Sera dan Lara seperti dua kutub yang tiba-tiba saling menjauh. Sepanjang hari ini, mereka menghindar satu sama lain—di lorong sekolah, di kelas, bahkan di depan toilet perempuan.
Tidak ada sapaan, tidak ada tatapan hangat. Hanya keheningan yang penuh beban di antara mereka.
Dalam hati Lara, ada kerinduan yang perih. Ia ingin bicara, ingin tertawa seperti dulu, tapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ketakutan dan rasa bersalah membungkamnya.
Sera juga merasakan sakit yang dalam. Ia ingin mendekat, ingin memperbaiki semuanya, tapi rasa malu dan takut menahan langkahnya.
Mereka pernah sangat dekat, tapi hari ini, semuanya terasa jauh dan rapuh.
Sepulang sekolah, Lara melangkah cepat meninggalkan gerbang. Jantungnya berdebar dan pikirannya penuh pergulatan. Biasanya, Ibunya menjemput di jam ini, tapi hari ini Lara ingin menghindar, butuh waktu sendiri.
Tanpa sadar, ritsleting tasnya yang sudah agak longgar terbuka. Buku catatan cokelat miliknya jatuh ke tanah, lembar demi lembar beterbangan tertiup angin.
Sera yang baru saja keluar gerbang sekolah, melihat kertas-kertas itu terbang. “Eh, itu buku Lara?” gumamnya, lalu berlari mengumpulkan kertas dan buku yang berserakan.
Ia hendak memanggil Lara, tapi gadis itu sudah menghilang di balik kendaraan kota yang lewat.
Sera berdiri terpaku memegang buku catatan itu, bingung dan khawatir.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di dekat mereka. Jendela turun perlahan, dan wajah Lusi muncul dengan mata yang penuh kecemasan.
“Sera? Lara mana?” tanyanya dengan suara tertekan.
Sera gugup, “Tadi dia buru-buru, Bu. Bukunya jatuh, ini saya kumpulin.”
Lusi menerima buku itu, membalik halaman dengan cepat. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal di kemudi.
Sera hanya berdiri diam, tidak mengerti apa yang terjadi.
“Maaf, Bu, aku cuma pengen bantu,” ucapnya pelan.
Lusi tak menjawab. Ia menutup jendela dan melesat pergi, meninggalkan Sera dengan rasa tidak pasti dan beban yang tak terucap.
*****
Lara membuka laci dengan tangan yang gemetar, cepat namun tidak teratur. Jarinya menyapu tumpukan kertas, binder, dan buku pelajaran yang berantakan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan hatinya.
Namun, kertas-kertas itu kosong dari apa yang ia cari. Matanya mulai mencari dengan panik, beralih ke kolong tempat tidur—menggeser koper, merobek kotak sepatu yang sudah berdebu. Tidak ada.
Napasnya mulai memburu, dada sesak seperti ada beban yang menekan. Ia meraih pintu lemari, menyibak tumpukan sweater, menggali di setiap sela, mencoba melawan rasa cemas yang semakin besar.
“Mana, sih… harusnya di sini…” bisiknya dengan suara bergetar, suaranya sendiri hampir tidak ia kenali.
Jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dadanya. Tangannya yang tadi sigap kini mulai lemas. Dan saat itu—seolah dunia tiba-tiba runtuh—
Braak!
Suara pintu mobil dibanting dari luar. Langkah sepatu hak menghantam lantai dengan keras, langkah demi langkah naik ke tangga rumah.
“LARA!” suara ibunya menggema dengan tajam, memecah kesunyian, menembus dinding dan masuk ke dalam ruang kecil itu.
Tubuh Lara membeku. Tangannya tiba-tiba berhenti bergerak. Ia berjalan pelan, hampir tersandung, menuju pintu kamar dan membukanya dengan hati-hati, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.
Di anak tangga keempat berdiri Lusi—ibunya—dengan wajah tegang, rahang mengeras, dan di tangannya tergenggam erat sebuah buku catatan cokelat yang selama ini Lara sembunyikan dengan rapat.
“Apa ini maksudnya?!” suara ibunya pecah, penuh kemarahan dan kecewa, tapi tak ada kata lain yang keluar setelah itu. Ia hanya menatap Lara dengan mata yang berat, penuh pergulatan.
Lara menunduk dalam, bahunya merunduk. Tubuhnya kaku, tangan gemetar lemas di sisi paha.
“Maaf, Bu…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
“MAAF?!” ibunya berteriak sejenak, namun kemudian terdiam. Wajah Lusi berubah, napasnya terengah, dan dia menunduk, menghela napas panjang yang terdengar berat, seperti membebaskan beban yang lama tertahan.
Lara menunggu, menahan napas, berharap mendengar kata-kata yang bisa menghapus semua rasa bersalahnya.
Namun, ibunya hanya terdiam beberapa saat, matanya menatap kosong ke lantai.
“Bu... aku gak cuma capek atau muak...” suara Lara pecah, tapi tenang. “Aku juga bingung. Aku sering merasa sendiri, harus jadi yang sempurna, tapi gak tahu siapa aku sebenarnya. Aku tulis itu supaya aku jujur sama diri aku... dan sama Ibu.”
Lusi tetap diam, hanya mengangguk pelan. Napasnya masih berat, matanya berkaca-kaca.
“Aku tuh kadang mikir pengen jadi jahat, Bu,” Lara menambahkan, suara mulai bergetar. “Bukan jahat buat nyakitin orang lain... tapi bebas. Bebas jadi diri sendiri, marah, nolak, tanpa takut salah.”
Dia menarik napas panjang, hampir menangis.
“Tapi aku sadar aku gak bisa, Bu. Karena Ibu bener-bener udah berhasil buat aku jadi anak yang baik sepenuhnya. Aku gak bisa bohong, gak bisa pura-pura seenaknya. Itu yang bikin aku bingung dan capek.”
Lusi kembali menghela napas panjang, kali ini lebih pelan, dalam, seakan sedang berusaha mengumpulkan keberanian.
Akhirnya, dengan suara berat yang hampir berbisik, ia berkata,
“Ibu... akan coba mengerti.”
Mata mereka bertemu. Ada jeda sunyi yang penuh arti—kata-kata singkat itu seperti pintu kecil yang terbuka, memberi ruang bagi harapan.
Lara tersenyum kecil, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Bukan air mata kecewa, tapi air mata lega yang sangat dalam. Untuk pertama kalinya, dia merasa diterima.
*****
Aroma bawang putih tumis menguar dari dapur. Lara berdiri di depan talenan, memotong buncis satu per satu dengan gerakan pelan tapi rapi. Di sebelahnya, Lusi—ibunya—sibuk menumis wortel dan jagung manis di atas wajan panas. Tak ada suara selain desis minyak yang menyapa sayur.
“Lara, tolong ambilin ikat rambut Ibu, yang di kamar ya,” ucap Lusi tanpa menoleh, sambil menyeka peluh di pelipis.
“Iya, Bu.”
Lara segera meletakkan pisau dan mencuci tangannya. Ia berlari kecil ke kamar ibunya, membuka pintu dan melangkah masuk perlahan. Matanya menelusuri meja rias, sisi lemari, dan sandaran tempat tidur, tapi tak menemukan ikat rambut di mana pun.
Dengan ragu, Lara membuka salah satu laci meja rias.
Dan di sanalah ia menemukannya.
Sebuah foto kecil, usang, terselip di bawah tumpukan nota belanja dan kertas tak penting. Ia menariknya keluar, niat awalnya hanya untuk melihat sekilas—tapi foto itu membuat langkahnya terhenti.
Seorang bayi perempuan, tidur dalam balutan selimut putih. Di balik foto itu, tertulis dengan pulpen pudar:
“Lara Serina Pratama.”
Jantung Lara berdetak pelan, seolah ragu. Ia memandangi foto itu lama, mencoba mengingat... tapi memang, ia tak pernah tahu seperti apa rupa dirinya saat bayi. Ibunya tak pernah menunjukkan satu pun foto masa kecilnya. Tidak ada di album, tidak di dinding. Dan Lara tak pernah berani bertanya kenapa.
Ia menggenggam foto itu, mengambil ikat rambut yang terselip di pojok laci, lalu kembali ke dapur.
“Ibu, ini foto Lara, ya?” tanyanya perlahan sambil menyerahkan ikat rambut.
Lusi menoleh—dan seketika matanya membelalak. Wajahnya menegang.
“JANGAN BERANI-BERANI KAMU PEGANG FOTO INI!”
Tangan Lusi merebut foto itu secara kasar, gerakannya mendorong tubuh Lara mundur. Lara kehilangan keseimbangan, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sisi panci panas.
“Aww!” Lara meringis. Rasa panas menjalar cepat dari kulit ke tulang.
Namun Lusi tak melihat. Ia justru menatap foto itu lama… dan menangis.
Lara berdiri kaku. Bingung. Sakit di tangannya kalah oleh nyeri di dadanya. Ibunya yang semalam begitu hangat, kini berubah seperti orang asing. Tak bisa ditebak. Tak bisa dijangkau.
“Ibu, Lara ke kamar dulu ya… mau ambil salep,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Saat ia hendak berbalik, Lusi mendekat cepat dan menggenggam tangan anaknya—yang masih merah melepuh.
“Maafin Ibu…” suaranya pecah dalam isak yang tertahan. “Maafin Ibu, Lara…”
Lara tak menjawab. Hanya menunduk. Tak tahu apakah tangisan ibunya itu karena dirinya, atau karena foto itu. Yang pasti, kepalanya kini penuh tanya.
Kalau itu memang foto dirinya, kenapa disembunyikan?
Kalau bukan, kenapa namanya tertera di belakangnya?
Siapa sebenarnya bayi dalam foto itu?
Lara menggigit bibirnya, mencoba menahan perih yang lebih dalam dari sekadar luka bakar.
Ada yang disembunyikan. Dan Lara mulai merasakan—bahwa semua yang ia tahu tentang keluarganya… mungkin tidak sepenuhnya benar.
Ia sudah cukup berani berkata “tidak” saat teman-temannya memaksanya pergi ke tempat yang tak ia suka. Sudah belajar menolak ajakan yang tak sejalan dengan dirinya.
Tapi untuk ibunya?
Ia selalu diam. Selalu mengalah. Selalu merasa bersalah, bahkan ketika tak tahu kesalahannya apa.
Dan malam itu, di antara aroma sayur tumis dan rasa perih di kulit, Lara berjanji dalam diam:
Kalau memang ada rahasia yang disembunyikan,
Ia harus menemukannya.
Harus tahu kebenarannya—meski itu berarti luka yang lebih dalam.
Karena Lara sadar… mencintai tak berarti membutakan diri. Dan terkadang, kebenaranlah satu-satunya cara agar cinta bisa sembuh, bukan hanya ditahan.
i wish aku punya temen kaya sera:((
Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui