Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Tiga hari masa pengenalan lingkungan akhirnya telah berakhir, dan waktunya bagi semua para pelajar untuk melangkahkan kaki mereka menuju ke bagian yang sudah dinantikan, yaitu KBM di gedung sekolah utama.
    Selama hari-hari pengenalan, masih banyak hal yang terlewatkan. Seperti 'bagaimana cara menambahkan poin untuk kebutuhan sehari-hari', itulah yang seharusnya menjadi inti penting dari kehidupan mereka.
    Namun, karena bagian itu sepertinya sempat sengaja dilewatkan dari pidato wakil OSIS, maka sebagian murid yang tidak mengetahui hal tersebut ada yang sudah memboroskan poinnya hingga di bawah seratus, bahkan bisa lebih.
    Kegaduhan itu sempat terjadi di hari kedua ketika para murid baru menyadari adanya kelalaian tersebut. Sebenarnya masih ada permasalahan lain terkait poin dan sejenisnya. Namun, tanggapan OSIS sangat sederhana.
    "Jika selama tiga hari mereka sudah menghabiskan seluruh poin yang dimiliki pada awal pendaftaran, maka kondisi mereka yang sekarang akan menjadi hal yang sewajarnya."
    Maksud dari perkataan itu kurang lebih adalah menyinggung, sekaligus memberikan sebuah peringatan agar para pelajar tidak seharusnya hidup boros dan tetap membatasi kebutuhan yang mereka perlukan.
    Beberapa murid yang tidak memiliki pengalaman hidup mandiri, tentunya akan bingung dan tidak bisa memikirkannya dengan pasti 'bagaimana cara menggunakan 200p yang dibagikan pada hari pertama dengan efisien'.
    Untuk membelanjakan bahan-bahan pokok di hypermarket selama tiga hari, itu mungkin sudah menghabiskan hampir 100p murid jika digunakan secara normal layaknya berbelanja di pasar. Namun, meskipun di sekolah futuristik ini semua harga penjualan sudah disesuaikan dengan nilai yang dapat dijangkau serta dikelola murid secara pribadi, masih ada kemungkinan jika itu tidak berjalan lancar sebagai mestinya.
    Meskipun sekolah telah melakukan proses uji coba di masa lalu mengenai pengelolaan keuangan murid, tidak dapat di pastikan secara akurat jika 'keseimbangan' dalam pengelolaan keuangan individu murid akan berjalan stabil di tahun ini juga.
    'Semuanya tergantung keputusan murid dalam bertindak dan berpikir'. Itulah salah satu prinsip dari sekolah ini berjalan.
    Kegaduhan tersebut pada akhirnya dapat diatasi oleh pihak OSIS dengan mengumumkan adanya sebuah konten pembelajaran yang disebut 'tes tertutup'.
    Mudah saja jika memberikan siswa satu persatu poin karena pihak OSIS-lah yang sebagian terlibat langsung dalam pengelolaan 'sistem keuangan' sekolah. Namun dibalik ke mudahan itu, hal merepotkan juga pasti ada.
    Karena itulah pihak OSIS mengadakan tes tertutup seperti tahun-tahun sebelumnya dari generasi ke generasi sebagai bentuk 'perjuangan murid' dengan tujuan meningkatkan ambisi mereka agar tetap bisa konsisten dalam pengembangan diri.
    Ini sederhana dengan adanya sedikit paksaan. Tanpa munculnya dorongan tersebut, kebanyakan siswa tidak akan membuka inisiatif mereka. Dan karena itulah pihak OSIS tidak memiliki pilihan lain selain mengambil peran tersebut.
    Menurut informasi dari pihak OSIS, 'tes tertutup' diadakan seminggu sekali tepatnya di hari senin setelah KBM selesai. Diintruksikan juga, para murid akan memasuki sebuah ruangan tertutup secara acak yang ada di beberapa tempat di gedung sekolah dengan label yang tertulis 'ruang tes individu' dan dijaga oleh anggota OSIS yang bertugas di masing-masing tempat. Batas setiap ruangan dapat ditempati hingga 30. Jika telah mencapai angka itu, siswa yang selanjutnya datang akan diberitahu untuk mencari tempat lain. Agar lebih mudahnya lagi, siswa dapat mencari menggunakan 'map gedung sekolah' di dalam aplikasi ponsel yang dapat dioperasikan 'hanya ketika sedang diadakan kegiatan tertentu'.
    Hasil dari tes tersebut bukanlah nilai harian ataupun nilai raport, melainkan nilai 'poin' atau saldo yang dapat digunakan murid untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari.
    Konsep sederhananya, jika murid dapat mencetak nilai tinggi, maka poin atau saldo yang akan diberikan juga akan banyak tergantung dari nilai yang didapat. Sebaliknya, jika murid mencetak nilai rendah, maka poin yang akan diberikan juga lebih sedikit. Dengan kata lain, hasil nilai menyesuaikan dengan pendapatan. Namun, karena itu sepertinya tidak dapat menjangkau di atas 100p, ada kebijakan lain yang tertulis 'hasil akan dikalikan dua'. Itu artinya, poin maksimum diberikan adalah 200p jika murid dapat mencetak nilai sempurna. Dari sudut pandang OSIS, itu sudah cukup banyak untuk bisa diberikan kepada murid setiap minggunya, tergantung murid apakah mampu memperjuangkannya atau tidak.
    Bagi murid yang kesulitan dengan bidang akademik, mereka dapat memperjuangkannya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan lain. Namun, itu akan dijelaskan dilain waktu.
    Untuk saat ini, mereka akan difokuskan untuk belajar secara individu. Jika telah ada perkembangan lebih lanjut, pihak OSIS mungkin akan mengadakannya secara kelompok agar semua murid dapat aktif di lingkungan sekolah.
    Inilah salah satu kehebatan dari sekolah futuristik. Semuanya telah direncanakan dengan baik dan masalah juga cepat diselesaikan. Disamping pihak OSIS yang menggerakkan lingkungan sekolah dari balik layar, para guru juga ikut berperan sebagai garis depannya. Dengan kata lain, 'mengajar murid secara langsung'. Bagaimanapun juga itu adalah tugas utama guru sebagai seorang pengajar yang membimbing siswa-siswanya.
                                                 ***
—Rafa
    Jam LED di atas laci kamar menunjukkan pukul lima pagi.
    Tepat disaat itu juga, aku bangun dari tempat tidurku setelah mendengar alarm yang sudah-ku setting pada malam harinya.
    Setelah merapikan tempat tidur, aku menuju ke ruang depan. Awalnya, karena ini akan menjadi aktivitas pertamaku sebagai seorang pelajar, aku sempat berpikir untuk membersihkan ruangan terlebih dahulu sebelum mandi. Namun, pemikiran itu sekilas lenyap akibat tidak ada pemicu seperti rasa termotivasi.
    "Hah... rasanya memang memberatkan. Melakukan segala sesuatu tanpa motivasi itu."
    Berniat melupakan hal tersebut, aku menuju ke balkon untuk mengganti suasana. Seperti yang kuharapkan, tidak ada murid yang nongkrong di sana. Ini lebih nyaman ketika aku bisa menikmati kesendirianku dengan menghirup udara segar di pagi hari.
