Sita meletakkan Andien di jok khusus baby mobilnya. Memastikan bahwa sang putri telah berada di posisi paling aman sambil tertidur. Dia sudah sangat terbiasa dengan ini. Melakukan semuanya sendiri. Menjadi ibu rumah tangga sebagaimana seharusnya agar keluarganya terurus. Sita menjadi ibu yang luar biasa secara alamiah, meskipun pertamanya kehadiran Andien menjadi momok terbesar, tapi ia mampu melewati itu semua bersama Galih. Dia ayah yang sangat baik, tapi sayang, Galih bukanlah suami yang baik untuk Sita.
Terlalu egois mungkin jika Sita mengatakan Galih bukanlah suami yang baik. Dia sendiri juga mengakui bahwa dirinya bukanlah istri yang pantas untuk diakui. Semua hal yang terjadi dalam biduk rumah tangganya adalah pose keterpaksaan yang tidak akan bisa menjadi tempat ternyaman.
Aktifitas Sita sepulang pemotretan Andien ternyata cukup menguras tenaga. Hari sudah beranjak malam. Ia melihat jam dinding sudah di angka delapan tapi Galih belum juga pulang. Setelah menidurkan Andien di boks bayinya, Sita menerima panggilan video dari adik perempuannya yang kini sedang bersekolah di Australia. Seulas senyum tercetak di bibir Sita tatkala adik yang sudah hampir enam tahun itu tidak pernah pulang ke Indonesia justru menyapanya hangat di layar gawai.
"Kak Sita, apa kabar?" sapa gadis dengan pakaian sedikit terbuka di seberang sana.
"Ika!" sapa Sita balik. " Kakak sehat, Ka. Kamu sendiri gimana? Sekolahnya lancar?"
Gadis yang kerap disapa Ika oleh Sita itu tersenyum semringah. Wajah putih mulus sedikit kemerahan seperti baru tersengat sinar matahari itu sedikit banyaknya memiliki kemiripan dengan Sita. Mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu semenjak kedua orang tua mereka bercerai ketika Sita berusia sepuluh tahun. Pembagian hak asuh sungguh menjadi gerbang pemisah di antara mereka. Ika mau tak mau ikut dengan sang ayah ke Australia sekaligus meneruskan sekolahnya di sana. Sedangkan Sita tak mampu mengendalikan keadaan di mana ia harus hidup dengan sang ibu dan ayah tirinya yang tidak bisa disebut baik. Namun, jarak tentu tidak dapat memisahkan kasih sayang antar kakak beradik. Meski mereka jarang berkomunikasi, setidaknya Ika tahu apa saja yang telah dialami Sita selama ini.
Ika menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, tidur telungkup di atas kasur bersprei biru muda. "Alhamdulillah lancar, Kak. Do'akan dua tahun ke depan Ika wisudah dan dapat gelar Master Ekonomi. Habis itu Ika bakal balik ke Indonesia, Kak."
"Iya, kakak doakan kamu berhasil. Kakak udah kangen banget sama kamu. Kakak ...,"
"Pengen cerita banyak, 'kan?" potong Ika. Sita hanya tersenyum menunduk dan kembali menatap wajah Ika. "Tapi keluarga Kakak baik-baik aja, 'kan? Andien gimana?"
"Baik. Sejauh ini baik-baik aja. Andien juga udah makin banyak pinternya," jawab Sita.
"Mas Galih?" Alis Ika naik sebelah, seakan mampu menebak situasi hati sang kakak.
"Masih sama, Ka. Belum ada perubahan ke arah yang lebih baik buat rumah tangga Kakak. Tapi kami nggak pernah ribut, baik-baik aja, sih. Yah, kamu taulah..."
"Oke, nggak usah diterusin. Ika udah paham, kok. Yang penting Kakak sama Andien baik-baik aja, nggak ada masalah dan sehat terus. Ika do'akan Kakak dan keluarga, juga Mama. Ika sayang sama kalian."
Sita berusaha tampak tegar saat mengobrol dengan Ika meski nyatanya ia tak tahu lagi harus berkata apa sebab tak ingin membebani pikiran adiknya. "Iya, makasih, Ka. Kakak juga sayang sama kamu. Jaga diri kamu baik-baik, ya!"
"Pasti, dong, Kak ... Pokoknya Ika janji bakal balik ke Indonesia, dan kita harus menghabiskan waktu bersama, ya?"
"Kakak tunggu kamu. Andien pasti seneng punya Tante cantik, pinter, sukses lagi." Mereka tertawa bersamaan. Lantas obrolan itu menjadi akhir dari upaya melepas rindu.
Sita menaruh gawainya di atas kasur dan berpikir untuk segera membersihkan dirinya di bathup kesayangan yang berada di kamar mandi pribadinya dan Andien. Ya kamar pribadi, bukan kamar dia dan Galih. Sejak pertama menikah mereka tidak pernah tidur dalam satu kamar. Selalu ada dua kamar atau lebih di dalam rumah dan terdapat privasi pada masing-masing kamar. Sita bahkan belum pernah masuk ke dalam kamar Galih sejak mereka pindah di rumah baru. Walau hanya untuk membersihkannya, Galih selalu menolak tawaran Sita dan tidak memperbolehkannya masuk jika tidak di minta.
Baginya, kamar yang ia miliki adalah kamar paling nyaman. Ia bisa dengan leluasa melakukan segala hal bersama Andien atau sekedar memanjakan dirinya.
***
Dengan langkah gontai, Galih pulang ke rumah seperti orang yang terkena penyakit anemia. Pekerjaanya satu hari ini tidak bisa diselesaikan dengan baik lantaran pikirannya yang belum juga bisa lepas dari Anis. Pertemuan singkat yang cukup menguras pikiran dan energi. Galih bertekad untuk terus mencari keberadaan Anis untuk meminta maaf, agar ia terlepas dari rasa bersalahnya dua tahun yag lalu.
Ia hendak masuk ke dalam kamar pribadinya. Namun urung karena mendengar suara anaknya yang menangis di kamar Sita. Ia berusaha untuk tidak mendengarkan, karena ia yakin Sita tidak mungkin tinggal diam bila mendengar putrinya itu menangis. Naluri seorang ayah yang memang tertanam kuat di hatinya ternyata tak sanggup membiarkan itu terjadi. Tanpa mengetuk pintu, Galih masuk dan mendapati Andien menangis di atas boks bayi.
Galih meraih Andien yang mengangkat tangannya untuk minta digendong. "Mama mana, Sayang? Andien kebangun, ya?" Sang ayah mengayun-ayun Andien yang bersandar di bahu kirinya. Mendesis, "ushh...ssttt... jangan nangis, Sayang."
Galih menoleh ke arah pintu kamar mandi dan mendapati Sita keluar dari situ dengan terburu-buru sambil menyelipkan ujung handuk ke dadanya. Wanita itu hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai handuk, ia bahkan belum sempat membungkus rambutnya yang basah dengan kain handuk.
"Maaf, Sayang. Mama kelamaan ya di kamar mandi." Sita mendekat. Dan itu membuat Galih gugup ketika setengah badan Sita terlihat basah dan harum.
"Kamu mandi apa sih sampai Andien nangis lama begini?" protes Galih, berusaha mengalihkan pandangannya dari Sita sembari tangannya menyerahkan Andien. Namun kenyataanya ia tidak bisa mengalihkan kedua matanya ketika tiba-tiba handuk Sita tanp sengaja terbuka hingga menampilkan tubuh bugilnya. "Sita itu!" Ia menutupi wajahnya dengan kelima jari kanannya, sementar tangan kirinya menunjuk ke lantai.
"Apa?" Sita terkejut begitu menyadari tubuhnya tidak lagi tertutup apa pun. Matanya membola dan panik. "Galih tolong naikkan handukku?" Wajah Sita memohon dengan rona memerah. Sejujurnya ia sangat malu dan merasa tak pantas meminta bantuan Galih, tetapi kedua tangannya sedang sibuk menggendong Andien yang terus bergerak tidak mau tenang.
Galih memberi celah pada jarinya, mengintip. Dengan wajah memerah dan terpaksa, Galih menunduk. Mengambil handuk Sita yang sudah terjatuh di lantai. Sekali lagi Galih berusaha mengalihkan pandangannya dari bagian kewanitaan Sita . Baru kali ini ia bisa melihat milik istrinya itu sejak dari pertama menikah. Membayangkannya saja ia tidak pernah. Kini ia dihadapkan langsung dengan sebuah keindahan tubuh seorang wanita. Putih, mulus dan tentu saja menggoda hingga ia berhasil menutupi tubuh Sita dengan handuk tersebut, wajahnya menunduk.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3