Selama lima bulan gadis itu bekerja di café, baru kali ini dia berani pulang tiga jam lebih awal tanpa izin. Tubuh Anis tak berhenti gemetar setelah tanpa sengaja bertemu dengan pria yang paling tidak ingin ia temui di atas bumi ini. Anis langsung membereskan barang-barangnya begitu menerima uang dari teman pria itu lantas pergi begitu saja meninggalkan pekerjaannya yang terbengkalai.
Ia hampir tak tahu harus pergi ke mana untuk bisa menenangkan diri, hingga ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah bengkel mobil milik teman prianya yang sedang dekat belakangan ini. Anis tahu ia harus duduk di tempat biasa, di sudut ruang tunggu yang menyediakan meja setinggi dada.
Anis duduk di sana dengan napas naik turun tak teratur, tangannya belum berhenti gemetaran sampai seseorang datang menghampirinya dengan gelagat sedikit cemas, Anis sendiri tak sadar kalau Dudut-salah satu mekanik bengkel yang akrab dengannya-memperhatikan Anis dengan penuh keheranan.
"Mbak Anis!" panggil Dudut. Namun Anis masih diam, mengigit kuku ibu jarinya dan bertingkah seperti orang bingung. "Mbak Anis kenapa? Kok tangannya gemetaran gitu?"
Anis masih menunduk menyembunyikan wajah, membuka suara meski dengan nada aneh. "Tolong ambilkan aku air hangat," pintanya.
Dudut mendekatkan wajahnya untuk bisa memperhatikan Anis lebih dekat "Umm ... Mbak Anis sakit?"
"Jangan banyak tanya, Dudut ... cepat ambilkan aku air," tandas Anis, seketika Dudut pun tersentak dan langsung menghilang menuju dapur.
Mimpi apa aku tadi malam. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya?
Melihat Galih membuat Anis seolah kembali merasakan sakit. Memandang mata Galih seperti merasuki tubuh Anis dan mengaduk-aduk pikirannya tak terkendali. Bertemu dengan Galih walau lima detik membuatnya seakan bisa tahu masa lalu yang menyakitkan itu mengoyak kembali luka lama yang hampir sembuh. Baru beberapa bulan Anis berhasil melupakan pria itu dan juga kehidupan masa lalunya yang tragis, tetapi hanya dengan pertemuan lima detik saja semuanya seperti ombak yang kembali menghantam tubuhnya.
Dudut telah kembali dari dapur dan membawa secangkir air putih hangat. Anis meraih cangkir itu dan berhasil membuat napas serta jantungnya kembali normal dalam beberapa tegukan.
Dengan tangannya yang perlahan menghangat, ia menggenggam cangkir itu seperti hendak meremasnya seperti minuman kaleng. "Tinggalin aku sendiri, Dut," pintanya. Dudut pun menurut kemudian pergi tanpa harus bertanya lagi.
Anis menyadari bahwa dengan sendirinya butiran air dari mata menetes setelah bayangan dua tahun yang lalu kembali menghantuinya.
Saat di mana Anis memutuskan untuk mengakhiri hidup tetapi gagal ketika Tuhan menyelamatkannya dengan mengirimkan dua orang pria untuk menolongnya. Mereka yang saat itu sedang membereskan alat pancing tanpa sengaja melihat seseorang hanyut terbawa arus. Anis bisa mendengar suara mereka yang berteriak meminta tolong, suara kecimpungan air dari tangan-tangan yang meraih tubuhnya. Saat itu Anis tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan tubuhnya terombang-ambing dan terkekang oleh tangan orang-orang yang menolongnya.
Separuh dari alam sadarnya tahu, bahwa ia telah gagal dalam segala hal. Untuk mengakhiri hidup saja ia tidak becus. Anis tak pernah tahu bahwa selama ia tak sadarkan diri di rumah sakit, semua orang yang mengkhawatirkannya-terutama ayah, adiknya dan juga Galih-sempat putus asa dan menganggap Anis telah tewas. Bukan hanya kondisinya yang sangat lemah, setelah dua minggu ia dirawat oleh keluarga baik hati yang mau membantu sampai ia sembuh, Anis bahkan tak mau bercerita kepada siapa pun sampai mereka mengantarkan Anis pulang ke pelukan ayah dan adiknya. Ia tak pernah lupa bahwa Sakti dan keluarganya lah yang dengan sangat tulus membantu Anis mulai dari menyelamatkan hidupnya, merawat, sampai dengan ikhlas memulangkannya meski hanya dengan upah penjelasan panjang lebar dari cerita Anwar.
Anis tak pernah berharap dengan kembalinya ia ke rumah, ia dapat mengembalikan keadaan menjadi normal. Saat ia hanya bisa berdiam diri di kamar dan memandang keluar jendela, Anis tak pernah bisa mengalihkan pandangannya dari rumah sahabat yang telah mengkhianatinya itu―terkadang sahabat bisa menjadi musuh bebuyutan, bukan?
Dan saat ia hanya bisa terduduk sedih di dalam kamar dan memandang keluar jendela, Anis mendapati kekasihnya―mantan kekasih lebih tepatnya―berdiri mematung setelah turun dari mobil dengan arah mata yang tertuju pada keberadaannya saat itu.
Walau Galih tak pernah tahu bahwa gadis itu telah pulang dengan selamat. Diam di sana dengan paras wajah yang tidak bahagia.
Dari balik tirai jendela, Anis melihat wajah yang tersiksa itu membuat hatinya semakin miris. Dan ketika Galih masuk ke dalam rumah Sita yang telah dipenuhi sanak saudara, hiasan-hiasan dengan dekorasi indah dan meriah, juga para tamu dengan pakaian indah mereka, tangis Anis pun meledak. Seolah awan jatuh menimpa tubuhnya, ia meringkuk di bawah jendela dengan air mata dan tangis yang tak terkendali. Mendengar Anis menangis dari sekat kamar, ayahnya berusaha melakukan berbagai cara agar bisa membuat putrinya tenang. Memeluknya dengan sekuat tenaga meski putrinya butuh waktu lama untuk bisa berhenti menangis, Anwar sangat paham. Bahkan hatinya lebih sakit melihat putrinya hampir gila karena pernikahannya hancur.
Itu adalah masa kelam dari sejarah psikis yang membuatnya hampir gila.
"Jangan menangis, Nak. Atau kamu akan melihat ayahmu mati karena tersiksa terus-terusan melihatmu seperti ini." Anis ingat betul kalimat itulah yang dibisikkan ayahnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perih rasanya ketika acara pernikahan itu berlangsung di depan matanya-meskipun ia hanya bisa menyaksikan itu semua dari balik tirai jendela. Terlalu sakit batinnya saat harus merasakan kenyataan bahwa Sitalah yang harus mengenakan gaun pengantin, bukan dia. Tetapi mendengar kalimat kasih ayahnya yang tak pernah berhenti berbisik di telinganya, Anis paham bahwa ia tak boleh berakhir dengan kondisi seperti ini. Apa pun yang terjadi, ia harus berusaha untuk melupakan semua itu dan memulainya dari awal.
Tanpa sepengetahuan dari siapa pun, teman-teman dan semua warga di komplek tempat tinggalnya tak pernah tahu bahwa Anis masih hidup. Empat hari setelah pernikahan Sita dan Galih, mereka pergi meningalkan tempat tinggal dan mencari tempat yang tak perlu satu orang pun tahu dari mana mereka berasal. Tentang kehidupan mereka, dan tentang apa yang mereka usahakan selama pindah ke rumah baru. Tidak ada satu orang pun yang tahu kecuali Sakti, pemuda yang membantu Anis dan keluarganya keluar dari kesulitan.
"Aku lihat kamu buru-buru duduk di kursi itu setelah turun dari angkutan umum." Sakti memperhatikan wajah Anis. "Aku pikir kamu bakal panggil aku buat nemenin kamu ngobrol, tapi rupanya Dudut kasih laporan yang bikin aku hampir ketiban dongkrak."
Anis masih menyembunyikan wajahnya. Meski ia tahu kalau Sakti semakin berniat untuk memaksanya menengadah. Dan rupanya benar, Sakti menarik dagu Anis yang malu.
"Apaan, sih?" Anis menepis tangan Sakti.
"Kamu habis nangis?" Itu pertanyaan umum yang sudah pasti akan di dengar Anis meskipun ia telah berusaha membuat matanya tampak seperti biasa.
"Enggak," bantahnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang kusam.
"Dasar panci kaleng! Jangan bohong, orang buta juga bakal tahu kalau kamu itu habis nangis."
Anis menggeram, ia benci jika harus dipaksa. Apalagi mendengar lelaki itu lagi-lagi menjulukinya panci kaleng. "Ihh, kenapa sih kamu suka banget julukin aku panci kaleng?"
"Karena aku suka," Sakti tersenyum merayu. "Sekarang kamu mau ngaku atau enggak?"
Mengambil napas barangkali perlu. Setidaknya agar ia tidak lagi bersuara parau dan berbicara dengan nada baik. "Aku ada sedikit masalah di tempat kerja dan ... sepertinya aku harus mencari pekerjaan lain."
Chapter 14
Sakti menegakkan punggung, dan itu membuat postur tubuhnya terlihat lebih tinggi dan dadanya yang kekar membusung. "Oh... jadi itu yang membuat kamu pulang lebih cepat?" Anis mengangguk. "Boleh aku tahu masalahnya apa?" Bukannya jawaban yang Sakti peroleh, tapi malah tatapan mata yang mengisyaratkan bahwa ― ini tak ada urusannya denganmu pria sok tahu. "Yah ... aku cuma mau tahu, barangkali kamu bertengkar dengan rekan kerjamu. Si waiter berambut keriting itu misalnya, bukannya kamu bilang dia itu suka nyimpan tusuk gigi di saku celananya? Terus kamu memergokinya sedang memungut tusuk gigi bekas di tempat cuci piring, tapi dia nggak terima dan mengancam sesuatu ke kamu atau kamu akan bernasib sama seperti tusuk gigi. Lalu kalian bertengkar dan membuat keributan heboh, lalu kamu marah dan terus―"
"STOP!" Anis berteriak, hingga Sakti membungkam. "Gila kamu ya? Kamu pikir aku serendah itu apa mau ribut sama cewek aneh kaya Yuni?"
Wajah Anis semakin merah padam. Ia pusing mendengar kata-kata Sakti yang seharusnya tak perlu berlebihan memikirkan yang tidak-tidak. Walau sebenarnya Anis tahu kalau Sakti hanya bermaksud membuatnya tertawa.
Anis meneguk air putihnya yang tak lagi hangat hingga tak tersisa sembari melihat wajah Sakti yang menahan tawa terkikik. "Jangan terus-terusan emosi, aku nggak pernah memaksamu untuk cerita kalau kamu lagi nggak mau cerita. Karena aku yakin suatu saat nanti pasti kamu akan menceritakan semuanya, itu pun kalau kepepet." Itu yang Anis suka dari Sakti. Ia begitu dewasa dan selalu paham dengan situasinya yang gamang.
Sejauh ini, Anis tak punya sahabat lain yang dekat dengannya selain Sakti, yang tak pernah menuntut apa-apa darinya, yang menganggapnya sebagai wanita yang pantas untuk di jaga, yang sekian persen menjaga perasaanya untuk tidak pernah mengungkit masa lalu. Hanya Sakti, selalu Sakti dan Anis tak akan pernah tahu sampai kapan ia akan terus diam tanpa memberi jawaban atas perasaan Sakti yang menjadikan Anis sebagai alasan ia jatuh cinta.
Levin. Lima belas bulan yang lalu sejak Levin berhasil menemukan keberadaan Anis, juga dekat dengannya hingga sekarang. Meskipun Anis berusaha sekuat tenaga untuk tidak sedekat dulu. Untuk tidak pernah berhubungan dengan siapa pun yang menyangkut masa lalunya, apalagi Levin masih termasuk salah satu keluarga pria yang paling tak ingin ia temui di dunia ini. Sekeras dan setegas apa pun pengakuan Levin yang mengatakan bahwa dia tak pernah berhubungan, atau bahkan bertemu dengan Galih selama ia pergi dari Jakarta―Anis tetap tidak mendengarkan. Ia hanya bersedia berteman, berteman dan mungkin bersahabat dekat dengan Levin. Walaupun sejak itu Anis telah tahu, bagaimana mimik serta gerak-gerik Levin setiap kali mereka bicara berdua. Terhitung sejak pertemuan mereka lima belas bulan terakhir, Levin sudah tiga kali menyatakan cinta padanya.
Yah, bukan hal yang mengherankan bagi Anis. Ia tak pernah menjadikan itu sebagai dilema karena berada di antara dua orang pria yang dengan usaha mereka masing-masing, mencoba untuk senantiasa mewarnai kehidupannya dengan cinta yang baru.
Masih nihil. Anis belum siap (lebih tepatnya tidak siap) untuk gagal kedua kali. Dan andai semua tahu, bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam―Anis masih terkekang oleh cinta seorang pria yang paling tak ingin ia temui di dunia ini.
***
Dalam situasi tertentu, terkadang seseorang tak harus menuruti kehendaknya hanya karena satu alasan. Alasan yang walau dengan sumber referensi apa pun akan sulit dijelaskan. Meskipun pada saat itu, kesempatan hanya datang satu kali. Tak ada yang bisa menjamin kapan kita punya kesempatan yang sama.
Dia punya kesempatan itu. Galih yakin seratus persen bahwa gadis yang ia lihat tadi di café adalah Anis. Sebab ia masih ingat betul bentuk alis mata Anis yang indah teratur, bibirnya yang selalu memerah meski tak pernah dilapisi lipstik, suaranya yang lemah lembut, rambut panjang tak berponi itu masih tergerai indah di balik bahunya, dan mata sendunya, mata yang memiliki tatapan menenangkan, seolah merenggut nyawanya seketika. Menerobos masuk melalui kornea matanya hingga mampu membuat darah Galih berdesir hebat. Sedikit pun Galih tak akan pernah lupa bagaimana setiap detail fisik yang dimiliki Anis meski telah dua tahun lamanya Galih menganggap Anis sudah tak ada lagi di dunia ini (sesungguhnya Galih tak pernah benar-benar menganggap Anis telah meninggal). Ia ingin menyangkal bahwa itu tidak mungkin, bahwa itu bukanlah gadis yang hingga detik ini masih dicintainya.
Kalau dia bukan Anis, mana mungkin perempuan itu langsung salah tingkah tergugup seketika melihat Galih tak rela berkedip. Kalau dia bukan Anis, mana mungkin gadis itu berlari menghindar lantas bersembunyi di tempat yang sengaja tak bisa dijangkau oleh Galih. Menghilang begitu saja sebelum Galih tahu siapa perempuan itu sebenarnya.
"Shitt!" Galih mengumpat kesal. Memukul setir mobilnya dan tak henti-hentinya menyesali tindakannya yang begitu saja menyia-nyiakan kesempatan. Ia menarik napas. Membuat udara bebas pada rongga hidungnya lantas turun dari mobil.
Barangkali ia akan menceritakan kejadian tadi pada Sita.
Di dalam rumah, Galih menemukan Sita duduk dengan mainan berantakan di atas karpet Teddy Bear ruang tengah, ia pun mendekat.