    "Semoga saja aku bisa mencari ketenanganku di kelas nanti."
    Sambil memikirkannya, aku membuka ponsel dan sekilas melihat laman 'pemberitahuan sekolah' yang tampaknya telah membagikan informasi terkait pembagian kelas. Nama-nama murid dan kelasnya sudah tercantum di sana. Informasi itu dikirimkan pada pukul dua belas malam, tepatnya pada saat pergantian hari.
    Hari ini adalah hari senin. Seperti yang sudah diinfokan di hari sebelumnya, 'tes tertutup' akan diadakan pertama kalinya bagi para murid baru. Namun, Di laman pemberitahuan tidak disampaikan mata pelajaran apa yang akan diujikan. Kemungkinan itu akan dipilih secara acak atau mungkin menggunakan undian—tapi, bisa jadi itu dipilih berdasarkan hasil diskusi para anggota OSIS.
    "Yah... mereka mungkin akan mengadakan rapat hari ini."
    Merasa tidak ingin terlalu serius memikirkannya, aku menyimpulkan ke cara sederhana dengan membuat hipotesis singkat. Lantas ketika memikirkan hal lain, aku teringat oleh sesuatu yang merepotkan dan menjadikanku harus terburu-buru berangkat sekarang.
                                                   ***
    Aku berangkat pada pukul 05:46 pagi. Dalam perjalanan, aku sedikit mempercepat jalanku sampai di luar lingkungan asrama. Berpikir akan sia-sia bila bertemu dengan mbak Emi di depan gerbang, aku lewat jalur belakang yang sedikit memakan waktu. Itulah salah satu alasanku mengapa berangkat lebih awal.
    Jalur belakang mempunyai tiga cabang jalan utama. Disebelah utara menuju ke area utama bagian utara (AUBU), dan disebelahnya menuju ke 'area OSIS'. Lalu di arah berlawanan, itu menuju ke area utama bagian tengah. Karena jalur belakang dari asrama itu langsung tembus ke area utama bagian tengah (AUBT), untuk menuju ke gedung sekolah yang berada di area utama bagian selatan (AUBS) itu berarti harus menuruni dataran bukit kecil yang memiliki beberapa anak tangga cukup panjang. Berbeda dengan menuruni anak tangga dari asrama ke area tahun pertama yang tidak sepanjang itu, namun harus berbelok ke kanan untuk sampai di AUBS.
    Pada jam yang saat ini, tidak banyak murid yang berangkat lebih awal. Kebanyakan dari mereka yang lewat hanyalah kakak kelas dan karyawan yang sepertinya akan memulai pekerjaan mereka mengelola di beberapa tempat fasilitas.
    "Sepertinya aku akan punya banyak waktu sebelum tiba di sana."
    Ditengah perjalanan, aku memperlambat jalanku. Dengan memperkirakan ketepatan waktu untuk sampai di gedung sekolah utama, aku melirik beberapa fasilitas lain yang tidak sempat-ku perhatikan selama masa awal pendaftaran.
    Saat ini, aku telah sampai di AUBS. Disini terdapat beberapa bangunan yang difungsikan sebagai fasilitas umum dan beberapa tempat yang tak kalah menarik dari area bagian tengah yang berada di kawasan perbukitan kecil.
    Tapi, di antara bangunan-bangunan itu yang menjadi pusat perhatian di area tersebut adalah toko serba yang mempunyai ketinggian di atas semua bangunan.
    Toko serba menjadi pusat perbelanjaan terbesar kedua setelah hypermarket jika dilihat dari sudut pandang lingkungan sekolahan. Keberadaan toko serba hanya berada di AUBS. Tidak seperti hypermarket yang hampir ada di setiap area, toko serba hanya ada di satu tempat saja.
    Selain toko serba, hampir semua bangunan memiliki ketinggian yang sama. Secara umum, itu dikarenakan oleh beberapa faktor seperti beberapa bangunan yang difungsikan sebagai 'toko penjualan', atau lebih dikenal dengan sebutan ruko. Tapi, jika dilihat secara langsung itu tidak memiliki corak kesan yang sesuai, malahan lebih mirip dengan pasar modern.
    Jika dilihat dari ketinggian bangunan, tentu saja yang paling tinggi di area selatan adalah gedung sekolah utama. Itu dikarenakan latar dari tempatnya memiliki luas yang cukup besar. Bahkan, jika dilihat dari penampilan luarnya itu akan tampak dua kali lipat lebih besar dari gedung sekolah-sekolah umum. Namun, yang membuat gedung sekolah itu tampak megah sebenarnya adalah bangunannya yang berbentuk kubus.
    "Jika dilihat-lihat, ini sedikit lebih besar dari gedung universitas yang ada sekarang."
    Jika melihatnya secara subjektif, tentu saja aku akan mulai membandingkan kemegahannya dengan lingkungan itu.
    Di zaman sekarang, hampir semua tempat pendidikan mempunyai gedung yang begitu megah dan besar. Itu sudah tidak lagi mengejutkan. Namun, jika sudah mulai membandingkannya antara gedung universitas dengan gedung sekolah umum, perbedaan besarnya akan tampak secara signifikan. Disisi lain jika keduanya dibandingkan dengan gedung sekolah futuristik, perbedaannya sudah tampak bahkan sebelum mulai membuat gambaran.
    Meskipun luas dan ketinggiannya kurang lebih terbilang hampir sama seperti gedung yang ada di universitas, jika sudah mulai membandingkannya dengan lingkungannya itu sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
    Luas lingkungan yang ada di universitas kota Jep-Ra sekarang memang sudah cukup besar dan luas. Namun, itu masih belum dapat menandingi sekolah futuristik yang ada di daerah tersebut.
    Tergantung dari sekolah yang ada di daerah perkotaan, universitas atau sekolah futuristik bisa saja lebih besar atau lebih kecil di dalam lingkungannya. Jika disebutkan salah satu faktornya, persoalan itu disebabkan karena masih adanya keterbatasan pemerintah dalam menangani ketersediaan lahan.
    "Meski begitu, untuk seragam ini kupikir agak sedikit mencolok. Sepertinya masih perlu waktu agar dapat membiasakannya," pikirku.
    Berbeda dari seragam di sekolah swasta ataupun negeri umum, seragam yang diproduksi oleh pihak sekolah ini dibuat dengan kain khusus. Dari keterangan mengenai bahan seragam sekolah, itu sudah dijelaskan dalam laman informasi resmi yang dikirim kemarin. Lebih tepatnya, setelah kami para murid baru menerima seragam 'langsung jadi' di pos asrama yang telah dikirim dari pihak sekolah.
    Meskipun antrian saat itu cukup merepotkan, entah bagaimana waktu itu aku akhirnya bisa melewati momen tersebut setelah menunggu selama kurang lebih 20 menitan.
    Mengenai kelebihan dari seragam ini adalah kebersihannya yang terjaga, bahannya halus dan bahkan tidak terlalu lembab ketika dipakai murid saat berkeringat. Tapi meskipun mempunyai keunggulan 'tidak terlalu lembab', itu hanya menahan sekitar 40% bau badan dan 30% anti keringat. Itu berarti, seragam dapat dikenakan selama kurang lebih satu jam oleh murid yang sedang berkeringat.
    Itu hanya sebatas hipotesis. Namun jika ditemukan sebuah fakta, aku yakin 4:6 jawabanku mungkin nyaris benar. Dasar dari keyakinanku ini bersumber pada informasi yang tertulis dalam laman resmi sekolah dan pengamatan secara langsung yang kulakukan dua hari lalu ketika bertemu seseorang.
    Lalu untuk kelebihan mengenai 'kebersihannya yang terjaga' itu dikarenakan seragam selalu tertutup oleh jas yang kami kenakan. Bagaimanapun juga untuk sekolah futuristik yang saat ini menjadi pelopor bagi perkembangan zaman di era dunia pendidikan modern, terdapat fasilitas khusus yang mengharuskan murid memakai jas sebagai identitas mereka sebagai pelajar di sekolah futuristik.
    Jas ini berbeda dari almamater yang biasa dipakai oleh mahasiswa. Untuk anak SMA, jas ini dibuat dengan bahan yang lebih fleksibel, dirancang dengan lebih anggun dan gagah ketika dipakai dalam postur tubuh apapun. Ini juga terbukti saat bagaimana aku memperhatikan jas yang dikenakan para anggota OSIS waktu itu ketika upacara pembukaan sedang berlangsung.
    Memperhatikan sekelilingku, ternyata warna jas yang kami para murid tahun pertama kenakan berbeda dengan para Kakel. Jas kami berwarna biru, tahun kedua berwarna hijau, sedangkan untuk tahun ketiga berwarna merah. Walaupun di antara semua itu bahannya masih tetap sama, menurutku yang paling mencolok adalah jas yang dikenakan oleh kakak kelas tahun ketiga.
    "Huh...."
    Setibanya didepan area lingkungan gedung sekolah utama, aku melihat anak tangga yang cukup panjang membentang tidak terlalu tinggi tapi tetap saja membuat orang sepertiku enggan.
    Di tengah-tengah tangga, ada pegangan besi untuk keamanan murid ketika naik ataupun turun. Meskipun dimaksudkan untuk menjaga keamanan, aku tidak berpikir ada banyak murid yang akan mempedulikannya. Mungkin itu hanya akan digunakan tanpa sadar oleh murid yang kebetulan memegangnya atau hanya sekedar bermain-main perosotan.
    Ketika sampai di atas, atau lebih tepatnya di sekitar lingkungan sekolah yang berada sedikit ke atas, aku dapat melihat beberapa bangunan yang tadinya ku lewati. Untuk sarana berfoto, tempat seperti ini pasti banyak peminatnya. Aku bisa melihat beberapa anak perempuan ada yang bersama dengan temannya berfoto-foto di setiap tempat. Tidak heran jika hal tersebut pastinya akan menarik motivasi mereka untuk melakukan hal-hal kecil yang berlebihan.
    "Pemandangan yang biasa," pikirku, seolah tidak berminat.
    Begitu aku melihat sesi berfoto mereka yang berada di dekatku, sekilas aku langsung mengalihkan pandanganku karena merasa tidak tertarik. Disana terdapat juga pasangan yang sepertinya adalah kakak kelas, dan mereka bermesraan seperti yang dilakukan para remaja pada umumnya di zaman sekarang. Semakin lama memperhatikan kondisi di pagi hari—tepatnya di saat ini—di lingkungan ini—rasanya semakin membuat perutku mual.
    Ini bukanlah kontroversi yang terjadi di antara diriku yang tidak mempunyai seorang perempuan, melainkan ini bentuk kepribadianku yang selalu menganggap keaktifan mereka tidak ada gunanya dari sudut pandangku.
    Ingin sekali aku menegurnya seperti 'Jika masih ada waktu yang tersisa di sekolah ini, bukankah sebaiknya kakak menghabiskannya dengan belajar?' Tapi disisi lain, aku juga sangat tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika aku mengatakan itu secara langsung. Ini akan merusak perdamaianku, juga kehidupan tenangku di sekolah ini akan berakhir seketika.
    Menghindari beberapa pasangan yang ada di lingkungan belakang, aku beralih berjalan ke samping hingga sampai di lingkungan depan. Disitu, aku dapat melihat anak tangga seperti yang ada di sisi belakang.
    Kondisi di lingkungan depan masih terasa sepi. Tidak ada banyak murid yang lewat. Yah, jika dipikir-pikir itu wajar. Karena jalan asrama dari setiap area menuju gedung sekolah itu cenderung lebih dekat dengan lingkungan belakang, penggunaan lingkungan depan di pagi hari hanya akan memakan waktu. Disisi lain, penggunaan lingkungan depan akan sangat ramai di siang harinya ketika murid menuju ke pusat fasilitas lab masing-masing.
    Disisi timur ada lapangan yang sebelumnya pernah digunakan sekali sebagai upacara pembukaan. Lalu disisi lain, sebelah barat ada perpustakaan umum yang tak terlalu besar bangunannya namun sedikit panjang.
    Ketika akan masuk kedalam gedung sekolah, terlebih dahulu aku melihat pintu utama yang terbuat dari kaca tembus pandang. Pintu tersebut tidaklah seperti pintu yang biasanya ada di minimarket atau toko serba, melainkan terbuka secara otomatis jika ada seseorang yang mendekati dalam jarak radius tertentu. Seperti yang biasa di pasang pada gedung-gedung kantor atau fasilitas umum masyarakat sekarang, pintu tersebut dilengkapi dengan sensor kamera yang ditempatkan di atasnya.
    Kemudian, ketika masuk kedalam gedung, para murid akan diperlihatkan aula depan yang cukup luas dan besar. Karena lantainya terbuat dari keramik, sudah sewajarnya murid diharuskan melepas sepatu, dan menaruhnya di rak yang telah ditempatkan berdasarkan letak kelas masing-masing. Dari lantai bawah dapat dilihat ke atas ada lantai dua dan tiga seperti halnya hypermarket, hanya saja keberadaan dekorasi serta interiornya mungkin yang telah membedakan itu.
    Disisi tembok-tembok, terdapat papan buletin, majalah, serta pamflet bertema pendidikan yang terpasang. Semuanya hampir berukuran besar dan tidak terlalu menutupi pemandangan, dan itu dikarenakan jumlahnya yang terbatas untuk ditempatkan di sana.
    Di tengah lantai aula, di bawahnya terdapat sebuah logo sekolah yang terbuat dari keramik sebagai lantai. Kemudian, ada dua anak tangga yang masih-masing menuju ke arah berlawanan. Itu untuk menuju ke lantai dua. Lalu, di sampingnya lagi sepertinya terdapat tangga berlawanan yang sama untuk menuju ke lantai tiga. Jika digambarkan, tangga tersebut hampir berbentuk seperti spiral.
    Karena luasnya bangunan itu, lantai atas dipisahkan menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Atau lebih tepatnya, sisi barat dan sisi timur. Di lantai dua sepertinya juga ada tangga lain yang menghubungkan kedua sisi itu.
    "Ini bahkan hampir jauh lebih besar daripada gedung operasional sekarang."
    Meskipun agak berlebihan membandingkannya dengan gedung yang ada sekarang, kesan yang kudapat hampir serupa ketika melihat dalamnya langsung.
