Setengah jam yang lalu, Galih berkehendak untuk mengunjungi Om Hendy, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari sepupunya, Levin. Sebenarnya itu hanya alasan saja, modus yang sebenarnya adalah ia ingin bertemu dengan Levin.
Di kamar yang masih sempit seperti dulu itu, kamar yang dulunya juga kamar Galih sewaktu ia sempat tinggal beberapa tahun di rumah tersebut, ia mendapati Levin sedang memasang sebuah poster besar Maroon 5. Galih tidak pernah tahu sejak kapan Levin menyukai band asal Inggris tersebut. Setahu yang ia ingat, Levin hanya suka dengan band beraliran rock dan juga R&B.
Levin hampir selesai memaku poster itu di dinding, kepalanya langsung menoleh ke arah tamunya begitu ia menyadari kehadiran Galih.
"Menurutmu sudah lurus belum?" tanya Levin. Kakinya masih berada di atas kursi dengan kepala mendongak ke atas.
Galih memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, menaksir garis lurus yang diciptakan pinggiran kertas poster pada permukaan dinding bercat hijau tersebut, lantas kepalanya manggut-manggut setelah berpendapat bahwa hasilnya lumayan lempang.
"Lurus, aku rasa sudah pas."
"Oke!" Levin meloncat turun dari kursinya hingga lantai berdentum. Ia memandangi sejenak posternya kemudian meneguk setengah dari air mineral di botol yang semula tergeletak di atas meja. "Kamu pasti ingin tahu alasan kenapa aku memasang poster Maroon 5?"
Galih tersenyum kecil, menyandarkan pinggangnya pada sebuah meja sambil melipatkan tangan ke dada. "Ya, aku baru tahu kalau kamu juga suka aliran musik jazz. Sejak kapan?"
Levin menggelengkan kepalanya lalu terduduk di atas kasur. "Pertanyaannya bukan sejak kapan, Gal. Tapi bagaimana bisa."
"Maksudmu?"
"Aku baru tahu, kalau menyukai hal yang baru itu ternyata juga butuh penyesuaian. Aku mulai suka musik jazz, tapi bukan berarti aku akan lupa atau meninggalkan aliran musik rock kesukaanku." Galih melipat tangannya makin kuat sementara matanya masih serius menatap Levin, "Sama halnya seperti aku menyukai Sita." Levin melirik Galih dengan ekor matanya. "Kamu tahu maksudku, 'kan?"
Galih melepaskan tangannya yang mendadak menjadi lemas, ia pun menegakkan badan. Menyadari bahwa pembicaraan ini mungkin akan menjadi sangat serius.
"Lev, jangan bilang kamu lupa sama kata-kata kamu sebelum aku bertunangan dengan Anis."
Ya, Galih tentu sangat ingat. Meskipun awalnya ia merasa, tak perlu berbicara empat mata ataupun meminta izin untuk menjadikan Anis sebagai tunangannya pada Levin. Rasanya seperti merebut kekasih orang, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Galih tahu Levin mencintai Anis dan barangkali memang tidak bisa melupakan gadis itu meskipun Anis telah menjadi milik Galih dan memilihnya sebagai laki-laki yang dicintai. Aku tidak bisa memaksa Anis untuk mencintaiku, Gal. Karena sekeras apa pun usahaku untuk mendapatkannya, hatinya tetap memilihmu. Anis sangat mencintaimu. Begitu juga denganmu, itu yang pernah dikatakan Levin pada Galih.
Malam sebelum pertunangan itu, Galih melihat mata Levin hampir berair. Ia tak pernah menduga lelaki nakal seperti Levin ternyata bisa mengeluarkan air mata ketika harus merelakan gadis yang dicintainya memilih laki-laki lain yang memiliki hubungan dekat dengannya. Cuma kamu yang bisa membahagiakannya, bukan aku. Jagalah dia sepenuh hatimu dan jangan pernah membuat Anis kecewa. Karena itu sama saja kamu mengecewakan aku. Levin memukul pundak Galih, tersenyum sedih sambil mengucapkan kalimat terakhir. Semoga kalian bahagia.
Namun hari ini, entah kenapa Galih seperti melihat kebencian di mata Levin semakin membakar.
Levin bangkit dari duduknya, membuka tirai jendela hingga cahayanya menembus kulitnya yang berkeringat. "Tentu saja aku ingat," katanya. "Hanya saja aku perlu belajar untuk mencintai Sita dan melupakan Anis. Kamu tahu? Kedua hal itu hampir membuatku tersiksa."
