakan akan runtuh lebih dulu sebelum bisa terwujud.
Secara pribadi aku cukup mengerti letak permasalahan kedua belah pihak tersebut. Hanya satu hal yang memperumit masalah keduanya, yaitu cara berpikir mereka dalam mengambil sikap, tindakan dan keputusan.
'Sebaik apapun tujuannya, jika tidak disertai kejelasan dalam setiap investigasinya, maka itu hanya akan menambah kayu bakar kedalam api'—itulah gambaran Amelia yang tanpa sadar melakukan perjuangan tidak berarti untuk kelas. Tapi jika menyangkut kelompok mereka, Mirza mungkin juga akan termasuk kedalamnya, selalu melakukan penolakan tidak berarti dalam menghadapi sifat keras kepala Amelia.
Seperti yang telah diketahui oleh banyaknya anak di kelas, Mirza itu bisa dikatakan siswa yang tidak bermoral. Sebutan 'tidak bermoral' yang dimaksud di sini tentu saja adalah selalu melanggar aturan yang ditetapkan ketua kelas, dan tidak memiliki etika baik saat berbicara, maupun berhadapan dengan guru.
Sungguh mengejutkan bahwa faktanya selama hampir setengah bulan ini, dia belum pernah dihukum secara langsung.
Bu Milan sudah sering memberinya peringatan berupa sindiran, namun antara tidak menyadari atau benar-benar tidak peduli, dia tidak berubah sedikitpun setiap harinya.
Sikapnya juga tidak bisa ditebak layaknya seorang pelajar yang melakukan kesalahan, dia memiliki cara bertindak terus terang dan memiliki sudut pandangnya sendiri dalam menyingkapi suatu permasalahan yang dibuatnya. Bisa diibaratkan, dia itu sudah seperti bom di dalam kelas yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja, dengan kata lain dapat mengganggu ketertiban kelas secara masal.
Karena wujudnya yang seperti itu, sepertinya aku hanya bisa melihatnya sebagai ancaman—untuk saat ini dan momen ini.
"Sudah kuduga. Akhir-akhir ini kau hampir selalu ada di sini setiap malam."
Ketika hampir masuk sepenuhnya kedalam inti dari keheningan ini... tiba-tiba suara seseorang dari samping merusak suasana gelap tersebut. Untuk sesaat, aku menghela nafas...
"Baru selesai mandi?" Tanyaku, meliriknya.
"Eh... bagaimana kau tahu?!" Dia yang tersontak kaget mendadak menatapku sinis.
"Hanya menebak dari penampilan, dan bau yang terlintas samar-samar," lanjut kataku.
"Tidak perlu terus terang seperti itu juga. Hah... setiap kali mendengar kata yang keluar dari mulutmu, entah kenapa itu membuatku merinding," katanya.
"Maaf, aku akan berhenti bicara yang tidak perlu," kataku, membuang muka.
"Apa kau sedang memikirkan sesuatu?" Tanyanya yang tiba-tiba, setelah jeda beberapa detik.
"Bukan hal yang penting, hanya sesuatu seperti halnya pertengkaran kelas pada umumnya," jawabku.
"Kupikir kelasku juga sama. Meskipun... konteks perdebatan yang mereka lakukan sama-sama ada benarnya, jika disuruh memilih mana yang benar, dari berbagai perspektif aku tidak bisa memilih di antaranya. Kedua hal itu juga sama-sama memiliki kontradiktif yang serupa, meskipun konsekuensinya berbeda," katanya.
"Kalo sudah berkaitan dengan masalah norma kesopanan, kupikir aku juga tidak akan bisa membantah untuk lebih condong memilih di antara mereka yang memiliki etika paling benar," lanjutnya.
"Pada akhirnya memang begitulah adanya," kataku, seolah melengkapi perkataannya.
"Kalo itu kau, apa kau bisa memikirkan sesuatu yang lain dari itu?" Tanyanya, seolah sengaja memancingku untuk bicara.
"Cika, semisal kau menjadi ketua kelas, sesuatu seperti apa yang paling kau utamakan?" Tanyaku, memberinya perumpamaan.
"Eh, itu, mungkin sesuatu yang seperti ketertiban kelas," jawabnya.
"Lalu semisal ada siswa lain di kelas yang tidak setuju mengenai pendapatmu itu, apa yang akan kau lakukan?" Lanjut tanyaku.
"Kurasa... dalam situasi itu, sepertinya aku hanya punya pilihan untuk meyakinkannya... tunggu!"
Disaat yang bersamaan dia menjawab, tiba-tiba reaksi 'menyadari' seolah terpicu dan membuatnya terdiam beberapa saat untuk memikirkannya, mempertimbangkan maksud perumpamaan yang kusampaikan.
"Jadi begitu. Kalo melihat dari sudut pandangnya, kupikir sekarang aku bisa sedikit memahami perasaan Amelia yang sedang berjuang sendirian," katanya.
"Bukankah itu bagus, sekarang kau jauh bisa memahami perasaan orang lain lewat sudut pandang," sindir-ku.
"Kau pikir aku ini apa?" Tanyanya, dengan raut wajah kesal menanggapi perkataanku.
"'Buku berjalan', mungkin perumpamaan yang tepat untuk saat ini," jawabku, menoleh ke arahnya.
"Bisa beritahu dengan jelas apa maksudnya itu?" Lanjut tanyanya, melihatku dengan tatapan skeptis.
Kupikir dia sudah tahu maksudnya. Hal yang membuatku yakin tentunya adalah ketika melihat sorot matanya itu.
"Aku sudah lelah," kataku, meliriknya sesaat sebelum masuk kedalam.
"Hei! jelaskan dulu maksudnya yang tadi...!" Serunya yang masih bisa kudengar dari luar.
***
Setelah malam hari yang singkat berakhir, di pagi harinya seperti yang sebelumnya mereka bicarakan di antara barisan anak perempuan—'persidangan kelas' yang telah di rencanakan kelihatannya akan benar-benar dilakukan hari ini.
"Mirza! Bisa kau luangkan waktumu di jam istirahat pertama?" Tanya Amelia, berbicara langsung di depannya.
Ini mungkin merupakan 'situasi yang tidak biasanya terjadi' adalah apa yang akan dilihat oleh seluruh murid di kelas.
"Boleh saja... tapi bukankah aku harus ke kantin lebih dulu mengambil jatahku?" Tanyanya, dengan ekspresi yang tak tergoyahkan.
"Sayang sekali kau harus menundanya sebelum menyelesaikan masalahmu yang berkaitan dengan kelas," jawab Amelia, berbicara dengan intonasi yang terdengar seperti tokoh antagonis.
"Pft, kau pikir aku akan menurutinya?" Kata Mirza, menyeringai.
"Sudah kuduga ini tidak mudah," kata Amelia, menghela nafas.
"Lantas kau mau apa?" Tanya Mirza, dengan sikap seperti seorang pemenang.
"Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menunjukkannya," kata Amelia, mencari sesuatu di ponselnya, lalu menujukkan secara jelas ke arah Mirza.
Karena hanya keduanya yang melihat hal tersebut, tentu saja semua murid yang memperhatikan perdebatan ini akan menjadi penasaran dengan apa yang sebenarnya ditujukkan oleh Amelia di ponselnya. Karena faktanya itu membuat perubahan besar dari ekspresi Mirza.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan dengan itu?" Tanya Mirza, tatapannya mulai terlihat serius.
"Tergantung pilihanmu, aku bisa saja melaporkan ini kepada para guru atau OSIS," jawab Amelia, kali ini balas menyeringai.
Lalu... [Dor...!] dengan kuat dan keras, Mirza menjatuhkan kepalan tinjunya ke atas meja.
Seketika itu, tindakannya menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kelas.
"Hmp, okelah. Kali ini saja aku akan mengikuti permainanmu—tapi jangan berharap kau bisa mengancamku lebih dari ini," kata Mirza, memelototi Amelia dengan tatapan mengintimidasi.
"Baiklah, hanya untuk kali ini. Pastinya kau tidak akan mencoba untuk kabur, kan?" Tanya Amelia, seolah merasa berhasil mengekang Mirza dengan sempurna.
"Tch, perempuan sialan!" Kata Mirza, memaki.
Usai menyelesaikan perdebatan kali ini yang hampir tak seperti biasanya, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing.
Amelia kelihatannya masih menyeringai, sesekali melirik ke belakang, percaya akan kemenangannya bisa menaklukkan entitas jahat terkuat di kelas. Sementara disisi lain, ekspresi Mirza menjadi lebih serius, seolah sedang berpikir keras untuk bisa terlepas dari sesuatu yang 'mengancamnya'.
***
—Cika
Tepat di jam istirahat pertama, Amelia tiba-tiba menyeru kepada seluruh murid di kelas....
"Semuanya harap dengar! Untuk sementara, kelas akan menjadi tempat persidangan. Bagi yang memiliki urusan di luar kelas, kalian bisa meninggalkan kelas dengan syarat tidak boleh kembali sampai lonceng masuk berbunyi, kalian mengerti kan!" Seru Amelia.
Meskipun pengumuman tersebut ditujukkan untuk seluruh kelas, akan tetapi pandangan Amelia tampak lebih condong melihat kelompoknya siswa bernama Mirza itu, orang yang akan menjadi lawan debatnya.
Tidak butuh waktu lama, beberapa murid yang tidak ingin terlibat atau memiliki urusan di luar kelas, segera meninggalkan kelas satu persatu serta ada yang bergerombolan.
"Cik, ayo keluar," kata Maya, mengajakku.
"Kurasa aku ingin di sini saja," kataku.
"Hei... sebentar lagi tempat ini akan menjadi medan perang lho," kata Maya, setengah berbisik, melihat sekeliling.
"Kupikir tidak sampai sebegitunya," bantahku.
"Baiklah kalau begitu. Jika nanti kau berubah pikiran, kami ada di kantin," kata Maya, sebelum meninggalkanku pergi bersama Arisa.
"Mana mungkin bisa keluar kan, kalau sudah terlanjur di dalam," balasku membatin.
Beberapa saat kemudian, kelas hanya menyisakan beberapa anak laki-laki dan sebagian besar anak perempuan. Karena masih penasaran dengan perdebatan mereka, aku sengaja melewatkan mengambil jatahku di jam istirahat pertama.
Mengesampingkan itu, tampak di belakang, Mirza beserta kelompoknya tidak melakukan apapun saat Amelia dan yang lain mendekati, mereka masih saling menatap tidak suka.
"Sekarang apa?" Tanya Mirza, terlihat mewaspadainya.
"Biar kukatakan ini dengan terus terang! Bisakah kau mengatur sikapmu ketika guru sedang mengajar? Aku tidak memintamu untuk merubahnya—setidaknya kendalikanlah dirimu. Ini untuk kebaikan kelas," ujar Amelia, menguatkan setiap perkataannya.
"Hah... sikap ya... ketua, sepertinya kau tipe orang yang suka sekali memaksa. Sebenarnya atas dasar apa kau melakukannya untuk kelas?" Tanya Mirza, menyeringai.
"Jangan balik bertanya!" Tegas Amelia, berupaya menyudutkannya.
"Wow... itu agak menyeramkan. Seperti yang kuduga, kau memang memiliki bakat meneriaki orang," kata Mirza, dengan intonasi seperti sedang bercanda.
"Amelia, sudah cukup! Sepertinya percuma saja berbicara dengan monyet ini," kata Sifa,
terlihat sudah kehabisan kesabaran.
"Perkataanmu boleh juga," sindir Mirza, mengangguk-angguk, meremehkannya.
Tersinggung dengan provokasinya, Sifa yang sepertinya telah mencapai batas kesabaran, maju selangkah, hendak berniat menanpar wajah laki-laki itu. Tapi dengan sigap, Amelia menghentikannya dengan memegang pundaknya. Dalam situasi ini pun terlihat Mirza belum sama sekali menunjukkan tanda-tanda keseriusannya untuk berbicara.
"Mirza, kau tahu kan apa yang akan kulakukan jika kau tidak serius menanggapinya...."
Dengan sorot mata tajam, Amelia menunjukkan ponselnya sebagai ancaman.
"Sepertinya aku harus membalasmu dua kali lipat setelah ini," kata Mirza, seketika sikapnya berubah serius.
"Lakukan saja sesukamu," kata Amelia tak tergoyahkan.
Mendengar hal tersebut, Mirza yang awalnya duduk santai, serentak merubah posisinya.
"Ku-akui kau memang hebat dalam memojokkan seseorang. Tapi sepertinya hanya sebatas itu kelebihanmu yang bisa kulihat sekarang ini," kata Mirza, diam-diam menyimpan seringainya.
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan dari tadi!?" Tanya Sifa, emosinya tampak sudah memuncak.
"Hah... kau juga sama saja," kata Mirza, menoleh remeh ke arah Sifa.
"Ketua, kau pikir hanya kau saja yang bisa mengancam?" Lanjut tanya Mirza, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Amelia, seolah memiliki sesuatu yang direncanakan.
"Kau tidak bisa sesuka hati mengatur seseorang kalau orang itu tidak setuju dengan aturan yang kau tetapkan. Tidak semua orang bisa memahami cara kerja aturan itu. Karena itulah ada pendapat pro dan kontra, sampai sini kau paham kan," kata Mirza, segera menunjukkan sesuatu di ponselnya.
Lalu, pada saat yang hampir bersamaan, mereka yang melihat sesuatu di ponsel Mirza langsung dibuat terkejut. Sementara orangnya sendiri yang memperlihatkannya, seketika memperlihatkan seringainya yang memiliki tekanan lebih kuat dibandingkan sebelumnya... apakah dari tadi dia hanya berpura-pura terpojokkan...? Hanya untuk menunggu momen ini...?