"Galih?" sambut Sita. Galih hanya merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia sedang tidak ingin terganggu dengan mainan Andien yang menurutnya tak menarik. "Kamu sudah pulang?" Yang ditanya belum menjawab. Galih malah meraih bantal sofa dan meletakkannya ke atas dada. "Ketemu sama siapa akhirnya?" tanya Sita kembali.
"Sama Mirza, teman sekampus dulu," jawab Galih sekedar.
"Ooh, terus gimana? Kelihatanya nggak terlalu menyenangkan?"
Galih langsung melihat mata Sita. Bagaimana wanita itu bisa tahu apa yang dirasakannya saat ini. Masalahnya bukan pada pertemuanku dengan Mirza, Ta. Tapi pada gadis penjaga kasir yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya.
"Kenapa melihatku begitu?" tanya Sita setelah menyadari bahwa mata Galih seakan menghakiminya.
Galih langsung mengalihkan pandangan. Melihat sekeliling mencari Andien. "Andien mana?"
"Lagi ambil mainannya di kamar," jawab Sita sambil memanjangkan lengannya membereskan mainan Andien. Suara berisik mainan-mainan yang terbuat dari plastik itu pun memumbul.
Begitu ia memastikan bahwa Andien sedang tak ada bersama mereka, Galih bangkit terduduk kemudian memasang wajah sangat serius. "Ada sesuatu yang harus aku ceritakan."
Kening Sita pun langsung berkerut deselingi dengan senyum bercanda. "Cerita apa, sih? Sampai wajahmu seserius itu."
Sita tak terlalu memfokuskan diri pada suaminya yang sedang sangat butuh keseriusan. Ia malah tertawa lepas ketika melihat Andien keluar dari kamar, berjalan kesulitan sambil menyeret boneka Angry Bird raksasanya dengan susah payah. Boneka itu tiga kali lebih besar dibandingkan dengan tubuh Andien yang terlalu mungil. Tak peduli berapa kali ia terjatuh, Andien tetap berusaha menjaga bawaannya tidak terlepas dari tangan.
"Andien? Ya ampun, Sayang," Sita tertawa. Sedangkan Andien masih dengan susah payahnya menyeret benda raksasa itu menuju karpet kesayangannya untuk bermain dengan kedua orang tuanya "Galih! Lihat anakmu, dia seperti habis membunuh gajah dan berusaha membawanya ke tukang jagal."
Tentu saja Galih melihat tingkah lucu putrinya. Namun sayang, itu tidak berhasil membuat ia tertawa selebar Sita. Ia hanya tersenyum. Dan ia hanya butuh Sita untuk mendengarkan. Tapi sepertinya Sita sedang tidak ingin mendengarkannya.
"Bawa kemari, Andien. Kita kuliti burung raksasanya." Andien berhenti menyeret dan membiarkan Sita mengambil angry bird itu dari tangannya. Setelah meletakkan benda itu di atas karpet, Andien langsung menjatuhkan diri ke atas angry bird-nya dengan tawa khas bayi yang menggemaskan.
Sita langsung memeluk dan menggelitiki putrinya, tawa ibu dan anak itu pun meledak. Galih belum tertawa. Ia tak punya kesempatan bicara. Ia bahkan tak tahu lagi harus menceritakan apa. Melihat Sita dan putrinya yang menggemaskan itu bahagia, Galih seakan tak bisa berpikir apa-apa selain ketenangan ketika mendengar tawa mungil itu menguasai auranya. Jangan diam. Galih sangat tahu, bahwa Andienlah yang sanggup membuat keletihanya hilang.
Bagaimana mungkin ia merusak suasana bahagia seperti ini dengan cerita-cerita bodoh yang belum tentu pasti. Atau mungkin Galih tidak pernah perlu menceritakan apa pun.
Ia mengusap wajahnya, mengusap kekesalannya dan membuat semuanya menjadi indah. Ketika Andien naik ke pangkuannya, Galih dengan cepat menyergap tubuh mungil putrinya kemudian bermain. Bermain. Tertawa dan menyenangkan diri.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3