Di dunia ini, tidak semua hal bisa berjalan dengan mudah. Bahkan jika ditemukannya sebuah teori konsep 'sistem dunia', tidak ada yang mampu melihat kepastian yang akurat.
Setiap individu (manusia), berdiri di antara ribuan kemungkinan yang terus berjalan. Ibarat seperti 'berjalan di atas sehelai benang yang tak berujung', setiap individu tak akan mampu memprediksi dengan tepat, 'apa yang akan terjadi sampai sesuatu itu benar-benar terjadi didepan matanya'.
***
—Cika
Manusia cenderung penasaran dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah dilihat, didengar, ataupun dirasakan.
Secara umum, manusia mempunyai kemampuan 'mengamati', belajar dari seseorang ataupun belajar dari stimulus sendiri.
Pengalaman yang menumpuk akan menjadi bekal di masa depan.
Belajar dan terus belajar....
'Semua hal akan bisa menjadi mudah di masa depan jika terus belajar. ' Itulah yang dikatakan oleh hampir rata-rata orang. Tapi faktanya, apa mereka memang sedang melakukan semua itu? Walaupun bisa dengan mudah menasehati orang lain, apakah mereka mampu melakukannya atas inisiatif sendiri? Sampai sekarangpun aku masih meragukannya.
Sejauh yang ku amati disekitar lingkunganku, 'manusia itu suka menasehati orang lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri'. Mengapa demikian? Tidak ada jawaban yang pasti. Satu-satunya yang bisa kupahami hanyalah itu adalah bentuk kecenderungan manusia dalam menegakkan prinsip dan juga egonya.
Ibarat seperti 'boneka yang digerakkan dari atas benang dunia', pola pikir dan tingkah laku mereka menyesuaikan kondisi yang ada lingkungan masing-masing.
Aku ingin menjadi seorang 'pembeda'. Bukan 'boneka yang digerakkan', melainkan seorang tokoh wanita yang akan membawa reformasi dalam hal pendidikan.
Sejak kecil, aku sangat suka membaca. Sebelum dapat lancar membaca, aku mempunyai ketertarikan dengan sebuah gambar. Sering kali orang tuaku dulu memberiku sebuah hadiah buku gambar ketika di usia balita. Lalu, ketika mereka mengetahui bahwa aku telah lancar dalam membaca, mereka memberiku kejutan dengan membawakan buku cerita bergambar. Judulnya adalah 'gadis kecil yang suka belajar'. Aku sangat menyukai buku cerita itu. Didalam ceritanya, seorang gadis yang gemar membaca buku, melakukan banyak hal yang menyenangkan ketika mempelajari satu persatu buku. Gadis itu menggunakan kemampuan imajinatifnya ketika mengekspresikan sesuatu yang dibaca dan dipelajari. Walaupun kebanyakan hanya mengisahkan latar di halaman belakang rumah seorang gadis, ada sebagian kecil juga mengisahkan gadis itu belajar di lingkungan luar, seperti bertemu dengan seseorang, mengalami sebuah peristiwa, dan belajar hal-hal baru dari itu semua.
Sejak saat itulah aku mempunyai ketertarikan untuk belajar seperti halnya tokoh gadis dalam buku itu. Bagiku, semua hal yang dapat dipelajari bagaikan 'uang yang terus mengalir'. Pengalaman dan rasa ingin tahu—aku memadukan keduanya sebagai bentuk motivasiku dalam belajar.
Ketika masih berada di bangku SD, aku selalu mendapatkan ranking pertama di kelas. Dari lubuk hatiku yang terdalam kupikir aku akan selalu bisa membahagiakan kedua orang tuaku dengan kemampuanku sendiri.
Sejak saat itu aku telah banyak belajar, baik dari segi akademis maupun atletik. bahkan kemampuanku dinilai hampir setara dengan anak SMP, itulah yang pernah wali kelasku katakan sebagai pujian ketika berada di kelas enam.
Di hari kelulusan—disaat kukira semua hal telah berjalan baik seperti yang kuharapkan, dari sisi belakang tidak kusadari adanya fakta bahwa teman sekelasku secara diam-diam telah lama menyimpan kebencian kepadaku. Ironisnya, di antara mereka salah satunya termasuk teman dekatku yang tanpa sadar sudah ku 'injak' perasaannya dengan pengetahuanku.
"Cika, tolong jawab dengan jujur. Dari lubuk hatimu yang terdalam, kau pasti sangat bangga berdiri di atas semua orang, kan?"
"Tentu saja. Bagiku, semua hal yang bisa dipelajari adalah sesuatu yang paling menyenangkan. Bukankah kau juga berpikir seperti itu, Eda?"
Ketika mengingat perkataanku sendiri yang waktu itu kukatakan dengan antusias di belakang sekolah, aku menjadi bertanya-tanya kembali—mengapa aku berkata demikian. Bukankah ada kalimat lain yang bisa ku gunakan dengan lebih baik waktu itu? perkataan yang setidaknya tidak menyinggung perasaannya? Satu-satunya dalam hidupku, hanya momen itulah yang pada akhirnya membuatku sadar betapa kejamnya diriku akan haus ilmu pengetahuan.
Setelah mendengar perkataanku, sahabatku yang bernama Eda memasang ekspresi suram di wajahnya. Tidak segera merespons, aku menanyainya, "Apa ada yang salah?" Sambil memegang pundaknya. Tapi... sebelum tanganku menyentuh pundaknya, dia segera menepisnya lalu memasang ekspresi tertekan. Ketika baru menyadari itu, sekujur badannya juga gemetar.
"Bukankah ini sudah cukup," itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya.
"Eh? Eda? Ada apa denganmu?" Tanyaku, heran.
"Bisakah kau berhenti bermain-main dibalik topeng! Semuanya sudah jelas sekarang. Kau menang. Ini seperti yang kau harapkan, bukan!" Tegasnya.
"Eda, aku tidak mengerti apa yang kau—"
"Berisik! sudah kukatakan untuk berhenti berpura-pura kan! kau ini menyebalkan!" mendengar ini, tentu saja aku merasa syok.
Tidak kusangka satu-satunya teman yang sejak dulu selalu mendukung perjuanganku akan mengatakannya sejauh itu—tanpa sadar pandanganku telah berlinang air mata.
"Kenapa—kau mengatakan itu?" tanyaku, dengan ekspresi yang mematung.
"Mengapa kau tidak menanyakan itu kepada dirimu sendiri," dia juga tampaknya ikut meneteskan air mata.
Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi....
Diantara keheningan ini, aku tahu jika ada orang lain yang memperhatikan adegan kami.
Kami menangis selama hampir satu menit, lalu Eda yang menguatkan dirinya, mulai berbicara seperti halnya kata-kata terakhir.
"Mungkin... akulah yang paling dulu membencimu sebelum mereka. Jadi, aku akan mengakhiri semuanya di sini," katanya.
"Mulai sekarang, aku bukanlah sahabatmu lagi. Jika kita bertemu di suatu tempat, aku akan berpura-pura tidak mengenalmu. Kupikir inilah langkah yang tepat untuk ku putuskan sendiri," lanjutnya.
Dengan meninggalkan kata-kata itu, dia pergi meninggalkanku yang roboh di belakang—dan di saat yang bersamaan, aku menyadari letak kesalahanku. Masalahnya adalah sejak kapan dan mengapa itu bisa terjadi. Sungguh, dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Itulah kupikirkan waktu itu.
Apakah aku harus mengurangi jam belajarku? dan lebih bersosialisasi dengan orang lain? pemikiran seperti itu pernah ku tekankan di dalam kepalaku. Tapi, seolah sudah menjadi bagian dari diriku, aku tidak dapat melepaskan apa yang sudah ku bangun selama ini.
Ini kebetulan, atau mungkin, hukum alam?Apakah ini hukumanku karena tidak peduli dengan perasaan orang di sekitarku dan memilih mendalami hobiku dengan upaya memperjuangkan tujuanku? Apakah itu benar-benar letak kesalahanku satu-satunya? Aku tidak mengerti....
Ketika berada di SMP, aku menjadi seseorang yang lebih pendiam. Menurut pribadiku di saat itu, upaya ini ku tekankan agar orang lain tak dapat melihat 'ekstensi menonjol' dariku. Alasan mengapa aku melakukan ini hanyalah satu—yaitu ingin melupakan 'mimpi burukku di hari kelulusan SD'.
Aku belajar dan terus belajar. Hanya itulah yang kulakukan. Awalnya kupikir dengan belajar, secara otomatis itu bisa meningkatkan hubungan sosial-ku dengan orang lain. Tapi semuanya jauh dari kenyataan. Faktanya, di dalam lingkunganku bahkan tidak mencapai setengah dari yang kuharapkan. Mungkin sejak aku memutuskan berada di jalan itu, harapanku sudah dikhianati oleh ekspektasi yang berlebihan.
"Aku harus melihat realita" Bahkan jika hanya 'kebohongan' yang menanti, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah belajar dan berjuang dengan semua aset itu. Menjadi sosok yang mampu mereformasi era pendidikan, itulah yang pada akhirnya menjadi alasan kecilku bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Dengan maksud, 'tidak ingin merasakan adanya diskriminasi dan ketidakadilan sosial dari segi pendidikan'.
Setelah mengalami banyak hal secara langsung dari itu semua, aku menguatkan tekadku dengan mencoba mendaftarkan diri di sekolah futuristik yang berada paling dekat dengan kota tempat tinggalku.
Sebelumnya, aku hanya mendengarkan berita mengenai pembangunan sekolah itu, serta peninjauan dan perbandingannya dengan sekolah-sekolah umum. Tapi lama-kelamaan, aku menyadari jika sekolah di sana adalah jalan yang terbaik untukku dalam mengejar dunia pendidikan. Itu terbukti dari tingkat presentase murid yang lulus dari sekolah itu. Tidak hanya dapat mencari pekerjaan dengan mudah (mendapat rekomendasi), seseorang juga dinilai mampu mengembangkan diri mereka lebih jauh sebagai pelopor inovasi negara.
Bahkan, di zaman generasi 'manusia modern' sekarang, para politisi dan calon pemimpin negara mulai bermunculan dari kalangan pelajar di dunia pendidikan. Itu semakin meningkatkan minatku terhadap sekolah tersebut.
Disisi lain, aku mungkin juga bisa bersaing secara kompetitif dengan kemampuan standar yang dimiliki oleh murid-murid di sana. Begitulah yang kupikirkan. Dari asumsiku, di sanalah tempat orang-orang kurang lebih sepertiku atau lebih berpengalaman dariku berada.
Mengetahui jika sekolah tersebut menggunakan sistem asrama atau tinggal dilingkungan sekolah, pada akhirnya aku harus memilih untuk melepaskan diri dari kedua orang tuaku dan beranjak untuk hidup mandiri.
Ini sangat dramatis dan sungguh menyedihkan....
Sebelum meninggalkan keduanya, aku bisa melihat jelas wajah mereka yang tersenyum tegar dengan keterpaksaan, serta lambaian tangan yang tulus dan seolah terasa berat untuk membiarkanku pergi meninggalkan rumah.
"Terimakasih, papa, mama...."
Mengingat hanya sosok keduanya yang selalu merawat dan menjagaku, ini sangat berat untukku.
Pada saat itu juga, aku berjanji kepada mereka bahwa, aku akan kembali setelah menjadi orang yang benar-benar mengerti cara hidup di lingkungan masyarakat luas, lalu membahagiakan keduanya dengan menjadi orang yang sukses di masa depan—pikirku dari lubuk hati yang terdalam.
***
Setelah berhasil diterima masuk di sekolah futuristik, beberapa hari kemudian aku mendatangi tempat sekolah itu di hari yang sudah ditetapkan.
Dari sebuah laman resmi sekolahan, aku bisa melihat kegiatan apa saja yang akan dilakukan pada hari pertama ini.
Seperti yang sudah menjadi tradisi umum, sebagai pembukaan awal untuk para murid baru akan dilaksanakan upacara pembukaan yang diikuti dengan semua murid tanpa terkecuali.
Karena upacara tersebut termasuk hal yang harus diikuti dari awal hingga akhir, para murid diberikan persiapan terlebih dahulu untuk menata diri mereka.
Tentu saja, upacara ini berlangsung cukup lama....
Sambutan demi sambutan, dilakukan oleh kepala sekolah sebelum pada akhirnya diserahkan kepada ketua OSIS saat ini.
Dari inti penjelasan itu, aku mengingat dan merangkum semua hal penting yang kudengar di kepalaku. Tanpa kusadari, semua murid tampak lelah. Bahkan aku bisa mendengar keluh kesah mereka ketika kepala sekolah sedang berpidato panjang.
"Huh... seharusnya tidak seperti ini..."
Awalnya, kupikir semua orang akan tampak serius mendengarkan dari awal hingga akhir. Tapi seolah mengkhianati harapanku, semua berjalan tampak seperti biasanya. Meskipun sudah berada di lingkungan yang berbeda, kelihatannya tidak ada banyak hal yang berubah dengan orang-orang di sekitarku.
"Apa lagi-lagi aku harus berjuang sendirian?"
Sekali lagi, aku merasa terasingkan oleh kenyataan yang menghantamku cukup keras. Ditengah sedang memikirkannya, pidato kepala sekolah tiba-tiba telah berakhir.
Ketua OSIS menyeru kepada semuanya untuk tenang. Suaranya tegas dan berwibawa. Itu sangat mencerminkan sosok pemimpin yang sebenarnya. Begitulah pikiranku bisa teralihkan untuk sesaat.
Ketua OSIS menyampaikan informasi-informasi penting mengenai fasilitas di sekolah ini dan menjelaskan hampir satu persatu dengan sejelas-jelasnya.
Aku mencatat semuanya di dalam kepalaku dan terus mendengarkannya.
"Alangkah baiknya jika semua orang bisa sungguh-sungguh ingin menjadi sosok seperti itu...."
Mengharapkan sesuatu yang diluar realita, hal tersebut sempat kupikirkan ketika sedang mengagumi ketua OSIS yang berdiri di atas podium.
Setelah pidato dari ketua OSIS berakhir, selanjutnya untuk murid baru digiring menuju ke aula depan di dalam gedung sekolah utama.
Disana, para murid baru diberikan sebuah ponsel pelajar serta dijelaskan penggunaannya. Semua hal di dalamnya di khususkan untuk belajar. Ini menarik minatku dan menambah motivasiku untuk mempelajarinya secara mandiri. Apalagi, ini adalah pertamakalinya aku memegang ponsel. Jika orang-orang mendengar fakta ini, mereka pasti akan terheran-heran. Tapi dari sudut pandangku, itu adalah hal yang biasa. 'Seseorang tidak akan menginginkan sesuatu yang tidak diinginkannya'. Itu menjadi salah satu alasan mengapa aku menolak untuk diberikan hp modern ketika masih SMP dulu, dan hanya memakai hp primitif yang merupakan peninggalan dari kakekku.
Setelah menyelesaikan tahap ini, aku berencana langsung menuju ke asrama. Karena semua hal setelah ini menjadi sesi yang tidak wajib diikuti, ini menjadi kebebasan untukku melakukan hal yang ingin kulakukan sendiri.
***
'Aku ingin menjadi yang pertama datang'.
Itulah yang kupikirkan saat menyadari betapa cepatnya aku berjalan lalu mulai berlari ke tempat tujuan.
Ini bukan sepenuhnya karena rasa penasaranku dengan lingkungan baru di asrama, melainkan sebagian besar adalah karena ambisiku semata ingin cepat mempelajari sesuatu seperti penggunaan ponsel pelajar secara pribadi atau hal-hal lain yang dapat kupelajari di sana terlebih dahulu.
Karena aku tidak melihat adanya tanda-tanda murid satupun yang pergi searah denganku menuju asrama, kupikir akulah yang akan menjadi pertama datang. Tapi, sekali lagi harapanku telah dikhianati oleh kenyataan.
"T-tunggu!" Aku melihat seorang siswa bersama dengan ibu penjaga asrama akan masuk kedalam. Karena tidak ingin tertinggal, aku berusaha menyuarakan suaraku agar mereka berhenti dan menungguku sejenak.
Keduanya mendengar suaraku, lalu menoleh ke arahku yang sedang mengatur nafas. Aku menyadari jika tindakan ini sudah terlalu berlebihan untukku.
Ibu asrama lalu mengajakku ikut masuk juga kedalam setelah mengatakan hal yang menurutnya tidak biasa. Kemudian ia mengalihkan pandangannya dan melanjutkan pekerjaan. Tapi, berbeda dari ibu asrama, siswa yang sangat pendiam di sebelahnya itu melihatku lebih lama.
Karena itu agak membuatku tidak nyaman, dengan terpaksa aku mencoba melambaikan rendah tanganku kepadanya dan membuat itu seolah-olah terlihat alami sebagai sapaan.
Dia tidak merespons dan tetap diam memperhatikan. Sungguh laki-laki yang aneh. Itu berlangsung selama beberapa detik, lalu dia mengalihkan pandangannya dengan mengikuti ibu asrama masuk kedalam.
Didalam pos, kami diberi penjelasan mengenai aturan asrama. Kemudian, ibu asrama membuka sesi bertanya kepada kami. Karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku langsung bertanya.
Hal pertama yang kutanyakan adalah mengenai bentuk pelanggaran dan hukuman seperti apa yang akan diterapkan di lingkungan asrama ini.
Ibu asrama menjawab pertanyaanku dengan cara sederhana dan mudah dimengerti. Ketika ibu asrama menawarkan 'sesuatu seperti apa yang ingin ditanyakan lagi', untuk saat ini aku sudah kehabisan kata yang ingin kutanyakan.
Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi aku tidak tahu bagaimana kata yang tepat untuk menanyakannya. Itu membuatku kebingungan dan pada akhirnya aku berhenti memikirkannya lebih jauh. Tapi, ketika kupikir ibu asrama akan kembali melanjutkan penjelasannya mengenai sesuatu yang tidak bisa kutanyakan, siswa laki-laki yang berdiri di sampingku mulai menanyakan sesuatu.
Hal yang ia tanyakan sangat sederhana, tapi dibaliknya mengandung makna penjelasan yang konkret. Ibu asrama sepertinya menyadari itu dan sengaja memintanya menjelaskan maksud pernyataannya dengan lebih mendetail.
Aku tahu laki-laki di sebelahku ini sangat enggan untuk mengatakannya, tapi pada akhirnya, dia dengan terpaksa mulai menjelaskan maksud dari pertanyaannya itu.
Saat mengutarakan semua maksud yang ingin dia tanyakan, aku menyadari jika sesuatu yang ingin dia tanyakan itu adalah salah satu bagian dari sesuatu yang tidak bisa kutanyakan. Lebih tepatnya, maksud dari perkataanku yang tak bisa ku rangkai juga tak terpikirkan olehku dari beberapa saat yang lalu.
"Ah!" Tanpa sadar, aku sudah tercengang mendengar semua yang jelas sangat ingin kutanyakan. Tak lama kemudian, ibu asrama memberikan apresiasi dan pujiannya kepada siswa laki-laki di sebelahku. Beliau juga sampai menindaklanjuti pujiannya, namun pada akhirnya pujian itu dikembalikan dengan baik oleh siswa laki-laki itu dengan sikapnya yang kalem.
Ibu asrama yang tertarik, mulai tertawa kecil. Sementara itu, laki-laki ini hanya merendah. Kemudian, ibu asrama mulai menjelaskan satu persatu yang ditanyakan oleh laki-laki itu.
Setelah mendengar penjelasan beliau mengenai 'penggunaan fasilitas', aku masih merasa bingung. Alasannya sederhana, itu karena aku kurang berpengalaman dalam menggunakan 'alat kecanggihan teknologi' yang ada di zaman sekarang. Bahkan bagi orang sepertiku yang mampu belajar lebih jauh, selama aku tidak merasa tertarik untuk mempelajarinya disaat itu juga, aku akan membiarkannya berlalu. Tapi, saat ibu asrama mengatakan jika di dalam ruangan sudah disediakan buku panduan untuk para murid baru. Ini membuatku cukup lega.