"Sekarang posisi kita sama kan, ketua?"
Mengatakan hal tersebut, Mirza tiba-tiba terlihat sangat percaya diri.
"Sejak kapan kau 'memotretnya'?" Tanya Amelia, sepertinya telah kehilangan sikap tenangnya.
"Kalian seharusnya tidak menilai orang dari sikapnya. Kali ini kau juga terlalu naif, ketua," kata Mirza yang telah berdiri tegar.
Lantas, dia meninggalkan kelas bersama kelompoknya yang mengikuti dari belakang, ikut tertawa santai merendahkan.
Dari reaksi Amelia dan yang lain, sepertinya mereka tidak menduga bahwa Mirza akan melakukan serangan balik yang disengaja dari awal. Beberapa dari mereka terlihat tidak terima dan semakin kesal dengan keberadaan laki-laki tersebut. Hasilnya sekarang, rencana Amelia dalam rangka merubah sikap Mirza, telah gagal total. Mengesampingkan itu, sejujurnya aku masih penasaran dengan apa yang menjadi 'senjata keduanya di dalam ponsel' masing-masing, karena faktanya, itu sama-sama membuat mereka sempat merasa terancam satu sama lain.
***
—Rafa
Meskipun merasa sedikit penasaran dengan apa yang terjadi di dalam kelas saat ini, pada akhirnya aku memilih meninggalkan kelas setelah mendengar seruan Amelia yang terlihat cukup serius.
Diantara siswa di kelas yang memilih meninggalkan kelas, aku berjalan di antara kerumunan mereka, lalu berpisah setelah mencapai lorong yang tak jauh dari kelas. Karena sepertinya aku tidak bisa kembali ke kelas usai mendengar seruan Amelia tadi, kelihatannya dengan terpaksa aku harus menghabiskan waktuku sampai badai perang di kelas berlalu yang itu berarti sampai jam istirahat berakhir.
Setelahnya aku memutuskan datang ke kantin, mengambil jatah makan terlebih dahulu, lalu makan di salah satu meja kosong sambil memikirkan beberapa hal, khususnya terkait kondisi kelas saat ini yang tampaknya sudah cukup menggangguku. Kemudian, setelah selesai makan, aku membulatkan keputusanku untuk menemui seseorang.
Saat berkeliling di sekitar lorong-lorong kelas lain, beruntung aku lebih cepat melihat seseorang yang hendak-ku temui itu, akan tetapi....
"Bu! Tentang tugas yang kemarin itu...."
Terlihat ada seorang perempuan, beserta dua orang lain di sisinya, terdengar sedang dalam obrolan penting menyangkut pelajaran.
"Itu begini..."
Sambil melihat dari kejauhan, aku menghela nafas. Sepertinya aku harus menunggu sampai ketiga perempuan dari kelas lain itu pergi. Tapi itu akan memakan waktu karena sebentar lagi jam istirahat akan segera berakhir.
Meskipun enggan, aku memaksakan kakiku untuk melangkah, mendekati tanpa mempedulikan keberadaan siswi lain disekitarnya yang masih ditengah perbincangan.
"Bu! Ada hal yang ingin ku bicarakan—ini terkait kelas," kataku, memotong pembicaraan mereka dari dekat.
"Eh!"
Setelah mengatakannya, terjadi keheningan selama beberapa saat. Sementara itu, Bu Milan yang kelihatannya sempat merasa bingung, segera mengalihkan pandangannya ke arahku, heran. Disamping itu, aku juga bisa mendengar ketiga perempuan itu saling berbisik-bisik tidak senang, melihatku dengan tatapan benci, mungkin.
"Apa itu hal yang tidak bisa dikatakan langsung di sini?" Tanya Bu Milan.
"Ya," jawabku singkat.
Lantas, Bu Milan spontan menoleh ke arah tiga perempuan itu yang hanya terdiam. Sepertinya mereka tampak kesal melihatku.
"Nanti tanyakan lagi ya," kata bu Milan dengan intonasi halus.
Tak butuh waktu lama, ketiga perempuan itu beranjak pergi setelah mengangguk paham, menuruti perkataan beliau.
"Saya tidak menyangka kamu yang biasanya pendiam tiba-tiba bisa berbicara seperti itu," sindir Bu Milan, tersenyum tipis.
"Dalam kondisi normal aku mungkin akan memilih diam, menunggu sampai semuanya berlalu. Tapi... akhir-akhir ini aku merasa kondisi ini sudah cukup mengganggu kenyamananku di kelas," kataku, terus terang.
"Pasti kaitannya dengan Mirza kan?" Ujar Bu Milan, menduganya.
"Itu juga termasuk salah satunya. Tapi akar permasalahannya itu ada pada perdebatan yang hampir setiap saat mereka lakukan," jawabku.
"Daripada semuanya jadi lebih rumit dan tidak terkendali, bukannya lebih baik menindaklanjutinya sekarang daripada terus menunggu, membiarkan permasalahan mereka berakhir sendiri tanpa tahu sampai kapan? Menurutku itu bukan ide yang bagus. Sebaliknya, itu mungkin akan bertambah buruk," lanjut kataku.
Menunggu respon beliau, sesaat ekspresi Bu Milan tiba-tiba menjadi lebih serius, seolah beralih ke dirinya yang lain.
"Mereka itu... memiliki sesuatu yang harus dibenarkan dan disadari masing-masing," kata Bu Milan, mendadak intonasinya terdengar agak berat.
"Hah... sepertinya saya yang terlalu berharap. Saya pikir kalau membiarkannya sejenak, mereka bisa menyadari letak kesalahan masing-masing. Seperti anak yang tidak bisa berpikir logis sebelum belajar menempa hati dan otak, selama tidak ada pemicu akan sulit untuk merubah kondisi mereka," lanjut kata Bu Milan.
"Andai salah satu dari mereka adalah orang yang mampu berpikir dewasa, masalah seperti ini pasti akan cepat selesai. Tapi saat ini, keduanya sama-sama memiliki idealisme tersendiri yang membuat mereka keras kepala. Seakan-akan melupakan ekstensi murid lain yang merasa terganggu dengan perdebatan mereka," kataku.
"Sekarang pasti kamu mengertikan. Hanya ada jalan buntu dari permasalahan mereka saat ini," kata bu Milan, tersenyum ramah, kembali ke dirinya yang biasa.
Aku sempat berpikir, jika saja wali kelas kami dari awal tipe guru tegas, beliau pasti akan memerankan sosok yang tidak akan segan-segan menggunakan cara agresif untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Meskipun tidak secara internal, bagiku itu sudah cukup bila masalah terselesaikan secara eksternal. Setidaknya, tidak ada lagi perdebatan dan kegaduhan yang terjadi secara terang-terangan. Beda halnya dengan peran 'tipe tenang' yang seperti ini... beliau hanya akan memakai cara bertindak yang lebih sederhana dan lebih condong tidak mudah dibenci murid. Kalau konteksnya seperti itu, maka peran yang cocok untuk melibatkan beliau dalam rencana ini adalah....
"Bu, sepertinya saya punya suatu ide yang layak dicoba," kataku.
"Ide yang layak dicoba?"
Ketika beliau mengulang kalimat itu, aku mengangguk, kemudian memberitahukan isi kepalaku kepada Bu Milan sebuah solusi yang mungkin dapat menyelamatkan kelas—meskipun kemungkinan besar hanya bersifat sementara. Namun setidaknya, ini seharusnya bisa mencegah kehancuran kelas untuk sesaat.
Awalnya Bu Milan tampak kurang yakin dengan ide itu. Namun begitu mendengarkanku hingga selesai, kupastikan sekarang beliau mungkin sudah delapan puluh persen mempercayaiku. Meskipun tidak ada jaminan, salah satu tingkat kesuksesan rencana ini akan didasarkan pada seberapa yakinnya beliau dalam memainkan perannya sebagai peraga boneka di kelas.
***
Setelah jam istirahat selesai, murid kelas sepuluh bahasa yang sebelumnya keluar kini kembali masuk kedalam kelas. Termasuk aku, hampir sebagian anak laki-laki spontan menoleh ke arah Mirza yang sebelumnya tidak dibiarkan keluar di jam istirahat. Dari ekspresinya, sepertinya tidak ada perubahan besar yang terjadi kepadanya meskipun telah disidang empat mata oleh ketua kelas dan kelompoknya. Memang tidak mudah untuk menundukkan murid seperti Mirza, apalagi dengan sikap dan perilakunya, juga idealismenya. Tapi bukan berarti tidak ada cara untuk mengatasinya.
Sepulang dari sekolah aku ingat jika hari ini adalah jadwal piket-ku. Meskipun anak laki-laki lain umumnya mudah saja meninggalkan pekerjaan semacam itu, akan tetapi untukku... kurasa tidak ada alasan lain yang bisa ku gunakan agar terbebas dari pekerjaan ini. Minggu lalu, aku bisa terhindar karena kebetulan melupakannya, lalu minggu sebelumnya juga sama.
"Aku ingin secepatnya menyelesaikan ini."
Sementara itu, orang yang menggumamkan kalimat serupa seperti yang kupikirkan saat ini adalah siswi yang memiliki jadwal piket di hari sama denganku. Dia adalah Sifa, sang wakil ketua kelas, sekarang berdiri tepat di sampingku.
"Hei kau! Jangan bengong...! Rapikan bangku-bangku itu!" Serunya.
Oh... mungkin karena aku yang paling dekat dengan objek, karena itulah dia menyuruhku. Aku akan berusaha berpikir positif saja.
Setelah merapikan bangku seperti yang dia suruh, tak lama kemudian dia memberiku perintah lagi.
"Bisakah kau membersihkan debu yang ada di atas jendela?" Pintanya yang masih terlihat galak, sambil memegang sapu di tangan kanannya.
Tanpa merespon maupun mengeluh, aku melakukan pekerjaan seperti yang dia suruh. Sebelum itu, aku naik ke atas meja agar lebih mudah menjangkau atas jendela, lalu perlahan mulai membersihkan debu-debu berterbangan itu dengan kemoceng. Jika diingat-ingat, orang yang seharusnya piket hari ini ada 6 murid. Selain aku dan Sifa, 3 di antaranya tampaknya berhasil melarikan diri. Lalu satu orang lagi yang seharusnya ada di sini saat ini...
"Huf... maaf, aku mengambilnya agak lama," kata salah seorang perempuan yang kumaksud, sampai di kelas terlihat kelelahan.
Sepertinya dia mendapat tugas dari Sifa untuk mengambil air dan pembersih lantai.
"Justru akulah yang minta maaf, seharusnya aku sendiri atau dia yang kusuruh mengambilnya," kata Sifa, segera menghampirinya di depan pintu, lalu membantu membawakan ember berisi air itu.
"Ini sama sekali bukan masalah!" Seru siswi yang bertubuh kecil itu, mencoba terlihat energetik.
"Baguslah. Setelah mengepel lantainya kita bisa pulang," kata Sifa.
"Kalau begitu aku akan beristirahat sejenak di sini," kata siswi itu, segera duduk di salah satu kursi setelah menaruh ember dan pembersih lantai yang sebelumnya dibawa.
Siswi itu adalah Erlin. Sepertinya dia memiliki jadwal piket yang sama denganku dan Sifa. Terkait dengannya, waktu itu kami juga sempat bertabrakan saat aku baru masuk kedalam kelas—entah apa sekarang dia masih mengingatnya atau tidak.
"Apa di situ sudah selesai?" Tanya Sifa, sepertinya menyinggung pekerjaanku.
Dari gaya bicaranya, entah mengapa dia terdengar cukup tegas ketika berbicara denganku, tapi cukup lembut ketika dengan Erlin. Terus terang aku sama sekali tidak mempermasalahkannya, malahan itu justru bisa menjadi pembeda dia hendak berbicara dengan siapa tanpa aku harus menoleh terlebih dahulu untuk memastikannya.
"Ya, baru saja," kataku, sembari turun dari atas meja.
"Pasti melelahkan ya, harus piket sendirian," kata Erlin, terlihat gugup mencoba berbicara denganku.
"Yah... kalau itu mau bagaimana lagi, tidak semua murid di sini mau melakukan pekerjaan seperti ini, terutama untuk anak laki-laki," kata Sifa yang terdengar cukup menusuk—melirikku tajam di bagian 'anak laki-laki'.
"Itu wajar," kataku spontan.
"Ha...!? Apa maksudmu wajar?" Tanya Sifa, menaikkan intonasinya, bereaksi setelah mendengar ucapanku, lantas memelototiku.
Disisi lain, Erlin cukup dikagetkan dengan reaksinya yang berlebihan, meskipun begitu, anehnya aku tidak bisa menghentikan mulutku yang ingin berpendapat menurut perspektifku.
"Masa di mana kebanyakan anak laki-laki mulai menunjukkan sisi perlawanan ofensif adalah ketika masa remaja," kataku.
"Bukankah beberapa di antaranya juga berlaku untuk anak perempuan?" Bantah Sifa.
"Itu juga benar. Tapi setidaknya, ada letak pengecualian mendasar dari segi dimana mereka mulai melakukannya," kataku.
"Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?" Tanya Sifa, sekilas tampak bingung mencerna maksud perkataanku.
"Itu adalah perbedaan 'inti' dari tindakan yang dihasilkan dari cara memberontak mereka. Contohnya seperti anak laki-laki di zaman sekarang yang malas karena memiliki alasan tidak ingin diperintah, sementara anak perempuan malas karena tidak memiliki motivasi. Konteksnya memang sama, tetapi inti permasalahannya berbeda. Itulah alasan mengapa segala permasalahan itu harus diselesaikan dengan cara yang tepat. Tidak lain, itu karena semua orang memiliki 'rute pemecahan masalah' yang tidak selalunya sama," jelas-ku panjang lebar.
