Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Kelas masih setengah ramai ketika Lara masuk dengan langkah pelan. Suara sandal karetnya menapak lantai keramik yang dingin, beradu dengan suara tawa teman-teman lain yang tengah asyik mengobrol.

Sinar matahari menerobos lewat kisi jendela, menari di meja-meja yang tertata rapi. Di sudut kanan kelas, Sera duduk dengan gugup. Tangannya mencengkram ujung rok seragamnya, dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Ia takut. Takut ditolak lagi. Takut Lara melewatinya tanpa sepatah kata seperti biasanya.

Namun, yang tak terduga terjadi.

Lara malah melangkah lebih dulu, mendekat tanpa ragu. Wajahnya lesu, matanya tak berani menatap langsung. Tapi ada keberanian di sana—kecil, tapi nyata.

"Sera..." panggilnya pelan, hampir seperti bisikan. "Aku minta maaf. Aku udah mikir banyak, dan... mungkin kamu bener. Aku nyakitin kamu waktu itu. Padahal aku juga sebenernya mau ikut, tapi aku udah janji sama orang lain. Aku gak minta kamu buat percaya sama aku. Tapi Sera, aku bener-bener minta maaf."

Sera nyaris tak percaya. Matanya langsung berkaca-kaca. Tanpa berkata apa pun, ia langsung bangkit dan memeluk Lara erat. Rasa sesak di dadanya perlahan mencair.

"Lara! Aku juga minta maaf! Waktu aku ngomong kayak gitu, aku juga nyesel banget. Aku mikir terus, harusnya aku bisa lebih ngerti kamu. Soalnya tiap kita main juga biasanya selalu janjian dari jauh-jauh hari kan. Dan akhir-akhir ini emang aku terlalu maksa kamu."

Lara mengangguk, air matanya mengalir diam-diam. "Jangan marah lagi ya, Sera? Aku kangen banget main sama kamu."

Sera mengangguk cepat. "Aku juga. Dan... aku juga minta maaf. Soal tuduhan bullying waktu itu... aku harusnya lebih tegas ngebela kamu."

Lara menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok. Itu udah lewat. Udah jadi angin lalu, ngapain dipikirin."

Mereka tertawa kecil, lalu duduk berdampingan lagi. Seolah tak ada apa pun yang pernah memisahkan mereka.

"Eh, kamu tahu nggak, Lar... Gara-gara kepikiran kita nggak main bareng, berat badan aku turun, tahu!"

"Ya ampun, serius? Keren banget dong, haha!"

Sera tertawa, lalu memindahkan tasnya agar Lara bisa duduk di sampingnya seperti dulu. Di meja seberang, Zea, Kesya, dan Citra hanya melirik sekilas tanpa ekspresi.

"Ya udahlah ya. Misi kita buat manas-manasin mereka. berhasil. Biar si Sera balik sama sahabat aslinya," celetuk Zea.

"Iyalah. Yuk, cus kantin!" sahut Kesya.

*****

Waktu istirahat, Lara yang biasanya makan bekal sendirian di taman belakang, kini kembali menyusuri lorong sekolah bersama Sera. Mereka melewati jejeran loker yang mulai berkarat di bagian bawah, melewati papan pengumuman yang penuh dengan kertas warna-warni dan pengumuman lomba. Suara langkah kaki dan aroma khas kantin mulai terasa ketika mereka menuruni tangga menuju lantai satu.

Mereka tertawa kecil, saling melempar gurauan yang hanya bisa dimengerti oleh dua orang yang benar-benar saling mengenal. Seolah tawa-tawa yang dulu pernah hilang, kini ditemukan kembali.

Mereka memilih duduk di bangku panjang dekat warung bakso Malang yang selalu jadi favorit.

"Oh iya, Lar... kemarin aku nemuin buku kamu jatuh. Aku mau panggil kamu, tapi kamu udah ngilang. Terus aku lihat Ibu kamu lewat, jadi aku kasihin ke beliau."

Lara terdiam sesaat. "Oh... jadi gitu kenapa bukuku ada sama Ibu. Aku panik banget pas liat itu tiba-tiba ada di kamar."

Sera mengangguk. "Tapi Lar, menurut kamu... kamu berhasil nggak jadi 'jahat'?"

Lara menoleh dengan alis mengernyit. "Jahat? Aku?"

"Iya. Kamu pernah bilang kan, pengen jadi jahat dikit. Tapi menurutku... kamu nggak jadi jahat. Kamu malah jadi versi terbaik dari diri kamu yang dulu."

"Kok kamu bisa mikir gitu?"

"Soalnya Lara yang dulu tuh... sedih terus. Kaya senyumnya tuh dipaksa. Selalu iya-in semua orang, padahal kamu sendiri capek. Tapi sekarang, kamu lebih berani nolak, lebih mikir buat diri sendiri, dan... kamu lebih sering senyum yang tulus. Itu Lara yang lebih keren. Upgrade banget."

