Angin berbisik di atas reruntuhan desa Thornveil, seakan membawa ratapan yang tertinggal oleh waktu. Eliara Veilcrest berdiri di tengah puing-puing bangunan yang telah menjadi abu dan debu, dengan mantel lusuhnya bergoyang pelan, seirama dengan dahan-dahan mati yang bergemerisik.
Mata abu-abunya menatap naskah tua yang ditemukan di bawah altar batu-tertimbun puing dan darah yang sudah menghitam. Tinta di atasnya nyaris pudar, namun tulisan kuno itu masih menyimpan sesuatu yang tak seharusnya dibaca oleh manusia biasa.
"Tertulis di antara derit rantai langit, dia terbelenggu. Malaikat yang jatuh, disegel di bawah kutukan tujuh nama. Ner'vhal memanggil..."
Napas Eliara membeku. Kata itu. Ner'vhal.
Ia menoleh ke sekeliling, namun hanya sunyi dan bayangan. Kesan yang menghantuinya sejak masuk ke desa yang telah dibantai oleh sesuatu yang bukan manusia. Bangunan runtuh, tak ada jejak hidup, namun tanah basah seakan baru saja meminum darah.
Ia berjongkok, meneliti kembali naskah yang dibungkus dalam jubah tulang yang mencurigakan.
"Ini bukan bahasa kuno biasa," gumamnya. "Tapi... semacam peringatan?"
"Yang membangunkan suara dari Ner'vhal... akan mendengar panggilan rantai. Dan mereka tidak akan pernah kembali utuh."
Tiba-tiba, angin berbalik arah. Membawa bau besi dan abu.
Dan di sela-sela bisikan angin... suara itu datang.
Lirih. Dalam. Tercekik.
Namun jelas.
"Siapa... yang... membaca... namaku?"
Eliara membeku. Naskah itu terjatuh dari tangannya.
Dia menatap ke tanah, tapi bayangan mulai bergerak tanpa sumber cahaya. Seperti tarian kegelapan yang merayap dari balik dunia nyata. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat... lebih dalam.
"Kael... theron..."
"Tidak mungkin," gumam Eliara, mencoba mengatur napasnya. "Itu hanya legenda. Malaikat yang terjatuh, disegel jauh sebelum sejarah tercatat..."
Tapi tanah di bawah kakinya bergetar. Sesuatu-di bawah altar tempat naskah ditemukan-bergerak.
Ia menyentuh medali di lehernya, lambang Ordo Seimbang, dan membisikkan mantra perlindungan. Namun mantranya... retak. Seperti cermin yang pecah saat disentuh jari es.
Dengan ragu, ia menggali lebih dalam di bawah altar. Jari-jarinya menyentuh logam dingin, terukir simbol-simbol tak dikenal. Sebuah pintu segel-berbentuk lingkaran, dan di tengahnya tertulis satu nama:
KAEL'THERON
Dan untuk sesaat, dunia seperti berhenti bernafas.
---
Di tempat yang tak memiliki arah maupun waktu, sesosok tubuh terjerat dalam rantai hitam. Sayap yang hangus tergantung lemas, dan darah mengalir abadi dari luka yang tak sembuh. Ia tak lagi ingat wajahnya, hanya suara-dan kesakitan yang tak pernah berhenti.
Kael'theron, yang pernah dikenal sebagai Penjaga Cahaya Ketujuh, kini menjadi peringatan yang dibisiki para malaikat kepada anak-anak mereka.
Namun saat itu, di balik segel yang mengurungnya selama ratusan tahun, satu mata merahnya terbuka.
"Seseorang... membaca namaku..."
---
Eliara mundur beberapa langkah, namun naskah di tanah terbakar sendiri. Api hitam menjilat naskah itu, dan dari pusat segel, sebuah retakan kecil menyebar seperti jaring laba-laba.
"Kau yang membangunkanku?"
Suara itu sekarang datang dari belakangnya.
Eliara berbalik, cepat, dan mengangkat belati sihirnya. Tapi tak ada siapa-siapa.
"Bukan tubuhku yang berbicara, tapi suara dari rantai."
Angin berubah jadi badai. Dari balik kabut, muncul siluet bersayap-terikat oleh rantai tak berujung, tubuhnya tertunduk, namun kehadirannya menusuk seperti ribuan jarum es ke dalam pikiran Eliara.
Ia tak bisa bergerak. Tak bisa bicara.
"Kau yang membuka segel, atau segel yang memilihmu?"
Suara itu menggema di dalam pikirannya, tak berasal dari mulut siluet itu.
"Kael'theron..." katanya dalam hati.
"Nama itu... tak lagi milikku," jawabnya, seakan mendengar pikiran Eliara. "Aku bukan malaikat. Aku bukan iblis. Aku hanya sisa... dari kejatuhan."
Eliara berusaha berbicara. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Makhluk itu menatapnya dengan satu mata merah, dan menjawab
"Seseorang harus membayar harga kebangkitan ini. Dan kau akan selalu terhubung denganku."
Tiba-tiba rantai hitam menyembur ke arahnya.
Namun sebelum menyentuhnya, rantai itu membeku. Sinar dari medali Eliara menyala, membentuk simbol timbangan yang terbelah.
Kael'theron terdiam, dan perlahan, siluetnya menghilang dalam kabut.
---
Eliara terduduk di atas tanah yang bergetar pelan. Tangannya gemetar. Segel di bawah altar masih berdetak perlahan, seperti jantung yang baru saja dibangunkan.
Langit Thornveil mulai dipenuhi awan hitam, dan suara petir menggema di kejauhan.
Ia tahu, sejak naskah itu dibuka tidak ada jalan kembali. Ner'vhal telah memanggil dan suara dari bawah dunia telah mendengar.
"Aku telah membuka pintu yang seharusnya terkunci selamanya..."
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ini bukan akhir.
Ini adalah awal-dari rantai takdir yang akan mengikat dirinya dengan makhluk yang seharusnya tidak pernah bangun.
---
Langit perlahan meredup meski belum waktunya senja. Kabut mulai merayap dari celah-celah reruntuhan seperti tangan-tangan tak kasatmata, menyusup ke tanah, membungkus dinding batu yang berdarah sejarah.
Eliara mengusap pelan debu dari jubahnya, namun tangannya tak bisa berhenti gemetar. Tadi itu... bukan mimpi. Suara itu bukan gema dari masa lalu.
Itu panggilan.
Dan yang paling menakutkan bukanlah suara itu sendiri-melainkan kenyataan bahwa jiwanya menjawabnya.
Mengapa aku bisa mendengar suaranya?
Eliara berjalan menjauh dari altar, namun dunia terasa menyempit. Angin menjadi sunyi. Suara ranting patah terdengar terlalu nyaring. Kabut makin pekat, dan langkah-langkahnya mulai terpantul oleh bayangan lain yang bukan miliknya.
Ia berhenti.
Dari balik kabut, terlihat siluet tubuh manusia berdiri membelakanginya. Terkapar, tapi berdiri. Tak bergerak.
Tubuh itu menggantung seperti tak memiliki tulang, dengan kepala tertunduk dan rambut panjang menutupi wajahnya dan dari punggungnya merembes darah hitam yang mengalir seperti tinta ke tanah.
"Panggilan itu bukan untuk dunia ini."
Suara dalam kepala Eliara menggelegar lagi.
"Tapi karena kau telah membuka segel pertama... aku terhubung padamu."
Bayangan itu-yang tadi tampak seperti mayat-perlahan mengangkat kepalanya. Mata merah menyala dari balik rambut gelapnya. Tak ada wajah. Tak ada mulut. Hanya sorot mata yang menatap tepat ke dalam jiwa Eliara.
Ia ingin lari, tapi lututnya terkunci.
Lalu dari tanah rantai hitam keluar, menjalar dari bawah batu dan menari di udara seperti ular lapar. Melingkari kakinya, lalu berhenti sejenak di depan lehernya.
Kael'theron-atau apapun sisa dari dirinya-muncul sepenuhnya dari kabut. Rantai-rantai itu seperti berasal dari tubuhnya sendiri, keluar dari punggung, dada, bahkan tengkorak yang terlihat mengintip dari kulitnya yang pecah.
"Aku tidak memilih dunia ini tapi dunia ini memanggil namaku."
Kael'theron melangkah pelan ke arah Eliara. Setiap langkahnya meninggalkan bekas terbakar di tanah. Udara di sekitarnya berubah jadi racun-dan langit seperti merespons: petir menyambar jauh di cakrawala, tak menyentuh tanah, tapi menyayat langit.
Eliara memaksa tubuhnya bangkit, menatap langsung ke mata makhluk itu.
"Aku tak takut padamu," katanya, suaranya serak tapi tegas.
Makhluk itu tersenyum samar-bibirnya nyaris hancur, tapi ada nyala sarkasme di matanya.
"Kebohongan pertama dari banyak yang akan kau ucapkan, Pewaris Cahaya Kelam."
Ia mengangkat tangannya. Rantai-rantai di sekeliling Eliara mengencang namun tak mencekik.
"Kau membawa sebagian dari mereka yang membuangku. Darah yang menolak langit maupun neraka. Kau adalah... kunci."
Suara petir menyambar dekat sekali.
Dan dalam sekejap, semua bayangan menghilang.
Eliara tersentak.
Ia berdiri sendiri lagi. Tak ada makhluk. Tak ada rantai. Hanya altar yang mulai hancur dan simbol Kael'theron yang bersinar redup, lalu lenyap perlahan.
Di tangannya sesuatu tertinggal. Sebuah bulu hitam berkilauan, panas seperti logam dibakar.
Bulu sayap Kael'theron.
---
Di luar reruntuhan, seekor burung gagak mengamati dari atas dahan mati. Di matanya yang bersinar ungu, ada pengertian yang tak seharusnya dimiliki binatang.
Lalu dari kejauhan, di balik lembah yang gelap, seseorang membuka matanya-berdiri di tengah lingkaran mantra yang terbakar pelan.
"Segel pertama... patah. Malaikat itu... bangkit kembali."
Sementara Eliara memeluk bulu itu erat di dada, dengan dada berdegup kencang, satu hal mulai tumbuh di dalam dirinya:
Rasa keterikatan.
Dan rasa takut bahwa ia akan mencari suara itu lagi.
---
To be continued....