Ibu asrama mulai menjelaskan lebih detailnya dan mulai memberikan penjelasan yang panjang lebar.
Ketika telah sampai di penjelasan mengenai 'kapasitas yang mampu ditampung untuk setiap ruangan', ini menjadi sindiran tidak langsung bagi siswi perempuan. Aku bisa mengetahui itu karena di SD pernah berteman dengan sahabat kecilku yang kini sudah lama 'hilang'.
Setelah semua yang ingin ditanyakan telah terjawab, ibu asrama mengakhiri sesi tanya jawab. Kemudian beliau mulai membagikan kunci ruangan kepada kami berdua.
Sungguh kebetulan yang tidak bisa ditebak oleh sesuatu yang pada akhirnya tak dapat dijelaskan. Laki-laki itu menghuni ruangan 42 sementara aku di ruangan 41. Dengan kata lain, kami menjadi tetangga. Ibu asrama juga dikejutkan oleh kebetulan ini walaupun beliau lah yang memberikan kunci ruangan kepada kami.
Lalu, berlanjut menaiki tangga lantai dua, yaitu tempat ruangan kami berada, ibu asrama meninggalkan kami setelah memandu sampai depan ruangan.
Sebelum laki-laki itu masuk ke ruangannya, aku memberanikan diri untuk memanggilnya dan mengajaknya berbicara sebentar di luar ruangan. Entah bagaimana pada akhirnya dia menerima ajakanku walaupun tampak seperti 'aku telah mengganggu tujuannya'. Sebagai bayaran atas perbuatanku, aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Dia bernama Rafa, dan kelihatannya, dia juga berkepribadian 'dalam' sepertiku. Jika ada sesuatu yang berbeda, maka itu adalah cara dia dan aku berpikir dalam ketenangan. Untuk saat ini, itulah yang baru ku ketahui darinya.
Aku menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya kepada ibu asrama sebelumnya dan memberikan kesan baik kepadanya. Tapi, tidak seperti yang kubayangkan, dia memilih merespons itu dengan cara yang paling membosankan.
'Itu adalah hal yang biasa dilakukan' adalah kata pertama yang membuatku sempat terkesan. Tanpa sadar, aku mulai tertarik dengan cara berpikirnya yang tetap merendah itu. Meskipun tidak memikirkan 'arti keberadaan', dia tetap bejalan dengan langkah yang paling rasional dengan caranya sendiri. Sejujurnya itu cukup mengejutkan. Karena faktanya, itu adalah salah satu hal yang tak dapat kulakukan sampai sekarang.
Ternyata... ada juga orang yang ku anggap biasa saja, bisa mempunyai ekstensi seperti ini. Perlu ku tekankan hal tersebut membuatku lega dan senang. Itulah yang mendasari keinginanku untuk mencoba berinteraksi dengannya. Meskipun dirinya tidak bisa menjadi cukup dekat seperti yang ku harapkan, setidaknya... keberadaannya itu telah memberiku motivasi, serta keyakinan bahwa di sekolah ini pastinya juga ada banyak murid yang memiliki tujuan, serta ambisi masing-masing.
Jiwa kompetitifku mulai membara saat pertemuanku dengannya—dan tanpa sadar, aku mulai menjadikan laki-laki ini sebagai tujuanku di akhir nanti.
Hanya karena hal ini, semua yang ku anggap 'mengecewakan' sebelumnya telah terbayarkan saat ini juga. Untuk waktu yang sedikit agak lama, akhirnya aku bisa mengungkapkan sepatah kata bahwa...
"Aku bersyukur telah masuk ke sekolah ini."
In Her Place
720
485
21
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Sendiri diantara kita
791
497
3
Inspirational
Sendiri di Antara Kita
Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat.
Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri.
Lalu satu kejadian mengubah segalanya.
Seke...
Kenapa Harus Menikah?
78
72
1
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah?
Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505
198
11
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari!
Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Switch Career, Switch Life
315
265
4
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri.
Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya.
Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...