Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Hari itu datang tanpa peringatan, seperti badai yang tiba-tiba menggulung segala harapan yang selama ini tertanam di dada Lara. Ruang tengah rumah Citra dipenuhi tawa dan canda. Sera, Zea, Kesya, dan Citra duduk melingkar mengelilingi Lara, kamera sudah merekam persiapan mereka. Rencana mereka sederhana yaitu merekam reaksi pengumuman UTBK, lalu mengunggahnya ke media sosial kalau ada yang lolos.

Mereka semua penuh semangat. Suara riuh rendah yang mengisi ruangan itu terasa seperti ledakan kebahagiaan kecil yang tak kunjung henti. Namun, Lara sendiri hanyalah sosok yang diam. Tangannya dingin, napasnya terasa berat, dan perutnya bergolak tak menentu. Di tengah tawa itu, dia merasa seperti sosok asing yang tak benar-benar hadir.

Di kepalanya, satu pikiran menggelayuti tanpa henti. Aku hanya menumpang di keriangan ini. Seperti menonton film dari jauh. Aku bukan pemeran utama, hanya figuran yang kebetulan lewat.

Sera menoleh, tersenyum lebar. “Ayo, Lara! Senyum dong, ini momen kita!”

Lara mengangguk pelan, mencoba menempelkan senyum kecil di bibirnya. Tapi senyum itu terasa berat, seperti dipaksakan.

“Siap ya! Satu... dua... tiga!” seru Zea, jari-jarinya siap menekan tombol enter.

Semua menahan napas. Lara menatap layar yang mulai menampilkan barisan angka dan huruf. Jantungnya berdetak kencang.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga.

Empat.

Lalu, kalimat yang sangat sederhana itu muncul:

“Maaf, Anda belum lolos seleksi UTBK…”

Tidak ada warna. Tidak ada perasaan. Hanya huruf-huruf datar di layar yang terasa seperti pukulan keras di dada.

Ruang itu hening sesaat, tapi di kepala Lara, semuanya berputar liar. Suara teman-temannya mendadak jadi jauh, seperti dari dalam mimpi buruk. Tubuhnya gemetar, kepalanya berdengung.

Sera berbisik pelan, “Lara, kamu gak papa?”

Lara menggeleng kecil. Ia coba tersenyum, tapi bibirnya sudah bergetar. Air mata jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan.

*****

Beberapa jam kemudian, Lara sudah kembali di rumah. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya erat-erat. Bajunya yang sama masih menempel di tubuhnya, terasa berat seperti beban yang tak terlihat. Matanya merah dan bengkak. Detik jam di dinding terdengar terlalu nyaring, seolah setiap dentang menjadi teriakan dalam keheningan.

Ibunya duduk di sebelahnya, meraih punggung Lara dan mengusap perlahan. Ayahnya berdiri agak jauh, menatap dengan pandangan ragu-ragu. Dia ingin bicara, tapi kata-kata seakan tercekik di kerongkongan.

“Aku gagal, Bu…” suara Lara serak, penuh keputusasaan. “Aku gagal... aku bener-bener gagal. Padahal aku belajar siang malam. Aku berharap banget… aku ingin membanggakan kalian.”

Ayahnya menarik napas panjang, suaranya pelan dan bergetar, “Gak semua yang kita inginkan bisa terjadi, Lara. Kamu udah berusaha begitu keras, kami tahu usaha kamu, mungkin ini memang belum menjadi milik kamu.”

Kata-kata itu memicu ledakan di dada Lara yang sudah sesak.

“Katanya, usaha gak akan mengkhianati hasil!” tangisnya meledak, “Tapi kenapa aku yang selalu dikhianati? Aku berjuang mati-matian, Ayah... tapi aku tetap gagal! Aku capek... aku capek banget…”

Ibunya mencoba meraih tangan Lara, namun ditolak kasar oleh Lara yang sudah terluka.

“Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Lara—"

"Kenapa? Karena aku cuma pengganti? Aku bukan anak kalian! Aku cuma anak dari surat adopsi itu, kan?!"

Kalimat itu meluncur dari bibir Lara seperti anak panah yang tak bisa ditarik kembali. Tajam. Penuh luka. Satu ruangan terdiam. Suara kipas angin di sudut ruangan mendadak terdengar terlalu nyaring. Hening yang menggigit menguasai rumah, seolah semua udara tersedot keluar bersama kalimat terakhir Lara.

Ayahnya menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah maju perlahan, seakan setiap langkahnya menyadari bahwa dinding yang ia bangun bertahun-tahun ini tengah runtuh. Wajahnya penuh luka yang tertahan. Suaranya pelan, nyaris serak, seperti menahan tangis yang sudah lama tidak diberi ruang.

"Benar, Lara... Kamu anak adopsi. Kami mengadopsimu waktu kamu berusia tiga tahun."

Lara menatap lurus ke depan. Matanya tak berkedip. Wajahnya kaku seperti patung, namun di dalam tubuhnya, dunia runtuh dalam diam.

"Kami kehilangan anak yang juga bernama Lara. Dia meninggal saat berusia satu tshun, karena infeksi paru. Kami... kami hancur, Lara. Rumah ini jadi terlalu sunyi, terlalu sepi..."

Ayahnya menunduk. Tangan kanannya meremas lengan kirinya.

"Beberapa bulan kemudian, panti asuhan itu memberitahu kami... ada bayi perempuan yang juga bernama Lara. Kami pikir itu tanda dari Tuhan. Kami membawamu pulang. Awalnya, ya, kami... kami mengira kamu bisa mengisi kekosongan itu. Tapi... kamu bukan pengganti. Kamu adalah kamu. Anak kami."

Lara mulai terisak. Bahunya berguncang. Ia berusaha bicara, namun suara yang keluar hanya serpihan dari emosi yang berantakan.

"Jadi aku cuma bayangan? Anak yang harusnya mengisi kekosongan kalian? Aku hanya... hanya pengganti anak yang bahkan tak pernah kukenal?"

Ibunya yang sejak tadi membisu, akhirnya membuka suara. Suaranya serak, nyaris patah.

"Awalnya, iya. Ibu bahkan nggak berani menggendongmu. Setiap tangisanmu mengingatkan Ibh pada anak yang sudah tiada. Tapi hari-hari berjalan. Kamu mulai tumbuh. Kamu tertawa, kamu bicara, kamu menangis... dan aku jatuh cinta lagi. Bukan karena kamu menyerupai yang dulu, tapi karena kamu berbeda. Karena kamu Lara yang baru. Lara yang kami cintai dengan segenap hati."

Lara menggeleng perlahan, air matanya tak tertahan.

"Kenapa kalian nggak pernah cerita? Selama ini aku percaya aku punya tempat di rumah ini. Tapi ternyata... tempat itu dibangun di atas rahasia... di atas kebohongan."

"Kami takut kamu pergi. Kami takut kehilangan kamu."

Luna, yang selama ini menjadi pusat perhatian keluarga, duduk terpaku. Ia tak berani bicara. Wajahnya pucat, dan untuk pertama kalinya, ia tak menjadi bintang di ruangan itu. Ia hanya diam, menyimak kehancuran yang begitu dekat, yang selama ini ia tak tahu sedang terjadi di dalam dada Lara.

Lara duduk memeluk lututnya di lantai ruang tamu. Matanya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan seluruh arah hidupnya. Suaranya keluar pelan, seperti napas terakhir dari harapan yang mati.

"Aku ini siapa? Kalau aku bukan anak kandung, gagal di sekolah, dan nggak punya masa depan... aku ini apa, Bu? Apa, Yah?"

Tak ada yang menjawab. Karena memang tak ada jawaban yang bisa menyembuhkan luka sedalam itu. Hanya diam yang bisa menemani saat kata-kata tak cukup.

*****

Waktu berjalan lambat setelah hari itu. Suara tawa yang dulu menghiasi rumah itu seakan tak lagi kembali. Lara menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, tak lagi membuka buku, tak lagi menyentuh ponsel. Dunia luar terasa terlalu bising. Dunia dalam terlalu hampa.

Pagi datang tanpa makna. Malam tiba tanpa pengantar. Hari-hari berlalu seperti salinan yang tak pernah berubah.

Teman-temannya mengirim pesan, menanyakan kabar, mengajak keluar. Tapi semuanya hanya dibaca, tak dibalas. Baginya, semua hal yang dulu penting kini hanya potongan cerita lama yang tak lagi layak dibaca ulang.

Suatu sore, langit menggantung rendah. Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintik kecil yang menyelinap di antara jendela kamarnya. Lara duduk di sudut kamar, lutut ditarik ke dada, matanya menatap ke luar.

Tetesan hujan menari di kaca, membentuk alur-alur aneh yang tak bisa ditebak arahnya. Seperti pikirannya. Seperti hidupnya.

"Kenapa aku harus seperti ini?" bisiknya pada diri sendiri. Suaranya tipis, nyaris tak terdengar.

"Kenapa semuanya terasa sia-sia?"

Tangannya meraih sebuah buku catatan yang tergeletak di rak. Di sela-selanya, ada sebuah surat kecil yang sudah lusuh. Tinta di atas kertas itu mulai pudar. Surat dari panti asuhan. Tertulis tentang ibu kandung yang meninggal karena komplikasi persalinan. Tentang seorang pria yang pernah datang, mencoba mencari anaknya, tapi tak pernah kembali lagi.

Lara membaca pelan, setiap kata seperti menancap di dadanya.

Ia menutup mata, membiarkan air matanya jatuh perlahan.

Apakah aku pernah dicari? Pernah diinginkan? Atau aku hanya kebetulan saja ditemukan?

Telepon di kamar tiba-tiba berdering. Suara nyaring itu mengejutkan Lara. Ia menatapnya beberapa detik, ragu. Lalu, perlahan, ia angkat.

Suara ibunya mengalir pelan, hati-hati.

"Lara... kamu baik-baik aja? Kami di luar. Kami... selalu di sini, kalau kamu mau bicara."

Hening. Suara hujan masih mengetuk jendela.

Tiba-tiba, tangis itu pecah. Lara menutup mulutnya dengan tangan, tapi suara isaknya tetap terdengar.

"Aku... aku bingung, Bu. Aku ngerasa hancur. Aku nggak tahu arah. Aku nggak tahu siapa aku... semuanya kayak kabur... kayak mimpi buruk yang nggak bisa aku bangun dari dalamnya."

"Kami nggak akan ninggalin kamu, Nak. Nggak sekarang. Nggak nanti."

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lara membuka pintu kamarnya. Ibunya berdiri di ambang, ayahnya tak jauh di belakang. Mereka duduk bersama di lantai. Tak ada nasihat. Tak ada janji-janji semu. Hanya genggaman tangan dan diam yang penuh pengertian.

Tangisan Lara pecah di pelukan ibunya. Ayahnya mengelus punggungnya pelan, seperti sedang menenangkan badai.

"Maafin kami, Lara... Maafin karena nggak pernah jujur. Kami pikir itu cara terbaik. Tapi ternyata kami salah. Kamu berhak tahu sejak awal."

Lara hanya mengangguk dalam isakan. Rasa sakit itu belum hilang. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian.

*****

Beberapa hari kemudian, Lara mulai pelan-pelan keluar kamar. Ia duduk di ruang makan, menonton televisi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia ikut sarapan bersama, walau hanya beberapa suap.

Luna yang biasanya cerewet kini lebih diam. Tapi pagi itu, ia menyodorkan secangkir teh ke hadapan Lara.

"Ini teh favorit lo, kan? Yang rasa melati."

Lara menatap cangkir itu sejenak, lalu menerima dengan anggukan pelan.

"Makasih," ucapnya pelan.

Luna menggigit bibir, lalu duduk di sebelahnya.

"Gue... nggak ngerti rasanya jadi lo. Tapi... kalau lo butuh temen buat diem bareng, gue bisa. Karena gimana pun, lo itu Kakak gue yang, gue kenal."

Senyum tipis muncul di bibir Lara, untuk pertama kalinya sejak semua runtuh. Ia merasa sesuatu bisa menjadi pegangannya saat dunia berhenti berpihak padanya.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
Happy Death Day
557      306     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Di Bawah Langit Bumi
2155      835     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Lost & Found Club
354      295     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
A Tale of a Girl and Three Monkeys
171      99     5     
Humor
Tiga kakak laki-laki. Satu dapur. Nol ketenangan. Agni adalah remaja mandiri penuh semangat, tapi hidupnya tak pernah tenang karena tiga makhluk paling menguji kesabaran yang ia panggil kakak: Si Anak Emas----pusat gravitasi rumah yang menyedot semua perhatian Mama, Si Anak Babi----rakus, tak tahu batas, dan ahli menghilangkan makanan, dan Si Kingkong----kakak tiran yang mengira hidup Agni ...
Behind The Spotlight
3202      1549     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
90      83     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Halo Benalu
782      360     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Bintang Sang Penjaga Cahaya
65      61     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?
BestfriEND
32      28     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
FORGIVE
2074      736     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.