Raya tidak tahu apa mau Rasya. Semakin dilarang bukannya kita akan makin penasaran?
"Ray, gue nggak mau lo baca semua chat yang ada di grup. Untung Lo belum baca, gue dateng tepat waktu tadi."
"Dari mana lo tahu kalo gue belum baca?"
Ah, bener juga. Seharusnya dia tidak bilang itu. Sekarang mau jawab apa? Bilang kalau dia tahu soal masa lalu Raya? Termasuk perundungan yang gadis itu alami waktu sekolah di Jakarta? Bisa-bisa Raya makin takut dan mengira Rasya stalker yang perlu dicurigai.
"Gu-gue cuma nebak. Tapi bener kan, lo belum baca?" Dari gelagat Raya dugaan Rasya benar. Raya pasti sudah bereaksi dari awal baca. Sampai sekarang saja dia tidak menunjukkan sudah tahu sesuatu.
Raya menggeleng. "Tetapi gue juga berhak tahu apa yang terjadi. Paling enggak secara garis besar lah!" lanjutnya dengan wajah memelas.
"Gue nggak yakin lo ... Ray mendingan lo nggak tahu apa pun." Rasya masih kekeuh kalau lebih baik Raya tidak baca grup chat.
Keduanya masih belum ada yang mau mengalah. Panas matahari cukup menyengat di atas gedung, meski angin pagi masih berasa dingin. Raya mendekati tanpa mengalihkan pandangan. Dia bukan anak kecil lagi. Sudah pasti ada banyak hal buruk di grup chat sekolah itu.
Jujur, Raya takut dan tidak tahu harus melakukan apa. Pulang? Mustahil, karena Nina akan marah besar dan menuduhnya yang bukan-bukan. Tetap di sekolah? Apa dia bisa fokus belajar di antara tatapan mencemooh teman-temannya.
"Sya, balikin ponsel gue. Mau gue baca atau nggak, tatapan semua orang hari ini sudah mewakili kalo hal buruk sudah terjadi. Dan itu menyangkut gue. Ya, kan? Nggak ada bedanya gue tahu atau nggak."
Dengan langkah Raya yang makin dekat, membuat Rasya melangkah mundur. Apa Raya sudah bisa mengendalikan dirinya? Sepertinya dia tidak peduli apa pun yang terjadi.
"Ray, serius gue nggak mau lo ngalamin hal itu lagi." Rasya menggeleng. Dia berharap Raya mengurungkan niatnya dan menuruti sarannya.
Langkah Raya langsung terhenti mendengar kalimat Rasya. Apa maksudnya? "Maksud lo apa, Sya?"
"Itu nggak penting. Gue mau lo janji sama gue satu hal. Ponsel lo gue balikin, tapi langsung clear chat semua grup sekolah. Terus matiin data internet sampai pulang sekolah nanti. Deal?"
Rasya sadar tidak banyak yang bisa lakukan untuk hari ini. Semua kabar itu sudah menyebar dan entah masih bisa dihapus atau tidak. Kemungkinan sudah dibagikan ulang ke orang lain lagi.
"Gue setuju. Bakal gue clear chat di sini." Raya menepati janjinya segera setelah ponsel dikembalikan Rasya.
Bel masuk berbunyi, Raya berbalik dan melangkah pergi. Setelah memastikan tidak ada Rasya di dekatnya, Raya menghentikan langkahnya dan duduk di undakan paling bawah. Tangannya gemetar, dia tahu situasi seperti dulu terjadi lagi. Semua tatapan itu dan sikap orang-orang itu baru awal.
Tak ingin bermasalah lagi karena terlambat masuk kelas, Raya menguatkan dirinya dan kembali ke kelas. Beruntung guru belum masuk, Raya tak perlu membuat alasan. Semoga Rasya sudah kembali ke kelas juga. Apa peduli gue? Bodo amat dia mau ngapain.
"Gue baru mau nyariin lo. Ke mana aja?" Donna bertanya tanpa menoleh ke arah Raya.
"Nggak ke mana-mana. Cuma pengen sendiri di atas." Raya mengeluarkan buku dan tempat pensilnya. Untuk sekarang dia ingin mengabaikan apa yang tengah terjadi.
Donna menghela napas. Dia paham hal ini sangat berat bagi Raya. Dan masalah ini pernah terjadi karena ulahnya. Dulu.
Jam istirahat Rasya kembali menghampiri Raya. Dia tahu sekarang gadis itu tidak pernah lagi bawa bekal. Karena itu dia ingin Raya makan bersamanya. Selama ada dia, tidak akan ada yang berani mengusik. Termasuk Eca.
