"Sebenarnya Kakak pernah berpikir kamu punya masalah di sekolah. Dugaan itu muncul waktu temen sekelas kamu nggak nyapa kamu sama sekali pas ketemu. Padahal kalian sekelas. Kamu inget nggak, yang ngajak kenalan Kakak waktu itu, tapi nggak jadi."
Raya ingat kejadian itu. Iya, mereka Eca, Sisi, dan Tini. Mereka waktu itu ingin kenalan sama Tio, tapi urung karena dia adik dari cowok yang mereka anggap keren.
"Mereka bertiga, dan kita baru sampai di gerbang dekat pos satpam. Ya, aku inget. Dan mereka juga yang ...." Tangan Raya mulai saling meremas, dia gugup. Tiba-tiba saja cemas dan khawatir datang tanpa bisa dikendalikan.
Tio melihat gelagat aneh pada Raya. Dia begitu ketakutan dan tidak tenang. Padahal beberapa waktu lalu dia baik-baik saja. Sebenarnya apa yang terjadi, Tio ikut cemas. Dia mendekat dan menggenggam jemari Raya yang gemetar.
"Tenang, Dek! Tarik napas dalam dan embuskan perlahan. Ikuti Kakak!" Pinta Tio dan dipatuhi adiknya.
Setelah berulangkali dilakukan, napas Raya stabil dan dia lebih tenang.
"Kakak nggak mau kamu paksain diri cerita sekarang. It's ok, kalo semua ini mau ditunda sampai kamu siap." Tio tidak tega melihat Raya begitu tersiksa. Ada trauma apa adiknya, ini.
Perlahan dan pasti, Raya menceritakan semua yang terjadi. Kejadian di masa lalu, yang membuat dirinya berubah jadi tertutup. Jarang berekspresi seperti remaja lain. Mereka begitu menikmati masa remaja dengan meng-eksplor diri. Tetapi Raya tidak. Dia menutup diri. Memang berat badan Raya dulu terlihat kurus. Padahal dia tidak sedang diet atau pilah-pilih makanan.
Waktu itu Papa khawatir dan sempat membawa Raya untuk diperiksa. Hasilnya tidak ada masalah serius. Bahkan Nina juga tidak kurang-kurang memasak makanan sehat. Ternyata selera makan Raya terganggu gara-gara perundungan itu. Masa pertumbuhan harusnya kan, cukup makanan sehat. Raya merahasiakan hal itu.
"Kakak malah nggak nyadar kamu ngalami gangguan selera makan. Kalo dilihat kamu nggak sekurus dulu, Dek. Mungkin kamu hanya perlu perbaiki makan, olahraga, dan jangan banyak pikiran. Kamu bisa cerita sama Kakak kayak sekarang."
Kalo itu bener, kenapa masih ada yang ngejek. Apa gue harus cerita semuanya ke Kak Tio? Apa reaksinya? Kalo dia marah terus bikin perhitungan dengan pihak sekolah, gimana? Dan kalo hal ini sampe nyenggol Eca, apa yang akan terjadi? Raya nggak mau nambah masalah lagi.
"Kakak inget, waktu pindah rumah ke sini, kamu memang kelihatan banget bahagianya. Kak Tio pikir karena kita bakal barengan terus. Ternyata masalahnya lebih rumit. Terus apa kamu tahu kabar mereka?"
Untuk hal ini ada baiknya Tio tahu di awal. Raya tidak mau ada masalah di kemudian hari kalau sampai Tio tahu yang sebenarnya.
"Ya, Raya tahu. Salah satu dari mereka juga pindah ke sekolahku."
"Serius?" Tio cemas. Apa yang harus dia lakukan? Adiknya satu sekolah lagi sama perundung yang membuatnya trauma.
"Siapa orangnya?"
Ini yang ditakutkan Raya. Kakaknya itu mau apa kalau tahu orangnya. Dia benar-benar tak mau ada keributan.
"Kak Tio mau apa, memangnya? Lupain, aja!"
Tio menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Kakak nggak mau kejadian dulu terulang lagi, Raya. Jadi kita cari solusi dari sekarang."
"Nggak perlu, Kak. Dia udah baik, kok! Malah kita temenan, sekarang." Duh, Raya kelepasan. Tio pasti langsung tahu siapa orangnya.