Setelah memberikan penjelasan, keheningan terjadi selama kurang lebih lima detik dengan kami yang saling menatap—lalu berakhir dengan Sifa yang menghela nafas sambil melepas kedua tangannya yang sebelumnya dilipat di depan dada.
"Kau ini... agak sedikit aneh. Apa kau sebenarnya orang yang pintar? Tidak kusangka kau yang tadinya sangat pendiam tiba-tiba bisa mengatakan sesuatu seperti itu," ujar Sifa, antara tercengang dan juga menyindir.
"Kau sendiri juga aneh. Kenapa gaya bicaramu sering berubah-ubah?" Balasku spontan.
Mendengar hal tersebut, anehnya dia malah terheran sendiri, seolah tidak menyadarinya perubahan sikap yang kumaksud.
"Eh? Apa benar aku terlihat seperti itu?" Balik tanyanya, terdengar tidak mempercayaiku.
Di saat yang bersamaan dia bertanya, kelihatannya ekspresi yang biasanya serius, memudar ditengah pembicaraan ini.
"Kurasa akan sangat aneh kalau aku tidak menyadarinya, bahkan setelah berbicara denganmu seperti ini," jawabku.
"Aku juga merasa seperti itu," kata Erlin, ikut mengkonfirmasinya.
Berusaha menanggapi fakta yang benar-benar terlihat jelas, Sifa saat ini terlihat cukup serius memikirkannya. Tapi ketika hendak membuka mulutnya, aku segera memotongnya.
"Kalo tidak ingin diceritakan maka tidak perlu dikatakan. Sejujurnya aku sama sekali tidak merasa penasaran," kataku dengan sengaja, segera pergi dari hadapannya.
Setelah itu kelihatannya tidak ada percakapan lagi yang terjadi sejak Sifa menahan dirinya saat mendapatkan pukulan tentang 'sesuatu yang menyinggungnya' tadi. Sepertinya sekarang aku mengerti rupanya Sifa juga memiliki sisi yang seperti itu, jauh dipendamnya.
***
Hari ini jam pertama kami adalah mapel penjas. Bagi kebanyakan murid, pelajaran yang satu ini amat sangat ditunggu oleh mereka yang suka dengan kebebasan dari segi manapun. Karena hanya pada saat menjelang semester saja pelajaran tersebut menjadi lebih serius, sedangkan di hari-hari biasa, mereka akan di bebaskan oleh berbagai macam permainan olahraga yang bisa mereka nikmati selama jam mapelnya. Tentunya hal ini seolah sudah menjadi tradisi umum bagi para siswa, meskipun mereka berada di sekolah futuristik yang terkenal sekalipun.
"Amelia! Tahan ini!" Sifa melakukan pukulan smash ketika melompat.
"Aku tahan!" Seru Amelia, memblokir bola yang akan mendarat ke daerahnya, lalu melakukan passing atas sehingga bola yang telah dilambungkan itu bisa di smash oleh salah satu rekan timnya.
Selain permainan bola voli, anak-anak kelas sepuluh bahasa juga melakukan berbagai macam permainan tersendiri di lapangan yang berada di area utama bagian utara (AUBU). Keliling lapangan tersebut sangat luas hingga dapat mencakup 3 lapangan di dalamnya. Diantaranya ada lapangan sepakbola, voli dan basket. Untuk lapangan sepakbola, sepertinya merupakan lapangan bebas yang bisa digunakan untuk memainkan permainan lainnya seperti kasti atau softball yang tidak memerlukan net atau pembatas. Lalu untuk batas keliling dari ketiga lapangan tersebut, ada jalur yang dikhususkan untuk lari maraton. Dikarenakan luasnya yang seakan melebihi gedung sekolah, lapangan ini seharusnya dapat dilihat jelas, besar keseluruhannya dari area utama bagian tengah (AUBT) yang ada di dataran tinggi.
"Aku tidak akan terkejut lagi bila melihat sesuatu semegah ini untuk sebuah tempat di sekolahan," gumamku, hanya melihat dari kejauhan.
Meskipun mereka sangat menyukai jam olahraga, itu tidak berlaku untukku yang menyukai suasana tenang."Lebih baik melakukan olahraga otak"—itulah yang hampir selalu kupikirkan ketika dalam kondisi seperti ini. Karena tidak ada jalan lain selain membolos, sepertinya dengan terpaksa aku harus berbaur dengan udara panas yang menyengat.
Sebuah tempat teduh yang berada tak jauh dari lapangan, aku duduk di sana memperhatikan mereka yang aktif melakukan beberapa cabang permainan olahraga. Karena di tempat itu juga terdapat beberapa siswa yang sama sepertiku, aku merasa lega tidak menjadi satu-satunya orang yang tidak tertarik dengan olahraga fisik.
"Hei, kenapa kau tidak ikut?"
Sungguh mengejutkan. Seorang siswi sekelas yang seharusnya tidak mungkin berinteraksi denganku dalam waktu dekat, tiba-tiba sudi berbicara denganku yang dari tadi membuat suasana diam. Dia adalah Nida, perempuan berpenampilan kalem yang saat ini menjabat sebagai bendahara kelas. Mungkin karena canggung, alih-alih tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, dia ingin memecahkan suasana itu dengan sengaja berbicara denganku.
"Hanya tidak tertarik," jawabku, menoleh ke arahnya yang entah kenapa berdiri di sampingku.
"Menurutku itu bukan alasan yang tepat untuk menghindari jam olahraga. Kupikir sebaiknya kau ikut bergabung saja," ujarnya, dengan intonasi lembut.
"Tidak, tidak perlu," kataku.
Mengingat dia merupakan salah satu murid yang memiliki posisi penting di kelas, wajar saja jika dia bisa menjadi agak memaksa seperti ini. Selain itu, terlihat dari semua hal yang berlangsung di lapangan saat ini hanyalah permainan bebas dan tidak semua orang menyukai olahraga yang bebas. Jadi, tidak ada salahnya untuk tidak mengikutinya selama bukan sesi penilaian.
"Tenang saja. Misalkan ada penilaian, aku pasti akan mengikutinya," kataku.
"Jadi kau sungguh tidak suka olahraga ya," kata Nida, terdengar telat menyadarinya.
"Dari tadi memang sudah jelas kan," kataku, memalingkan wajah tidak tertarik.
Setelah menunggu sejenak tanpa ada percakapan, kupikir dia sudah pergi dari hadapanku. Tapi siapa sangka saat aku melihat kedua kalinya ke samping, ternyata dia masih ada di situ, meminum setengguk botol air mineral ["Gluk..."]
"Huh... segarnya... rasanya seperti hidup kembali," kata Nida, usai meminumnya.
"Kau sendiri kenapa tidak ikut?" Tanyaku.
"Andaikan bisa aku pasti sudah ada di sana," kata Nida pelan.
"Kenapa tidak bisa?" Tanyaku.
"Sebenarnya—tubuhku ini sangat lemah, jadi aku tidak bisa terlalu lama berdiri di bawah sinar matahari," jawabnya, sedikit melirik ke atas, teriknya matahari.
"Padahal aku sangat ingin bergerak bebas seperti yang lain," lanjutnya, entah mengapa terdengar agak sedih.
Ternyata begitu cara dia melihatku. Sepertinya aku salah paham dibagian posisinya sebagai orang penting di kelas, yang rupanya itu tidak ada hubungannya. Kupikir tadi dia sedang mengatur seperti yang biasa dilakukan Amelia atau Sifa, tapi sepertinya dia hanya mendorongku murni hanya sebatas keinginan pribadinya saja. Sebagai seorang murid perempuan dia terlalu baik, bahkan terlalu menyilaukan untuk mempedulikan orang sepertiku. Setidaknya, saat ini aku tahu bahwa tidak ada kedustaan di balik kebaikannya ini.
"Karena itu kau bersikeras menyuruhku bergabung dengan yang lain ya," sindirku.
"Maaf kalau bagimu itu terlalu memaksa. Sebenarnya aku hanya merasa seperti, 'sayang sekali punya tubuh yang sehat tapi tidak di rawat dengan baik', saat memikirkannya saja, itu membuatku prihatin," kata Nida, terlihat cukup berlebihan saat mengungkapkannya.
"Kau terlalu baik ya," kataku.
"Eh... itu..."
"Jangan salah paham. Meskipun sejujurnya malas gerak, aku masih berolahraga setiap pagi. Bagaimanapun juga olahraga itu bisa menyegarkan pikiran. Untukmu seharusnya tidak ada salahnya kan, melakukan dari yang ringan-ringan dulu," kataku, sekalian memberinya saran.
"Begitu ya. Hn, kau benar. Akan ku coba membiasakannya," kata Nida, terlihat cukup senang dengan jawaban yang kuberikan.
"Jangan terlalu memaksakan diri," tambahku.
Setelah itu percakapan kami berakhir dengan dia yang pergi, beranjak mendatangi siswa lain. Sama seperti yang baru saja dia lakukan kepadaku, kelihatannya dia cukup antusias mendorong siswa lain yang tidak suka olahraga untuk bergabung di lapangan. Meskipun fisiknya lemah, dia masih mampu berkeliling mengatur siswa lain kesana kemari seolah itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Meskipun begitu aku masih ragu apakah dia bisa terus menjalankan perannya di masa depan? Mungkin itu agak sulit untuknya bila melakukannya sendirian. Tapi untuk saat ini, setidaknya dia....
Setelah jam mapel penjas berakhir, jam selanjutnya diisi oleh mapel matematika. Tentu saja karena dalam mapel tersebut sama sekali tidak bersinergi dengan otakku, awalnya aku berniat hendak melewatkannya dengan diam-diam tidur. Namun, ketika menyadari suatu hal yang terasa KBM ini berjalan sangat normal, secara reflek aku melirik mereka yang duduk di belakang, memastikan kejanggalan tersebut. Saat melihatnya—sungguh mengejutkan. Mirza dan kelompoknya yang biasanya akan memulai kegaduhan sekali dua kali secara berkala, saat ini duduk tenang seolah terlihat memperhatikan pelajaran.
"Itu tidak mungkin terlihat seperti itu."
Merasa ada yang tidak beres, aku mulai menyelidik, memperhatikan mereka secara detail mulai dari gerakan tubuh hingga ekspresi wajah. Dan benar saja. Saat mengamati mereka selama lima menit, aku menyadari mimik wajah Mirza, senyumannya yang konsisten itu seolah memberitahu bahwa saat ini dia memiliki 'rencana di belakang' dan akan segera dijalankan. Sementara anak lain dari kelompoknya, juga terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Baru setelah jam pulang sekolah, semua kecurigaanku terjawab sudah....
Kehebohan kembali terjadi saat jam pelajaran terakhir usai. Pasalnya, Mirza dan sirkel-nya secara terang-terangan mendeklarasikan kemerdekaannya sendiri untuk memisahkan diri dari kelas.
"Mulai sekarang kami akan memisahkan diri dari kelas ini. Kau paham maksudnya kan, ketua—tidak, mungkin setelah ini aku akan memanggilmu dengan sebutan cewek kelewat serius saja," kata Mirza, dengan terang-terangan memprovokasi Amelia di hadapan semua murid sekelas.
Amelia yang geram kelihatannya berusaha menahan dirinya agar tidak terprovokasi lebih jauh dengan kata-kata Mirza. Tidak hanya Amelia, Sifa dan bahkan beberapa siswi yang ada di barisan depan terlihat memiliki berbagai macam ekspresi marah.
"Ya... ya, aku sangat suka pemandangan ini. Memang begitulah seharusnya!" Kata Mirza, tampak membanggakannya.
Tak lama kemudian, ditengah suasana yang sedang memanas ini, datang sekelompok siswa yang telah berdiri di depan pintu kelas. Dari tampilan jasnya yang berwarna hitam tebal, sepertinya mereka berasal dari jurusan otomotif.
"Siapa yang akan ikut denganku?" Tanya Mirza, melirik ke belakang dengan tersenyum licik.
"Kalau sudah sejauh ini, aku akan terus mengikutimu," kata Arga yang menjadi orang pertama mengikutinya.
Setelah Arga, disusul beberapa anak dari sirkelnya yang kemudian mengikutinya juga dari belakang. Meskipun di antara mereka hanya Nafi satu-satunya yang sempat terlihat ragu mengikuti Mirza dan yang lain, pada akhirnya dia ikut bergabung juga karena terseret oleh arus mereka berdua. Lalu setelah keenam dari mereka berdiskusi singkat, Mirza bersama sirkel-nya pun keluar dari kelas dan bergabung dengan orang dari kelas otomotif yang terlihat sedang menunggunya. Alih-alih tertawa jahat, mereka meninggalkan senyuman licik sebelum pergi dari kelas bahasa. Sementara itu, Amelia yang tak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi tersebut, hanya bisa menunduk, membenamkan wajahnya tanpa berkata apapun.
Lalu di keesokan harinya... seperti yang telah terjadi kemarin, kelompok mereka yang dipimpin Mirza kelihatannya telah benar-benar membulatkan tekad memisahkan diri dari kelas. Seolah tidak mengenal satu sama lain, tidak ada interaksi khusus yang terjadi seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan ketua kelas kami, Amelia yang biasanya akan beradu mulut dengan Mirza, kini sama sekali tidak memberikan perhatiannya seolah memperlakukan mereka bagai orang asing. Kira-kira begitulah situasi yang terjadi di kelas saat ini—menggantung seperti pada masa awal masuk sekolah.
***
—Cika
Hari ini ketika masuk kedalam kelas, aku merasa ada yang aneh dengan kelasku saat ini. Biasanya agak sedikit ramai dengan beberapa percakapan. Namun sekarang, sebelum lonceng berbunyi saja semuanya tampak begitu tenang seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi kelas saat ini. Apakah aku sudah melewatkan sesuatu?
"Ci~ka! Apa yang sedang kau lihat?" Tanya seseorang yang mendadak muncul mengejutkanku dari samping.
Tidak lain perempuan yang begitu ekspresif ini adalah Maya, salah satu temanku yang paling dekat di kelas dan juga merupakan teman pertama yang kumiliki di antara anak perempuan.
"Uh, tidak, hanya sedikit heran. Entah mengapa rasanya agak tenang hari ini," jawabku.
"Hmm... benarkah? Justru yang kurasakan sebaliknya, aku merasa merinding dengan suasana ini," sindir Maya, memperhatikan sekitar.
Mendengar kata 'merinding', aku jadi sedikit penasaran dengannya. Kenapa Maya bisa merasa seperti itu padahal jelas jelas semua yang terlihat di kelas ini nyatanya begitu tenang?
"Merinding," kataku, mengulanginya.
"Bukankah itu sudah jelas, 'mereka sedang berdiam-diaman'," bisik Maya di bagian kalimat terakhir.
Oh... jadi itu yang dia maksud merinding. Sekilas aku juga menyadari adanya tekanan tersebut, tapi... kupikir tidak sampai merinding juga. Hanya terasa canggung saja.
"Hm... sebenarnya apa yang sudah terjadi?" Tanyaku, agak penasaran.
"Eh, apa kau belum tahu? Dengar dengar kemarin sepulang sekolah, Mirza dan kelompoknya melakukan deklarasi memisahkan diri dari kelas," kata Maya, melirik ke arah kelompoknya Mirza yang terlihat semakin bebas.
"Memisahkan diri? Untuk apa mereka melakukannya? Memangnya mereka akan melakukan sesuatu seperti pengancaman lagi?" Kataku, semakin heran.
"Siapa tahu, yah, mungkin mereka hanya kurang puas dengan aturan-aturan yang ada di kelas," kata Maya, tampak tidak ingin ambil pusing menyimpulkannya.
"Begitu ya, hn... kau benar."
Meskipun demikian, itu tidak menutup kemungkinan jika mereka akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Mengapa baru sekarang aku memiliki firasat seperti itu. Mungkin karena tempo hari yang lalu, aku sempat mendengar 'sebuah peringatan' dari seseorang yang kukenal.
Ditengah sedang berpikir, tak sengaja aku melihat salah satu siswi yang kukenal... terlihat seperti sedang dalam masalah.
"May, apa yang—"
Ketika menoleh ke samping saat kukira Maya masih di situ, mendadak dia sudah berada di depan sana, mencoba menolong siswi yang merupakan teman kami itu.
"Ada apa ini?" Tanya Maya kepada siswi yang memojokkan salah satu teman kami itu.
Identitas teman kami yang dipojokkan itu adalah Arisa. Mengesampingkan bagaimana dia bisa berada dalam situasi itu, sepertinya kami harus menolongnya karena saat ini... dia tampaknya terlihat ketakutan dikelilingi oleh mereka.
"Kau temannya ya... coba kau ingatkan kepada temanmu ini kalau jalan suruh pakai mata!" Bentak salah satu dari mereka, terlihat sangat marah.
"Lihatlah apa yang sudah dia perbuat," lanjutnya, menunjukkan pot kecil yang sudah pecah dan sepertinya itu sangat berharga untuknya.
"M-maaf, aku tidak sengaja menyenggolnya karena tadi berada di pojok meja," ujar Arisa, suaranya makin menciut.
"Banyak alasan! Terus bagaimana kau akan menggantinya? Ini barang langka!" Kata siswi itu, tidak bisa meredamkan amarahnya.
Ini buruk. Kelihatannya Arisa tidak sengaja terlibat masalah dengan siswi bernama Mikael, perempuan yang paling modis di kelas bahasa, tipe orang yang suka menonjolkan penampilannya.
"Memangnya berapa harganya?" Tanya Maya, memasang ekspresi serius seolah sikapnya terlihat dewasa.
"May, apa kau akan membayarnya? Jangan! I-ni masalahku, jadi aku yang akan membayarnya saja," ujar Arisa, panik.
Ditengah perdebatan mereka mengenai 'siapa yang akan membayar', kuperhatikan ekspresi Mikael... sepertinya dia telah merencanakan sesuatu. Mungkinkah, dia....
"50 poin! Aku tidak peduli siapa yang akan membayar. Kalo kalian bisa membayarnya, aku akan membiarkan masalah ini tidak pernah terjadi," kata Mikael, menyeringai.
Mendengar nominal angka tersebut, sontak membuat Maya dan Arisa mematung, tercengang tidak percaya.
"Kau serius? Pot sekecil ini harganya 50 poin?" Kata Maya, seperti melihat sesuatu yang diluar nalar.
"Ini mahakarya! Seharusnya nilainya lebih mahal dari itu. Yah... karena malaikat mikael ini sedang berbaik hati, aku sengaja memberi kalian keringanan cukup membayar 50 poin saja," kata Mikael.
"Tch, omong kosong! Baiklah, berapapun itu aku akan membayarnya," kata Maya, segera mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Jika dibiarkan kelihatannya situasi mereka akan semakin buruk. Kupikir aku juga harus ikut serta membantu mereka karena keduanya adalah temanku. Lagipula, mereka juga telah banyak membantuku dalam banyak hal sejak berkenalan di kelas ini.
Setelah membuatkan tekad, memberanikan diri untuk terlibat masalah bersama mereka apapun yang akan terjadi, aku beranjak dari kursi dan segera berjalan ke arah mereka.
"Bisakah aku saja yang membayarnya?" Tanyaku, menyela aksi Maya yang hendak membayarkannya.
"Cika?"
Melihatku mendadak muncul di belakangnya, sudah pasti akan membuatnya terkejut, ditambah lagi dengan perkataanku yang hendak membayarnya, seakan-akan mengambil alih menggantikannya berada dalam posisi sulit tersebut.
"Aku masih punya 100 poin lebih, jadi itu tidak masalah," kataku, mengacungkan jempol kepada mereka, berupaya agar keduanya tidak perlu mengkhawatirkan apapun.
"Eh, 100 poin, lebih? Bagaimana bisa?!" Kata Maya, terkejut berlebihan serta tampak terheran-heran.
"Kau serius? Tidak mungkin begitu kan. kau pasti hanya menggertak," kata Mikael, tersenyum meremehkan seolah tidak percaya.
