Jika dikatakan bahwa mimpi adalah sebuah ramalan masa depan, barangkali antisipasi bisa dilakukan sedini mungkin. Galih, seakan terjebak dalam gelombang alam mimpinya. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang dikejar, tidak bisa sampai dengan mudah, tidak bisa dicapai meski ia sudah berlari sekuat tenaga. Hingga akhirnya ia sadar, hanya udara kosong yang sedari tadi menghambur dan mengejek dirinya.
Ada dua gadis berdiri di ujung sana. Satunya berperawakan tidak terlalu tinggi, mungil dan berambut hitam legam dengan kulit kuning langsat, pancaran wajah yang ditunjukkan gadis itu, seolah dapat meluluhkan segala kekosongan hati Galih. Dia, gadis yang sangat ia cintai. Gadis yang sudah ia ikrarkan untuk menjadi pendampingnya kelak.
Anissa, betapa pun Galih berusaha menutup mata, suara merdu dan senyum hangat gadis itu selalu menjadi bonanza dalam setiap keluh kehidupan Galih.
Kemudian di sisi kiri gadis periang tersebut, berdiri seorang gadis yang menundukkan kepalanya diam. Ia punya kaki yang jenjang dan menarik, kulitnya seputih buah pir yang baru dikupas, rambut kecokelatan sepunggungnya tergerai salur terbawa angin. Saat gadis itu menoleh kebelakang, Galih bisa melihat warna mata hazelnya yang indah seolah ingin mendistraksi anggapan Galih.
Galih sendiri tidak tahu bagaimana gadis itu bisa muncul di dalam mimpinya. Jauh sebelum itu menjadi bias dalam pikiran fiktifnya, Galih tidak dapat menemukan, apa yang sebenarnya mampir dalam sekelebat bayangan dua gadis itu.
Namun, ketika suara gemuruh petir memancarkan gergasi cahaya kilat, Galih terkesiap, meninggalkan mimpi yang samar. Kembali pada dunia nyata. Saat ia melihat sisi kanan tempat tidurnya, Galih tersadar, salah satu gadis itulah yang kini ada bersamanya. Terlelap dalam tidur, bersembunyi dalam kehangatan selimut jingga, dan―Galih hampir tidak bisa menerima kenyataan. Bagaimanapun, ini semua berbanding terbalik dengan yang seharusnya.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3