"Temenan?" Tio mengingat lagi teman-temannya Raya yang dia kenal. Sejauh ini yang interaksi lumayan dekat ada Rasya dan Donna.
Kalau Rasya rasanya mustahil. Dilihat dari luar dia cukup gentleman. Meski setelah pemakaman itu dia belum lihat dia lagi bersama adiknya.
Donna? Apa mungkin dia? " Orangnya Donna?" tanya Tio tiba-tiba.
Raya mengangguk.
"Donna? Teman kamu yang kenalan sama Kakak tadi?" tanya Tio tak percaya. Donna memang kelihatan kurang ramah. Dingin dan tidak suka basa-basi.
"Iya. Dia ngalamin banyak hal buruk. Setelah itu banyak yang berubah dalam hidupnya. Dia berubah dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Orangnya memang ketus, tapi dia tulus."
Semoga benar begitu. Tio tidak ingin Donna hanya sadar sementara. Poin paling penting sekarang adalah Raya. Dia nggak bisa dibiarkan ketakutan terus. Apalagi suasana rumah sedang tidak bersahabat dengannya. Dia tidak bisa memberikan saran yang langsung diterima Raya. Seseorang yang profesional sepertinya lebih paham.
Tio memeluk adiknya dengan penuh kasih. Sungguh, dia bersyukur Raya mau berterus terang. Semoga belum terlambat menangani masalah Raya ini. Masa mudanya masih panjang. Dia harus tumbuh dewasa sebagai Raya yang sehat fisik dan mentalnya.
"Aku udah nggak apa-apa, Kak. Makasih mau dengerin ocehanku."
Maaf, Kak. Gue belum bisa cerita soal Eca sama temen-temennya. Gue takut akibatnya nggak bagus nanti. Dia cukup punya kuasa di sekolah. Aku bisa apa kalo sampe dia lakuin sesuatu ke Kakak atau orang-orang terdekat gue di sekolah?
Untung Tio nggak ngungkit soal temen sekelas yang mengajaknya kenalan. Raya bisa cari waktu lagi untuk kasih tahu kakaknya. Untuk cerita tadi saja rasanya sudah berat. Tetapi
dia merasa lega setelahnya.
***
Hari baru tapi juga ada kabar buruk yang baru beredar. Baru juga sampai di koridor menuju kelasnya, Raya sudah dikejutkan dengan tatapan mencemooh dari banyak orang. Kasak-kusuk sambil melihat dirinya, jelas sekali mereka sedang membicarakannya.
Situasi seperti dulu terjadi lagi. Dia jadi pusat perhatian tapi bukan karena hal bagus. Tapi sebaliknya.
Jalan Raya makin cepat supaya dia segera hilang dari sana. Tetapi begitu sampai di kelas, pemandangan tak jauh beda pun terjadi. Semua orang melihat ponsel, lalu melihat ke arahnya. Ada yang sambil menunjuk-nunjuk, ada juga yang sengaja menyenggol bahunya keras saat papasan.
Ada apa lagi ini? Eca bikin perhitungankah? Secepat ini? Tapi apa salah gue? Kalau soal Rasya, gue udah lama nggak ngobrol sama dia. Apa karena dia ngebelain gue kemarin?
Raya segera membuka ponsel dan mencari tahu sumber masalahnya. Grup chat sekolah sudah ada ratusan chat yang masuk. Notifikasi di grup lain juga jebol.
"Jangan dibuka! Ikut gue!" Rasya tiba-tiba saja merebut ponsel Raya dan menariknya keluar kelas.
Raya sendiri tidak sempat menolak. Tangannya digenggam sangat erat oleh Rasya.
"Rasya, jangan cepet-cepet, gue susah ngikutin lo." Napas Raya terengah-engah. Jelas saja dia kesulitan mengikuti kaki Rasya yang panjang.
Langkah Rasya akhirnya berhenti di atap gedung. "Lo nggak perlu baca atau lihat apa pun hari ini. Ponsel lo gue bawa."
"Itu ponsel gue, jadi hak gue mau lihat atau enggak." Raya
"Gue bilang nggak ya, nggak!" Rasya tidak mau Raya membaca semua chat yang menyudutkannya.
***