Aditya pikir Vania telah mengerahkan bodyguard dari rumah kayanya itu untuk mencaritahu jadwal kerja Bari, tetapi begitu mereka kembali ke Indomarket tempat Bari kerja, Aditya baru menyadari terdapat papan jalan berisi jadwal shift pekerja di samping konter. Princess kok bisa melihat detil seperti ini dan aku ga?
Tertulis di papan jalan itu, Bari memiliki shift setengah hari dari Senin hingga Jumat, kemudian dia memiliki double shift pada hari Sabtu dan Minggu. Terdapat coretan yang menunjukkan Bari meng-cover shift orang lain pada hari Rabu minggu ini –yaitu tiga hari lalu ketika Aditya dan Vania mengunjunginya. Lalu ketika Aditya melihat di minggu-minggu sebelumnya, terdapat beberapa coretan yang sama yang menunjukkan Bari sering meng-cover shift orang lain padahal 2 minggu lalu Bari sedang dalam masa pemulihan.
Indomarket pada hari Sabtu pukul 2-3 siang cukup ramai. Aditya dan Vania tidak ingin menghalangi Bari bekerja sehingga mereka menunggu sambil melihat-lihat toko. Ketika mereka bersantai seperti ini, Aditya baru menyadari bahwa ini pertama kalinya ia melihat Vania dengan pakaian bebas. Gadis itu memakai kaos berwarna biru yang sedikit kebesaran untuknya dan celana jeans biru. "Eh, lo ngikutin pakaian gue ya?" celetuk Aditya yang juga memakai baju biru bertuliskan 'I Am The Strongest, I Fear Nothing' dan celana jeans hitam.
Sebagai balasan, Vania hanya memutar kedua bola matanya. Gadis itu lebih fokus melihat berbagai pilihan pena di depannya.
"Pena itu enak," celetuk Aditya lagi, "Tintanya ga meleber dan gripnya empuk, pas gitu."
Vania memutar pena hitam yang Aditya maksud di antara jemarinya. Aditya menyadari terdapat kapalan di ruas jari kedua Vania, tanda gadis ini terlalu banyak menulis. "Lo tipe orang yang harus nulis pas belajar ya?"
Akhirnya Vania sudi menjawab pertanyaan Aditya meski hanya mengangguk. "Ga afdal rasanya kalo ga coret-coret buku."
"Berarti lo koleksi beberapa warna juga?" tanya Aditya lagi.
Vania kembali mengangguk. "Paling sering sih merah, biru, hitam. Hitam untuk coret-coret atau latihan soal. Biru bila jawaban benar. Merah bila ada koreksi."
"Gue juga coret-coret buku sih, tapi kalo lagi mager, gue baca dan hafalin aja," aku Aditya. Pemuda itu juga mengambil beberapa pena dan mencoba pena-pena itu.
"Hafalan itu gampang," lanjut Vania, "tapi cepat lupa. Kalau dicatat kan bisa dibaca ulang. Dan dijual habis itu."
Aditya terkekeh mendengar hal tak terduga keluar dari mulut Vania. "Lo kayaknya cocok jadi business woman. Kenapa lo ga pilih IPS aja?"
"Mau IPA atau IPS, kita semua harus pintar mengatur bisnis diri sendiri."
Belum sempat Aditya menjawab, sebuah nada rendah bergema di satu toko hingga membuat Aditya dan Vania menoleh. "Kalian kutu buku mau sampai kapan pacaran di tempat kerja gue?" Nada itu terdengar kesal.
Setelah sehari, lebam di mata kiri Bari semakin terlihat, kontras dengan kulit sawo matangnya. Ia menggunakan topi, sehingga luka di pelipis tidak begitu terlihat. Untuk menutupi lebam di lengan, Bari menggunakan lengan panjang, tetapi sedari tadi setiap ia menggerakkan tangan ia meringis menahan kesakitan. Kini toko sudah sepi, belum ada lagi pelanggan yang masuk.
Vania meletakkan pena yang ia lihat kemudian berjalan ke arah konter. Begitu juga Aditya.
"Kita ingin ngobrol dengan lo, Bari," kata Aditya, mengusahakan nada santai meski dalam batin ia masih takut Bari akan memukul mereka. Di sisinya, Vania terlihat terlampau santai –hal ini mengusik Aditya. Mengapa Princess santai sekali ketemu cowok berisiko seperti Bari? Dari kemarin pun, Vania hanya terlihat terguncang ketika menyaksikan tawuran secara langsung, tetapi begitu mengobrol ataupun bertamu di rumah Bari, Vania terlihat biasa saja. Apakah alarm danger Princess rusak?
"Ngobrol apa?" Nada Bari meninggi. Hal itu membuat Aditya menelan ludah kasar, tetapi Vania malah melangkah mendekati konter. Perempuan itu menatap Bari tepat di mata, tanpa takut. Malah, perempuan itu seakan menantang Aditya untuk memukulnya. Malah, Aditya yang khawatir Vania akan beneran dipukul, menahan pundak Vania dari melangkah lebih maju lagi.
