“Bukannya kemarin kami udah bilang, Bang, buat hiatus aja dulu beberapa waktu sampai semua ini membaik?” ucap Tio penuh penekanan. Sayang, lawan bicaranya justru dengan santai lanjut menghidu arometerapi dan menyilangkan kaki di atas meja. Drummer sekaligus leader dari The Lost Seventeen itu sontak menunduk dan menutup hidung.
Oh, God, batinnya.
“Sekarang situasinya tuh masih chaos banget, Bang Dewa. Lo lihat aja sendiri, hastag #JusticeforRyan masih sering trending di X. Apa nggak makin kacau masalahnya kalau bukannya nge-clear-in rumor ini sampai tuntas, kita malah announce vokalis baru?”
Dewa lekas menurunkan kakinya lalu mendengkus. Dari perubahan raut mukanya saja, Tio bisa menebak kalau sang talent manager itu sudah bosan sekali dengan penolakannya. Namun, mau bagaimana lagi? Dia—dan mungkin anggota lain juga—belum sanggup muncul kembali ke hadapan publik.
“Lo mau klarifikasi kayak gimana lagi, sih, Yo? Konferensi pers kemarin masih kurang? Kan kita udah rilis pernyataan kalau rumor bullying itu nggak benar dan kematian Ryan ini di luar kendali band maupun agensi. Justru kalau lo dan anak-anak terus berlarut-larut sama masalah ini, spekulasi-spekulasi baru bisa aja bermunculan lagi. Fans lo bisa hilang, hype musik lo juga bisa turun. Lo mau?”
Tio langsung menggeleng. Tentu dia tidak ingin hal itu terjadi. The Lost Seventeen adalah band remaja naungan LOCO Entertainment dengan spesialisasi genre pop rock, yang sudah susah payah dia dan personil lain bangun. Tidak gampang bersaing dengan band senior yang sudah lebih dulu menguasai industri, apalagi menciptakan branding ‘kekinian’ hingga menjadi band kesayangan Gen Z—tak sedikit juga dari Gen Alpha—berkat konsistensi lirik lagu mereka yang dinilai related dengan anak zaman now.
Butuh waktu hingga tiga tahun untuk berdiri di posisi yang tengah goyah ini. Tak hanya energi, mereka juga banyak kehilangan materi. Jadi, dia—dan siapa pun itu—tidak boleh berakhir begitu saja secepat ini.
Masalahnya, apakah kembali dengan formasi baru adalah hal terbaik yang bisa mereka pilih?
Tepat tiga puluh hari lalu, The Lost Seventeen kehilangan vokalis sekaligus pentolan grup yang ‘katakanlah’ paling menyumbang ketenaran mereka, dengan cara yang tak terduga pula. Para Youth—nama fans The Lost Seventeen—bahkan masih berduka dan seluruh akun official media sosial—baik milik band maupun member—belum lepas dari sesi ‘mengenang sang legenda’. Mau ke mana pun anggota pergi, pertanyaan reporter yang mewawancarai mereka juga tak pernah absen dari nama Ryan dan kelanjutan eksistensi band.
Meski agensi benar-benar sudah membantah tuduhan dan mengancam akan memidanakan siapa saja yang membuat atau menyebar hoax tentang kematian Ryan, direct message (DM) personil The Lost Seventeen masih banjir cacian, tak terkecuali Tio. Dia bahkan menonaktifkan Instagram-nya untuk mengistirahatkan diri dan bolos sekolah, tak peduli dengan hectic-nya kelas dua belas di tahun terakhir SMA-nya sekarang.
Sudah tahu begini, mengapa agensi masih saja egois? Bukankah mereka yang masih bertahan ini lebih penting?
“Kalau gitu, biarkan kami berempat aja yang comeback gimana, Bang?” tawar Tio. Meski sama-sama gila, setidaknya opsi ini tidak membuat mereka harus berurusan dengan ‘pengganti’ Ryan.
“Terus mau siapa yang nyanyi? Lo? Bagas? Malik? Atau Awan? Emang bisa?”
Skakmat. Tio langsung terdiam. Di antara mereka yang tersisa memang tidak ada yang ‘bisa’ bernyanyi, setidaknya tidak setinggi dan seluas range suara Ryan. Terhitung cuma Awan yang pernah mengisi lagu-lagu mereka, itu pun hanya sebagai backing vocal. Masalahnya, beberapa single The Lost Seventeen memerlukan kemampuan teknik falsetto atau head voice untuk nada-nada tinggi dramatis. Menggantikan Ryan sama saja bunuh diri dalam kasus ini.
“Iya, sih, Bang. Tapi, kan—”
“Apa lagi, Yo? Sebenarnya apa yang lo dan anak-anak takutin, hah?” Dewa mengacak rambutnya gusar. “Lo takut skill vokalis baru kalian ini nggak sesuai sama image dan karakter vokal lagu-lagu The Lost Seventeen? Nggak usah khawatir. Bukannya lo udah pernah lihat dia pas masih perform di Indonesian Idol dulu? Dia nggak mungkin jadi runner up tanpa alasan.”
“Iya, Bang, gue tau. Cuma, kan—”
“Astaga!”
Tio tersentak saat Dewa tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja. Dia juga refleks mencengkeram celana ketika lelaki berusia tiga puluhan itu berkacak pinggang dan mondar-mandir tepat di sampingnya. Tak ayal keringan dingin pun memenuhi pelipis hingga tengkuk Tio. Bahkan kedua kakinya mulai melemas dan gemetaran.
“Lo tau nama The Lost Seventeen sekarang lagi naik-naiknya dan nggak dikit kontrak kerja sama yang nggak bisa kita nego sama sekali. Mau nggak mau semuanya harus tetep jalan, nggak peduli situasi kalian sekarang kayak gimana. Kita nggak bisa mungkir kalau banyak brand dan instansi yang sebodo amat itu, Yo. Lo dan anak-anak mesti move on, atau kita bisa kena penalti. Inget, nggak cuma The Lost Seventeen yang bisa kena masalah, tapi LOCO Entertainment juga. Sebagai leader, lo mau nanggung?
“Lagi pula, setelah Indonesian Idol kelar minggu kemarin, nama Bas juga nggak kalah naik. Banyak yang lagi nungguin debut single-nya dan alih-alih mutusin anak itu solo, gue ngemis-ngemis ke tim biar dia bisa masuk The Lost Seventeen. Kenapa? Ya biar hype band kalian ini bisa diselamatkan.
“Kalian tanpa Ryan bisa apa, sih, Yo? Makanya gue boyong, tuh, si Bas, yang notabene udah punya fanbase gede. Barangkali juga, kan, dia bisa bikin Youth segera ‘lupa’ sama Ryan. Siapa tau. Think smart gitu lho, Yo! Jangan mikir yang cuma nguntungin satu pihak, tapi harus semuanya.”
Lagi-lagi Tio hanya bisa bergeming. Dia merasa terkepung dengan penjelasan panjang lebar tersebut—yang kedengarannya lebih seperti penyerangan fakta menyakitkan. Di satu sisi dia tidak ingin mengiakan, tetapi di sisi lain tidak bisa menerima. Dia benar-benar belum siap. Meski rasanya tidak ada yang salah dengan calon vokalis baru itu, dia merasa akan ada kejadian yang tak menyenangkan kalau keputusan ini diambil dalam waktu dekat.
Bagaimana jika bullying itu nanti justru terjadi pada kami? batin Tio berkecamuk.
“Gue dan agensi bukannya mau ‘peras’ kalian, tapi waktu sebulan ini udah cukup untuk meredakan huru-hara yang ada. Gue harap lo ngerti.” Dewa kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Iya, Bang. Gue nolak kayak gini bukan berarti gue nggak ngerti sama sekali, kok. Tapi emang sedikit pun lo nggak peduli sama ‘mental’ kami? Mau gimana pun Ryan itu temen kami.” Akhirnya Tio menjawab lirih. Sangat lirih, sebab takut akan menimbulkan ledakan lagi. Meski begitu, tampaknya Dewa masih bisa mendengar.
Lelaki yang kini duduk kembali di kursinya lantas mendengkus dan memutar bola matanya malas. “Oke, gini aja, kita bikin uji coba selama enam bulan. Kalau lo dan anak-anak lain nyatanya nggak nyaman sama Bas, atau terjadi apa-apa sama The Lost Seventeen setelah adanya vokalis baru ini, kontrak dia bakal dibatalkan. Gimana?”
Tio menelan ludah. “Emang Bas setuju?”
Walau terdengar menggiurkan, mau bagaimanapun ini bisa jadi merugikan pihak ‘sebelah’, sehingga agak ganjal dan too good to be true untuk direalisasikan. Tio tidak mau sembrono, meski itu tentang orang lain.
“Urusan gampang. Yang jelas lo dan anak-anak lain tinggal terima jadi kalau deal. Atau lo mau ketemu dan ngobrol sendiri sama orangnya? Tuh, kebetulan dia udah nungguin di luar dari tadi.”
Mendengar itu, Tio tampak menimbang-nimbang. “Bo-boleh, deh,” jawabnya kemudian, sedikit ragu.
“Oke.”
Seketika degup jantung Tio makin tak karuan saat Dewa manggut-manggut dan beranjak. Dia lantas menoleh ke belakang, menunggu sosok yang sejak tadi dibahas muncul di balik pintu yang tengah dibuka. Tio spontan menghela napas lalu mengepalkan tangan ketika anak seusianya yang bernama ‘Sebastian’ itu masuk dan tersenyum tipis.
Oke, mari kita selesaikan—lalu kita mulai—dari sini.