Pukul sepuluh pagi, jalanan yang padat, dan udara yang tak sejuk, meskipun demikian, Maya mengendarai motor putih kesayangannya itu menuju garasi, Kotak Baca. Tempat sederhana yang tidak ia kunjungi beberapa hari belakangan ini, karena Dea tak mengontaknya. Namun, malam tadi, ia mendapat pesan jika Dea ingin bertemu dengannya dan tim Kotak Baca yang lain, lebih tepatnya yang belum pernah ditemui oleh Maya.
Ada banyak kendaraan yang terparkir di halaman rumah pemilik garasi, bukan milik Dea, karena mereka hanya menyewa garasinya saja. Yang pasti kali ini pintu garasinya terbuka sangat lebar, meskipun hanya di sisi kiri karena di sisi kanan sulit untuk dibuka. Papan besi bergambarkan bunga matahari kini menghiasi pintu garasi. Suara-suara tawa kini mengisi telinga Maya, hingga saat ia berada di pintu masuk, semua tatapan mata tertuju padanya. Bagaikan orang aneh.
“Maya! Masuk sini! Kita baru mau mulai.” Dea melambai di ujung sana dengan Zaki yang duduk di sebelahnya. Dea menandai kursi kosong yang ada di sebelah kanannya.
Dengan tatapan yang masih tertuju padanya, Maya berakhir duduk di sebelah Dea dengan pandangan yang tertuju, ia masih belum bisa untuk menatap orang-orang yang ada di garasi itu satu persatu. Namun, dengan perlahan ia menegakkan kepalanya, menatap satu persatu orang yang ada di garasi itu, enam orang termasuk Dea dan Zaki. Hanya Aji yang terkesan familiar di matanya, sisanya hanyalah orang asing yang bahkan belum pernah ia temui dalam acara apa pun.
“Ini Maya, mulai sekarang dia juga bakal bantu-bantu kita di Kotak Baca.”
Malam itu, Maya mengambil keputusan sesaat, tetapi terasa sangat ingin ia ambil. Menjadi bagian dari Kotak Baca, benar-benar seperti yang ia ingin lakukan. Bergerak di bidang literasi setelah menulis sekian lama. Menjadi salah atu penggerak, bukan hal yang buruk di dalam kepalanya itu.
Dea mulai berbicara, membuka pertemuan pertamanya dengan tim Kotak Baca yang ada. Meskipun berbicara, Maya sesekali melirik ke arah wanita itu, terlihat jelas di wajahnya jika ia cukup kelelahan. Ada gadis bernama Yasmin, ada yang bernama Khansa, selain Aji ada juga pemuda bernama Dimas. Secara singkat, Maya menghapal satu persatu wajah serta nama mereka sembari mendengarkan penjelasan dari Dea alasan mereka dikumpulkan. Salah satunya adalah tugasnya sebagai manajemen kegiatan.
Menjadi bagian dari OSIS, merupakan salah satunya pengalaman yang dimiliki oleh Maya. Ia tidak pernah terjun langsung ke dalam anggota komunitas, apalagi mengerjakan sesuatu seperti manajemen kegiatan. Entah apa yang ada di pikiran Dea, Maya sendiri tidak mengerti bagaimana wanita itu bisa memposisikan Maya pada bagian yang cukup sulit, tetapi entah mengapa terasa mendebarkan.
“Oh iya, Maya boleh kenalan juga.”
Maya menegakkan kepalanya, menatap sosok Dea yang tiba-tiba memintanya untuk memperkenalkan diri. Gadis itu secara cepat menatap ke arah orang-orang yang ada di sana, memperhatikan mereka satu per satu.
“Aku Maya Amelia. Masih SMK kelas tiga, jurusan multimedia.” Ia terdiam, kepalanya sibuk memikirkan hal yang harus ia sebutkan lagi, tetapi hasilnya nihil.
“Maya ini jago nulis. Dia udah punya dua karya yang diterbitkan, pokoknya jago dan gaya bahasanya juga unik. Ada bukunya di sini kalau gak salah, cuman nama penanya aja yang ikutan unik,” ungkap Dea dengan sedikit tawa mengiringinya.
Maya menghela napas lega, setidaknya perkenalan yang ia lakukan tidak terasa aneh maupun canggung.
Diskusi antar tim Kotak Baca berlanjut begitu saja, dengan pembahasan terkait program yang hendak mereka lakukan hingga persiapan lanjutan terhadap kegiatan mereka. Program terdekat bernama Isyarat Perempuan dengan kegiatan bernama Perempuan Dalam Karya. Satu per satu anggota tim yang ada mulai berpergian menuju tempat kegiatan mereka selanjutnya, hingga hanya tersisa Maya dengan pasangan suami istri itu. Lalu entah mengapa, Maya menghela napas panjang, seolah ia merasa tenang setelah semua orang yang masih asing itu telah pergi.
“Kamu gak terlalu suka ketemu orang baru, ya?”
Maya terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Zaki. Dea juga menatapnya penuh rasa ingin tahu. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana harus memberitahu akan kehidupannya yang begitu penuh akan kesialan.
Maya menegak salivanya sejenak, keringat dingin perlahan mulai membasahi wajahnya, bagaikan gugup hendak menjawab apa. “Bukannya gak suka, tapi kurang nyaman aja. Soalnya, aku belum tau background mereka apa, siapa dan bagaimana kehidupan mereka. Sifat-sifat yang sulit diterka. Rasanya gak nyaman kalau aku belum tau bagaimana orang yang baru kukenal akan bereaksi dengan apa yang aku ucapkan. Seolah aku harus nyari kepribadian yang lain untuk beradaptasi.”
Bahasa yang sulit itu keluar dari mulut Maya, bagaikan kehidupan penuh sial yang telah membawanya sampai sejauh itu. Bahkan ia sendiri tidak mengerti bagaimana mulutnya bisa berkata demikian selayaknya auto-pilot yang bekerja begitu saja.
“Kenapa kamu harus sampai tau reaksi orang lain? Maksudku kenapa kamu gak jadi diri kamu apa adanya aja?”
Pertanyaan dari Dea kembali membuatnya terdiam. Seolah ia harus mengungkit kembali memori buruk yang tenggelam di kepalanya. Perlahan, kemudian semakin cepat, napas Maya kembali tak terkendali. Mimpi buruk, bukan kejadian buruk itu kembali terputar di kepalanya. Keringat dingin yang awalnya pelan kini mengucur deras dari pori-pori tubuhnya. Reaksi orang lain adalah reaksi dari tubuhnya.
Kenapa ia harus tahu reaksi orang lain? Kenapa sampai harus seperti itu? Karena Maya tidak pernah mendapatkan haknya sebagai perempuan dari apa yang telah ia ucapkan. Tidak ada reaksi yang ia inginkan terjadi setelah menguak masa kelamnya kepada orang tuanya. Kehidupannya adalah sumber kesialan dan Maya tidak ingin jika masa depannya menjadi suram. Namun, setelah menjadi wanita yang rusak, apa ia masih pantas mendapatkan hak sebagai perempuan seutuhnya?
“Maya!”
* * *
Maya terbangun di sebuah rumah yang asing di matanya. Rumah berwarna ptih dengan interior sederhana tetapi cukup nyaman untuk dilihat. Rak-rak yang dipenuhi buku mengisi sudut rumah yang tak terlalu kosong. Suara kipas angin perlahan membuatnya sadar jika ia tidak berada di Kotak Baca maupun rumahnya sendiri.
Maya perlahan duduk dan bersender pada dinding. Dari tempatnya terlelap ia bisa melihat Dea yang sedang memasak di dapur dan Zaki yang tengah membaca buku di sofa merah. Ia memperhatikan tubuhnya yang diselimuti kain tidak terlalu tebal, dan handuk kecil yang masih sedikit lembab karena keringatnya.
“Kamu gak apa-apa?”
Maya menoleh, Dea telah berjalan ke arahnya dan duduk di sebelahnya sembari mengelap keringatnya yang masih bercucuran. Wajahnya penuh akan kekhawatiran, bagaikan seorang kakak.
“Kamu tiba-tiba pingsan, kami bingung kalau bawa kamu ke rumah sakit, kami gak tau nomor orang tua kamu. Jadi kami bawa ke rumah. Maaf tadi aku ngecek tas kamu da nada banyak obat. Kamu udah harus minum obat atau gimana?”
Gadis itu tak bisa menjawab dengan cepat. Tenggorokkannya kering belum diberi air putih, tetapi ia hanya menggeleng untuk menjawab Dea. Ia mulai dipenuhi kebingungan kembali. Bingung akan apa yng harus ia jelaskan pada Dea, padahal sebelumnya ia tidak oernah merasa panik sampai kehilangan kesadaran. Lalu entah mengapa semuanya terasa sangat buruk atau lebih tepatnya menjadi lebih parah. Tanpa pemantik, Maya tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Awalnya ketika ia bangun, tubuhnya terasa sangat lemas bagaikan tak makan selama berhari-hari. Selanjutnya ia seperti orang yang memiliki darah rendah dan gampang jatuh. Yang terakhir adalah mood atau perasaannya yang menjadi tidak teratur dan gampang berubah-ubah. Rasa panik, rasa takut, perasaan mudah marah atau kesal, dan sedih. Semuanya terlihat hanya dalam satu waktu.
“Maya.” Dea kembali memanggil namanya, seolah ingin mendapatkan perhatian dan jawaban dari sosok yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu. “Di rumah lagi ada sesuatu ya? Atau sekolah?”
Maya mencengkram erat selimut yang membungkus tubuhnya itu. “Enggak.”
“Kamu gak apa-apa kalau ada Zaki di sini? Kalau kamu mau cerita, kakak bakal dengerin. Kalau kamu ngerasa gak nyaman kalau ada Zaki, aku bisa minta zaki buat keluar sebentar. Kakak khawatir sama kamu, May, karena aku juga perempuan dan kamu udah kayak adik aku sendiri. Aku ingin menjaga kamu sebagaimana seorang kakak seharusnya.”
Tidak ada yang pernah berkata seperti itu kepadanya. Lalu perlahan air matanya menetes. Dea menginstruksikan Zaki untuk keluar dari rumah sejenak. Dea memeluk gadis rapuh itu ke dalam dekapannya, sangat erat bagaikan takut akan kehilangan gadis itu jika melepaskannya walau sedikit saja.
“Aku udah bukan perempuan lagi, Kak.”
“Kamu perempuan, Maya. Kamu masih perempuan.”
Maya menggeleng dengan kuat. Kini ia memeluk Dea dan mencengkram baju wanita itu dengan sangat erat. “Aku udah gak punya kesucian sebagai perempuan. Semuanya udah direnggut. Abangku, bajingan binatang itu. Aku udah gak punya kesucian lagi. Setiap hari rasanya kayak mimpi buruk. Harus satu atap, satu tempat menghirup oksigen. Bahkan memiliki darah daging yang sama kayak dia itu menjijikkan. Tubuhku itu menjijikkan dan sarang dosa karena dia. Kak, aku gak bisa jadi perempuan yang seutuhnya lagi. Aku cuman bangkai yang masih terus hidup dalm dunia yang penuh dosa.”
Kalimat itu adalah rengekkan. Rengekkan yang tak pernah Maya ucapkan kepada siapa pun, termasuk orang tuanya. Karena dua insan yang melahirkannya itu hanya ingin ia memaafkan sebangkai dosa yang telah merenggut keperawanannya sebagai perempuan yang seutuhnya.