"Ngobrol santai kok, Bar," kata Aditya berusaha mencairkan suasana. Ia tersenyum kecil pada Bari, kemudian ketika menoleh pada Vania, muka Aditya berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan tatapannya, Aditya seakan memperingatkan Vania untuk tidak macam-macam. Begitu Aditya menoleh pada Bari lagi, mukanya sudah kembali tersenyum. "Jadi gini, Bar–"
Suara dentuman keras memotong kalimat Aditya serta membuat Bari terkesiap. Suara yang bergema di satu toko terdengar seperti sebuah buku telah dilemparkan di atas meja konter. Memang itulah yang terjadi. Namun bukanlah sebuah buku yang dilempar Vania, melainkan berlembar-lembar uang kertas. Semua uang hasil penjualan Aditya dan Vania pagi ini.
Enam ratus ribu rupiah secara fisik telah Vania letakkan di depan Bari. Mulut Aditya membuka terkejut. Nih Princess–
"Berhenti tawuran dan kita bisa kasih lo uang untuk bantu keseharian lo," kata Vania dengan nada datar, tanpa basa-basi, "Sebenarnya total yang kita hasilnya enam ratus tiga puluh lima ribu, tapi tiga puluh lima ribu kita pakai sebagai uang transportasi kita."
Dentuman yang lebih keras terdengar, memekakan telinga mereka. Dalam sekejap, Bari menghantam lengannya di atas meja konter dan kini wajahnya hanya berjarak kurang dari lima senti dari wajah Vania. Kedua mata Bari melotot, persis ketika dia menggila seperti binatang buas di lapangan. Urat-urat di pelipis dan leher Bari juga menonjol. "Gue ga tahu lo pikir lo siapa," kata Bari, setengah menggeram, "tapi bawa permainan lo ini keluar dari toko dan hidup gue!"
Dua pelanggan yang tadinya hampir masuk toko mematung dengan pintu toko setengah terbuka begitu Bari menghantam meja. Mereka kemudian mundur perlahan dan pergi begitu saja.
"Ga ngerti juga?" lanjut Bari, "Apa otak jenius lo itu perlu gue tonjok dulu baru lo ngerti?"
Bukannya menciut, Vania masih tampak tenang, bahkan wajahnya seakan semakin menantang Bari. "Apa laki-laki baru akan merasa puas setelah mukul perempuan?" tanya Vania dengan senyuman tipis, "Apa lo lelaki kaya gitu juga?"
Juga? Aditya bingung sekali dari mana datangnya keberanian miliki Vania.
"Gue ga beda-bedain, mau lo cowok, mau lo cewek, kalo lo menghalangi gue," Bari terkekeh, masih dengan tatapan buasnya itu, "gue cuma tahu kekerasan."
Karena khawatir, Aditya akhirnya memberanikan diri menyempil di antara Bari dan Vania. Tinggi Aditya langsung menutupi Vania. Bari menegakkan diri sehingga matanya sejajar dengan Aditya. Ternyata dari dekat, Aditya masih lebih tinggi sedikit dari Bari. Namun bila bicara otot dan pengalaman... Aditya hanya bisa menelan ludah kasar. Sepertinya hari ini gue akan babak belur dan itu semua adalah salah Si Princess.
Pikiran Aditya yang cepat membuatnya memiringkan kepala ke sudut atas kanan toko di mana sebuah kamera CCTV berada. "Ingat ada CCTV di tempat kerja lo, Bar," kata Aditya pelan, "lo ga mau kan dipecat?"
Nyatanya kalimat Aditya semakin menyulut kemarahan Bari. Si Berandal Sekolah itu menarik kerah kaos Aditya dengan kasar. "Lo ngancam gue?"
"Cess, lari duluan dan panggil bantuan!" seru Aditya dalam kepanikannya.
Bari langsung melepaskan kerah Aditya, membuatnya terhuyung ke belakang. Untungnya, Vania dengan cekatan mengindar, sehingga tubuh Aditya tidak menghantamnya.
"Cess, ngapain sih lo masih berdiri bengong?" tanya Aditya dengan kesal, "Ayo lari!" Pemuda itu menggenggam pergelangan tangan Vania dan menarik Si Ratu Es. Namun Vania menarik kasar lengannya hingga pegangan Aditya terlepas. Kemudian Vania kembali menatap Bari.
Tanpa ketakutan. Tanpa gentar.
"Cess–"
"Enam ratus ribu tiap bulan," kata Vania tenang, meski sorot matanya menunjukkan intensitas. Hingga Bari pun tampak bingung mengapa perempuan kutu buku ini sama sekali tidak takut padanya. Bahkan cowok-cowok geng motor dari berbagai sekolah takut dengan Bari.
"Gue udah bilang untuk bawa apapun permainan gila kali–"
"Ini bukan permainan buat kita," kata Vania, masih tenang, masih tanpa takut. "Ini adalah masa depan kita semua."
Satu sisi wajah Vania malah kini berkedut. Sorot matanya yang intens berubah seakan ingin melahap satu toko ini dengan api membara. "Lo pikir kita mau meladeni lo kayak gini?" Gadis itu mengambil satu langkah. "Lo pikir kita sudi 'bermain' kayak gini?" Dia mengambil satu langkah lagi. "Lo pikir waktu dan tenaga kita ga bisa dipakai untuk kegiatan lain?"
Akhirnya Vania menghantam kedua tangannya di meja konter. Suaranya tidak sekeras ketika Bari yang menghantam meja konter, tetapi entah mengapa suara hantaman Vania lebih bergema di satu ruangan. Untuk sesaat, Si Ratu Es dan Sang Berandal Sekolah hanya saling bertukar tatapan, seakan saling melempar api dan setruman menggunakan kedua bola mata masing-masing.
"Woah woah," Aditya berusaha melerai mereka berdua dengan merentangkan kedua tangannya di antara dua orang itu. Lebih tepatnya, ia masih khawatir Bari akan benar-benar memukul Vania –tapi sejujurnya, perempuan itu sendiri yang berlagak seperti meminta dipukul.
"Enam ratus ribu tiap bulan," ulang Vania. "Yang perlu lo lakuin adalah kembali masuk sekolah setiap hari. Jadi jangan ambil shift kerja ketika jam sekolah. Kemudian Sabtu pagi dan Minggu pagi lo akan belajar bareng kita. Enam ratus ribu."
Bari menghela napas kasar. "Berapa kali gue harus bilang–"
"Lo ga perlu tawuran untuk duit lagi," kali ini Aditya yang melanjutkan, pemuda itu merasa ia harus menjadi jembatan antara Vania yang blak-blakan dan Bari yang belum biasa dengan gaya bicara Vania. "Lo ga perlu bakar duit untuk rawat luka dan memar lo. Enam ratus ribu. Cukup untuk lo bayar uang sewa rumah tiap bulan jadi gaji lo ini bisa untuk bayar uang sekolah adik-adik lo dan biaya keseharian. Uang buku dan peralatan belajar dari kita– ya... sebenarnya dari Pak Tirto tapi intinya lo ga perlu peduli soal itu."
Setelah penjelasan Aditya, Bari akhirnya terdiam. Akhirnya mau mendengarkan.
"Tenang saja, enam ratus ribu ini adalah hasil usaha legal kok," lanjut Aditya, "Intinya kita bisa bantu lo membiayai keseharian lo tanpa perlu lo mengorbankan tubuh lu. Tapi sebagai gantinya, lo akan belajar dengan kita."
Bari mengernyitkan dahinya, "Gue ga ngerti... apa untungnya bagi kalian kalau gitu?"
"Udah kita bilang kemarin," kata Vania, "untuk dapat surat rekomendasi dari Pak Tirto, kita butuh lo."
"Maksud Vania," Aditya kembali jadi penghubung antara mereka berdua, "pastinya ada yang kita dapatkan dari ngelakuin ini semua. Tapi kita baru akan bisa mendapatkan itu kalau lo mau belajar bareng kita. Jadi anggap saja uang ini untuk membeli waktu lo."
Mendengar itu, Bari langsung tertawa keras. Sangat keras hingga ia membungkuk menutupi perutnya yang terasa sangat geli. "Gue ga salah denger nih?" tanyanya, "Pak Tirto mau gue belajar bareng kalian, kalau ga, dia ga akan kasih kalian surat rekomendasi?"
Aditya melirik Vania. Sebuah percakapan tanpa suara terjadi di antara mereka dan kesimpulannya adalah untuk hari ini, mereka akan menjawab pertanyaan Bari dengan anggukkan. Memang sih, Pak Tirto meminta lebih dari itu; Bari harus lulus Ujian Nasional dan daftar sebuah kampus –tapi, itu semua tidak akan tercapai bila Bari tidak setuju untuk belajar bersama mereka. Jadi ini bukanlah kebohongan... meski termasuk kebohongan putih.
"Apa sih yang Pak Tua itu pikirkan?" tanya Bari, lebih pada dirinya sendiri.
Aditya dan Vania juga mengangkat bahu, sama-sama tidak mengerti alur pikiran Pak Tirto.
Vania akhirnya menghela napas kecewa. "Sepertinya kita gagal meyakinkan lo," katanya sembari menarik kembali lembaran-lembaran uang di meja konter. "Jadi–"
Kalimat Vania dihentikan tangan Bari yang menghentikan tangan perempuan itu. Tangan itu terlihat begitu besar hingga menenggelamkan tangan Vania beserta uang di bawahnya. Entah mengapa, melihat itu membuat Aditya merasa kesal. Tanpa sadar, tangan Aditya sudah menarik pergelangan tangan Bari agar tidak lagi bersentuhan dengan Vania. Begitu Aditya sadar, ia langsung melepaskan genggamannya.
Bari dan Vania terlihat bingung dengan tindakan Aditya dan Aditya tidak berniat menjelaskan –karena dirinya sendiri pun juga bingung dengan tindakan impulsifnya itu. Bari mendeham untuk memecah keheningan canggung di antara mereka bertiga kemudian berkata, "Gue tertarik."
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku