Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Pagi hari telah berganti.

    Tidak terasa aku sudah menghabiskan malam pertamaku di lingkungan sekolah ini.

    Meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak jauh berbeda dengan malam yang biasanya, tapi entah mengapa aku merasa nyaman dan tenang sejak memutuskan berada disini.

    Mungkin karena aku masih memiliki kesan bahwa, 'aku sudah meninggalkan tanggung jawab' itu, aku agak merasa bersalah.

    Pagi ini aku mengawalinya dengan mandi membersihkan tubuh terlebih dahulu. Setelahnya, aku melakukan sedikit relaksasi dengan meregangkan otot-ototku. Kemudian, aku memakai kaos lengan pendek yang tak terlalu ketat, juga memakai celana panjang berbahan tipis atau yang biasa disebut training yang sengaja ku siapkan untuk digunakan jika melakukan joging di luar.

    Hari ini, aku berniat jalan-jalan mencari udara segar di pagi hari dengan melewati area di sekitar yang belum ku jelajahi kemarin. Karena kondisi di pagi hari sepi, itu merupakan faktor utama mengapa aku memutuskan keluar sekarang.

    Meninggalkan asrama yang hanya menyisakan sedikit murid di balkon depan serta halaman, aku bergegas turun dari tangga tanpa diketahui orang lain.

    Sesampainya di bawah, ibu asrama yang sedang menyapu pagi-pagi sekali kebetulan melihatku turun ke bawah lebih awal...

    "Wah! Kau bangun pagi-pagi sekali, kau sangat bersemangat ya!" ujarnya.

    "Apa saya terlihat seperti itu?" tanyaku.

    "Jika orang yang melihatnya dengan pandangan biasa, umumnya tidak akan mengetahuinya," jawabnya, tampak percaya diri.

    "Jadi yang ingin anda katakan adalah anda bisa melihatku dari 'dalam', begitu?" kataku, menodongnya dengan pertanyaan.

    "Barangkali seperti itu," jawabnya sederhana.

    Sepanjang percakapan kami, ibu asrama terus menunjukkan senyuman lembut yang terkesan licik, seolah telah berpengalaman dalam menguak banyak hal yang salah satunya seperti jenis kepribadian para murid, terkait dengan situasi saat ini.

    "Inikah yang disebut 'berpengalaman' ya," gumamku. Lalu ibu asrama melanjutkan.

    "Ngomong-ngomong, kemana kau akan pergi? Area utama?" Dia menanyakan itu.

    "Aku baru akan memikirkannya nanti di tengah jalan," kataku.

    "Kalau begitu sekalian saja akan kuberikan sedikit informasi. Jika kau melewati gerbang belakang asrama, itu akan menuju ke area utama bagian utara. Lalu jika kau melewati gerbang depan, maka itu akan menuju ke area tahun pertama," ujarnya.

    "Terimakasih untuk infonya," kataku.

    "Hm..." ibu asrama sedikit serius memperhatikanku.

    "Apa ada sesuatu lagi yang ingin anda sampaikan?" Setidaknya, aku berpikir harus mencoba bertanya.

    "Kurasa untuk melakukan pendekatan kepada murid, mestinya aku harus dipanggil dengan panggilan yang lebih terkesan dekat, dan pastinya juga dengan gaya bicara yang tidak terlalu formal," katanya yang tiba-tiba.

    "Apa itu karena anda tidak ingin dipandang lebih tua disini yang umumnya harus dihormati...?" sindirku.

    Setelah mendengar itu, ibu asrama tersenyum tipis, namun tidak marah—hanya sekedar tersenyum dengan makna yang hanya bisa dimengerti olehnya sendiri.

    "Bagaimana kalau kau memanggilku mbak Emi saja, kurasa itu terdengar lebih baik, ya 'kan," ibu asrama yang satu ini memang tampak menakutkan dalam arti lain.

    "Apa maksudnya dengan 'lebih baik'? Kupikir itu agak..." kataku terpotong.

    "Hn...? Apa kau keberatan...?"

    Melontarkan pertanyaan yang seolah sengaja bermaksud memblokir kataku selanjutnya, Mbak Emi terus mempertahankan senyumannya, namun disisi lain, auranya juga semakin menakutkan.

    "Tidak, tidak apa-apa. Jika and—mbak tidak masalah dipanggil seperti itu, maka aku juga tidak keberatan."

    "Hn, itu baru bagus," katanya, mendadak sudah lebih tenang.

    Sungguh, lingkungan ini terasa baru bagiku, termasuk orang-orangnya juga disini.

                                                     ***

    Setelah melakukan interaksi kecil dengan ibu asrama yang sekarang mulai ingin dipanggil sebagai 'mbak Emi', tanpa sadar aku berada di area tahun kedua ketika sedang memikirkan 'darimana sebaiknya memulai aktivitas keseharian ini'.

    Sedikit melakukan joging, aku memasuki jalanan sempit yang sepi di antara bangun-bangun seperti toko. Jalannya sedikit berliku-liku, jadi aku memutuskan untuk melewatinya secara acak. Di beberapa tempat seperti belakang toko, kondisinya hampir serupa dengan keadaan di kota. Walaupun kebersihan menjadi tampilan utama jika dilihat dari luarnya, itu tidak menjamin untuk melihat kebersihan yang ada di di dalamnya.

    Aku menghabiskan waktu sekitar lima menit berkeliling di area itu, lalu kembali ke jalan utama dekat dengan sebuah gedung perpustakaan tahun kedua yang berbentuk lingkaran setinggi perbukitan area utama bagian tengah (AUBT).

    Berjalan lurus ke depan, aku sudah bisa melihat asrama tahun kedua yang berada di antara bioskop dan apotek. Disanalah tempat kakak kelas tahun kedua tinggal di tahun ajaran baru ini.

    "Huf. Kira-kira butuh waktu berapa lama para orang dewasa membuat ini semua ya?" sambil menggumamkan itu, aku mengatur nafasku setelah berjoging.

    Tak lama kemudian, saat mengalihkan pandanganku ke arah lain...

    "Ah! Ternyata kau disini ya." Ujarnya yang tertuju ke arah seseorang, tak lain adalah aku sendiri disini.

    Seorang perempuan yang lebih tua dariku datang menghampiri dengan ekspresi yang sangat mencerminkan sosok ekstrover pada umumnya. Dia memakai Jersey dengan rambutnya yang diikat, serta badannya yang ramping, namun berisi, juga agak tinggi. Dilihat dari manapun, tampaknya dia sengaja mencariku yang saat ini duduk di bawah atap toko kelontong. Memangnya apa urusannya denganku?

    "Siapa?"

    Tentu saja aku sama sekali tidak mengenalnya. Ketika meliriknya, dia sudah duduk di sampingku tanpa menunjukkan rasa sungkan sedikitpun. Normalnya situasi seperti ini mempunyai peluang 'sangat rendah' untuk bisa terjadi, itulah yang kupikirkan.

    "Kau ini anak kelas sepuluh, murid baru ya?" menanyakan itu, perempuan ini sepertinya ingin mengakrabkan diri denganku.

    Seperti yang umumnya diketahui, penyebutan kelas untuk anak SMA itu terdiri dari kelas 10 (1), 11 (2), 12, (3) yang merupakan lanjutan dari urutan kelas ketika berada di SMP.

    "Ya," jawabku segera, tanpa menoleh ke arahnya.

    "Tadinya aku melihatmu ditengah jalan, kupikir jarang sekali ada yang kesini pagi-pagi sekali, jadi aku sempat mengikutimu karena penasaran. Tapi karena kau sepertinya melewati jalan acak, aku sempat kehilangan jejakmu. Lalu kebetulan aku melihatmu disini, hehe..."

    Dia mengakhiri perkataannya dengan tawa kecil, serta menunjukkan sikap ramah yang umumnya akan membuat orang terpikat untuk mengakrabkan diri dengannya.

    Untuk beberapa saat yang lalu, aku memang telah menyadari jika ada seseorang yang mengikutiku. Kupikir itu kakak kelas yang mungkin saja memiliki niat buruk—tapi ternyata aku salah. Selain itu... entah bagaimana, aku bisa merasakannya. Sekarang, aku mulai yakin sepenuhnya jika perempuan ini memiliki jenis kepribadian 'terbuka' yang umumnya tak dapat ku jangkau cara berkomunikasinya.

    "Kalau boleh bertanya, kenapa mbak mengikutiku? Kalau hanya sebatas rasa penasaran dengan kebiasaan murid biasa, umumnya tidak akan ada yang mempedulikan, kan," kataku, menyertakan pendapat pribadi.

    "Hm... kupikir kau benar, mungkin tidak biasanya kebanyakan orang akan melakukan hal segabut itu," katanya.

    "Jadi, apa itu memang karena hobi, atau mungkin pengaruh dari kepribadian Mbak saja?" Tanyaku acak.

    "Kepribadian? Yup! Itu jawaban yang brilian. Kurasa aku bisa mengatakannya, 'tepat sekali'," mengatakan itu, dia tampak sangat antusias.

    Aku menghela nafas di tengah situasi klise ini. Di samping itu juga, entah mengapa tiba-tiba atmosfer di langit dari sudut pandangku mulai tampak silau untuk melihat sekitar. Yah, kupikir ini tidak lain karena pengaruh dari keberadaannya.

    "Apa kau tidak enak badan?"

    Menyadari ada perubahan signifikan dari penampilan luarku, Mbak ini mulai bertanya dengan ekspresi agak cemas.

    "Ini kondisi yang sering terjadi. Tidak perlu khawatir."

    Meskipun sudah mengatakannya dengan jelas seperti itu, dia tampaknya masih meragukanku yang berkata dengan kondisi sebaliknya.

    Dengan ini pasti...

    "Oh! Kenapa aku tidak menyadarinya," katanya, seolah memahami sesuatu.

    Sepertinya... aku sudah mencapai batas. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku agak takut dengan orang berkepribadian ekstrover.

    "Kalau begitu aku akan—"

    "tunggu!"

    ketika aku mengangkat tubuhku dan hendak berdiri, dia langsung memegang tanganku seolah tidak ingin membiarkanku pergi begitu saja. Kondisi itu berlangsung selama 3 detik sebelum pada akhirnya dia menyadari betapa agresifnya tindakan seperti itu, lalu segera melepaskan tanganku dan meminta maaf.

    "Ah, kau pasti merasa tidak nyaman kan, sepertinya aku sudah berlebihan. Bagaimana kalau kita bicara santai dulu?"

    Dari sikap dan gaya bicaranya yang tiba-tiba berubah, kelihatannya dia berniat menyesuaikan atmosfer yang cocok denganku.

    Dengan terpaksa, aku kembali duduk dan bersiap untuk menghilang dari sudut pandangnya. Itulah yang seharusnya kurencanakan. Tapi tiba-tiba, dia justru membawaku kedalam topik pembicaraan yang serius.

    "Untuk menjadi ketua OSIS, aku harus bisa menjadi sosok yang dekat dengan semua jenis murid."

    Ketika dia menggumamkan itu, rasa penasaranku sedikit muncul sehingga membuatku sulit melarikan diri.

    "Sebenarnya tahun ini aku terdaftar menjadi salah satu kandidat bakal calon ketua OSIS baru," dia mulai bercerita.

    "Kedengarannya mengejutkan. Tidak kusangka ada murid sepenting Mbak yang semudah ini melakukan interaksi dengan orang sepertiku. Kesenjangannya sangat luar biasa," sindirku halus.

    Sekarang bagaimana respons dari Mbak bakal calon ketua OSIS ini berikan ...?

    "Tidak perlu merendahkan diri begitu, ini tidak ada hubungannya dengan posisiku yang sekarang. Selain itu, aku adalah tipe orang yang senang berinteraksi dengan orang lain tanpa memandang fisik ataupun jenis kelamin. Jadi siapapun juga seharusnya bisa berbicara denganku selama aku bisa terus aktif," dia membalasnya dengan santai.

    "Lalu bagaimana cara Mbak terus terlihat aktif?" dengan sengaja, aku menanyakan itu sebagai 'umpan'.

    "Hm... caraku untuk terus aktif ya, bagaimana menjawabnya. Kurasa itu tergantung dengan dirimu sendiri. Umumnya jika orang ingin menjadi terus aktif, mereka harus mempunyai motivasi yang kuat dan tujuan yang besar. 'Apa yang ingin dilakukan' itulah yang terpenting," katanya, sekilas terdengar begitu meyakinkan.

    "Dan apakah Mbak mempunyai kedua hal itu?" Tanyaku, terus menatapnya.

    "Sepertinya kau sengaja memancingku untuk menjawabnya ya."

    Menyadari maksud dibalik pertanyaanku, Mbak ini merubah senyumannya. Jika sebelumnya itu terkesan 'lembut', maka sekarang ini terkesan 'serius'. Sejujurnya, secara pribadi aku lebih suka yang serius, inilah yang ku harapkan tanpa adanya kepura-puraan.

    "'Motivasi yang kuat, serta tujuan yang besar ya'. Menurut pribadiku, saat ini aku memang sedang memperjuangkannya. Tapi secara spesifik, aku tidak akan akan tahu hasilnya sampai orang-orang mengakuiku," ujarnya.

    "Pastinya," kataku.

    Setelah obrolan ini selesai, kami terdiam sejenak—memandangi pemandangan yang sama selama sepuluh detik.

    "Hah... berbicara dengan calon adik kelas sepertimu rasanya menyenangkan juga," mengatakan itu, dia kemudian berdiri setelah merasakan cahaya matahari yang sudah semakin tinggi.

    "Aku Tia, kelas 11 IPS. Jika kau masih mengingat namaku saat pemilihan nanti, langsung pilih aku ya."

    Mbak ini memperkenalkan dirinya dengan nama 'Tia', kemudian mengulurkan tangannya ke arahku yang masih di posisi duduk.

    "Kupikir itu salah satu langkah mempromosikan diri yang tepat untuk dikatakan dalam kondisi seperti ini. Tapi sebagai seorang pelajar baru di sekolah ini, aku ingin menggunakan hak pilihku sendiri tanpa terpengaruh orang lain. Meskipun ada calon ketua OSIS ramah disini yang sampai repot-repot berinteraksi denganku sekalipun."

    Sembari menegaskan itu, aku meraih tangannya yang terulur, lalu mbak Tia secara mengejutkan menarikku berdiri pada saat yang bersamaan.

    "Kelihatannya kau murid yang cukup rasional. aku suka dengan caramu memikirkannya dulu sebelum membuat keputusan," katanya.

    "Terimakasih atas pujiannya yang berlebihan. Seperti yang lain, aku hanya murid biasa. Tidak ada yang benar-benar menonjol dariku. Jadi jangan terlalu menyimpulkan," kataku.

    "Hn~ apa benar begitu?"

    Mbak didepanku ini lantas memandangku dengan skeptis. Kemudian berkata...

    "Ciri khas tipikal orang yang suka merendah itu mempunyai kemampuan interpersonal 'dalam' dan mampu menalar jauh kedepan. Itulah yang ku dengar dari para kakak kelas OSIS tahun ketiga. Dari caramu berbicara, aku jadi sedikit yakin. Mungkin saja kau termasuk salah satunya," lanjutnya.

    "Kupikir hampir sebagian besar orang dengan kepribadian 'dalam' menganggap itu sebagai hal yang wajar. Anggap saja itu seperti yang bisa kutahu dari sisiku, sementara di sisimu, kau juga mengetahui apa yang tidak ku ketahui. Itu adalah dinding yang membatasi jenis permikiran seseorang. Bukankah begitu?"

    Ditengah penjelasanku, aku menyadari jika Mbak Tia seolah menatapku dengan mata seorang pengamat. Aku bisa melihat itu dari caranya tersenyum 'lembut', serta cara bersikapnya yang terlalu ramah.

    Apakah aku dijebak lagi olehnya...? Rute pembicaraan ini sungguh melelahkan... perlu ku catat semua ini telah menguras staminaku sejauh ini. Untungnya ini akan segera berakhir tak lama lagi.

    "Kalau begitu sampai bertemu di lain hari," dia melambaikan tangan.

    "Kalau bisa kita tidak bertemu di tempat yang mencolok," ujarku.

    Setelah bertukar kata perpisahan, dari belakang aku masih memandang punggung Mbak Tia yang semakin menjauh, berjalan kembali menuju asrama.

    "Aku juga harus kembali," pikirku.

    Tak lama setelahnya, keramaian dari kakak kelas mulai terdengar di setiap sudut area tahun kedua hingga menyebar di beberapa tempat sekitarnya. Untungnya aku cepat kembali di 'waktu yang tepat'. Disamping itu, aku juga baru menyadari bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang diam-diam dilakukan oleh Mbak Tia untuk menyelamatkan orang introver sepertiku.

    "Jadi ini juga sudah diperhitungkan ya...."

                                                 ***

    Di siang hari yang panas, saat ini aku berada di hypermarket. Jika ada yang bertanya 'kenapa aku disini?' jawabannya tidak lain adalah ending setelah membentuk kesepakatan aneh yang diputuskan secara sepihak oleh tetangga penghuni ruang sebelah.

    "Ini melegakan. Semua yang ada disini benar-benar praktis dan mudah ditemukan..." Dengan segera, aku mengambil apa yang tertulis di 'kertas catatan kecil yang sekilas memang tampak seperti daftar belanja, lalu menaruhnya kedalam troli.

    Di kertas catatan kecil itu tertulis daftar untuk membeli beberapa sayuran, minyak goreng, bumbu penyedap dan sejenisnya. Sebagai tambahan, ada tanda tangan iseng yang ditambahkan di ujung kertas.

    "Sekalian disini, kurasa aku akan membeli sesuatu," pikirku.

    Meskipun tidak ada yang terlalu berat dengan belanjaan ini, aku tetap memutuskan untuk menitipkannya ke kasir terlebih dahulu setelah menyelesaikan apa yang ada di daftar belanja. Kemudian, aku naik elevator yang menuju ke lantai dua.

    Ini pertamakalinya aku mendatangi lantai itu. Di sana terdapat alat-alat perlengkapan sekolah. Mulai dari atribut hingga perlengkapan alat tulis, semuanya lengkap.

    Tujuanku datang ke sini tidak lain adalah untuk membeli beberapa alat tulis yang diperlukan. Alasan mengapa aku membelinya sekarang adalah untuk berjaga-jaga—tidak, lebih tepatnya 'mengantisipasi kondisiku'. Ada kemungkinan jika aku akan malas pergi keluar, itulah mengapa aku berniat melakukannya sekarang selagi berbelanja.

    Aku membeli sekotak pena yang mempunyai kualitas terbaik—menurutku, penggaris, pensil, penghapus dan sejenisnya.

    Sebenarnya tidak banyak murid yang datang ke sini. Hanya saja yang paling mendominasi tempat ini adalah kakak kelas tahun ketiga yang sepertinya paling membutuhkan banyak hal untuk mendapatkan perlengkapan sekolah.

    Suasana di lantai ini juga lebih tenang dibandingkan dengan lantai satu dan tiga. Itu bukan karena barang-barang tersebut ada di dalam satu ruangan yang luas, melainkan karena adanya tanda 'harap tenang' yang dipasang di setiap sudut luar. Alasan mengapa tanda tersebut hanya terpasang di lantai itu mungkin untuk menjaga stabilitas ruangan agar menertibkan murid yang ingin membeli.

    Tapi bukankah lebih bagus jika lantai satu dan tiga sebaiknya memiliki tanda yang sama? Itulah yang kupikirkan saat aku menuju ke kasir setelah mendapatkan alat perlengkapan yang ku butuhkan.

    Seperti cara kerja jual beli di zaman modern ini, transaksi dilakukan secara online di ponsel. Lebih tepatnya di dalam aplikasi pembelian yang nantinya pegawai kasir akan menanyakan ID murid, dan saldo akan otomatis di kurangi ketika berada di tahap itu. Prosesnya sederhana serta tidak banyak memakan waktu. Inilah keunggulan teknologi yang mempengaruhi sistem jual beli sekarang.

    Total dari semua yang ku beli bernilai 32p, sementara saldo ku saat ini masih 168p.

    "Kurasa aku masih harus belajar cara menghemat yang lebih efisien," pikirku.

    Setelah menyelesaikan pembayaran, aku memasukkan kembali ponselku kedalam saku, lalu mengambil plastik berisi barang perlengkapan yang telah ku beli. Namun ditengah proses itu, aku dikejutkan oleh sesuatu yang tampak heboh, tak jak jauh dari tempatku berdiri.

    Seseorang berdiri di bagian rak yang berada tak jauh dari kasir, mengeluh dengan kegaduhan seakan merasa tidak puas.

    "Apa maksudnya ini! kenapa peralatan disini lebih mahal ketimbang di kota?!" bentaknya.

    Siswa itu tampak menggenggam kotak pena dengan erat. Salah satu karyawan yang melihat, langsung dibuat khawatir dengan kondisi barang tersebut. Dia mencoba menegur pelan siswa itu, tapi malah menerima gertakan karena kekesalannya.

    "Mas, barangnya ini sudah disesuaikan dengan harga murid, jadi—"

    "Harga murid? Jika menghabiskan saldo semudah ini, lalu bagaimana cara mendapatkannya, hah? Memangnya disini membuka lowongan pekerjaan untuk murid?"

    Karyawan itu hanya menggelengkan kepalanya ketika siswa pemarah itu melontarkan sederet pertanyaannya yang semakin absurd.

    Saat karyawan itu sudah tidak bisa berbuat apapun, seorang siswa yang lebih tinggi dan tua datang dari belakang. Sekilas dia tampak menyapa dengan tenang, namun intonasinya tegas seolah seperti sedang mengancam.

    "Hei kau yang di situ, apa ada sesuatu yang membuatmu keberatan?" Kakel itu bertanya.

    "Ha?! Uh." Ketika siswa pemarah itu menoleh, seketika dia dikejutkan oleh ekstensi Kakel berbadan tegap, serta sudut matanya yang tajam melototinya dengan ekspresi serius.

    "Jika kau tidak puas dengan harga barang yang ada disini, sebaiknya dari awal kau tidak perlu datang ke sini. Mudah kan," ujarnya.

    "Tsk, aku tidak mempunyai urusan denganmu," balasnya.

    Siswa pemarah itu memasukkan makna ingin mengusirnya dengan katanya yang seolah ingin mengatakan 'pergilah! aku tidak mau terlibat dengan siswa yang lebih tua disini'.

    "Apa kau tidak memperhatikan tanda itu sebelum masuk?"

    Seolah memberikan peringatan terakhir, kakak kelas tersebut menuding ke arah tanda 'harap tenang'. Siswa pemarah tampaknya juga melihatnya, tapi sepertinya tidak menerima fakta itu.

    "Lalu kenapa?"

    Dia keceplosan mengatakan itu karena merasa tersudutkan, mungkin.

    "Kau masih bertanya 'lalu kenapa'? Sebagai murid baru, kau berani juga ya?!"

    Ketika mengatakan itu dengan intonasi yang semakin dikuatkan, namun masih berusaha ditekan, kakak kelas seolah merasa ingin mengoyak siswa pemarah itu karena masih bertanya layaknya orang 'bersumbu pendek'.

    Menyadari kondisi di sekeliling—bahwa para kakak kelas lain telah menatapnya serentak, siswa pemarah itu berdecak sekali lagi dengan kesal, kemudian pergi setelah menaruh kotak pena itu kembali ke tempat semula. Setelah siswa itu pergi, tekanan yang sebelumnya dibuat mulai memudar ketika tidak ada yang benar-benar terjadi. Untuk sesaat karyawan tadi juga tampak menghela nafas lega sebelum kembali fokus bekerja. Para kakak kelas juga dengan tenang kembali ke tujuan utamanya memilah barang yang dibutuhkan masing-masing di sana.

    "Jadi begitu," gumamku, sebelum kembali.

                                                  ***

    Setelah kembali dari hypermarket, aku menuju ke lantai dua sambil membawa dua kantong plastik yang berisi bahan-bahan dari daftar belanja dan perlengkapan sekolah.

    Sebelum sampai ke ruangan tempat yang akan ku tuju, aku teringat dengan pagi ini setelah kembali dari area tahun kedua, atau lebih tepatnya beberapa jam lalu sebelum orang tersebut memberiku daftar belanja, dia sempat memberiku makan.

    Meskipun secara pribadi ini memalukan dan terkadang membuatku ingin menghindarinya, aku heran dia tidak segan menawarkannya. Aku bertanya-tanya, darimana datangnya antusias itu?

    "Kupikir dia perempuan yang baik, uh." Kataku terhenti.

    "Heh..."

    Sungguh timing yang buruk untuk mengatakannya. Saat berbelok dari tangga ke sisi kanan, aku dikejutkan oleh Cika yang sudah menunggu didekat situ dengan tersenyum tipis mendengar kataku sekilas.

    "Siapa yang kau sebut 'perempuan baik'? Apa mungkin itu aku?" tanyanya, telihat sangat percaya diri.

    "Apa kau merasa hanya kau saja yang kuanggap perempuan baik? Bukankah ekpektasimu itu terlalu tinggi, mengharapkan sesuatu yang hanya keluar dari mulutku begitu saja."

    Mendengar ini, dia yang awalnya tersenyum tipis, secara signifikan reaksinya menjadi suram, seolah merasa terkubur di dalam kata yang ku ucapkan.

    "T-tapi bukankah orang yang baru saja kau singgung itu adalah aku...?" ujarnya, bersikeras mengkonfirmasinya.

    "Mungkin saja benar, atau mungkin tidak," kataku.

    "Jangan mengelak!" balasnya.

    Memasukkan kekesalannya terhadap kata itu, dia yang berusaha menegaskannya mulai terlihat cemberut.

    "Kalau begitu sebagai balasannya, aku akan menambahkan daftar belanja untuk besok-besok. Aku ingin tahu batasan tipe orang sepertimu melakukan pekerjaan fisik," dia menyeringai, berupaya membalas perbuatanku.

    Awalnya aku berpikir ingin membalasnya seperti; 'bukankah itu juga berlaku untukmu', tapi setelah mempertimbangkannya kembali, aku menyadari jika itu hanya akan memberikan reaksi yang sama seperti sebelumnya.

    "Kupikir itu tidak masalah, akan lebih bermanfaat jika menganggapnya sebagai olahraga otot dan tangan. Aku juga cukup percaya diri dengan kemampuan fisikku sampai batas tertentu."

    Aku menanggapinya dengan mengambil sikap positif. Tapi dia segera menindaklanjuti.

    "'Sampai batas tertentu' itu, kedengarannya mencurigakan. Apa mungkin kau berbohong dengan niat menutup-nutupi kelemahanmu dalam hal fisik? Menurutku itu cara yang paling sering digunakan oleh orang dengan kepribadian sepertimu."

    Jika dalam kasus ini... lebih mudah mengakalinya.

    "Oh, ternyata kau cukup paham mengenai kepribadian ya," kataku.

    "Mungkin karena biasanya aku membaca dan meneliti karya ilmiah tertentu. Jadi aku juga sedikit mengetahuinya sampai batas tertentu," dia menjadi sedikit antusias saat mengatakan bagian 'membaca' dan 'meneliti'.

    Sepertinya, secara kebetulan aku menyenggol sesuatu yang berkaitan dengan hobinya, tapi itu tidak buruk karena faktanya, ini mengalihkan kecurigaan yang dia lontarkan sebelumnya.

    "Oh. Aku mengerti itu," kataku, meresponsnya.

    "Tunggu. Apa mungkin kau juga punya ketertarikan yang sama?" ujarnya yang tiba-tiba.

    "Kelihatannya seperti itu, tapi biasanya aku lebih suka membaca novel," jawabku.

    "Oh... novel seperti apa yang biasanya kau baca?" dia tampak penasaran.

    "Sebelum menjawab pertanyaanmu itu, bisakah aku meletakkan kantong belanjaan ini? Aku tidak mempermasalahkan fisikku, tapi ini terlihat mencolok jika aku terus membawanya."

    Aku mengatakan itu setelah mengetahui adanya rombongan murid yang berdatangan dari arah tangga, dan sekilas melirikku dengan pandangan 'tak bisa' ketika melewati kami.

    Dia yang tampaknya tak tega melihat kondisiku, kemudian memberikan persetujuan dengan pindah menuju ke depan ruangannya, sekaligus membawakan kantong plastik belanjaan.

    "Kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku."

    Ketika baru saja akan menjaga jarak darinya, dia tiba-tiba menghentikanku dengan memanggil namaku.

    "Apa ada sesuatu lagi?" Tanyaku.

    "Coba ulangi lagi kemana kau akan pergi," katanya.

    "Aku, kembali ke ruanganku," ucapku.

    "Kita belum selesai dengan pembicaraan yang tadi. Apa kau berniat pergi begitu saja? Memangnya aku akan membiarkanmu pergi?" mengatakan itu dengan intonasi rendah namun serius, dia menahanku karena ketidakpuasan egoisnya.

    "Huh. Apa yang kau ingin—" Sebelum dapat menyelesaikan pertanyaanku, Cika dengan terburu-buru menyeretku masuk kedalam ruangannya.

    Ketika sudah berada didalam, perasanku menjadi tidak enak...

    "hei, apa maksudnya ini?" tanyaku, menunggu penjelasannya.

    Memangnya apa yang dipikirkan perempuan ini dengan membawaku masuk ke dalam ruangannya?

    Kupikir ini pertamakalinya aku memasuki ruangan pribadi orang lain di sekolah ini, terlebih lagi seorang siswi. 'Apakah dia membawaku tanpa berpikir mengenai resikonya?' sekilas itu adalah hal yang muncul di atas kepalaku.

    "Ini melanggar peraturan, kau tahu," kataku.

    "Melanggar aturan? Kupikir tidak ada aturan yang menyebutkan jika seorang murid tidak dapat mengunjungi ruangan murid lain," bantahnya.

    "Masalahnya bukan terletak pada aturan asrama, melainkan etika. Bagaimana kau bisa menjadi murid yang baik jika kau tanpa berpikir panjang membawa murid asing masuk begitu saja? Kupikir ini adalah bentuk 'peraturan tidak tertulis' yang secara umum akan selalu ada," kataku, berusaha menegurnya.

    "Sebagai pelajar kau terlalu disiplin ya. Kupikir jarang sekali ada orang yang memiliki pandangan sepertimu. Apakah itu yang diajarkan di dalam lingkunganmu?" tanyanya.

    "Anggap saja itu adalah bentuk dari kewajaran," kataku.

    "Sekarang aku jadi tidak tahu apa yang menurutmu wajar," katanya, menghela nafas.

    "Selain itu, menurutku kau bukanlah sosok murid asing. Kita sudah banyak berbicara sejak kemarin, 'kan," lanjutnya.

    "Ya. Kurasa bisa dianggap begitu," kataku.

    "Jadi, itu, apa kau mau, kalau kau tidak keberatan... apa kau mau menjadi... teman?" Sungguh, kata yang begitu sulit untuk diucapkan oleh seseorang dengan kepribadian Introver itu sejatinya adalah 'teman'. Ini terbukti dari caranya yang berbelit-belit ketika berusaha mengatakannya dengan ekspresi malu.

    "Jadi begitu. Jika kau mengatakannya lebih awal, aku pasti tidak akan menganggap tindakanmu aneh," kataku.

    "Berisik! Memangnya kau tidak merasa itu juga? Maksudku, perasaan malu, saat mengatakannya," katanya, menekan intonasi hingga nyaris tidak kudengar.

    "Aku hanya mengalami masalah dengan pembicaraan yang panjang atau lebih tepatnya lelah secara mental tergantung dari kondisi sekitar. Untuk sesuatu seperti berkomunikasi atau mengekspresikan diri, sejauh ini aku merasa baik-baik saja," kataku.

    "Untuk bagian mengekspresikan diri, aku merasa tidak yakin bahkan setelah melihatmu sampai saat ini," sindirnya, sembari menyilangkan kedua lengan.

    "Apa maksudmu?" Tanyaku.

    "Entah mengapa dari ekpresimu itu, kau terlihat seperti orang yang sudah kelelahan ampai-sampai kupikir awalnya kau salah satu murid korban bullying di masa lalu," katanya.

    Itu adalah hal yang wajar untuk di katakan dari sudut pandang orang lain. Menurutku juga begitu. Sejak mendaftarkan diri di sekolah ini, sejujurnya hampir sama sekali aku tidak merasakan motivasi atau keinginan kuat seperti yang dulu kurasakan. Entah apakah itu karena 'trauma' akibat kejadian waktu itu yang telah membawa perubahan besar di dalam diriku—apapun itu semuanya telah merubah pemikiranku untuk tidak terlibat masalah lebih jauh dengan orang lain.

    "Itu mungkin... ada benarnya," gumamku, dengan suara terendah yang seharusnya tidak akan mencapai telinganya.

    "Apa kau bilang?" Sepertinya, dia sedikit mendengarnya.

    "Aku hanya bilang, aku bisa saja menjadi teman pertamamu," kataku, mengalihkan.

    Kupikir setelah mendengarnya, dia akan terkejut berlebihan sama seperti sebelumnya. Tapi di luar dugaanku...

    "Aku iri kau bisa mengatakannya semudah itu. Entah mengapa ini menjadi tidak adil," dia malah terlihat seperti menimbun perasaan malu dengan kekesalan pribadinya, alhasil itu terlihat seperti ada sesuatu yang 'tumpang tindih' terukir dari caranya berekspresi.

    "Tidak adil untukmu, kan. Sejujurnya aku tidak terlalu termotivasi dengan kata 'teman'. Atau lebih tepatnya, aku tidak benar-benar bisa merasakan sesuatu yang menarik dari kata itu," kataku.

    "Kau mengatakannya seperti tidak pernah punya teman saja," sindirnya.

    "Bukankah itu yang menjadi titik awal 'mengapa aku menjadi seperti ini'? Kupikir itu tidak aneh. Manusia itu sangat rentan terhadap perubahan yang ada di sekitar..."

    Tanpa sadar, aku mengatakan itu sambil duduk di sofa yang ada di ruang depan. Dia menatapku serius, bahkan setelah menjelaskan itu kepadanya, dan dia juga ikut duduk.

    "Kau juga sepertinya tahu banyak," sekilas dia tampak setengah terkesan, tapi disisi lain juga tidak.

    "Hanya pengetahuan alami semasa hidup. Aku sudah pernah melihat banyak orang seperti itu di lingkungan tempatku tinggal."

    Aku merasakan bebanku sedikit berkurang setelah menceritakan 'sedikit pengalamanku ini' kepadanya... kurang lebih seperti itu.

    Apakah ini fungsi keberadaan seorang teman? Aku masih bertanya-tanya. Bagaimanapun juga, aku masih kesulitan untuk mempercayai orang lain lagi dari lubuk hatiku, tapi jika dengan dia, mungkin.... 

    "Ngomong-ngomong tentang kelanjutan tadi, novel apa yang sering kau baca?" dia kembali menanyakan itu.

    "Memangnya kau punya ketertarikan dengan novel?" tanyaku, menurunkan pandangan karena merasa tidak yakin.

    "Ya... terkadang aku juga membaca, tapi kebanyakan hanya cerita non-fiksi," jawabnya.

    "Kalau begitu apa kau pernah membaca novel psikologi sebelumnya?" tanyaku, langsung pada intinya.

    "Hmm... kupikir pernah. Tapi karena biasanya novel jenis itu mengaitkannya dengan misteri gelap, menurutku agak sedikit sulit mengikuti model alur ceritanya. Ada beberapa juga yang dikemas dalam bentuk cerita horor, jadi kupikir itu adalah salah satu 'bumbunya'," jawabnya.

    "Aku paham," kataku, lega mendengar pendapatnya yang masih bisa kuterima.

    Kemudian, tanpa sadar pembicaraan kami terus menyambung hingga lima menit berlalu. Obrolan panjang ini berakhir ketika aku sudah merasa lelah berbicara, bahkan hanya membuka mulut saja sudah terasa susah.

    "Sepertinya kita harus berhenti disini." Menyadari kondisiku, dia menepuk pelan tangannya sebagai tanda untuk berhenti membahas topik tentang novel.

    "Itu melegakan. Aku akan kembali dan mengisi ulang bateraiku," kataku, ingin segera...

    "Tunggu!" dia menghentikanku lagi.

    "Huh. Kali ini apa lagi?" Tanyaku, memastikan.

    "Begini. Mumpung sekalian disini, mengapa tidak makan siang bareng," katanya.

    "Hei, kau bercanda kan?" Tanyaku, mengharapkan yang dikatakannya barusan hanyalah lelucon.

    "Aku serius! ini adalah bentuk terimakasih ku karena sudah mau menjadi teman pertamaku. Sudah sewajarnya kan begitu," jawabnya, tetap bersikukuh.

    "Kali ini kau bisa menyebut kata 'teman' dengan ekspresi biasa ya," kataku, sedikit heran.

    "Tolong jangan pedulikan itu! aku hanya terbawa suasana tadi. Jadi, kau mau atau tidak?"

    Setelah mengatakan itu dengan ekspresi yang penuh tekanan, kupikir dia masih tidak terbiasa menghadapi suasana seperti tadi.

    "Mungkin... aku akan menerimanya kali ini saja."

    Di sisi lain tidak berani menolaknya karena merasa tidak ingin mematahkan motivasinya—melihat dia sudah berjuang sejauh ini, aku sedikit merasa bersimpati sebagai sesama introver.

    Setelah menyetujuinya, dia menggiringku masuk ke ruang dapurnya. Disini aku baru memperhatikan jika interior di dalamnya memang disamakan. Ini juga merupakan kebijakan asrama.

    Aku duduk di kursi tempat meja makan dapur, lantas melihat dia yang mengenakan celemek sedang menyiapkan makanan yang baru di masak. Sepertinya, dia sedang membuat sup sayur. Jujur suasana ini sedikit mengingatkanku dengan panti.

    "Apa kau mahir memasak?"

    Ketika aku bertanya, dia berhenti sejenak mengiris wortel. Lalu melanjutkannya lagi setelah berkata...

    "Aku hanya bisa bilang kemampuanku hanya pada rata-rata. Jika aku akan hidup mandiri selama tiga tahun disini, bukankah sudah wajar untuk bisa menekuni ini," katanya, masuk akal.

    "Kurasa aku memang tidak bisa mengerti batas 'standar perempuan' itu," kataku, asal bicara

    "Hmm... ngomong-ngomong anak laki-laki itu sangat sederhana ya. Tidak terlihat seperti memikirkan banyak hal daripada perempuan."

    Ketika mengatakan itu, gaya bicaranya seolah berubah menjadi sindiran. Namun anehnya, dia tampak santai seolah baru menyadarinya. Padahal, itu sudah menjadi hal yang umum.

    Bisa jadi 'tekanan' darinya mungkin akan kembali kurasakan. Aku terlalu naif karena tidak memperhitungkan kemungkinan ini. Bagaimanapun juga, dia adalah tipe orang yang sulit ditebak antara polos atau jenius.

    "Kurasa itu tidak sepenuhnya benar, tapi jika dilihat dari rata-rata umum, faktanya memang benar jika kebanyakan laki-laki itu tak bisa hidup tanpa kehadiran seorang pendamping," kataku, menyembunyikan arti sebenarnya.

    "Jadi, apa yang menurutmu berpikir seperti itu?" tanyanya.

    "Jika aku harus menjelaskannya dengan cara sederhana menurut versiku sendiri, itu seperti 'tokoh utama yang membutuhkan heroine sebagai pelengkap cerita' dengan skenario yang kompleks. Jika tidak ada keberadaan salah satu di antaranya, itu biasanya akan menurunkan kualitas dari segi ceritanya, mungkin kurang lebih begitu," jawabku.

    "Sepertinya aku masih belum bisa beradaptasi memahami pengetahuan dari orang yang suka membaca novel. Ah! Tapi tenang saja, aku mengerti secara garis besar apa yang ingin kau katakan," dia mengatakan itu dengan pasrah, seolah menerima kekalahan atas argumennya.

    Aku juga lega dia mengerti maksud arah perkataanku. Tidak. Dari awal mungkin aku sudah menduganya jika dia bisa mengerti. Entah mengapa itu secara alami sudah terpikirkan olehku.

    "Di atas langit, masih ada langit, ya..." gumamnya.

    "Hm? Apa maksudmu?" Tanyaku yang mendengarnya.

    "Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya berbicara mengenai diriku sendiri," jawabnya.

    Meskipun begitu, itu cukup membuatku penasaran dengan analogi yang sempat diucapkan. Apakah itu cerminan dirinya? Yah... itu tidak menutup kemungkinan.

    Manusia memang memiliki skenario dan cara hidup yang berbeda, tetapi jika dilihat dari sudut pandang luar, sekilas itu terlihat hampir sama. Kesamaan itulah yang membuat manusia bisa menjadi 'sederhana'. Jika masih berada di tahap pola tingkah laku, konsepnya bisa ditebak. Tapi jika berhubungan dengan 'sesuatu yang lebih dalam' dari itu, semua akan tampak abu-abu. Ibarat seperti menyelam di laut yang terdalam, manusia cenderung tidak dapat mengerti 'inti dasar' manusia lain.

    Ketika sedang memikirkan itu, didepan meja makan telah disajikan sup sayur beserta peralatan makan.

    "Uh." Sontak, aku terkejut dengan apa yang disajikan didepanku saat ini.

    "Ada apa? Apa mungkin kau tidak suka sayur?" tanyanya, mengira aku kecewa.

    "Bukan begitu. Hanya sedikit terkejut melihat ini bisa selesai begitu cepat. Kupikir tadi aku bisa membantumu membawakan yang lain," kataku.

    "Tidak perlu repot-repot. Lagipula akulah yang mengajakmu makan bersama. Oh, apa mungkin kau mengharapkan sesuatu dariku? Seperti perasaan bersalah karena merasa nyaman di lingkungan orang lain. Ini biasanya juga sering terjadi," katanya, agak aneh mendengarnya tiba-tiba berterus terang.

    "Lagi-lagi kau mengambil pendapat umum ya. Untuk apa kau mengatakan itu. Bukankah aku disini adalah tamu? Apa kau tidak mempertimbangkan juga perasaan tamu yang baru saja kau singgung?" tanyaku, hanya sebatas mengembalikan leluconnya saja.

    "Perkataanmu itu tidak cocok dengan situasi selama ini," dia tersenyum licik.

    Mungkin yang dia maksud dengan 'selama ini' adalah ketika aku 'membalikkan respons' yang dia buat. Jika benar begitu, maka ini adalah jalan buntu bagi orang yang lebih suka 'membatasi diri' sepertiku.

    "Tidak berhasil, ya," kataku menghela nafas.

    "Kurasa ini kemenangan pertamaku, berdebat denganmu." dia menjadi sedikit antusias.

    "Tunggu, sejak kapan ini menjadi kompetisi adu debat?"

    Ketika aku menanyakan itu, dia tidak segera menjawab, melainkan tersenyum tipis sambil mengeja kata... 

    "Ra-ha-si-a," dengan jari telunjuk yang ditaruh didepan bibirnya.

    "Terserah kau saja," kataku dengan acuh.

    "Anggap saja ini balasanku untuk yang tadi," katanya.

    Ternyata begitu. Tidak kusangka dia sampai seserius itu menganggapnya sebagai adu debat. Kupikir dia sudah melupakannya karena sebelumnya sempat ku alihkan dengan topik pembicaraan tentang hobi masing-masing.

    Disaat yang sama, aku baru menyadari bahwa hari ini aku terlalu banyak berbicara. Kupikir selama ini yang kulakukan dengannya sudah membuang sebagian besar tenagaku. Namun disisi lain, dia terlihat menikmatinya—baik ketika melakukan debat denganku, maupun saat berbagi cerita.

    Untuk saat ini, momen inilah yang pastinya akan terukir di dalam ingatanku dan akan tetap selalu ada. Sumber kebahagiaan 'sementara' sebelum mencari sesuatu yang telah menjadi tujuanku dari awal di sekolah futuristik ini.

    Setelah itu, aku kembali ke ruanganku setelah selesai makan bersama Cika.

    Jika diingat kembali sungguh aneh pertemuan kami ini. Padahal baru kemarin kami belum mengenal satu sama lain, tapi sekarang entah mengapa kami merasa cukup dekat, meskipun awalnya hanya sebagai tetangga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Switch Career, Switch Life
317      266     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Sendiri diantara kita
796      499     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
In Her Place
722      486     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...