Galih bisa memahami hal itu. Mencintai orang yang tidak dicintai merupakan hal yang sangat sulit. Hati akan berperang sangat hebat ketika kita memaksakan kehendak yang bertentangan dengan hati. Galih tidak perlu keberatan mendengar pengakuan Levin, karena ia memaklumi betul apa yang dirasakan sepupunya itu.
"Sita nggak pernah tahu bagaimana perasaanmu selama ini ke Anis. Jangan sampai hal itu malah menyakiti perasaannya. Aku bisa melihat dari mata Sita, kalau dia juga sangat mencintaimu, Lev." Galih menarik napas. "Sita nggak seperti dulu lagi, dia sudah berubah. Aku yakin lambat laun kamu bisa meluluhkan hatimu sendiri untuk mencintainya."
Udara di dalam kamar Levin seperti dipenuhi gumpalan asap yang menyesak. Galih tidak tahu entah kenapa suasana menjadi amat sangat kaku seperti ini. Ia rindu dengan suasana keakraban dulu. Bermain dengan Levin dan tertawa terbahak-bahak saat bermain play station. Berteriak sekencang-kencangnya ketika mereka tenggelam dalam permainan gitar listrik Levin yang hebat. Atau berebut guling ketika ingin tidur di kasur ber-seprei coklat tersebut. Kamar ini menyisakan sejuta kenangan indah sejak mereka kecil hingga dewasa.
Kini, kenangan itu menjadi sangat suram sejak pertengkarannya dengan Levin lima tahun lalu. Ketika itu Levin benar-benar marah besar padanya karena telah membuat Anis membatalkan janji dan lebih memilih dinner dengannya dibandingkan dengan Levin. Walau bagaimana pun, Galih tidak bisa menyalahkan siapa-siapa karena perasaanlah yang membuat semuanya berjalan seperti ini.
Cahaya matahari tiba-tiba membentuk bayangan cerah di wajah Levin ketika ia menoleh ke arah Galih dengan tersenyum lebar. "Oh iya, sebenernya aku mau mengusulkan ini sama kamu dari kemarin," katanya.
"Apa?" tanya Galih dengan bahu terangkat.
"Sebulan lagi 'kan kamu nikah, gimana kalau kita buat pesta bujang untuk merayakan masa perjaka kamu yang terakhir?"
Kejutan? Bahkan Galih tidak pernah terpikir tentang pesta bujang. Kedengarannya cukup menyenangkan. "Apa itu penting?"
Levin mendekati Galih. "Iya, dong. Kamu harus buat acara perpisahan sama teman-teman kita. Sebelum kamu jadi suami atau ayah. Kamu tahu, 'kan? Kalau nanti kamu sudah berkeluarga, belum tentu kamu bisa kumpul-kumpul bareng teman-teman."
Galih menganggut setuju. "Ya ... kurasa ada benernya juga. Lagian rasanya sudah lama sekali kita nggak kumpul dengan yang lain."
"Kamu tenang aja, biar aku yang atur pestanya. Mungkin lusa. Aku bakal hubungin teman-teman kita, nggak perlu banyak-banyak orang. Dan kebetulan, lusa nanti mama papa aku pergi ke Bandung. Jadi kita bebas di sini."
Ekspresi seperti itulah yang dirindukan Galih dari wajah Levin. Ia begitu semangat, begitu senang dan itulah Levin yang Galih kenal selama ini.
"Oke, aku setuju," serunya. "Soal biaya, nanti kamu kasih tahu aja ke aku." Galih berjalan menuju pintu hendak keluar, tetapi urung karena teringat sesuatu. "Oh iya, menurutmu, apa aku harus mengajak Anis?"
Levin tersenyum menggelengkan kepala. "Jangan bego, Gal. Kamu tahu 'kan pesta bujang itu kayak apa? Musik yang keras, minuman beralkohol, dan kamu sendiri tahu teman-teman kita urakannya kayak gimana. Kamu mau mencemari kepolosan Anis?" Kali ini Levin tertawa lebih keras, sebelah tangannya menepuk bahu Galih. "Lagian kalau Anis tahu kamu itu cowok yang doyan party, bisa-bisa kalian batal nikah."
"Oke ... oke, Stop! Cukup, jangan menakut-nakutiku. Itu nggak akan pernah terjadi." Keyakinannya penuh. Tentang hari bahagia yang akan datang itu, Galih tidak mungkin membiarkannya berantakan.
***
Sebenarnya hari ini Anis tidak berencana memasak capcai sebagai menu makan malam untuk ayah dan adik laki-lakinya. Namun, ia tidak bisa mendengar rengekkan Galih di telepon satu jam yang lalu. Pria itu tidak hanya jatuh cinta pada Anis, tetapi juga masakannya. Dan sekarang, Anis kedatangan pacarnya satu jam lebih awal dengan alasan ingin membantunya memasak di dapur. Anis tentu dengan senang hati menerima tawaran bantuan Galih asal tidak mengacaukan dapurnya.
Anis telah memasukkan bumbu-bumbu racikan ke dalam wajan yang telah berisi sedikit minyak sayur panas. Begitu bumbu-bumbu itu berbaur di dalam sana, aromanya langsung tercium harum memikat. Galih pun sibuk meniriskan sayuran yang telah ia cuci dengan sangat bersih. Mematuhi setiap instruksi yang diperintahkan Anis padanya.
"Ternyata kamu tetap wangi ya meskipun di dapur," puji Galih yang tak bisa menjauhkan tubuhnya dari Anis.
"Dasar genit! Jangan ganggu aku, nanti rasa capcainya jadi kacau."
"Mana mungkin rasanya kacau kalau masaknya dengan penuh cinta." Galih melemparkan ciuman ke pipi Anis. Anis tertawa geli lantas mencubit pipi Galih.
"Ih, iseng banget, sih? Ambilkan mangkuk cepat!"
Galih menyambar mangkuk dari rak piring dengan cepat lalu menyerahkannya pada Anis. "Oh iya, sayang. Tadi siang di kantor aku dipanggil sama bos."
"Loh, kenapa? Kamu bikin masalah?"
"Nggak ada masalah, cuma dia bilang aku akan ditugaskan di Palangka Raya kira-kira dua bulan ke depan."
Sedikit terkejut, Anis berhenti sejenak mengaduk masakanya. "Palangka Raya? Dua bulan ke depan? Bukannya kita akan ...."
"Tenang aja sayang ... pernikahan kita nggak akan terganggu. Setelah menikah kita akan tinggal di Palangka Raya."
"Mmm... berapa lama?" Tanya Anis penasaran.
"Nggak lama, palingan cuma tiga bulan aja. Yah, tergantung proyeknya juga. Setelah itu kita akan kembali ke kota tercinta kita ini. Kamu mau, 'kan?"
Mungkin sedikit keberatan, jelas saja ia khawatir jika meninggalkan ayah dan adiknya di kota yang sangat jauh itu.
"Kok diam, Sayang?" tanya Galih. "Aku ngerti, kamu pasti khawatir 'kan sama ayah?"
Anis mengangguk. "Tapi aku istrimu, aku harus ikut sama kamu ke mana pun, 'kan?" Anis menaruh masakannya ke dalam mangkuk. "Sedih juga kalau harus meninggalkan mereka di kota sejauh itu. Tapi, ayah juga pasti akan mengerti."
"Kamu nggak usah khawatir, meskipun kamu jauh dari mereka kita masih bisa berkomunikasi dengan mereka, 'kan? Kamu bisa tanya kabar ayah setiap hari."
Kini Anis tersenyum, memegang tangan Galih dan berkata. "Hanya tiga bulan, jangan bahas itu dulu ya? Lebih baik kita makan sekarang." Galih menyeringai lebar ketika Anis menaruh masakkannya ke dalam mangkuk dengan hati-hati, sembari matanya terus mengikuti ke mana arah Anis meletakkan mangkuk berisi capcai panas ke atas meja makan.
"Nah, udah bisa makan nih," ujar Anis sambil tangannya melepaskan celemek. Namun ia terkejut, ketika Galih secara tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Galih!" tegurnya.
"Seneng banget punya istri yang baik hati seperti kamu." Suara Galih berdengung bersamaan dengan napas hangatnya yang mengembus telinga Anis.
"Calon istri, Gal. Kitakan belum―"
"Tapi kamu pasti akan menjadi istriku, 'kan?" Anis tersenyum di balik wajahnya. Jantungnya berdebar, ia tak ingin dadanya terlihat naik turun hanya karena degupan jantungnya yang selalu dag dig dug setiap kali Galih memeluknya seperti ini. "Sebulan lagi, aku nggak sabar untuk segera memilikimu seutuhnya, Sayang." Galih melingkarkan kedua tangannya semakin erat di pinggang Anis, mencium pundaknya penuh kasih sayang.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3