Lara tersenyum, kali ini benar-benar tulus.

"Dan... aku lega banget waktu liat kamu selfie di café itu. Rasanya kayak kamu akhirnya berdamai sama diri kamu. Jadi... besok-besok, kita harus sering foto bareng ya!"

"Siap!" sahut Lara semangat. Hatinya lebih ringan dari sebelumnya. Seolah satu masalah besar akhirnya terangkat.

"Makasih ya Sera, karena udah pindah ke sekolah ini."

"Aku juga makasih. Awalnya aku takut banget pindah sekolah bakal lebih parah. Tapi ternyata... lebih asik. Gurunya care, temennya seru."

Obrolan mereka terus berlanjut. Tak lama, semangkuk bakso datang, mengepul hangat dengan aroma gurih yang menggiurkan. Mereka makan sambil tertawa kecil, sesekali saling suap bakso, seperti dulu lagi.

*****

Sore itu, langit perlahan berubah warna saat Lara masuk ke mobil hitam yang menjemputnya. Ibunya, Lusi, duduk di balik kemudi. Luna, adiknya, akhir-akhir ini jarang ikut karena kegiatan SMP-nya padat. Hubungan Lara dan Ibunya pun masih terasa canggung. Apalagi setelah kemarin Lusi kembali berteriak soal foto yang ditemukan Lara.

Mobil melaju melewati jalan besar yang padat. Lara menatap keluar jendela, menyandarkan kepala sambil menghela napas panjang.

"Ibu..." gumam Lara lirih, nyaris tak terdengar, hanya sehembus napas kecil yang keluar dari bibirnya.

BRAK!!!

Suara dentuman keras memecah udara, seperti ledakan yang datang tiba-tiba di tengah keheningan.

Sebuah truk besar bermuatan logam dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan sempit di persimpangan perumahan itu tak cukup untuk mengakomodasi manuver si sopir yang panik. Truk oleng ke kanan, berusaha menghindari sebuah sepeda motor yang tiba-tiba menyebrang tanpa melihat. Sopir truk memutar setir tajam, namun muatan berat di belakang membuat kendali kendaraan hilang sepenuhnya. Ban berdecit panjang, menciptakan suara gesekan yang menyakitkan telinga—suara kematian yang mendekat.

Mobil hitam yang ditumpangi Lara dan Ibunya, Lusi, tepat berada di jalur itu. Mereka tak punya waktu untuk menghindar. Semua terjadi terlalu cepat.

Tubrukan brutal itu hanya memakan sepersekian detik.

Bodi depan mobil mereka ringsek nyaris tak berbentuk. Besi melengkung dan menancap seperti cakar monster yang marah. Kaca depan hancur berhamburan, serpihannya seperti kristal berdarah yang terbang ke segala arah. Airbag sempat mengembang, tapi dampaknya terlalu besar.

Lara yang duduk di kursi penumpang depan terpental meski sabuk pengaman menahannya. Tubuh mungilnya menghantam dashboard dengan kekuatan besar. Suara retakan tulang dan desahan tertahan menyusul. Kepala Lara membentur keras bagian dalam mobil, mengakibatkan luka menganga di pelipisnya. Darah langsung mengalir, mengotori wajahnya yang pucat.

Matanya terbuka setengah, namun pandangannya kosong dan kabur. Bibirnya bergetar, seolah ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya setitik napas.

Lusi, di balik kemudi, tersentak keras. Airbag mendorongnya mundur, tapi tidak cukup menahan dampak. Bahunya terhantam setir, dan lengan kanannya memar parah. Kepala bagian kanan terbentur kaca samping hingga sobek dan berdarah. Namun ia masih sadar. Matanya terbelalak, langsung menoleh ke arah Lara.

"Lara?! Lara!!" jeritnya panik. Suaranya parau, nyaris tak dikenali, dipenuhi histeria dan rasa takut.

Lusi mencoba melepas sabuk pengaman, tapi tubuhnya terjepit kemudi yang penyok. Ia meronta, menendang bagian bawah dashboard agar bisa bebas. Tangannya gemetar hebat, tapi ia berhasil memaksa diri untuk keluar dan meraih anaknya yang tampak tak bergerak.

Beberapa warga sekitar yang mendengar suara keras itu langsung berlarian ke lokasi. Dua orang berusaha membuka pintu mobil dari luar. Beberapa lainnya menelpon ambulans dan pihak kepolisian. Asap tipis mulai keluar dari mesin mobil, menciptakan ketegangan baru.

"Cepat! Ada yang masih hidup di dalam! Anaknya berdarah!" teriak seorang bapak paruh baya sambil menendang pintu penumpang yang penyok.

Tak lama, sirene ambulans meraung keras dari kejauhan, semakin dekat. Petugas SAR dan paramedis berlarian turun membawa tandu, tabung oksigen, dan peralatan medis darurat.

"Korban satu, anak perempuan! Trauma kepala berat! Pendarahan aktif di pelipis dan dada! Siapkan donor darah!" suara paramedis bergema di antara kerumunan.

Dengan alat pemotong hidrolik, mereka membuka paksa pintu penumpang. Lara dievakuasi dengan sangat hati-hati. Tubuhnya nyaris tak bergerak, kecuali napas yang sangat lemah dan tidak teratur. Bajunya koyak, dipenuhi noda darah segar. Serpihan kaca menempel di rambut dan kulit wajahnya.

Paramedis segera memasang selang oksigen di hidungnya, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut darurat. Selang infus ditancapkan, dan monitor dipasang untuk mengukur detak jantung yang lemah.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, di dalam ambulans, detak jantung Lara tiba-tiba berhenti selama 12 detik. Salah satu petugas langsung melakukan CPR, memompa dadanya dengan ritme cepat. Paramedis lain menstabilkan tekanan darah, sementara yang ketiga menyiapkan defibrillator.

"Clear!"

Gelombang listrik mengalir ke tubuh Lara. Tubuhnya sedikit terangkat. Monitor berbunyi lagi, detak jantung kembali—namun sangat lemah.

Lusi duduk di sisi lain, dengan luka di bahunya diperban sementara. Wajahnya pucat, dan air matanya tak berhenti mengalir. Ia menggenggam kain baju putrinya yang sudah berlumuran darah.

“Kalau Ibu tahu ini bakal terjadi... Ibu nggak akan pernah marah soal tulisan itu… Ibu minta maaf. Ibu mau kamu buka mata dan panggil aku Ibu lagi…”

Sesampainya di rumah sakit, Lara langsung dilarikan ke ruang ICU. Dokter bedah saraf, ortopedi, dan spesialis jantung sudah menunggu. Pemeriksaan cepat menunjukkan, trauma otak sedang hingga berat, patah dua tulang rusuk, dan kehilangan darah lebih dari 30% volume tubuh normal.

Dokter menyatakan bahwa Lara harus segera dioperasi untuk menghentikan pendarahan di kepala. Jika tidak, tekanan di dalam tengkoraknya bisa menyebabkan kerusakan otak permanen.

Sementara itu, Lusi masih menunggu di ruang tunggu ICU. Bajunya sudah diganti dengan kemeja pasien ringan, namun tangan dan bahunya diperban. Ia tak henti-hentinya menatap lantai, memegang sisa-sisa sobekan pakaian Lara.

Di luar rumah sakit, petugas lalu lintas mulai mengatur jalur dan mengevakuasi truk yang menabrak. Sopir truk diamankan dan tengah diperiksa. Ternyata, truk mengalami rem blong dan kelebihan muatan, membuat laju kendaraan tak terkendali. Polisi mencatat data kendaraan, menyita surat-surat, dan mewawancarai saksi mata.

Di ruang ICU, Lara masih tak sadarkan diri. Monitor terus berbunyi—detak jantung, tekanan darah, kadar oksigen. Kepalanya diperban rapat, wajahnya pucat, namun tubuhnya masih berjuang.

Di luar ruangan, waktu terasa lambat. Lusi duduk membisu, dengan mata sembab menatap pintu yang tak kunjung terbuka.

Ia menggenggam erat baju sobek Lara di pangkuannya.

"Kamu pasti kuat, Nak... Kamu pasti kuat..." bisiknya dengan air mata jatuh, satu demi satu, seolah mengiringi setiap doa yang dilantunkan dari lubuk hati terdalam.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 2
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Wabi Sabi
145      105     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Ada Apa Esok Hari
222      172     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Baniis
675      421     1     
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya. (Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
Diary of Rana
209      180     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
586      259     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Interaksi
450      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Untold
1377      641     4     
Science Fiction
Tujuh tahun lalu. Tanpa belas kasih, pun tanpa rasa kemanusiaan yang terlampir, sukses membuat seorang dokter melakukan percobaan gila. Obsesinya pada syaraf manusia, menjadikannya seseorang yang berani melakukan transplantasi kepala pada bocah berumur sembilan tahun. Transplantasi dinyatakan berhasil. Namun insiden kecil menghantamnya, membuatnya kemudian menyesali keputusan yang ia lakukan. Imp...
Dunia Alen
5949      1720     2     
Romance
Alena Marissa baru berusia 17 belas tahun, tapi otaknya mampu memproduksi cerita-cerita menarik yang sering membuatnya tenggelam dan berbicara sendiri. Semua orang yakin Alen gila, tapi gadis itu merasa sangat sehat secara mental. Suatu hari ia bertemu dengan Galen, pemuda misterius yang sedikit demi sedikit mengubah hidupnya. Banyak hal yang menjadi lebih baik bersama Galen, namun perlahan ba...
Main Character
1418      863     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...