“Kotak Baca benar-benar penuh dengan orang yang unik.” Dea pernah berkata demikian saat Maya datang mengunjungi Kotak Baca dan Maya setuju setelah ia menyadari bahwa ia telah memberitahu akan masa lalunya.
Di kamar yang lain, setelah meminta izin kepada orang tua Maya, gadis itu menginap di rumah Dea. Tubuhnya dipeluk erat oleh Dea di atas kasur, seolah tak akan melepaskan gadis itu dan tak akan meninggalkannya walau hanya sedetik. Rasa sakit menjalar ke tubuh Dea, bagaikan ia merasakan apa yang tengah dihadapi oleh Maya. Di umur yang masih sangat kecil, gadis yang ada di dalam pelukannya itu telah mengalami kesialan. Lalu untuk di umur yang remaja, Maya kehilangan jati dirinya sebagai seorang perempuan.
Maya telah terlelap di dalam dekapannya dengan bekas air mata yang tersisa di pipinya. Perlahan, Dea menangis dan mempererat pelukannya pada Maya. Selayaknya seorang kakak yang sedih dan kecewa dengan kehidupan yang telah dilalui gadis itu. Ia tidak kuasa. Dea tida tahan dengan kesialan itu. Namun baginya, Maya tetaplah seorang perempuan, tetap seorang gadis yang hanya sedang bingung bagaimana harus meneruskan hidupnya.
Dea adalah seorang seniman dan jiwanya ingin merubah Maya menjadi lebih baik. Dari semua rengekkan Maya, Dea telah menyimpulkan jika seni yang seutuhnya itu adalah tubuh gadis itu sendiri.
Tubuh Maya adalah karya seni. Maya bergulat dalam pertarungan sengit untuk menciptakan tubuh yang menjadi sebuah seni. Jikalau tubuhnya bergerak, maka akan tercipta seni baru di tubuhnya, dan jika tubuhnya diam, maka seni lain juga akan terlihat. Begitulah seni yang gadis itu jalani dengan tubuh penuh dosa tersebut. Namun, Maya masih tetap menjalaninya bagaikan seonggok bangkai yang mengikuti arahan dari benang di tubuhnya, Tuhan.
Maya banyak menghabiskan waktunya sebagai penulis. Ia suka membaca, ia suka menonton film, tetapi ia lebih suka untuk menulis apa saja yang ada di pikiran tak masuk logikanya itu. Ia hanyalah wanita, ia bermain dengan emosinya. Namun, ia juga tidak bisa mengerti dengan emosinya sendiri. Perasaan-perasaan yang timbul setelah sekian waktu mati membuatnya tak mengerti bagaimana cara mengendalikannya. Jika Edgar Allan Poe masih hidup, dia mungkin akan memanggil Maya dengan nama Morella.
Seni pertama yang Maya buat dengan tubuhnya berjudul Kehilangan Kesucian. Sebuah tema yang menyakitkannya hingga saat ini, tetapi memberikan dampak memacu pada hatinya. Ia pikir para wanita mengerti maksudnya. Kesucian yang amat dijaga telah menghilang dari dirinya, maka itu adalah sebuah seni yang membuat siapa pun ketakutan.
Seni keduanya berjudul Di Ujung Tanduk. Lehernya terbekas sebuah tali yang menggantung tubuh beratnya dengan cukup lama sampai akhirnya putus termakan beban. Percayalah, bekasnya masih menyisa hingga saat ini sampai terkadang membuatnya sulit untuk bernapas. Namun, itu adalah karya seni yang tercipta di tubuhnya.
Lalu seni ketiganya berjudul Kepercayaan. Tangan kanannya menjadi saksi atas hilangnya kepercayaan karena tak ada yang menggenggamnya dengan erat. Keringat menjadi bagian ketakutannya saat itu sehingga ia sadar betapa menyedihkannya tangan tanpa genggaman ini. Kasihan jika dipikir, tetapi siapa yang akan peduli?
Terakhir seni keempatnya berjudul Cinta. Rambutnya dipotong habis bak pengidap kanker stadium akhir yang tak selamat. Ia buta dan ia mati ribuan kali karena sebuah cinta. Maka rambutnya terus terpotong oleh ego yang tak bisa ditunjukkan oleh manusia. Maksudnya, perasaan.
Seperti yang dibilang, tubuh Maya adalah karya seni. Setiap bagian tubuhnya sudah memberikan kesenian yang telah dijamah oleh banyak orang. Rasa sakit, rasa marah, sedih, duka, dan kematian, ia sudah mengalaminya ribuan kali hingga akhirnya membentuk tubuhnya yang sekarang. Tubuhnya adalah karya seni dan semua orang bisa melihatnya.
“Sarapan dulu, May. Zaki udah pergi, ada kerjaan tadi.”
Maya menatap nasi goreng yang ada di hadapannya sejenak. Matanya sembab karena tangisannya tadi malam. Ia menangis dan merengek bagaikan anak kecil yang kehilangan mainannya. Bukan mainan, tapi bagian tubuhnya. Berbagai metafora tak mungkin cukup untuk menjelaskan apa yang hilang dari tubuhnya.
Malam itu sebenarnya Zaki mendengar semuanya, cerita, rengekkan, atau bahkan tangisan Maya dari teras rumah, dan Dea juga yakin itu. Kedua pasangan suami istri itu benar-benar dibuat terkejut akan fakta menyakitkan itu. Bagaikan Maya benar-benar adalah adik mereka sendiri dan merasakan kesakitan yang sama. Lalu semua pertanyaan terus muncul di kepala keduanya. Bagaimana Maya bisa bersikap normal jika ia memiliki trauma yang berat terhadap laki-laki? Tidak ada yang bisa menjawabnya.
“Maaf udah merepotkan kakak,”ujar Maya pelan. Ia masih belum menyentuh sendok yang ada di piring. Tatapannya masih kosong dan penuh akan tekanan yang selama ini sudah ia tahan. Padahal biasanya ia tidak apa-apa, tetapi untuk kali ini ia benar-benar merasa hilang tujuan, hilang jati diri dan tidak tahu harus mencari dirinya kemana.
“Enggak merepotkan sama sekali. Justru aku berterima kasih karena kamu udah mau terbuka sama aku. Hidup yang kamu lalui emang berat dan aku harap kamu gak berhenti begitu aja, May. Cari diri kamu, cari apa yang kamu sukai dan fokus di sana. Kamu akan menemukan kebahagiaan yang seharusnya.”
Maya terdiam cukup lama hingga akhirnya menatap Dea dengan penuh harap. “Aku cuman suka nulis. Apa aja yang penting aku nulis semua yang kurasakan.”
Dea tersenyum tipis dan mengelus pelan kepala gadis itu. “Itu udah lebih dari cukup.” Diam lagi di antara keduanya. Sebuah ide terlintas di kepala Dea, meskipun ragu, ia ingin mendorong Maya lebih jauh lagi. Wanita itu ingin mengeluarkan potensi yang ada di dalam diri Maya, karena ia tidak ingin gadis itu tenggelam dalam masa lalu dan harus menghadapi masa depan yang ada. “Kamu mau bacain monolog di acara Perempuan Dalam Karya?”
Maya benar-benar dibuat tak bisa berkata-kata oleh ide tak masuk logika itu. Ia bukan gadis yang percaya diri untuk berbicara di depan umum, jangankan umum, di depan kelas yang sudah ia kenali saja masih terasa gugup. “Hah?”
“Iya, tampil. Tunjukkin ke semua orang kalau kamu bukan lagi gadis yang terikat di masa lalu. Jika kamu penulis, maka kamu juga perlu menyampaikannya secara langsung. Maya, tulis semua kesakitan kamu, lalu lepaskan semuanya di acara kita. Semuanya akan jadi terasa lega. Semuanya akan baik-baik saja.”
Maya mati kutu, tatapan kosongnya telah berubah setelah mendnegarkan pernyataan tersebut. Dalam kepalanya terus terpikirkan apa mungkin ia bisa melakukannya atau tidak. Ia hanya terbuai kembali oleh kata-kata dari Dea. Meskipun semuanya terasa abu-abu saat ini, tetapi sedikit saja, ada sedikit rasa dari dalam Maya untuk mau melakukannya. Hanya saja ia tidak tahu apakah semua akan berjalan lancer seperti yang dirinya harapkan. Semuanya bagaikan omong kosong belaka.
Gadis itu tetap terdiam, tidak tahu harus memberikan jawaban apa kepada Dea, hingga akhirnya ia meraih gelas dan meminum air putihnya. “Bakal kupikirin dulu, Kak.” Hanya itu jawaban yang dapat ia berikan. Setidaknya ia tidak ingin terburu-buru karena ia masih belum selesai dengan masa lalunya dan dirinya sendiri masih belum siap menghadapi masa depan dengan segala kekurangan dari dirinya.