"Kau ingin bukti, iya kan?" Tanyaku, segera mengambil ponsel dari saku, lantas membukanya, memperlihatkan poin yang kumiliki saat ini kepada mereka semua.
"Hah?! Itu tidak mungkin. Bagaimana kau bisa punya poin sebanyak itu?" Tanya Mikael, tampak tercengang melihat fakta yang benar dilihatnya dengan mata kepala sendiri.
"Tentu saja dengan mengikuti tes tertutup setiap minggunya. Untuk sekarang bukankah hanya itu saja satu-satunya cara termudah mendapatkan poin?" Kataku, sekilas menjelaskan.
"Kau... kau sengaja meremehkanku ya!" Sergah Mikael, anehnya justru terlihat semakin marah.
"Kenapa malah jadi definisi 'meremehkan'? Bukankah tadi kau sendiri yang membuat kesepakatannya?" Tanyaku, agak heran dengannya.
"Tch, kali ini saja aku akan membiarkan masalah ini—dan satu hal lagi, kalau kau merasa cukup pintar, ayo bertanding denganku pada saat UTS nanti!" Kata Mikael, meninggalkan kami begitu saja, pergi bergabung dengan kelompoknya yang sudah menunggu di belakang.
"Kenapa dia malah semakin marah ya," gumamku, tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh siswi bernama Mikael itu.
"Bukankah itu karenamu yang sudah menunjukkan fakta berlebihan kepadanya," kata Maya, melihatku dengan ekspresi datar.
"Eh... tapi aku hanya menjawabnya dengan jujur, apa yang tadi itu salah ya?" Tanyaku.
"Menurutku itu bukan masalah jujur atau tidaknya," tanggap Maya, menghela nafas.
Sementara itu, Arisa yang sudah merasa aman dan lega, seketika langsung mendaratkan kepalanya di dadaku....
"Terimakasih sudah menyelamatkanku cik," kata Arisa, agak terharu senang, dan juga malu-malu.
"Tidak masalah. Membantu teman yang sedang kesulitan, itu wajar kan," kataku, sambil memegang kepalanya yang tingginya sedikit lebih rendah dariku.
Setelah masalah tersebut terselesaikan, kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Tak lama ketika kami sedang mengobrol, tiba-tiba seorang siswi mungil muncul di antara jarak meja kami.
"Anu..."
Dia menjadi gugup seperti Arisa ketika kami melihatnya ke bawah dalam waktu bersamaan.
"Kau Erlin kan. Ada perlu apa?" Tanya Maya, tersenyum ramah.
"Itu... apa kalian baik-baik saja? Tadi sempat kulihat sepertinya kalian sedang dalam masalah," kata Erlin, menyelidik khawatir.
Mungkin kebetulan saja dia melihat kehebohan kecil tadi. Meskipun masalah itu seharusnya tidak begitu mencolok, beberapa orang yang mendengar suara lantang mikael bisa jadi spontan menoleh, menarik perhatian mereka yang awalnya diam.
"Sekarang sudah baik-baik saja kok, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Cika sudah menanganinya," kata Maya.
"Syukurlah kalau begitu. Kukira akan ada masalah serius karena sepertinya Mikael tadi terlihat sangat marah," kata Erlin.
"Kau mengenalnya?" Tanya Maya.
"Ya... itu karena di asrama ruangan kami bersebelahan, jadi kami sempat berkenalan, meskipun sampai sekarang... hubungan kami tidak begitu dekat," jawab Erlin, telihat agak kesulitan menjelaskannya.
"Begitu ya. Kau pasti kesulitan memiliki tetangga seperti dia," kata Maya pelan, kemudian tertawa lepas.
Meskipun terlihat seperti menghiburnya, Erlin sepertinya tidak merasa dirinya terhibur. Itu terlihat jelas dari raut wajahnya yang seolah ingin mengharapkan sesuatu.
"Ada apa?" Tanya Maya, menunggu sejenak ketika menyadari raut wajahnya.
"Sepertinya aku hanya sedikit iri melihat kalian bertiga bisa selalu dekat setiap harinya," kata Erlin pelan, namun berani jujur meskipun perkataannya mendadak.
"Apa mungkin kau tidak punya teman yang bisa diajak bicara?" Tanyaku spontan.
"Hei cik, seharusnya kau tidak langsung bertanya seperti itu," bisik Maya, sedikit geram.
"Eh...? Apa aku salah bicara lagi?" Tanyaku, hanya bisa merasa heran.
"Tidak... maksudku pikirkanlah perasaannya," jawab Maya.
"Itu tidak salah kok, terkadang aku memang merasa canggung dengan orang lain. Hanya dengan melihat kalian... aku seperti merasa melihat diriku yang dulu, hehe..." kata Erlin, ternyata mendengar bisikan kami.
"Kulihat saat hari pertama masuk, kau bisa akrab dengan Amelia dan yang lain," kataku.
"Kami memang akrab, tapi saat bertugas saja, kurasa. Mungkin, aku tidak cocok dengannya yang selalu melakukan segala hal dengan serius," kata Erlin.
Seolah mendapatkan keheningan yang bersumber darinya, entah mengapa muncul sebuah perasaan ingin menghibur gadis yang terlihat rapuh ini.
"Kalo kau mau, kita di sini bisa berteman," kataku.
Mendengar hal tersebut, Erlin yang awalnya menunduk ke bawah seketika mengangkat kepalanya, lantas menoleh ke arahku, memastikan.
"Benarkah? Aku bisa bergabung dengan kalian?" Tanya Erlin, terlihat cukup antusias.
"Tentu saja!"
Orang yang menjawabnya bukanlah aku, melainkan Maya yang berpose berlebihan seperti saat kami berkenalan pertamakali.
"Perkenalkan, namaku Maya," lanjutnya, memperkenalkan diri.
"Aku Cika," kataku yang juga ingin berkenalan dengannya.
"A-aku Arisa," kata Arisa, tergugup seperti biasa.
"Aku Erlin, kalian bisa memanggilku Eli saja," kata Erlin, agak-agaknya masih sedikit kaku.
Setelah perkenalan singkat ini, kami berempat membicarakan banyak hal seperti apa yang akan kami lakukan sepulang sekolah nanti dan hal lain seperti hobi masing-masing.
Tidak kusangka orang seperti Erlin bahkan juga bisa kesulitan berteman. Sekalipun memiliki penampilan menggemaskan yang bisa menarik perhatian orang-orang disekitar, sepertinya itu tidak menjamin kedekatannya dengan seseorang. Kupikir... dari caranya melakukan pendekatan tadi, kelihatannya dia bisa melakukan apa yang tidak bisa kulakukan di masa lalu dan juga sekarang. Seperti yang saat ini dia lakukan, dia bisa berteman dengan kami secara alami lewat inisiatifnya sendiri dan bukan dari arahan maupun kebetulan. Mungkin... bagian itulah yang harus ku kagumi darinya.
The Call(er)
1118
643
10
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya.
Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...