Saat langkah melewati bangkunya Eca, Rasya berhenti dan menatap Eca dengan raut muka marah.
Reaksi Eca mengejutkan. Dia gugup dan mengalihkan mukanya ke arah lain. Sama sekali tak tampak kekuasaan seorang anak donatur terbesar di sekolah. Raya melihat semuanya. Ada apa sebenarnya dengan dua anak ini? Kenapa dia harus tergencet di tengah begini?
"Sya, gue ...."
"Lo harus makan, Ray. Gue temenin lo." Rasya mempererat genggamannya. Baru saja gadis itu ingin menarik tangannya. Jadi dia melakukan itu. Tindakannya ini sekaligus ingin membuat Eca tahu, dia tak bisa semaunya sendiri di sekolah ini.
Sepeninggal Rasya yang begitu melindungi Raya, Donna juga melintas. Tatapannya tak kalah tajam dari Rasya tadi.
"Apa, lo?" Eca sama sekali tidak takut kalau dengan Donna. Dia bukan siapa-siapa.
Donna tak terpancing dengan intimidasi cewek bermasalah itu. Dia melengos dan melanjutkan langkahnya menuju kantin. Rasa lapar lebih utama dipuaskan daripada mengurusi orang egois.
Di kantin dua teman Rasya langsung bersorak ramai. Cuma berdua tapi suaranya sudah memenuhi seantero kantin. Raya melihat sekeliling, bener kan, mereka jadi pusat tontonan.
"Silakan, Raya. Bersama kami kamu bakal aman sentosa. Mau makan apa?" tanya salah satu teman Rasya.
"Udah kalian makan di meja lain, aja."
"Yaaaah," timpal mereka serempak.
"Masih mau ditraktir, kan?" Rasya menyuruh teman-temannya cepat pindah tempat.
Tanpa menunggu diusir lagi, keduanya langsung meninggalkan tempat.
"Padahal kalo mereka mau di sini juga nggak masalah, kan. Pake diusir segala," gumam Raya sambil melihat ke sekitar.
Rasa tidak nyaman langsung muncul. Kasak-kusuk langsung terdengar.
"Jangan digubris, kita nggak cuma berdua. Tenang, aja!"
Raya merinding saat Rasya mengatakan itu tepat di sampingnya. Reflek dia menggeser sedikit menjauh dari Rasya. Sedangkan cowok itu biasa-biasa saja.
Rasya benar. Tak lama Donna datang dan duduk di sebelah Raya. "Sudah pesan makanan?"
"Gue nggak bisa makan kalo diawasin banyak orang kayak gini." Selain gugup dan canggung karena merasa dilihatin orang-orang di sana, ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Sejak kapan? Raya memastikan sejak tindakan Rasya barusan. Sadar diri, Raya. Dia cuma kasih tahu lo, aja. Nggak mungkin kan dia teriak-teriak. Toh, tadi juga nggak deket banget, kok. Baiklah, tenang Raya. Bersikaplah biasa juga di depan Rasya. Karena dia cuma nganggep lo temen.
Berulangkali Raya ingin bangun dari duduknya yang mulai tidak nyaman. Sudah berusaha tenang dan memikirkan hal lain, tapi Raya kembali ke momen tadi.
"Gu-gue mau pesen minum. Lo mau apa, Don?"
Donna menyatukan kedua ujung alisnya, heran. "Bukannya sudah dipesan sama Rasya? Lo tadi ditanya cuma jawab 'hm' , jadi dia pikir setuju."
Raya duduk lagi di bangkunya. Sungguh tidak tepat waktu untuk merasakan hal ini. Tidak mungkin juga bakal kejadian. Satu hal yang mustahil terjadi padanya.
"Rasya paling kasihan sama dia. Nggak mungkin suka. Lihat, aja. Dari penampilan aja, jauh." Kalimat itu dengan jelas diucapkan saat Raya melewati mereka.
"Badannya aja, kurus gitu. Ntar Rasya disuruh beliin makan mulu biar dia gendutan." Tanggapan lain muncul.
"Harusnya tahu diri aja nggak, sih! Cari orang lain, aja buat dijadiin pacar." Temannya lagi berkomentar.
Orang-orang ini sudah seperti orangtuanya Rasya saja. Kenapa begitu niat mencampuri urusan orang lain. Donna yang sedari tadi menahan diri, lama kelamaan telinganya panas juga.
"Kalian begitu banyak waktu nganggur, rupanya," ujar Donna sedikit kencang. Tangannya sudah mengepal, gatal siap memukul siapa pun yang kurang kerjaan mengomentari urusan orang lain.
***