    "Tempat kelasku—"
    Seperti yang telah diinformasikan secara pribadi mengenai tempat kelas setiap siswa, aku menuju ke kelas jurusan yang sudah ku pilih pada saat pendaftaran. 'Lokasinya tertera di lantai satu di sisi barat'.
    Setelah mengonfirmasinya sekali lagi, aku melihat papan tanda di atasnya yang bertuliskan 'X-BHS' yang akan menjadi tempat kelasku. Kemudian, aku memasukinya setelah sedikit melakukan persiapan.
    Jika seseorang dihadapkan dengan lingkungan kelas yang baru, tidak sedikit mereka akan merasa gugup sampai-sampai bisa salah tingkah dalam kemungkinan terburuk. Karena itulah sekarang ini... aku berharap langkah pertamaku tidak menjadi kesialan atau sebagainya. 'Aku hanya ingin menikmati masa sekolah yang tenang', dan Itulah yang menjadi tujuanku ketika berada di kelas. Belajar seperti layaknya seorang pelajar, aku akan mengasah kemampuan, pengalaman serta ilmu yang akan ku gunakan di masa depan.
    Setelah selesai melakukan persiapan kecil, aku memperhatikan kondisi kelas sambil berjalan masuk—dan seperti yang kuduga, kelas masih sepi. Meskipun tahu itu, tetap saja perasaan dari 'kesan pertama' membuatku sedikit risih.
    Jam dinding kelas menunjukkan pukul 06:21.
    Aku memasuki kelas seperti yang biasa kulakukan saat SMP, yaitu 'diam berjalan, menuju bangku tujuan'. Itu seolah sudah menjadi kebiasaanku. Namun akan lebih baik jika tidak ada orang yang melihatku berjalan. Itu akan sangat melegakan.
    Secara pribadi, jika memikirkan tempat duduk yang paling cocok, menurutku itu pasti bangku belakang. Tapi, di zaman sekarang bangku belakang bukanlah lagi tempat orang Introvert dapat bersembunyi dibalik kelas. Secara langsung, itu akan cepat dikuasai oleh anak-anak bermasalah yang biasanya memiliki kecenderungan gaya bicara kasar dan perilaku yang buruk. Mereka adalah makhluk yang harus ku jauhi bagaimanapun caranya.
    Kalaupun ada seorang introvert yang memaksakan dirinya menghuni bangku belakang, itu bisa diibaratkan seperti 'menggali kuburannya sendiri'. Dengan kata lain, secara bertahap orang tersebut akan menjadi rentan terhadap pembullyan. Karena biasanya seorang introvert itu memiliki masalah komunikasi atau hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan, dirinya akan menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kebosanan mereka. Berbeda dengan introvert lain, aku mungkin masih bisa berkomunikasi, namun agak-agaknya malas jika sering melakukannya.
    Karena itulah, demi menghindari bangku belakang ataupun bangku depan yang tampak mencolok, aku memilih bangku barisan ketiga yang menurutku letak paling ideal. Salah satu alasan mengapa aku memilihnya juga karena untuk menghindari cahaya yang biasanya akan membuat silau ketika melihat kedepan. Selain itu juga untuk menghindari tempat duduk yang suasananya berpotensi menjadi panas dan gerah jika pelajaran telah memasuki waktu siang.
    Kelas cukup besar dan sepertinya jika diperkirakan dari jumlah bangku, itu bisa mencapai sekitar 50 murid. Aku penasaran, apakah kelas bisa berlangsung dengan murid sebanyak ini? Biasanya itu akan rentan oleh kegaduhan. Semisal sisi lain gaduh, maka sisi lain juga akan terkena 'dampaknya'. Alhasil, itu akan menyebar seperti virus dan mengganggu murid lain yang sedang berkonsentrasi mendengarkan pelajaran.
    Jika satu kelas diperkirakan mencapai 50 siswa, maka tak heran jika kelas lain juga memiliki pembagian yang sama. Mengingat gedung sekolah ini yang besarnya dua kali lipat dari hypermarket, itu bisa dibayangkan.
    Tanpa menoleh secara terang-terangan setelah duduk di bangku yang telah kupilih, aku diam-diam melirik sisi lain tempat duduk yang berlawanan. Itu adalah kawasan anak perempuan.
    Sepertinya mereka secara alami telah membuat beberapa kelompok secara terpisah. Ekstensi paling menonjol dari mereka adalah kelompok yang semuanya berisikan delapan anggota perempuan. Mereka adalah yang paling antusias membicarakan hal-hal serius seperti kegiatan pelajar dan dunia pendidikan.
    "Ngomong-ngomong selama tiga hari ini, aku sudah berkeliling kesana kemari. Itu cukup menyenangkan melihat-lihat fasilitas yang terkesan baru di setiap area."
    "Yah, bagaimanapun juga, sekolah ini sangat besar bagi pelajar SMA seperti kita. Jadi aku merasa beruntung bisa mendaftar di sini."
    "Ngomong-ngomong soal pendaftaran, sebelumnya prosedurnya lumayan rumit. Apa kalian tidak mengalami kendala di bagian itu?"
    "Ah! Sepertinya aku mengalaminya. Jadi begini...."
    Mereka terus mengobrol dan pada akhirnya sampai ke topik tentang gedung sekolah.
    "Kurasa model gedung sekolah ini sudah menyerupai sekolah-sekolah yang ada di luar negeri sekarang. Aku merasa seperti itu."
    "Hn, hn, kupikir pemerintah mendapatkan ide membangun sekolah ini setelah melihat perkembangan di negara barat."
    "Zaman sekarang memang banyak yang berubah ya. Tidak heran jika pemerintah tidak mau kalah saing dengan negara lain."
    "Agak-agaknya terasa seperti persaingan dunia pendidikan secara kompetitif."
    Dari percakapan mereka sekilas yang berhasil ku amati, sepertinya mereka memang perkumpulan murid yang berpikir inovatif dan maju. Mungkin nantinya mereka bisa dikategorikan sebagai perkumpulan orang-orang pintar di kelas bahasa ini.
    Sementara itu, kelompok perempuan yang lain sepertinya tidak terlalu membicarakan hal-hal penting. Kebanyakan dari mereka hanya membicarakan tentang gaya hidup remaja trend zaman sekarang, atau membicarakan sesuatu yang modis dan sejenisnya.
    Setelah mengamati, aku menyadari sebuah fakta jika laki-laki di kelas ini hanya ada aku. Salah seorang perempuan sempat melihatku, tapi hanya sekilas. Seperti kata pepatah 'tidak ada perhatian, maka tidak akan ada yang berminat'. Kesan pertama adalah hal yang penting, karena itulah dari awal aku sudah mempersiapkan diri untuk bersikap normal. Jika kemungkinan ada salah seorang memulai pembicaraan denganku, maka aku akan berusaha menanggapinya mengikuti pola 'perkembangan topik' pada arus yang dibuat oleh si pembicara. Ini adalah perjuanganku. Bukan untuk mengharapkan sesuatu seperti layaknya orang yang sedang kesepian, melainkan aku ingin menciptakan ketenanganku dengan cara normal. Baik dari perspektifku, maupun dari perspektif orang lain yang akan memandangku dan memberikan penilaian. Aku juga tidak ingin memaksakan diriku lebih jauh untuk mendapatkan teman. Jika ada yang berminat denganku, maka mereka harus menerima diriku apa adanya. Kedengarannya itu seperti sesuatu yang rumit dengan adanya persyaratan itu, tapi memang seperti inilah aku.
    "Hah...."
    Bagaimanapun juga, aku adalah 'orang yang kurang termotivasi dalam hal apapun didunia luar'. Tidak mencoba mengejar sesuatu di luar jangkauan, itulah salah satu ciri khasku dalam menerapkan prinsip hidup. Tujuan utamaku bukanlah di awal ataupun di akhir, melainkan proses itu sendiri. Jika memikirkan itu, kalimat pertama yang keluar dari kepalaku pastinya adalah 'melakukan segala hal dengan belajar'.
    Dengan belajar, manusia bisa terus berpikir. Mempelajari sesuatu yang dapat dipelajari dan tidak memaksakan diri untuk mempelajarinya jika itu memang tak dapat dijangkau. Dengan kata lain aku menyebut itu sebagai metode 'belajar secukupnya', atau belajar yang penuh kebebasan. Itu—adalah aturan dunia yang ku bentuk sendiri. Kadang-kadang aku mengharap kedatangan dari seseorang yang mau datang dengan inisiatif sendiri ke duniaku. Tapi, sepertinya itu hanyalah kemungkinan di bawah 5%. Aku tidak yakin bisa menjadi orang seberuntung itu.
    Di zaman sekarang, banyak sekali orang yang enggan mempelajari sesuatu tanpa adanya bentuk imbalan secara nyata. Mereka terlalu membenci prosesnya hingga berakhir dengan 'langkah awal' serta 'langkah akhir'.
    Karena keberadaan orang kaya telah menjadi hal umum bagi masyarakat perkotaan, mereka tidak merasakan adanya kesulitan seperti yang dialami oleh orang-orang yang hidup di zaman primitif. Itulah yang menjadikan mereka malas untuk berjuang dan pada akhirnya memilih mengedepankan 'kekuasaan', serta 'kekuatan' sebagai jalan pintas dalam sebuah langkah sederhana.
    Seusai memperhatikan kondisi kelas, aku mengeluarkan ponsel serta headset tanpa kabel dari tas. Kupikir dengan mendengarkan musik, suasana hatiku bisa menjadi lebih baik.
    Kemudian, aku memutar salah satu musik karya 'Mozart', Piano Sonata No. 11 yang biasanya akan membuatku tenang.
    Ketika jam menunjukkan pukul 06:52, secara beriringan murid berdatangan satu persatu kedalam kelas. Ada yang lebih lambat dan ada yang lebih cepat. Masing-masing dari mereka membentuk 'sirkel' sendiri, dan ada juga yang berjalan sendirian sepertiku.
    Tak lama kemudian, kelas mulai terisi. Ketika aku sedang terfokus mendengarkan musik, salah satu siswa tiba-tiba memanggilku.
    "St..., hei!"
    Siswa itu menepuk pundakku ketika memanggilku seperti itu—dan secara spontan, aku menoleh ke arahnya sambil melepas headset dengan 'perasaan pecah sebagian'.
    "Boleh aku duduk di sebelahmu?" Tanyanya.
    Siswa itu memiliki wajah yang tampak biasa saja dan sepertinya lebih tinggi dariku. Bisa kukatakan perawakannya ini seperti orang yang malas berjuang, tapi itu hanya berkisar pada tingkah lakunya dan sepertinya tidak lebih dari itu.
    Aku mengangguk kecil sebelum mendengarkan musik kembali. Lalu, dia yang duduk mulai memperhatikan kondisi kelas, menoleh ke kanan dan kiri seolah tidak ingin melewatkan hal-hal di kelas. Karena sepertinya dia tidak menemukan sesuatu yang menarik untuk dilihat ataupun didengar, dia kembali menoleh ke arahku dan memperhatikanku yang sedang mendengarkan musik ditengah-tengah kebisingan kelas.
    "Hei, apa yang kau dengar?"
    Sekali lagi, dalam sekejap 'perasaan pecah sebagian' kembali kurasakan. Karena sepertinya dia tahu bahwa suaranya tidak akan mencapaiku, dia membisiki dari dekat. Dengan segera aku menjawabnya, 'Musik klasik' tanpa menyebutkan karya dari siapa karena aku tahu bagaimana reaksi orang di zaman sekarang ketika memandang musik klasik.
    "Oh."
    Merasa tidak berminat, dia berpaling sekali lagi melihat hal-hal lain di kelas. Sepertinya dia tipe orang yang kaku dan tidak tahu strategi yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar.
    "Apa yang kau cari?"
    Aku sedikit menyinggungnya karena merasa tidak nyaman terus melihat tingkah lakunya yang seolah-olah kebingungan.
    "Ah, tidak. Maaf, apakah aku mengganggumu?" Dia langsung bereaksi meminta maaf setelah mengerti maksudku menyinggungnya.
    Kurasa, ini akan sangat melelahkan jika aku terpaksa memulai inisiatif mengobrol dengannya agar dapat terlepas dari suasana ini.
    "Tidak juga, aku hanya penasaran denganmu yang kelihatan kebingungan," kataku.
    "Eh! Memangnya aku terlihat seperti itu ya?"
    Seperti yang kuduga, dia akan mengelak dari fakta ketegangannya. Tapi jika dilihat secara objektif, orang pasti akan tahu dari raut wajahnya itu. Selain karena keningnya mengeluarkan garis-garis, dapat dilihat tekanan wajahnya yang tampak tak bisa santai.
    "Maaf jika ini menyinggungmu. Apa kau biasanya memang selalu seperti itu?" Tanyaku, terus terang memastikan.
    Yang ku maksud di sini adalah murni dari kepribadian atau kebiasaan dia dalam berinteraksi. Bagaimanapun juga, manusia itu diciptakan dengan kadar ekspresi yang berbeda-beda. Meskipun sekilas bisa ditebak dari raut wajahnya, bukan berarti itu selalu bisa dijadikan patokan untuk menentukan 'apa yang dia pikirkan saat ini'. Terkadang kesalahan dari pengamatan akan berakibat fatal dalam kehidupan sosial. Maka dari itu, aku berusaha sebaik mungkin menghindari resikonya.
    "Mungkin saja begitu," dia tampak merasa tidak yakin dengan jawabannya, tapi disisi lain, dia juga dapat merasakan ketidaknyamanannya.
    Mungkin inilah yang membuatnya jujur, walaupun rasanya aku telah sedikit memaksanya.
    "Ini menyedihkan, 'kan?" Terusnya.
    "Semua orang punya masalah mereka sendiri. Jadi kupikir itu wajar," kataku.
    "Lalu bagaimana menurutmu? Mengenai kondisi kelas saat ini," dia kembali memperhatikan sekelilingnya setelah menanyakan persoalan merepotkan itu kepadaku.
    "Kurasa kata 'berisik' sudah cukup menjelaskan semuanya," jawabku.
    "Sepertinya kau benar, hehe..." dia tertawa ringan sambil menggaruk kepalanya.
    Setelahnya, aku mematikan musik di ponsel dan mengembalikan headsetku ke dalam tas. Ini karena sejak aku mulai mengobrol dengannya, 'ketenanganku' untuk tetap merasa sendiri sudah memudar.
    ["Teng..., Teng..., Teng...,"] suara lonceng sekolah telah berbunyi.
    Disaat yang hampir bersamaan, lonceng dengan suara gahar berbunyi tepat pada pukul 07:00, kemudian diikuti dengan suara seseorang yang sepertinya bersumber dari ruang penyiar.
    Mengenai ruang penyiar, di zaman sekarang itu sudah menjadi tempat umum di beberapa sekolah khusus negeri. Untuk sebagian kecil swasta yang biasanya memiliki keterbatasan ruangan, siaran itu sendiri akan dilakukan dalam satu tempat yang biasanya dialokasikan di ruang administrasi, staff, atau mungkin juga kantor.
    "Perhatikan kepada seluruh siswa-siswi SMA Negeri Ukiran Jep-Ra Futuristik, diharapkan untuk tenang menempati bangku masing-masing sebelum wali kelas datang. Semisal ditemukan adanya kegaduhan di salah satu kelas, kami secara langsung dengan tegas akan menindaklanjuti murid yang terlibat di dalamnya. Lalu sebagai peringatan terakhir, kami bisa melihat seluruhnya dari CCTV yang terpasang di masing-masing kelas."
    Seketika itu, perhatian para murid kelas bahasa langsung tertuju ke arah CCTV yang ada di depan, seolah pandangan kamera sedang tertuju melihat seisi kelas.
    Mungkin kelas-kelas lain juga bereaksi sama setelah mendengar peringatan dari salah satu guru yang tampaknya perempuan bersuara lantang. Berdasarkan pengalaman yang kudapatkan di masa lalu, kurasa aku bisa membayangkan tipe seperti apa guru penyiar itu.
    "Hei, bukankah itu berarti kita akan di awasi selama jam pelajaran." Kata salah satu siswa yang tampak cemas.
    "Kurasa begitu. Dari awal aku sempat curiga dengan CCTV yang terpasang di sana. Rupanya itu untuk mengawasi kondisi di dalam kelas."
    "Itu berarti kita tidak akan mendapat kebebasan sampai KBM selesai ya." Kata siswa yang kecewa, menaruh kepalanya di atas meja.
    "Sepertinya sistem sekolah ini tidak akan membiarkan adanya jam kosong."
    "Glup!—Semoga saja aku bisa bertahan sampai KBM selesai."
    Mereka yang mendiskusikan itu adalah para siswa yang memiliki pengaruh besar dari salah satu kelompok di barisan laki-laki. Mereka awalnya berkumpul di meja depanku, tapi setelah mendengar adanya peringatan itu, sekarang mereka kembali ke tempat duduk masing-masing dan membicarakannya dari jarak satu meja dibelakang.
    Sepertinya bukan hanya siswa laki-laki yang membicarakan itu, tapi juga dari barisan siswi perempuan, mereka mengeluhkan hal yang sama. Terutama 'siswi modis' yang duduk di bangku belakang terus mengeluh tanpa henti.
    "Sebagai tambahan, alangkah baiknya bagi murid yang mempunyai kesadaran diri, diharapkan membersihkan ruang kelas dengan alat-alat kebersihan yang telah ditempatkan di sudut kelas. Kalian bisa melakukannya sebelum wali kelas masing-masing datang kurang lebih 30 menit dari sekarang."
    Tentu saja perhatian mereka sekilas tertuju ke arah alat-alat kebersihan itu yang ditempatkan secara teratur di pojok kelas dekat pintu.
    Secara mayoritas, mereka pasti enggan melakukan itu terutama untuk kebanyakan siswa laki-laki di zaman sekarang. Orang yang cukup terang-terangan mengeluhkan itu adalah siswa yang duduk di belakang. Sepertinya, dia adalah salah satu pengaruh besar dari kelompok anak bermasalah.
    "Ha? Apa-apaan itu! Membersihkan ruang kelas katanya. Hmp, memangnya siapa yang mau melakukannya, itu hanya membuat lelah saja, benarkan," kata salah seorang siswa di barisan belakang yang tampak sombong.
    "Sepertinya begitu," salah seorang yang posisinya tampak seperti disudutkan, mengiyakannya.
    Di saat yang sama, sebagian anak perempuan yang mendengar itu menatap mereka dengan tatapan jijik. Sebagiannya lagi sepertinya juga mempunyai pendapat yang sama, namun dalam kelompok yang berbeda.
    Semuanya tampak jelas sekarang. Dan kini, aku merasa seolah-olah kelas telah terbagi menjadi beberapa faksi. dilihat dari situasiku sekarang, sepertinya aku termasuk kedalam kelompok siswa non-faksi, atau yang biasa disebut kelompok siswa yang tidak memiliki teman sejenisnya di tengah kondisi ini.
    "Aku tidak tertarik dengan situasi ini," menghela nafas dalam-dalam, lantas aku mengambil buku catatan serta pulpen yang ku beli ketika pertamakali datang ke hypermarket. Tanpa ku perhatikan, orang di sebelahku mengamati tindakanku.
    "Wow! Kelihatannya kau orang yang serius," katanya yang seolah terkesan.
    "Tugas utama seorang pelajar adalah belajar, tentu saja itu harus dilakukan dengan serius," kataku.
    "Apa kau mengkhawatirkan masa depan?" Tanyanya.
    "Siapapun juga pasti khawatir. Kecuali mereka yang hidupnya sudah terjamin, bukankah begitu konsepnya," kataku.
    Tapi... dalam kasusku, sebagian besar aku tidak melakukannya karena khawatir dengan masa depan.
    "Lalu karena apa?" Tanyanya yang seolah bisa membaca pikiranku sesaat.
    "Mungkin aku bisa menyebutnya sebagai hobi," jawabku.
    "Pft," dia mulai tertawa kecil setelah mendengarnya, lantas dia tak dapat menutupi ekspresi wajah yang awalnya disembunyikan.
    Meskipun tahu bahwa itu hanya akan menjadi sebuah keanehan atau lelucon untuk didengar oleh orang pada umumnya, aku tetap akan menjawabnya dengan sikap yang normal dan jujur.
    "Kau cukup aneh ya. Ah, ngomong-ngomong yang kukatakan ini tidak bermaksud mengejekmu atau apapun itu..." katanya, dengan melakukan gerakan tangan menyatakan hal tersebut.
    "Aku sudah sering mendengarnya, tidak perlu dipermasalahkan."
    Setelah memberikan pernyataan bahwa 'aku baik-baik saja', dia mengangguk pelan lalu mengalihkan pandangannya dan melihat beberapa anak perempuan yang sudah membuat pergerakan bersih-bersih.
    Sepertinya, sebagian dari mereka serius akan membersihkan kelas sebelum wali kelas datang. Yang mengintruksikan mereka adalah perempuan berwajah serius itu. Saat ini, dia memegang sapu dan secara bersamaan menyuruh beberapa dari mereka yang bisa diajak bekerjasama untuk berbagi tugas. Sebagian kecil anak laki-laki yang merasa bersimpati, mulai membantu tanpa mereka suruh. Sepertinya, dari keseluruhan kelas ini bisa ku perkirakan ada 30-40% siswa yang telah mempunyai kesadaran diri. Meskipun ada beberapa yang mencemooh dari belakang, mereka seolah telah mempunyai tekadnya masing-masing untuk tidak mudah dipengaruhi.
    Yah, terkadang setiap orang juga memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Jika mereka tidak ingin di perintah, maka mereka akan berinisiatif melakukannya untuk diri mereka sendiri. Walaupun tujuan mereka mungkin berbeda, prosesnya akan tetap sama. Dengan sebuah teori 'manusia adalah makhluk yang sederhana', itu sudah memecahkan secara garis besar jawaban dari kondisi sekarang ini.
    Sepuluh menit sudah berlalu sejak mereka membersihkan kelas. Secara bertahap, siswa-siswi lain yang ada di kelas mulai ikut serta secara pribadi. Banyak dari mereka hanya membersihkan meja dan kursi sendiri. Tidak ada yang mengeluhkan tentang itu. Bahkan jika ada yang mengeluh, paling-paling itu adalah beberapa siswa yang duduk di bangku belakang. Walaupun sepertinya suasana tampak begitu ramai, ini mungkin akan dianggap sebagai kewajaran jika guru penyiar sebelumnya melihat aksi kami dari CCTV.
    Pada akhirnya, dengan terpaksa aku juga ikut terseret membersihkan tempat dudukku sendiri. Jika hanya diam tak melakukan apapun, sepertinya akan menjadi berat setelah 'aksi membersihkan kelas' ini menjadi mayoritas.
    "Sepertinya ini menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Bukankah menurutmu ini cukup merepotkan?" Bisik siswa sebangku yang sedikit mengeluh seusai dengan pekerjaan singkatnya.
    "Kau benar."
    Meskipun berkata seolah aku membenarkan pendapatnya, aku masih melanjutkan aksiku membersihkan debu di bawah meja dengan kemoceng yang kebetulan kudapat dari meja depan.
                                                    ***
    Dua puluh menit berlalu sejak diumumkannya pemberitahuan kebersihan kelas. Jam dinding kelas menunjukkan pukul 07:24.
    Seharusnya sebentar lagi wali kelas kami akan datang. Hampir semua murid di kelas terlihat cukup tegang. Itu mungkin... dikarenakan mereka masih mengingat peringatan yang terdengar seperti ancaman. Letak dari CCTV itu sendiri, seolah menjadi bukti nyata bahwa mereka semua sedang diawasi dari balik layar.
    Ketenangan berlalu selama dua hingga tiga menit. Jika dilihat secara objektif, satu-satunya yang tampak gaduh sendiri adalah siswa barisan belakang. Walaupun tidak terlalu mencolok seperti sebelumnya, tetap saja tawa kecil mereka tampak terasa mengganggu yang lain.
    "Glup!—Kira-kira wali kelas kita orangnya seperti apa ya?" Berbisik dengan nada cemas setelah menelan ludahnya, siswa di sampingku ini memasang ekspresi yang berlebihan.
    "Mungkin tegas seperti guru penyiar tadi. Jika melihat sekilas bagaimana aturan sekolah ini ditegakkan, sangat dimungkinkan jika pihak sekolah memiliki banyak guru berkepribadian tegas," kataku, asal bicara.
    "Benet—!" Dengan bodohnya, dia hampir saja kebablasan meninggikan suara karena terkejut hanya mendengar asumsiku.
    Cukup beruntung karena dia bisa berakhir dengan menggigit lidahnya sendiri. 'Itu pasti terasa menyakitkan, tapi itulah yang seharusnya kau dapat.' itulah yang ingin kukatakan kepadanya, tapi alangkah baiknya untuk tetap diam dan tidak mengomentari apapun.
    Seketika itu, dia langsung terdiam seolah menyesali tingkahnya karena kesalahan sendiri. Tak lama kemudian, seseorang yang membawa absensi kelas datang dari arah pintu kelas yang terbuka lebar. Sepertinya itu adalah wali kelas kami. Berbeda dari yang dibayangkan, daripada di sebut tegas, beliau tampak lebih ramah dengan penampilan layaknya seorang ibu berkepribadian lembut.
    "Selamat pagi semuanya," ibu wali kelas menyapa pagi kami dengan senyuman lembut.
    Melihat penampilannya, Hampir semua murid terkejut karena beliau tampak di luar ekpektasi mereka. Aku bisa melihat beberapa murid yang tampak lega mengetahui fakta bahwa wali kelas kami adalah ibu guru yang lemah lembut, dan, """Selamat pagi!""" tampaknya, dari barisan anak perempuan memulai inisiatif mereka menjawab sapaan itu dengan berdiri, kemudian diikuti dengan barisan anak laki-laki yang pada akhirnya mengikuti pola itu juga.
    "Hn... sepertinya kalian masih mengingat sopan santun yang pernah diajarkan di sekolah masing-masing. Saya turut bangga."
    Meskipun beliau mengatakan jelas seperti itu kepada kami, seharusnya beliau mengerti jika yang memulainya dulu adalah para siswi perempuan, jadi—anak laki-laki pada dasarnya hanya menirunya saja.
    'Jika tidak ada yang memulai, maka tidak akan ada yang dimulai'. Ini pola sederhana untuk diikuti bagi mereka yang tidak mengerti sopan santun sekalipun. Disisi lain, beliau juga tampak seperti tipe orang yang lebih mengedepankan perasaan murid daripada memaksakan kehendak mereka. Memikirkan itu, aku mendapatkan keresahanku ketika memikirkan hal-hal yang akan terjadi jika kurangnya penegasan di kelas ini. Apalagi adanya ekstensi murid bermasalah di sini yang pastinya akan cukup mengganggu ketenangan di kelas. Bahkan saatku melirik sedikit ke belakang, aku bisa melihat para siswa yang berada di barisan belakang itu dengan santainya duduk memandangi mereka yang sedang berdiri, seolah-olah menikmati pemandangan ini dengan bebasnya. 
    "Semuanya bisa duduk kembali."
    Setelah beliau mengatakan itu, semua murid yang sebelumnya berdiri segera duduk kembali. Lalu beliau melanjutkan...
    "Perkenalkan, nama saya adalah Milan Marwati. Kalian bisa memanggil saya dengan panggilan Bu Milan."
    Setelah perkenalan singkat dari wali kelas baru kami, Bu Milan lantas duduk di depan meja guru dan bersiap melakukan absensi kelas.
    "Mereka yang dipanggil silahkan berdiri memperkenalkan diri, kalau bisa tolong jangan bergurau ya," ujar beliau.
    Walaupun tidak ada penegasan didalam kata-katanya, beliau seolah bisa menebak tingkah yang mungkin akan mereka lakukan. Mungkin saja beliau sudah berpengalaman menangani murid sebanyak ini. Jika melihat dari segi kualitas sekolah, maka tak heran tenaga pengajar yang dipilih juga pasti mempunyai keunggulan tersendiri dalam mengajar muridnya.
    'Sesi perkenalan diri'. Ini adalah salah satu hal yang membuatku tidak tenang. Jika dalam konteks umum, sebagian dari mereka yang mempunyai kesulitan berkomunikasi atau berinteraksi, paling-paling hanya gugup dengan mata melihat. Tapi, berbeda dengan kondisiku, daripada gugup aku lebih tidak tenang dengan 'suara pelanku' yang dikhawatirkan tidak dapat dijangkau oleh guru di depan. Apalagi... tempat dudukku di barisan ketiga ini tergolong pojok.
    'Sudah tidak ada harapan' di sini aku mulai bisa menebak dua kemungkinan pasti ketika namaku dipanggil. Kemungkinan pertama, salah satu murid yang berada di jarak terdekat akan mendengar suara kecilku, lantas menyuarakannya ke depan agar bisa terdengar. Lalu untuk kemungkinan kedua, Bu Milan sendiri yang akan mendekati mejaku supaya dapat mendengar jelas suaraku.
    Yaah... kurasa untuk saat ini kira-kira seperti itu hipotesisku. Mengesampingkan itu, aku akan mengamati lebih dulu bagaimana murid-murid yang lain melakukannya....
    "Amelia!"
    Nama itu disebutkan oleh wali kelas kami. Kemudian, perempuan bernama Amelia itu berdiri dengan gagah ketika namanya di panggil. Bahkan, sepertinya dia tampak seperti 'orang yang bisa diandalkan'. Dari kesan yang kudapatkan, tipikal orang seperti itu sudah pasti akan terlihat sangat cocok untuk menjadi seorang pemimpin.
    "Nama saya Amelia, singkat saja, tujuan saya bersekolah di sini adalah untuk mengejar cita-cita saya menjadi seorang pemimpin," kata perempuan itu.
    "Apa yang ingin kamu raih di masa depan?" Tanya Bu Milan.
    "Saya ingin menjadi seorang presiden!" tegasnya, mengejutkan seisi kelas.
    Seketika itu, seluruh murid di dalam kelas langsung dibuatnya terkejut dengan pernyataan diluar ekpektasi mereka. Menjadi presiden, itu berarti menjadi pemimpin negara. Sudah pasti reaksi mereka yang muncul akan menimbulkan kehebohan seperti 'perempuan itu terlalu tinggi impiannya' atau menimbulkan ketidakpastian seperti 'memangnya mungkin? Dia tidak berbicara omong kosong, kan?' Hanya kalimat-kalimat sejenis itulah yang saat ini sedang memenuhi seisi kelas.
    "Itu cita-cita yang sangat luar biasa. Saat ini tidak banyak orang yang sanggup menggapai peran itu. Selain belajar dan mendapatkan banyak pengalaman, rintangan panjang masih akan menunggu di depan. Ingatlah orang jenius itu bukan hanya ada di kelas maupun di sekolah ini saja. Jika kamu benar-benar ingin menjadi seorang presiden, itu berarti kamu akan bersaing dengan banyak orang di satu negara. Dan di masa depan... itu baru bisa kamu perjuangkan dengan aktif dalam bidang politik," ujar Bu Milan.
    Itu berarti dia mungkin harus melakukan sesuatu seperti membangun kredibilitasnya, mengumpulkan orang-orangnya dan membentuk sebuah partai. Selain itu, dia juga harus aktif di bidang politik dengan menjadi pemimpin di salah satu daerah.
    Di zaman sekarang, persaingan ketat seperti itu sudah berlangsung selama hampir satu abad sejak negara berdiri. Maka tidak heran jika dari kalangan generasi 'manusia modern', banyak orang jenius di daerah-daerah tertentu akan ikut mengincar jabatan atau posisi tertinggi tersebut.
    Perkenalan yang mengejutkan tersebut berlalu ketika perempuan bernama Amelia di persilahkan duduk kembali. Kemudian, Bu Milan melanjutkan absensinya—dan ketika baru mengabsen ketiga murid di urutannya, dengan spontan aku dibuat terkejut oleh sosok murid yang memperkenalkan diri di urutan berikutnya. Perempuan itu, dia adalah Cika—dan 'Kenapa dia ada di sini', itulah yang sekarang membuatku bertanya-tanya. Tidak menduga bahwa kami akan berada di kelas yang sama, tentu saja aku akan terkejut dengan fakta dia juga ada di sini. Jika mengingatnya kembali, pagi ini aku berniat menghindarinya karena suatu alasan. Kalau dia sampai menyadari jika aku berada di satu kelas yang sama dengannya, maka semua yang kulakukan untuk berangkat lebih awal akan menjadi sia-sia. Aku bertanya-tanya, apakah dia sudah menemukanku? Karena mengingat saat ini ekstensinya kurang lebih hampir sama sepertiku (tidak menonjol), aku tidak menyadarinya hingga namanya dipanggil.
    "Nama saya Cika, tujuan saya bersekolah di sini hanya untuk belajar," katanya dengan suara yang nyaris tidak bisa didengar.
    'Sungguh jawaban yang biasa' adalah respons yang ingin dikatakan mereka. Barisan belakang sepertinya sudah tidak tertarik mendengar itu dan memilih bermain sendiri dengan teman sebangkunya. Meskipun begitu, Bu Milan tetap memberikan apresiasi dan dorongan untuk meningkatkan potensi Cika. Lalu, setelah menyelesaikan perkenalan itu, Cika duduk kembali tanpa meninggalkan kesan khusus. Menunggu absensi itu berjalan setelah perkenalan dua siswa, dia mengeluarkan ponselnya seolah sedang memeriksa atau mungkin masih mempelajari sesuatu di dalamnya.
    Secara mengejutkan, namaku dipanggil saat bidang penglihatanku masih tertuju ke arahnya.
    "Yang berikutnya, Rafa!"
    Dengan segera aku berdiri, lalu mengangkat rendah tangan kananku tanpa bersuara. Orang-orang di sebelahku hampir secara bersamaan spontan melihat ke arahku. Ketika melihat itu, awalnya ada sedikit keraguan untuk menindaklanjuti keheningan yang telah ku buat, tapi pada akhirnya, beliau memilih mendatangi mejaku secara langsung dalam waktu kurang dari sepuluh detik.
    "Bisakah kamu memperkenalkan diri dengan apa saja yang terpikirkan olehmu?" Pinta Bu Milan.
    Seolah mencoba mentoleransi orang yang sulit berkomunikasi di ruang terbuka sepertiku, Bu Milan mengajukan penyataan seperti itu.
    "Nama saya Rafa, tujuan saya bersekolah di sini hanya untuk mencari ketenangan."
    Mendengar intonasi datarku, beberapa dari mereka yang melihat merasa sudah kehilangan minat, lalu memalingkan perhatiannya ke arah lain. Begitu juga dengan barisan anak perempuan yang sepertinya hampir tidak ada dari mereka melihat perkenalanku, termasuk Cika yang tampaknya sibuk sendiri dengan ponselnya. Ini melegakan, di sisi lain juga menegangkan. Bagaimanapun juga, aku telah berhasil melalui 'kesan pertama' ini dengan hasil yang kurang lebih sesuai harapanku.
    Sekarang, 'bagaimana caraku memulai kehidupan tenang di kelas ini?'—adalah hal yang harus kupikirkan mulai saat ini juga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Switch Career, Switch Life
317      266     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Sendiri diantara kita
797      499     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
In Her Place
723      487     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...